Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, April 13, 2009

Ketika Bicara tak Lagi Murah

Share this history on :
Menyadari pentingnya WOMM, perusahaan-perusahaan kelas dunia terus mengupayakannya dalam beragam gaya. Bahkan, menjadikannya nyawa operasional sehari-hari.

Teguh S. Pambudi


“It doesn't matter whether you're selling real estate, jelly, or jet engines. People will ask other people about you before they decide to buy from you. We turn to people we trust first -- friends, family, coworkers, and other people like us -- when starting to look for something to buy. Not ads, not brochures, not phone books.”

Itulah petikan dari buku Word of Mouth Marketing karya Andy Sernovitz (2006). Dan di abad ke-21, hal tersebut sangatlah sahih. Alhasil, “Apa yang dikatakan orang tentang merek Anda” merupakan intangible asset yang sangat berharga, dan terbilang sulit menilainya. Ini tak ubahnya aset sejenis seperti yang diutarakan Kaplan dan Norton yakni customer relationships, operating processes, skills, knowledge of the workforce, dan merek itu sendiri.

Sebuah studi yang dilakukan Northeastern University bahkan menguatkan fakta di atas. Studi itu menemukan kenyataan bahwa lebih dari 15% percakapan manusia ternyata membuat referensi tentang perusahaan, merek, produk atau jasa. Demikian Walter J. Carl dalam makalahnya, “What’s All the Buzz About? Everyday Communication and Relational Basis of Word-of-Mouth and Buzz Marketing Practices” (2006).

Karena itulah, banyak perusahaan yang berupaya melakukan word of mouth marketing (WOMM) secerdas mungkin, termasuk memanfaatkan dinamika yang kini berkembang seperti tren media sosial. Dikatakan secerdas mungkin karena dalam mengupayakan WOMM, sesungguhnya kreativitaslah yang menentukan. Sebab, praktik WOMM terdiri atas seperangkat teknik yang terus dikembangkan oleh perusahaan dalam segmen industri yang sangat beragam. Lantaran itu pula, sangatlah sulit mengukur dampak satu aktivitas WOMM. Dalam WOMMA Terminology Framework (2005) disebutkan “Until now, there has been no common language or methodology available for discussing, measuring, or comparing the impact of various word of mouth marketing efforts.”

Di kalangan penggiat WOMM di mancanegara, terutama dari lingkungan akademisi, upaya mencari pengukuran yang sahih hingga kini terus dilakukan. Sejumlah model lahir, antara lain model Tobit dan model ZIP yang menghubung-hubungkan sejumlah variabel yang diasumsikan akan membuat orang mereferensikan produk atau merek tertentu kepada pihak lain. Jadi, jangankan sebuah indeks WOMM, model pengukurannya pun terus berkembang. Sesuatu yang bisa dimaklumi lantaran pihak yang diukur, yakni perusahaan, memang terus mengembangkan teknik-teknik praktik WOMM-nya.

Ya, perkara WOMM sebagai “seperangkat teknis yang terus berkembang” – lebih tepatnya dikembangkan oleh perusahaan dalam pelbagai industri – ini memang benar adanya. Perusahaan tak henti mengembangkan teknik-teknik baru karena tidak bisa menyandarkan diri pada WOMM tipe organic, melainkan lebih kepada tipe amplified.

Tipe organik adalah WOMM yang terjadi secara natural ketika orang dengan sukarela dan penuh antusiasme menjadi advocator lantaran senang dengan produk yang digunakannya. Adapun tipe amplified terjadi secara by design. Pemasar meluncurkan aneka strategi untuk menciptakan sekaligus mempercepat WOMM di komunitas yang disasarnya. Sementara medianya bisa melalui jalur online maupun offline.

Dalam konteks WOMM tipe amplified, cara atau aktivitas yang lazim dilakukan perusahaan di antaranya membuat blog sekaligus berinteraksi dengan blogger, menggelar customer reference program termasuk program VIP, menciptakan fans club/komunitas loyal, kampanye viral, dan program evangelis. Itu hanya beberapa contoh, masih banyak lagi jenis teknik yang dikembangkan, yang sangat dinamis serta inovatif.

Yang pasti, menyadari pentingnya WOMM tipe amplified, perusahaan-perusahaan kelas dunia berupaya mengerahkan segala cara untuk bisa melakukannya dengan efisien, tepat dan sesuai dengan harapan. Konteks tepat serta sesuai dengan harapan di sini artinya membuat pelanggan membicarakan (do the talking), mempromosikan (do the promotion) dan menjual (do the selling). Dan yang pasti, hal mendasar tidak boleh dilupakan: kualitas produk/jasa itu sendiri mesti excellent.

Salah satu contoh perusahaan kaliber dunia yang dipuji Sernovitz dalam menggelar WOMM adalah Microsoft lewat program Microsoft Most Valuable Professional (MVP). Ini merupakan penghargaan bagi orang-orang di seluruh dunia yang dipandang telah menyumbangkan keahlian teknisnya untuk masyarakat dengan menggunakan produk atau teknologi milik Microsoft.

Langkah-langkah yang dilakukan Microsoft untuk mencari para MVP terbilang sederhana tapi sistematis. Pertama, find the talkers. Microsoft menelusuri message boards, blog, komunitas, untuk menemukan the most engaged and credible talkers. Mereka mencari orang-orang yang piawai dalam hal software dan senang menolong sesama.

Kedua, surprise them. Para MVP mendapat surat pemberitahuan bahwa mereka telah diseleksi. Mereka juga memperoleh kotak hadiah kejutan seperti tas komputer. Hadiah ini kelak jadi legendaris karena seputar isinya menjadi bahan terkaan dan spekulasi.

Ketiga, make them feel special. MVP mendapat surat dari Microsoft yang harus dikirim ke tiga alamat: bosnya, pasangannya dan tempat kuliahnya. Keempat, engage them. Para MVP mendapat kesempatan melihat langsung dan berbicara dengan para pengembang sekaligus memperoleh informasi di belakang layar tentang produk Microsoft yang mereka gunakan. Microsoft menyediakan lebih dari 500 live web meetings, chats dan webcasts setiap tahun untuk para MVP.

Kelima, have fun. Pertemuan tahunan MVP Summit di Redmond, AS, menjadi acara yang wajib dikunjungi para MVP. Microsoft menyediakan dan membayar semuanya. Para MVP akan bertemu dengan pemenang tahun-tahun sebelumnya sekaligus dengan para pengembang produk-produk Microsoft. Di sini, dua “dewa” Microsoft, Bill Gates atau Steve Ballmer, akan tampil.

Acara ini sepertinya sederhana, tapi bagi Microsoft sangat berguna karena progam MVP menjadi ajang yang disebut para penggiat WOMM sebagai energizing talkers. Para MVP seperti disuntik energi yang luar biasa dengan pengalaman yang tidak didapat setiap orang. Mereka menjadi advokator paling depan dalam urusan mempromosikan dan menggunakan produk-produk Microsoft.

Experience. Itulah yang ditawarkan Microsoft. Hal yang serupa juga ditempuh Zara, salah satu merek yang kenaikan brand value-nya tertinggi dibanding merek lain pada Interbrand Best Brand Global 2008. Posisi Zara memang peringkat 62 dari 100 merek. Kendati demikian, brand value-nya naik 15%.

Selain kustomisasi yang tinggi dengan tingkat produktivitas yang mengagumkan, kunci sukses Zara hingga bisa meraih prestasi seperti itu adalah kemampuannya dalam strategi WOMM. Tak bertumpu pada iklan-iklan konvensional, Zara menawarkan customer experience yang membuat para pelanggannya menjadi advokator.

Customer experience ini dimulai dari di toko-toko Zara yang eksklusif. Semua toko Zara yang jumlahnya mencapai 500 di 70 negara – termasuk Indonesia – menerima model pakaian baru sekitar dua kali dalam sepekan. Kondisi ini membuat para pelanggan datang secara reguler guna mengecek koleksi terbaru dengan hukum reservasi yang absolut: siapa cepat, dia dapat. Dan pelanggan bisa memberikan umpan balik yang akan diterima oleh para desainer Zara, termasuk usulan-usulan mode. Pengalaman menyenangkan inilah yang mendorong pelanggan membicarakan, mempromosikan dan menjual Zara ke komunitasnya, sekaligus menjadikan merek dari Spanyol ini terus menjadi brand papan atas dunia.

Apa yang dilakukan Microsoft atau Zara bisa dikatakan belumlah memanfaatkan media sosial yang kini tumbuh berkembang. Sekarang, banyak perusahaan yang berupaya menggunakan media sosial sebaik-baiknya, di antaranya blog atau website, dalam menggelar WOMM.

Epson, umpamanya, lewat Epson & Sparkplugging. Sparkplugging adalah kumpulan 14 blogger. Epson mendanai mereka, para penulis, yang ingin pergi ke pertemuan BlogWorld Expo di AS. Lewat jejaring sosial yang mulai menyaingi Facebook, yakni Twitter, para penulis itu kemudian membuat sebuah game dengan hadiah printer Epson yang akan diluncurkan. Mereka ini juga membuat blog baru yang khusus meliput pelaksanaan BlogWorld. Di dalam situs tersebut terdapat wawancara, foto dan informasi seputar pertemuan akbar itu dengan menampilkan logo-logo Epson. Dalam blog tersebut, pembicaraan tentang Epson mengalir deras.

Apa yang dipraktikkan Epson merupakan pengejawantahan dari saran Sernovitz tentang bagaimana memanfaatkan media sosial yang kini kian berkembang dalam melakukan WOMM. Setidaknya ada lima saran yang bisa dilakukan: pertama, look on the web for people talking about you. Kedua, assign someone to join these conversations. Start today. Ketiga, create a blog. Keempat, make a new rule: Ask "Is this buzzworthy?" in every meeting. Dan kelima, come up with one buzzworthy topic. Keep it simple.

Buatlah tetap sederhana. Di tempat lain, prinsip ini dipraktikkan Nivea dengan gayanya sendiri. Pada malam tahun baru lalu, lewat acara "Kiss and Be Kissed" di New York Times Square, Nivea memberikan 25 ribu sampel lini produk Lip Care yang mengandung minyak jojoba dan Shea butter kepada pasangan-pasangan yang hadir. Nivea memberi kesempatan kepada pasangan yang saling berciuman di malam pergantian tahun untuk mengunggah foto-fotonya ke http://www.niveaxoxo.com/ buat memenangi kompetisi yang hadiahnya bertemu dengan Lionel Richie.

Lewat program ini Nivea ingin membuat konsumennya merasakan emotional attachment ketika bibir-bibir mereka yang telah dibasahi Nivea Lip Care saling berpagut. Nivea ingin konsumennya merasakan itu ketimbang melihat produknya sebatas functional product. Dia ingin menciptakan hal-hal penting: hasrat dan pembicaraan (buzz) di kalangan para penggunanya. Agar makin hot, Nivea juga mensponsori situs selebriti Yahoo!'s yakni OMG!, menampilkan foto para selebriti yang saling berciuman. "We like to do things in a way that is not pretentious, but is still surprising to the consumer," ujar Nicolas Maurer, SVP Pemasaran Nivea dan Eucerin, Beiersdorf.

Saking pentingnya WOMM, perusahaan seperti Zappos malah menjadikannya “nyawa” operasionalnya sehari-hari. Berdiri pada 1999, Zappos nyaris tidak punya prestasi apa-apa dalam rapor penjualan di awal-awal tahun berdirinya. Namun pada 2007 penjualannya lebih dari US$ 800 juta dan ditaksir menembus US$ 1 miliar pada 2008.

Kunci sukses perusahaan yang kini disebut the world’s biggest online shoe store ini adalah keahliannya dalam WOMM. Dari sekitar 1.400 karyawannya, ada sedikitnya 440 orang yang aktif di Twitter untuk terus membincangkan perusahaan dan terus keep in touch dengan pelanggan. Cara ini ditempuh karena manajemen Zappos sadar bahwa bisnis online shoes bersandar pada kepercayaan pelanggan atas perusahaan yang menjualnya. Karena itulah, manajemen harus membuat karyawannya enganged dengan para pembeli dan rajin-rajin mengucapkan terima kasih kepada pelanggan.

Dengan stok lebih dari 3 juta sepatu, tas tangan, pakaian dan aksesori dari sedikitnya 1.100 merek, Zappos harus bisa menjual terus-menerus agar inventorinya terjaga. Dan lewat layanan yang memuaskan, pelanggan terus berdatangan. Tingkat repeat customer bahkan mencapai 60%. Mereka yang datang kembali ini lalu terus menyuarakan kepuasannya dan merekomendasikan kepada orang lain lewat aneka media, termasuk lewat blog dan Twitter. Seperti virus, kepuasan ini kian menyebar, mengundang datangnya pelanggan-pelanggan baru.

Apa yang ditempuh perusahaan-perusahaan di atas jelas suatu hal yang bisa ditiru dengan kreativitas dan inovasi sendiri. Yang jelas, apa pun cara yang dipilih, buatlah agar konsumen melakukan apa yang diutarakan Sumardy dari Octobrand: TAPS (talking, promoting dan selling).

Dulu, kata Walter J. Carl, “Talk is cheap”. Sekarang, itu tidak lagi. Sebab, dari omongan biasa, akan lahir buzz yang berefek besar bagi bisnis. Ya, talk is not cheap anymore.

0 comments: