Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, April 24, 2016

Parwati Surjaudaja: Katalisator yang Energik

Beban yang diembannya ditunaikannya dengan baik. Posisinya sebagai pemimpin dijalankannya sebagai katalisator. Kekuatannya terletak pada detail dan passion.


PAGI YANG PRODUKTIF

Pagi hari adalah masa paling produktif bagi wanita energik ini. Setelah bangun jam 05.00, dia langsung berolahraga. Usai mengolah fisik selama satu jam lamanya, dia pun bergegas ke kantor. Kebetulan, karena rumahnya dekat, biasanya lantai yang dingin di OCBC NISP Tower, Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta Selatan itu sudah dijejaknya pada jam 6.30. Jarang sekali dia datang setelah arloji di tangan menunjukkan angka 07.00. Begitu selalu rutinitas yang dijalaninya

Parwati Surjaudaja. Demikian wanita berambut pendek yang gesit ini. Memimpin bank beraset di atas Rp 100 triliun dan karyawan 7000 orang tentu tidaklah mudah. Datang pagi setelah menjaga kebugaran menjadi modal awalnya untuk mengemban tugas yang tak mudah.

Ya, bukan tanpa maksud dia rutin datang pagi. Dia sengaja tiba lebih awal untuk mengecek email berikut dokumen lain yang masuk, sekaligus memastikan apa yang akan dilakukannya hari itu. “The most productive time pagi-pagi sebenarnya, karena belum banyak yang datang,” ujarnya ringan. Aneka rapat baru dimulainya pada jam 8 pagi. Lewat jam itu, dia seperti pelari marathon: berpindah dari satu rapat ke rapat lain.

Tapi tentu saja datang pagi bukan modal segalanya untuk mengelola bank yang dipimpinnya sejak 2008 itu. Terlebih persaingan di industri perbankan nasional sangatlah ketat. Diperlukan pemimpin yang piawai dalam menyusun strategi, mengokestrasi inovasi yang kontinyu, dan memimpin armada agar mampu memenangkan pertempuran.

Menyadari hal itu, Parwati berupaya selalu menjadi penggerak atau pendorong bagi timnya agar menjadi winning team. Untuk itu, dia pun harus lebih mendisiplinkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Datang lebih awal cuma satu contoh kedisiplinan, bahkan bentuk dari profesionalisme yang merupakan budaya kerja OCBC NISP. Sejak tahun 2012, bank ini memiliki tiga values: Professionalism, Integrity, dan Customer Focus.

Kantor Pusat OCBC NISP di Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta

Kedisplinan datang pagi juga menjadi wujud dari prinsip yang selalu dipegangnya teguh: walk the talk atau always do as you say. “Apapun yang dikatakan dan dilakukan harus sama. Dengan seperti itu, akhirnya apa yang ingin kita capai atau ingin kita drive, pasti tercapai. Kalau kita cuma ngomong tapi tidak sesuai dengan kelakuan kita sendiri, akan sulit,” jelasnya.

Bukan hanya kedisiplinan untuk sesuai kata serta perbuatan, saat akan mengarahkan anggota timnya pun dia berusaha mendisiplinkan untuk selalu bertanya kepada dirinya terlebih dahulu. Dia akan men-challenge serta mengonfirmasi pada dirinya sendiri: apakah target yang ditetapkannya, baik jangka pendek maupun panjang sudah benar; apakah arah strategi untuk mencapainya sudah tepat; dan apakah seluruh asumsinya valid.

Mengapa harus meyakini terlebih dahulu?

MEYAKINI VISI

“The very essence of leadership is that you have to have a vision. It’s got to be a vision you articulate clearly and forcefully on every occasion. You can’t blow an uncertain trumpet.” Begitu kata Theodore Hesburgh, mantan Presiden Universitas Notre Dame.

Seorang pemimpin bukan hanya punya visi, tapi juga meyakini bahwa visi itu bisa terartikulasi dengan kekuatan pasukan yang ada. Dengan menggunakan kacamata four roles of leadership, Parwati menyadari perannya sebagai perintis tak ubahnya sang pembuka jalan. Dengan bertanya pada diri sendiri, dia melihat kondisi secara helicopter view. Dia mengkaji bagaimana posisi OCBC NISP dalam industri perbankan serta para pesaing. Ditelaahnya apa yang menjadi masalah, tantangan berikut peluangnya.

Selama berbincang dengan SWA, Parwati bertutur dengan penuh keteraturan di tengah semangat yang besar. Wanita yang selalu melangkah gegas dan gesit ini, tampak memikirkan setiap kata yang terlontar dengan cermat. Sore itu, di tengah langit Jakarta yang cerah, dia mengenakan baju bermotif etnik berwarna gelap dan celana hitam dengan model lurus. Senyumnya tak henti mengembang di wajahnya yang tampak belum banyak berkerut di usia 50-an. Terlebih bila bicara akan ke mana di ingin membawa OCBC NISP, dia akan penuh semangat bercerita.

Berterus terang, dia ingin menjadikan OCBC NISP masuk 10 besar bank dengan pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan. Caranya?

“Dilihat dari tatanan OCBC NISP, dari tatanan di dalam, segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lebih cocok buat kami,” imbuhnya. Faktanya, segmen mikro memang sangat menggiurkan. Parwati sendiri mengamati dengan seksama bagaimana BRI dan Danamon bermain di sini, dan menjadi pemain yang dominan.

Memang sektor UMKM terbilang tahan banting. Sementara kredit sektor lain mampet, sejumlah bank menjadikan kredit ke UMKM sebagai tumpuan usaha yang terbukti mampu menyelamatkan kantung mereka. BRI contohnya. Tahun lalu, bank ini membukukan pertumbuhan kredit UMKM sebanyak 16,8%, sementara di tahun 2014 tumbuh 16%.

Lantaran hal itu, Parwati pun mendorong perusahaannya konsisten, bahkan masuk lebih dalam ke pasar UMKM, yang nota bene merupakan segmen tradisional NISP saat awal beroperasi di Bandung. Salah satu yang kini digenjot habis adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) UKM OCBC NISP. Ini adalah produk pinjaman yang dikhususkan untuk pelaku usaha kecil dengan suku bunga 11- 12,25% per tahun. Nasabah bisa memilih antara KMK (kredit modal kerja) atau kredit investasi.

Tapi Parwati juga tak melupakan segmen korporasi besar. Apalagi dia mengetahui bahwa kekuatan tradisional OCBC adalah sektor korporat. “Segmen UMKM dan korporat ini jadi kekuatan, setelah melihat kekuatan-kekuatan sumber daya di dalam,” tuturnya.

Bicara sumber daya, Parwati sangat memperhatikannya. Sebab, bagaimanapun, kesuksesan seorang CEO akan bergantung pada bagaimana kekuatan serta keberhasilan anggota timnya hingga di level paling bawah.

Agar mereka bisa berhasil, dia menyadari perannya yang kemudian dibutuhkan adalah menyelaraskan antara apa yang menjadi visinya dengan sumber daya yang ada. khususnya, dari sisi manusia.

Parwati, selalu men-challenge diri


DETAIL 

Di atas disinggung bagaimana Parwati terus men-challenge dirinya terhadap visi serta strategi buat perusahaan. Untuk urusan menyelaraskan, maka setelah meyakini seluruh visi serta strateginya itu adalah yang terbaik bagi perusahaan, barulah dia mengajak direksi duduk meminta masukan agar semuanya makin tajam, menarik, dan on the track.

Rama P. Kusumaputra, Managing Director OCBC NISP melihat justru di sanalah kekuatan Parwati. Baginya, CEO-nya itu sungguh kuat dalam men-set strategi jangka panjang dan detail. “Ibu Parwati memiliki latar pernah menjadi konsultan, dia jadi sangat detil,” katanya. Sebelum bergabung di perusahaan keluarga, Parwati memang sempat menjadi Konsultan Senior di SGV Utomo/ Arthur Andersen (1987-1990).

Menurut Rama, ada beberapa leader yang dikenalnya sangat bagus dalam strategi jangka panjang, tapi kurang detail, lalu diserahkan ke orang lain. “Ibu Parwati juga memiliki passion yang tinggi di pekerjaannya, sudah terbiasa mengawal sesuatu dari A sampai Z. Dalam menjalankan strategi jangka panjang, dialah yang memimpin, meyakinkan semua pihak bahkan semua level. Turun ke kota-kota untuk memimpin perubahan,” paparnya.

Kendati terbilang detail, bukan berarti dalam eksekusinya jatuh dalam micromanagement. Dalam konteks ini, ibu empat anak yang beranjak dewasa itu percaya pentingnya empowerment yang terkontrol dengan baik. Dan sebagai pemimpin, katanya, dia mesti memperhatikan mulai dari kesiapan tim, kompetensi serta kebutuhannya, untuk kemudian menilai lewat indikator-indikator kunci. Dari keseluruh proses ini, dia melanjutkan, yang terpenting baginya sebagai pemimpin adalah mendengar serta menerima kritik yang membangun.

Empowerment ini penting, apalagi menghadapi generasi kerja sekarang, Gen Y dan milenial. Kita harus menyadari, bahwa kita sebagai leader tidak selalu benar. Dunia berubah cepat sekali. Kalau semua tersentralisasi dan kuasa di bawah kita, bisa dipastikan akan terlambat. Karena kita tidak pernah tahu persis di lapangan seperti apa,” jelasnya. Berhubungan dengan dua generasi ini memang membuatnya memberi penekanan khusus. Maklum, saat ini, 70% dari 7000 karyawan adalah Gen Y.

Dengan tatapan yang ramah, Parwati menjelaskan bahwa proses empowering ini terus diperbaikinya dari waktu ke waktu. Sewindu lalu, keputusan kredit sebesar apapun ada di ruangannya. Kini itu tidak terjadi lagi. Kantor cabang punya kewenangan besar sehingga bisa memutuskan perihal kredit dalam nilai yang tinggi. “Sejak pertengahan tahun kami melakukan perubahan. Sebelumnya semua di kantor pusat, kini kami dorong empowerment ini hingga ke ujung. Jadi, kepala cabang menjadi CEO bagi masing-masing kantornya. (Tapi) Soal empowerment ini kami belum sempurna, kami terus memperbaiki diri,” ujarnya.

Selain kewenangan kredit, yang juga didorongnya adalah inisiatif untuk menggali consumer insight. Temukan insight, temukan insight, temukan insight. Itu selalu pesannya. Pesan lainnya: ciptakan rasa nyaman dalam diri nasabah! “Kami ingin hubungan dengan nasabah adalah partnership. Jadi, (bersifat) jangka panjang. Artinya dalam berbisnis kita harus win-win,” dia menegaskan.

Sebelum empowerment yang sekarang diterapkannya, menurutnya orang cenderung pasif: kalau tidak ditanya, tidak memberikan masukan. Lebih-lebih lagi, sewaktu ada pinjaman bermasalah, mereka tidak mau ikut bertanggung jawab. “Dengan empowerment sekarang, bisnis lebih cepat memberikan pelayanan, mengambil keputusan juga cepat, nasabah lebih senang, orang kami juga jadi lebih senang karena dipercaya, jika ada masalah dia berani mengambil tanggung jawab,” Parwati menjelaskan.

Model pemberdayaan yang ditempuh Parwati boleh jadi tak terlepas dari gemblengan yang diterima dirinya, yang diberdayakan sang ayah, Karmaka Surjaudaja untuk mengambil tampuk pimpinan perusahaan di saat-saat yang penting di tahun 2008. Kebetulan, pada tahun-tahun itu, kesehatan Karmaka juga sedang terganggu.

Sedikit ke belakang, Parwati memang berada di titik yang penting dalam perjalanan perusahaan. Bila mengilas balik, perjalanan NISP terentang panjang. Saat awal dikibarkan, sang pendiri, Lim Khe Tjie yang juga mertua Karmaka menamakan perusahaannya NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank. Tahun 1960-an, di tangan Karmaka yang diserahi tampuk perusahaan, NISP tumbuh menjadi bank yang solid dan prudent. Wujud kehebatan itu adalah tahun 1997. Tanpa bantuan pemerintah, bank kebanggaan warga Bandung ini sukses melewati krisis keuangan Asia dan tumbangnya perbankan di Indonesia.

Reputasi ini memancing sejumlah institusi internasional untuk “menikahi” NISP. Di tengah gelombang restrukturisasi perbankan nasional yang melahirkan raksasa-raksasa hasil merger antarbank, akhirnya NISP menerima lamaran OCBC pada 2004.

Parwati dipercaya memimpin perusahaan di masa penting ini pada 2008 kala perusahaan bersalin nama menjadi OCBC NISP. Dan berikutnya, di tahun 2011, dia memimpin merger lanjutan antara OCBC NISP dengan OCBC Indonesia.

Wanita ini mengingat momen merger itu dengan baik seakan peristiwa itu baru saja berlalu di pelupuk matanya. Menurutnya saat itu banyak karyawan sempat ragu dengan langkah merger ini. Alasaannya: tak sedikit merger bank yang berujung kegagalan. “Bahkan ada karyawan yang bilang ke saya sambil menangis. Karena trauma, (mereka) mempertanyakan langkah saya mengapa harus mengambil keputusan merger. Jadi dia pindah dari bank sebelumnya karena bank itu merger. Saat itu saya berpikir betapa mengerikan merger itu,” kenangnya.

Toh sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Parwati tetap harus jalan. Dan dia mampu meyakinkan karyawan bahwa merger akan membuat mereka jauh lebih baik. Dia juga sanggup merapikan proses merger sekaligus menekan “rasa sakit” akibat merger semaksimal mungkin. “Waktu itu kami berhasil membuat proses merger tidak bertahun-tahun, tapi hanya dalam waktu tiga bulan,” kata anak keempat dari lima bersaudara ini.

Jadi, Parwati berhasil mewujudkan merger dengan mulus tanpa riak besar hanya dalam waktu hitungan bulan. Kuncinya?

Menurutnya, kuncinya terletak pada manusia. 80 persen waktu dalam proses merger ini adalah bagaimana membuat orang bisa menyatu dengan baik. Faktor sukses lainnya adalah karena bisnis masing-masing tidak bertabrakan, malah punya kekuatan yang saling melengkapi: NISP di ritel, sementara OCBC di korporat.

Keberhasilan ini tentu saja menambah percaya diri Parwati sebagai pemimpin perusahaan. Maklum, memimpin perusahaan hasil merger bukan hanya memadukan kekuatan bank lokal serta bank asing, tapi juga menyelaraskan seluruh strategi yang dibuat agar bank hasil merger ini bisa tumbuh mengesankan di tengah persangat industri yang tambah ketat dari waktu ke waktu, yang berbeda dengan dekade 1990-an, apalagi saat bank ini berdiri.

4 April 2016, OCBC NISP berulang tahun yang ke-75. Parwati tak bisa menutupi rasa bangganya sebagai generasi ketiga yang mampu membesarkan perusahaan keluarganya (sekalipun sahamnya telah minoritas). Menurutnya, tak banyak bank di Indonesia yang sudah melewati 5 dasawarsa. Selain OCBC NISP, ada BRI dan Bank HS yang usianya lebih dari 70 tahun. Selebihnya berusia lebih muda.

Dia pun senang karena dari sisi governance, OCBC NISP solid. Begitu juga dari sisi kinerja keuangan. Soal performa, aset pada Desember 2008 di posisi Rp 39 triliun. Tahun 2015 mencapai Rp 120 triliun. Sementara itu laba bersih terus menanjak. Saat menjadi CEO, laba bersih di posisi Rp 350 miliar (2008), tahun 2015 di posisi Rp 1,5 triliun. Adapun tahun 2014, laba bersih tercatat Rp 1,3 triliun.

Pendapatan berbasis bunga masih menjadi motor performa ini. Pendapatan bunga bersih tercatat naik 18% dari Rp 3,74 triliun (2014) menjadi Rp 4,42 triliun (2015). Ini merupakan buah dari agresivitas pengucurkan kredit. Penyaluran kredit tumbuh 26% menjadi Rp 85,88 triliun.

KATALISATOR

Tentu saja ini membanggakan di tengah kondisi perekonomian global dan nasional yang tengah mengkeret. Toh bicara pencapaian kinerja ini tak lantas membuatnya langsung bertepuk dada. Dia sepertinya memahami pandangan John Maxwell yang mengatakan “A good leader is a person who takes a little more than his share of the blame and a little less than his share of the credit.”

Karena itu pula, saat diberi tahu dirinya menjadi The Best CEO 2016, dia pun hanya tersenyum ringan. “CEO (itu) hanya sebagai katalisator. Yang pasti ini bukan pencapaian pribadi,” katanya. Bukan tanpa alasan dia menyatakan demikian. Baginya team work-lah yang membuatnya berhasil. Yang pasti, benghargaan ini seakan menjadi kado buat ulang tahun perusahaan yang dirintis kakeknya itu.

Dia sendiri lebih fokus untuk membawa perusahaannya ini melesat lebih tinggi, cepat dan solid. Banyak target yang telah dipatok bersama. Dan itu membutuhkan sentuhannya selaku pemegang komando tertinggi.

Waktu yang beranjak petang membuatnya siap-siap untuk menyelesaikan pekerjaan dan pulang ke rumah. Seperti saat ke kantor, alumnus Master of Business Administration, Accounting, San Francisco State University, California ini juga selalu berusaha tepat waktu tiba di kediamannya. Sesampainya di rumah pada jam 19.00, dia akan bersalin peran: bila di kantor menjadi ibu bagi karyawan, di rumah dia menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Keluarga sangatlah penting baginya. Sekalipun terhitung pekerja keras, Parwati tetap meluangkan waktu buat keluarga. Terutama saat libur. Sewaktu libur tiba, mereka pun akan menikmatinya bersama. “Saya hobi traveling. Biasanya bersama anak-anak sambil mengajarkan mereka tentang banyak hal. Biasanya setahun saya punya jadwal (berlibur),” kata perempuan yang juga menggemari kuliner ini. Kecuali Kalimantan, hampir semua provinsi di Indonesia sudah dirambahinya untuk jalan-jalan. Tapi menjejak Tanah Borneo itu sepertinya hanya soal waktu. Kini dia masih berkonsentrasi untuk membuat perusahaannya makin berkibar.

Yang jelas, menyadari keterbatasan diri di tengah bisnis yang dinamis, Parwati tak mau seperti roda yang berhenti berputar. “Sebagai CEO, harus terus belajar, tidak boleh berhenti,” dia memungkas pembicaraan. Dan satu kalimat bahasa Sunda terlontar dari bibirnya begitu SWA mengucapkan “hatur nuhun” serta pamit undur. “Sawangsulna,” ujarnya sambil tak lupa memberikan senyum. ***

Sunday, April 17, 2016

Sekerat Scotch dan Foto Kematian Einstein


Sekerat scotch membuka pintu mulut yang tertutup. Tapi sebuah telepon membungkam karya eksklusif yang siap tersaji.


NO PICTURE = HOAX

Di jaman social media seperti sekarang, kita mengenal istilah berikut: no picture = hoax. Akhirnya, saking kreatifnya, bahkan aneka picture pun diedit sehingga alih-alih fakta, yang muncul justru hoax. Paradoks

Foto memang telah lama jadi kekuatan sendiri. Bahkan ada istilah: One Picture Worth Ten Thousand Words. Frase yang lahir 10 Maret 1927 lewat sebuah iklan ini menunjukkan pentingnya foto, bahkan kadang melebihi kekuatan kata-kata.

Bukti kekuatan foto melebihi kata-kata adalah foto-foto kematian Einstein. Ya, 18 April 1955, atau 61 tahun yang lalu, Einstein meninggal dunia. Tentu saja ini bukan dalam rangka memperingati kematian sang jenius. Tapi mengingatkan tentang bagaimana foto bicara. Dan bagaimana proses di baliknya.

Proses ini terjadi ketika fotografer LIFE, Ralph Morse menerima telepon dari editornya yang memberi kabar penting. Pagi itu, Einstein gagal jantung di usianya yang ke-75.

Mendapat kabar demikian, Morse segera mengambil kameranya. Dia mengendari mobilnya sepanjang 90 mil dari rumahnya di New Jersey ke Princeton. Einstein mangkat di Princeton Hospital.

Morse mengenang situasi saat dia datang. “Wartawan, fotografer, dan orang-orang yang ingin tahu ada di sana. Karena itu saya segera pergi ke kantor Einstein di Institute for Advanced Studies. Di tengah jalan, saya membeli sekerat scotch. Saya tahu orang mungkin akan enggan bicara, tapi kebanyakan orang senang menerima sebotol minuman ketimbang uang sebagai ganti kebaikan hati mereka,” katanya.

Morse kelahiran Manhattan 1917. Dia salah satu fotografer andalan LIFE. Sambil membawa scotch, dia pun masuk ke kantor Einstein. Minuman yang dibawanya, dia berikan ke superintenden kantor Einstein. Dia pun bisa masuk ke kantor sang jenius. Dia pun mendapat kesempatan memotret raung kerja Einstein, termasuk meja kerjanya yang berantakan.






Hari beranjak sore sewaktu Morse mendengar kabar tubuh Einstein dipindahkan dari rumah sakit ke rumah duka di Princeton. Peti jenazah yang berisi jenazah paska otopsi hanya akan mampir selama 1-2 jam di rumah duka.

Mendengar berita itu, Morse pun segera berjalan lagi ke rumah sakit. Dia melihat dua orang membawa peti mayat. Kameranya pun segera bekerja.

Morse tahu, penguburan Einstein akan segera berlangsung. Berharap mendapat posisi yang tepat di acara penguburan, dia pun bergerak ke Princeton Cemetery. “Saya pergi ke pemakaman untuk mencoba menemukan di mana Eistein akan dikebumikan,” kenang Morse. Toh keraguan menyergapnya. “Pasti ada dua lusin tanah sedang digali hari itu! Saya melihat sekelompok pria sedang menggali tanah. Saya pun menawarkan sebotol scotch, bertanya apakah mereka tahu tentang informasi penguburan Einstein. Salah seorang dari mereka bilang, ‘Dia dikremasikan sekitar 20 menit lalu di Trenton.’ Maka saya beri sisa scotch yang ada, masuk mobil, cabut ke Trenton dan ke krematorium sebelum teman serta keluarga Einstein datang,” katanya. Trenton adalah ibu kota New Jersey.




Di krematorim itu, dia adalah satu-satunya forografer. Betapa senangnya dia karena hanya dia yang mengabadikan momen penting itu. “Ini berita besar,” katanya. Setelah mendapat banyak foto ekslusif, Morse  pun pergi ke Manhattan, ke kantor LIFE. Hatinya berbunga-bunga. Proses kematian seorang jenius sudah ada dalam kameranya. Termasuk dokter yang mengautopsi tubuh Einstein berikut otaknya.


TELEPON YANG MEMBUYARKAN SEMUANYA

Di kantor LIFE, Ed Thompson menyambutnya. Ed adalah managing editor LIFE, seorang jurnalis kawakan. “Ralph, aku dengar kau punya foto ekslusif yang hebat,” kata Ed.
“Yeah. Memang,” jawab Morse.
Well, tapi kita tak akan menurunkannya,” jawab Ed.

Lemaslah Morse. Ed kemudian bercerita bahwa Hans, putra Einstein telah menelponnya, meminta untuk tidak menurunkan foto-foto kematian Einstein. Alasannya, demi privasi keluarga Einstein.

“Anda tak bisa menjalankan sebuah majalah tanpa editor yang membuat keputusan. Ed telah mengambil keputusan. Maka saya berpikir, ya sudahlah... Saya kemudian bergerak untuk meliput tugas yang baru. Saya tak berpikir foto-foto itu akan terbit. Dan saya melupakannya,” kata Morse.

Belakangan Morse baru menyadari. Dia telah bertemu Hans. Dan putra Einstein itu sempat bertanya dari mana dia berasal. Pertanyaan ini tak disangka telah membawa konsekuensi bagi karyanya.

60 tahun kemudian, majalah LIFE baru menghadirkan beberapa foto di hari kematian sang legenda itu. Morse sendiri berumur panjang. Dia mangkat 7 Desember 2014.

Kisah foto Einstein adalah salah satu kisah jurnalisme yang menarik. Kegigihan dan kecerdikan Morse berada di balik foto-foto kematian ikon abad 20 ini. *** 

Sunday, April 10, 2016

Perempuan Hebat di Balik YouTube

Keseimbangan antara rumah tangga serta karir menjadi perhatiannya. Dan dia membuktikan bahwa peran sebagai ibu serta eksekutif puncak bisa berjalan beriringan.

KEPERCAYAAN LARRY 

Tak banyak orang, apalagi wanita yang bisa masuk lingkaran dalam Larry Page yang disebut tim “L”. Namun itu tak berlaku buat Susan Wojcicki. Dia adalah perempuan pilihan yang sangat dipercaya sang pendiri Google tersebut.

Tentu ada alasan mengapa perempuan 47 tahun ini begitu istimewa. Dan kita bisa paham bila mengetahui bagaimana perusahaan raksasa ini pada awal berdirinya yang begitu sederhana.

Tahun 1998, saat merintis Google, Larry dan Sergey Brin memulainya dari sebuah garasi di Menlo Park. Mereka membayar sewa sebesar US$ 1.700 sebulan kepada sang pemilik. Dialah Susan yang tinggal bersama suaminya, Dennis Troper. Saat itu perutnya tengah buncit, hamil 4 bulan anak yang kedua. Mereka menyewakan garasi untuk menambah biaya membayar hipotek rumah.

Perempuan berambut sebahu ini mengenang masa-masa indah di garasi itu. “Di larut malam, kami bersama-sama makan pizza. Larry dan Sergey bercerita tentang teknologi mereka yang bisa mengubah dunia.” Ujung-ujungnya, Susan diajak anak-anak Stanford itu untuk bergabung ke Google. Dan tak lama kemudian, dia pun menjadi karyawan ke-16. Pekerjaan di Intel ditinggalkannya. Dia bekerja di garasi rumahnya sendiri bersama anak-anak muda yang percaya teknologi mereka sangat revolusioner. Posisi yang dipegangnya adalah manajer pemasaran yang menjadikannya menjadi manajer pemasaran pertama Google. Belakangan, suaminya, Dennis Troper juga bergabung menjadi Googler (karyawan Google).

Sejarah kemudian mencatat, pilihan itu tidak keliru. Sekarang, siapa tak kenal Google, raksasa teknologi yang sangat perkasa. Dan Susan adalah orang kepercayaan Larry serta Sergey dengan posisi mentereng, CEO YouTube.


Inilah garasi milik Susan yang menjadi awal kelahiran Google

INISIATOR AKUISISI YOUTUBE

Bukan karena semata pertemanan serta sejarah yang membuatnya menduduki kursi bergengsi tersebut. Banyak prestasi yang telah dicetak kelahiran California ini. Perempuan inilah yang banyak terlibat dalam banyak proyek strategis Google. Dia memimpin produk iklan dan analytic termasuk AdWords dan AdSense yang kemudian menjadi sumber pendapatan kedua terbesar bagi Google.

Salah satu prestasi terbesarnya adalah buah dari intuisi bisnisnya. Tahun 2006, begitu melihat YouTube yang waktu itu masih start-up kecil memiliki potensi sangat besar, dia segera mengusulkan direksi Google untuk mencaploknya. Dan Susan yang waktu itu menjabat Senior VP Advertising & Commerce sukses memimpin proses akuisisi senilai US$ 1,65 miliar ini. Setahun berikutnya, dia pun dipercaya memimpin akuisisi DoubleClick (US$ 3,1 miliar) yang juga diusulkannya.

Di Google, sangatlah krusial untuk mendapat kepercayaan dari para pendiri. “Jika Anda tak punya itu, atau Anda kehilangan kepercayaan mereka (Larry dan Sergey), akibatnya fatal. Tapi begitu Anda dipercaya, Larry akan memanggilmu sekaligus memberikan rantai kepercayaan yang panjang. Orang-orang seperti Susan, Salar Kamanger (eks CEO YouTube) dan Marissa Mayer (kemudian jadi CEO Yahoo), mendapat rantai yang sangat panjang itu. Dan saya kira Susan selalu bisa mempertahankannya,” ujar mantan eksekutif Google.

Lantaran performanya yang meyakinkan sebagai otak strategi iklan Google, Susan disebut-sebut sebagai "the most important person in advertising". Belakangan, pengakuan lebih bergengsi datang ketika dia masuk 100 orang berpengaruh majalah TIME tahun 2015.

Lagi, ini adalah buah dari kejeliannya sebagai pemasar. Dan memang dia berbakat di area ini. Sebelum di Google, alumnus Harvard College ini bekerja di bagian pemasaran Intel di Santa Clara, Califonia, setelah menjadi konsultan manajemen Bain & Company serta R.B. Webber & Company. Di Google, sejak awal dia ikut mendesain program viral marketing yang kelak menjadi Google doodles pertama (logo-logo Google yang dimodifikasi sedemikian rupa yang ditampilkan pada saat ada peringatan atau event tertentu pada setiap negara yang men-support mereka). Susan juga terlibat dalam Google Images dan Google Books.

Kecerdikaannya membangun pipa bisnis iklan bagi Google sangat diakui. Dominasi search enginge Google juga mendapat sentuhannya. Dialah yang bertanggung jawab untuk pemasaran layanan mesin pencari, dengan nilai anggaran pemasaran yang minim. Bagaimana dia melakukan itu?

Dia mulai dengan kemitraan dengan universitas dan melibatkan mereka, termasuk di Google search bar di website mereka. Dari sinilah kemudian semua berjalan hebat.

Sederet prestasinya inilah yang akhirnya membuat dewan direksi Google tak ragu untuk memindahkannya dari posisi penasehat untuk divisi iklan dan perdagangan (berkontribusi 90% pendapatan Google) menjadi CEO YouTube pada Februari 2014. Tugasnya adalah memastikan laba YouTube tidak tergerus para pesaing.

Susan Wojcicki

Ini adalah tugas yang tak mudah. YouTube, platform video online terbesar di dunia, terus dihantam para pesaingnya. Ia mungkin kisah sukses terbesar di panggung video online. Dengan pengunjung 1 miliar sebulan, nilainya ditaksir US$ 20 miliar. Tahun 2014, pendapatannya mencapai US$ 4 miliar, naik 33% dari tahun 2013.

Namun ia kini bukan lagi pemain utama. Ruang yang dulu didominasinya kini ditempati banyak pesaing yang lincah. Facebook punya 8 miliar views perhari. Snapcat mengklaim mengatungi US$ 100 juta. Sementara itu, pemain-pemain baru seperti Vessel, Go90, Watchable, dan Vimeo, semuanya makin lapar dengan konten. Yang membuat persaingan tambah memanas adalah YouTubers sekarang tak selalu menjadi YouTubers sejati. Sekarang orang bisa memasang konten video di Facebook, Twitter dan Snapchat.

Ini jelas tantangan berat buat Susan. Akan tetapi, publik tak semata melihat kinerja bisnisnya. Mengapa?


MOM OF GOGGLE

Yang menarik perhatian publik adalah sosok Susan yang tak berubah, baik sebagai ibu, wanita karir, maupun eksekutif puncak. Dia tetap sosok yang lantang menyuarakan keseimbangan hidup antara peran sebagai ibu, istri dan karyawan sebuah perusahaan. Opininya yang ditulis beberapa waktu lalu di Wall Street Journal menegaskan hal tersebut. Dia kembali menegaskan tentang pentingnya paid maternity leave. Dia meyakini bahwa perusahaan-perusahaan AS bisa berkembang jika mendukung family benefit yang kian diperluas seperti paid maternity leave. “Karena kaum Ibu punya banyak waktu untuk membentuk ikatan dengan anaknya, dan begitu kembali ke kantornya, mereka merasa percaya diri dan siap,” ungkapnya. Kebijakan ini, dia melanjutkan, sangat terbukti di Google. Setelah kebijakan paid maternity leave diberlakukan pada tahun 2007, tingkat kaum perempuan yang keluar dari Google turun 50%. Ini menguntungkan perusahaan karena bisa menahan keahlian serta pengalaman yang ada pada diri perempuan-perempuan yang melahirkan itu.

Jangan heran dan kaget bila suara keras semacam itu terlontar darinya. Susan memang eksekutif papan atas yang menekankan pentingnya keseimbangan antara keluarga serta karir. Dan itu telah tercermin sejak lama. Bahkan dari hal yang tampak sepele. Apa itu?

Tugas pertama yang ditugaskan Larry adalah mencari kantor buat Google begitu mereka memutuskan akan keluar dari garasi. Dan Susan menemukan tempat di Mountain View dengan satu alasan kunci: ada dapurnya!

Bagi orang lain, itu mungkin sepele. Namun buatnya, ini hal penting. Dan kelak, buat Google, ini adalah bibit untuk lahirnya sebuah perusahaan yang ramah terhadap pekerjanya, terutama kaum ibu. Ya, Google adalah tempat kerja yang ramah untuk working parents. Di sini, kaum ibu punya tempat parkir khusus, punya hak 18 bulan paid parental leave, lalu ruang menyusui, juga ruang laundry. Tak heran, berkali-kali Google mendapat apresiasi sebagai tempat bekerja yang paling nyaman.

Susan berempati besar pada perempuan hamil. Maklum, seperti disinggung di atas, saat masuk Google, dia sedang hamil 4 bulan. Dan karena dia bisa membuktikan bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tak menghambat karirnya, dia pun sangat aktif mendorong work life balance. Dia sepenuhnya percaya bahwa punya anak membuatnya justru lebih baik dalam pekerjaannya. Sebaliknya, pekerjaannya membuat dirinya jadi ibu yang lebih baik. “Menjadi ibu dan wanita karir membuat saya mendapatkan perspektif penting, baik sebagai ibu maupun di tempat kerja,” katanya.

Ucapan ini jelas bukan isapan jempol. Banyak orang berasumsi istri Dennis Troper ini akan keluar dari karir begitu melahirkan anak kedua. Nyatanya dia meniti karir hingga puncak. Bahkan, satu demi satu anaknya lahir hingga berjumlah 5 orang!

“Saya bergabung Google ketika hamil anak kedua. Jadi, anakku sudah terasosiasi dengan Google. Kemudian saya bekerja dengan tim menciptakan AdSense setelah cuti melahirkan. Anakku yang ketiga berasosiasi dengan YouTube. Sementara yang keempat dengan DoubleClick,” katanya. Tak heran, dia sering menyebut dirinya “Mom of Google”. Oh ya, karena bergabung saat hamil, dialah karyawan Google pertama yang punya anak. Dan setelah itu, dia mendesain in-house daycare center sebagai dedikasi buat kaum ibu bekerja.

Sebagai CEO wanita di industri teknologi yang didominasi kaum Adam, tak ayal, kesuksesan karir sebaga ibu dan perempuan bekerja telah membuatnya menjadi figur yang unik. Ibu 5 orang anak ini adalah orang yang mematahkan anggapan bahwa seorang perempuan tak bisa menyeimbangkan aspek parenthood dan menjadi eksekutif puncak.

Susan bersama suami


KESEIMBANGAN PERAN

Tentu saja ini menuntut kedisplinan tingkat tinggi. Di tengah kesibukannya, Susan tetap menyediakan waktu untuk keluarga. Saat jam 06.00-09.00 pagi, dedikasinya dicurahkan untuk keluarga. Dan dia berusaha berada di rumah antara 18.00-21.00. Fokus menjadi kuncinya.

Tapi Susan jelas bukan malaikat. Awalnya tidaklah mudah untuk menerapkan itu. Dia mengakui mengecek email setelah kelima anaknya tidur, atau mengetik SMS dengan anak-anaknya saat di tempat kerja. Karena itu hal yang sulit, akhirnya dia memutuskan akan lebih baik untuk tetap memisahkah kehidupan pekerjaan dan rumah. “Di pagi hari, saya fokus menyiapkan anak pergi sekolah. Ini adalah proyek besar. Tapi begitu mereka pergi, saya pun berangkat kerja. Dan begitu saya di tempat kerja, saya fokus dengan pekerjaan,” katanya.

Bertahun-tahun menjalani kehidupan seperti itu, akhirnya Susan sepenuhnya percaya kehidupan di rumah yang baik sangat penting bagi kesuksesan di tempat kerja. Karena itulah dia pun ingin semua orang tua bisa mengurus anaknya seraya tetap bersinar di tempat kerja. “Saya sangat terbuka dengan tim tentang jam kerja saya sehingga mereka bisa melakukan hal yang sama, merasa oke untuk pulang ke rumah dan menikmati makan malam bersama keluarganya,” katanya.

Yang pasti, “Menjadi ibu memberikan perasaan yang mendalam tentang tujuan hidup, lebih banyak rasa sayang, dan kemampuan yang lebih baik untuk memprioritaskan dan mewujudkan sesuatu secara lebih efisien.”

“Kalau Susan ngomong (tentang karir dan keluarga), orang akan mendengarkan,” komentar Jennifer Owens, editorial director majalah Working Mother. Jennifer juga menceritakan bahwa kehadiran Susan di dunia teknologi menjadikannya contoh yang baik. “Karena dia menggunakan mantel seorang ibu bekerja yang bangga pada dirinya, sehingga kaum perempuan bisa melihat peluang mereka untuk maju,” ujarnya.

Kini lewat 2 tahun memimpin YouTube, sikapnya di Google yang menekankan keseimbangan peran sebagai orang tua dan karyawan, tak berbeda. “Di YouTube, ada peluang buat saya untuk menolong wanita lain,” katanya.

Seperti disinggung sebelumnya, tantangan berat kini dihadapi YouTube. Selama tahun 2015, orang menyebut masa-masa yang sibuk di YouTube. Sejauh ini, sebagai leader, Susan sudah berupaya meluncurkan sejumlah strategi agar situs ini tetap berkibar. Diantaranya, mengelola artis YouTube dan fans dalam komunitas YouTube. Dia juga mendorong agar para kreator membuat konten 3-D buat YouTube. Pendek kata, segala hal kreatif diluncurkan agar YouTube tetap menjadi market leader.

Hasilnya, orang-orang di dunia memang masih lebih banyak menonton video online di YouTube ketimbang situs lain. Akan tetapi, kenyataan ini tetap mengundang skeptisisme. “Munculnya video di beragam platform membuat kita tak tahu apa yang akan terjadi kemudian,” ungkap Brad Hunstable, CEO Ustream memberi catatan. Itu artinya, tantangan berat sungguh menghadang YouTube.

Menariknya, di tengah tantangan berat ini, Susan tetaplah eksekutif yang ingin keseimbangan. Di YouTube, dia juga aktif mendorong timnya untuk menyeimbangkan antara rumah tangga dan karir. Bagaimanapun kerasnya tantangan yang tengah dihadapi YouTube, dia tetap ingin karyawannya, terutama kaum ibu, agar bisa mengurus anak dan suami dengan baik. Pulang lebih cepat agar bisa makan malam dengan keluarga, bukanlah barang mewah di YouTube. Kuncinya, adalah menjalankan motto berikut: work smart, get things done, no-nonse, and move fast.

Sikap ini yang hingga sekarang mengundang pujian orang. Kepeduliannya pada kaumnya inilah yang membuatnya tampak kian hebat. ***