Merasa sang ayah lebih memihak saudara
laki-lakinya, dia berbisnis di luar keluarga dan membuktikan kemampuannya.
Kini, seiring kemelut yang melanda keluarga besarnya, orang pun berpaling
padanya.
KELUARGA Murdoch memang tak pernah sepi berita.
Namun, liputan Ken Auleta di New Yorker (10 Desember 2012) menampilkan
sisi lain dari sekedar kehebohan yang biasanya meliputi keluarga ini, terutama sang
kepala keluarga yang juga seorang baron industri media, Keith Rupert Murdoch.
Di tengah gonjang-ganjing sebagai buntut dari skandal penyadapan telepon yang
dilakukan awak News of the World, muncul sosok wanita yang diprediksi
akan menjadi kekuatan baru keluarga taipan Australia ini. Dia adalah Elisabeth
Murdoch.
Kini, Elisabeth disebut-sebut menjadi pewaris
terkuat sang ayah setelah adiknya, James Murdoch
mundur dari posisi Chairman dan CEO News Corp. akibat
skandal penyadapan telepon. Setelah James pindah ke New York, menjabat Deputi
COO News Corp., publik pun menyoroti Elisabeth sekaligus mencari tahu bagaimana
sepak terjangnya. Sebab, sudah lama dua putra Rupert, Lachlan Murdoch (lahir
tahun 1971) dan James Murdoch (1972) digadang-gadang menjadi penerus kerajaan,
tapi keduanya mundur. Jadi, siapa sebenarnya Elisabeth Murdoch?
Berambut
pirang dengan bahu lebar, raut wajah Elisabeth – biasa disapa Liz –tajam,
menurun dari ibunya, Anna. Liz lahir 22 Agustus 1968 di Sydney, Australia,
tempat di mana ayahnya dibesarkan dan membangun kerajaan media. Tanah Negeri
Kangguru ini tak selamanya dia jejak. Seiring langkah ekspansi Rupert, Liz beserta
ibu dan adik-adiknya, Lachlan dan James kemudian ke Inggris di mana ayahnya menancapkan
kukunya dengan membeli News of the World dan Sun, yang kemudian
disusul Times dan Sunday Times.
Namun
di Inggris pun Liz tak lama menetap. Ketika usianya menginjak 5 tahun, keluarga
Murdoch pindah ke New York, di mana Rupert membeli Express-News yang kemudian
disusul pengakusisian New York Post.
New
York menjadi kota Liz menikmati hari-harinya. Dan sebagai putri taipan media, dia yang sudah terbiasa melihat
kesibukan sang ayah, diam-diam menaruh minat untuk bergabung dengan kerajaan
Murdoch. Minat yang disambut Rupert dengan tangan terbuka. Terbukti, ketika
lulus tahun 1990 dari Vassar College, Liz segera masuk bisnis ayahnya. Tapi
Rupert tak menempatkannya di New York atau Inggris. Liz dipindahkannya ke
Australia untuk belajar seputar pertelevisian di Channel Nine. Menonton
televisi adalah kegemarannya sejak kecil. Sementara ayahnya sibuk, Liz lebih
banyak bergaul dengan layar kaca, menonton film kegemarannya seperti “I Love
Lucy”, “The Brady Bunch”, dan “The Partridge Family”.
Pindah
ke Australia membawa banyak berkah bagi Liz. Selain memperdalam ilmu
pertelevisian, di sini dia juga bertemu calon suaminya yang lebih muda dua
tahun, Elkin Pianim yang keturunan Ghana, Afrika. Melihat potensi anaknya, setelah
dua tahun di Australia, Rupert menempatkannya bergabung dengan News Corp. Liz
ditugaskannya ke Los Angeles bekerja di departemen pemrograman grup Fox TV,
yang menjadi tulang punggung jaringan Fox. Sang pacar, Pianim ikut ke Los
Angeles. Pianim menjadi associate di corporate finance department
Rothschild Inc., sebuah bank investasi di New York.
Jaringan
Fox menjadi tempat Liz menempa diri. Untuk mengasah kemampuan sang putri,
Rupert pun mengangkatnya menjadi direktur program stasiun Fox di Salt Lake
City. Tak cukup dengan itu, setelah menikah dengan Pianim, September 1993, dia
pun bergabung di tim pemrograman FX, kanal Fox yang baru.
DARAH ENTREPRENEUR
Sebagai
putri taipan yang terkenal rakus melahap peluang bisnis, darah entrepreneur
rupanya mengalir deras dalam tubuh Liz. Setelah setahun di FX, dia menunjukkan
minatnya di dunia kewirausahaan. “Rasanya saya ingin menjadi bos sendiri,” katanya
pada rekan-rekan terdekatnya.
Rupert
tak punya pilihan lain. Dengan uang pinjaman bank yang dijamin ayahnya, Liz dan
Pianim membeli 2 stasiun kecil yang terafiliasi dengan NBC di Kalifornia. Dan rupanya
bakat Rupert dalam bisnis benar-benar menitis. Dengan cepat Liz meningkatkan
penjualan lewat pengembangan konten berita lokal, menggenjot penjualan,
mengurangi jumlah staf.
Setahun
kemudian, Liz dan Pianim menjual stasiun televisinya, meraup dana segar US$ 12
juta. Ingin istirahat sejenak, Liz pun memutuskan menimba ilmu, sekolah di Stanford
Business School. Sewaktu dia menceritakan ini pada ayahnya, Rupert nyerocos,
“Kamu tak perlu gelar MBA! Saya akan kasih kamu gelar itu. Yang kamu perlukan
adalah pergi ke London, kerja untuk BskyB dan melihat hal-hal hebat dunia
televisi digital,” kata Rupert ketus. Maka pergilah Liz ke tempat masa kecilnya
di London yang sudah jauh berubah dibanding dekade 1970-an.
Di
London, bosnya adalah Sam Chisholm, CEO BSkyB. Oleh Sam, Liz diberi tanggung
jawab bidang pemasaran dan akuisisi program. Tapi dengan cepat putri Rupert ini
merasa tak ada pekerjaan yang cocok buatnya. Atmosfernya, menurutnya sangat
kelelaki-lakian. Akhirnya, lambannya gerak di British Sky Broadcasting (BskyB) pun
mengetuk kesadaran Liz: apa yang bisa diperbuat untuk melangkah maju?
Saat
itu adalah masa-masa yang tak menyenangkan buat Liz. Sementara dia merasa
karirnya mentok, kedua adik laki-lakinya justru tengah menapak karir yang lebih
besar dalam kerajaan keluarga. Lachlan tumbuh dari penerbit Australian
menjadi penerbit New York Post, dan menjadi deputi COO News Corp. Lalu,
James, setelah drop out dari Harvard, menjalankan operasi Internet News
Corp. dan dipromosikan menjadi CEO & Chairman STAR TV, televisi satelit
yang berpusat di Asia.
Salah
seorang yang dekat dengan Rupert menggambarkan Elisabeth sebagai “Terhalangi oleh
saudara laki-lakinya. Dan Rupert juga bukan orang yang tertarik dengan
eksekutif wanita.” Ucapan ini mungkin benar adanya. Rupert memang cenderung
mengangkat anak laki-lakinya sebagai calon pewaris tahta kerajaannya.
Tak
betah dengan keadaan yang melingkupinya, awal 1997, Liz ingin segera meninggalkan
BskyB. Namun dia mengurungkan niatnya. Dia tak mau dianggap gagal dalam bisnis
keluarga.
Keinginannya itu baru terpenuhi setelah dia bercerai dari
Pianim, menikahi Matthew Freud. Maret 1997, Elisabeth berjumpa Freud saat ada
pertemuan kalangan bisnis di London. Meski masing-masing sudah punya pasangan,
pertemuan itu mengesankan mereka berdua. Liz dan Freud langsung cocok secara
intelektual. “Saya suka pikiran-pikirannya. Saya menyenangi intensitasnya. Kami
mirip satu sama lain. Kami sama-sama punya antusiasme bicara tentang ide dan
orang,” kata Liz tentang pria kelahiran 2 November 1963 itu. Pertemuan ini
menumbuhkan benih-benih cinta. Mereka pun menikah Agustus 2001.
Tak
lama setelah menikah, dengan dorongan Freud, Liz akhirnya meninggalkan BSkyB.
Dia mencoba petualangannya kembali sebagai entrepreneur. Sebuah
perusahaan stasiun televisi independen dikibarkannya dengan bendera “Shine”.
“Dia merasa perlu tahu sebagus apa dirinya. Liz pun tahu orang akan ragu kalau
dia sukses di Sky, itu tentunya karena Rupert,” kata Freud.
Sementara
Liz mulai membangun kerajaan pribadinya, dia hanya bisa melihat dari jauh
bagaimana Rupert mengatur kerajaan keluarganya, yang rupanya terpecah. Lachlan, semula diduga akan menjadi
pengganti sang ayah. Namun tahun 2005, dia meninggalkan perusahaan karena
merasa Rupert masih melakukan micromanagement, mengurusi hal-hal detil yang jadi kewenangan direksi. Lachlan
pindah ke Australia, dan meski tetap di dewan direksi News Corp., dia menyibukkan diri dengan investasi pribadinya di
dunia media.
James,
si bungsu, pun mengganti
sang kakak. Namun ketidakpuasan segera menyergapnya. James selalu didera rasa cemburu. Dia merasa bahwa Lachlan adalah favorit ayahnya.
Hubungan ayah dan anak pun bisa dibilang tidak terlalu kondusif.
Liz
menyaksikan itu dari jauh. Di perusahaannya, dia ingin membuktikan meski wanita
dia mampu membangun bisnisnya. Dan itu benar-benar dilakukannya. Shine
dibawanya berlari cepat. Program demi program dihasilkannya, dijualnya ke
jaringan televisi. Di Inggris, Shine menjual lusinan drama dan reality show
ke BBC, juga ke 4 jaringan komersial: Sky, Channel 4, Channel 5 dan ITV.
Kiprahnya
mengundang kagum dan menarik minat sejumlah perusahaan besar. Salah satunya,
Sony. “Dia melakukan pekerjaan hebat di bidang televisi,” puji Michael Lynton,
CEO Sony Entertainment Group.
Awalnya,
Liz ingin mempertahankan independensinya. Dia ingin tetap mandiri. Namun
keinginannya berkespansi lebih luas membuatnya bersikap realistis: dia perlu
mitra disertai topangan dana serta jaringan. Tahun 2005, Shine membuat
perjanjian dengan BSkyB; stasiun televisi ini mendapat 5% saham dan setuju
menyiarkan pertunjukan Shine. Dengan Sony, Liz merelakan 20% saham Shine senilai
£5 juta dan menjadi mitra distribusi.
Mendapatkan
dana dari penjualan saham membuat Liz lebih leluasa bergerak. Tapi berbeda
dengan ayahnya yang tertarik masuk televisi murni karena uang, baginya yang
memang senang televisi sejak kecil, stasiun televisi adalah tempat untuk
membuat program yang menarik hati pemirsa. “Pendekatan saya untuk konten,
apapun genre programnya, adalah harus datang dari keinginan menghubungkan diri
dengan pemirsa,” katanya.
Dengan
uang di tangan, Liz melebarkan sayap globalnya. Dia benar-benar mewarisi ambisi
ayahnya. Pada tahun 2008, untuk mentransformasi Shine menjadi perusahaan
global, Liz mengakuisisi Reveille, perusahaan Amerika yang didirikan Ben
Silverman, mantan Chairman NBC Entertainment. Shine juga mengakuisisi
sejumlah rumah produksi di Inggris dan Eropa yang membuat Shine punya kantor di
10 negara dan menjual lebih dari 100 program.
Cengkraman
yang kian luas secara infrastruktur ini diiringi inovasi produk yang tiada
henti. Shine Group telah memproduksi 42 scripted shows yang bervariasi,
mulai dari “The Bridge” (drama politik) sampai “Plus One”. Di
luar itu, Shine menghasilkan 154 non-scripted reality show, termasuk “Too
Hot for Love”, “Celebrity MasterChef”, “Junior MasterChef”, “MasterChef
All Stars” dan “The Biggest Loser”.
Program-program
itu laris manis di pasar. Tak heran, Jonathan Miller, mantan CEO Nickelodeon
U.K. dan eksekutif senior News Corp. bahkan punya penjelasan bagaimana Liz bisa
membangun Shine begitu cepat. Menurutnya, program “MasterChef” dan “The
Biggest Loser” adalah program yang hebat. Mengapa? Karena keduanya dapat
dibuat (diwaralabakan) dan diperbarui di setiap negara. “Itu benar-benar bisnis
model yang hebat,” katanya penuh pujian.
Kiprah
Liz rupanya terus diamati ayahnya. Terbukti, April 2011, News Corp.
mengakuisisi Shine beserta 800 karyawannya senilai US$ 670 juta. Liz mundur
sebagai CEO tapi bertindak sebagai chairwoman buat Shine – dia tak gaji
untuk posisi ini.
Saat
pembelian ini terjadi, Freud menentang pembelian ini. “Saya sangat bangga
dengan istri saya. Dia bekerja sangat keras untuk menjadi Liz Murdoch, sebagai
lawannya Rupert Murdoch,” katanya. Antara Rupert dan menantunya ini memang
kurang akur. Mereka jarang bicara satu sama lain.
Setelah
pembelian ini, berita pun simpang-siur bersliweran. Beberapa pemegang
saham News Corp. menuduh ada nepotisme di balik pembelian ini. Mereka menuduh
Rupert memperlakukan perusahaan terbuka seperti toko permen milik keluarga. Liz
sendiri menyatakan harga itu adalah hasil validasi yang fair. Toh koran
London, Evening Standard dengan sinis memunculkan headline
berjudul provokatif: “MURDOCH’S DAUGHTER TO GET £370M FROM DADDY”.
Beberapa hari kemudian, dalam acara bersulang untuk film “The King’s Speech”,
Freud yang temperamennya dikenal tak stabil, mendekati editor Evening
Standard, Geordie Greig dan melabraknya. “Berani-beraninya kamu menghina
istriku,” katanya seraya menumpahkan Martini ke wajah Greig.
MERETAKKAN KELUARGA
Insiden
ini tak berpanjang lama. Sebabnya, Juli 2011, skandal penyadapan telepon News
of the World meledak, menyita seluruh perhatian publik Inggris dan dunia,
dan tentu saja keluarga besar Murdoch.
Skandal penyadapan telah membuat Rupert kerepotan. Dia
bolak-balik
ke Inggris, dari Sun Valley, Idaho, menyelesaikan urusan ini. Dia
membela anaknya, James Murdoch dan Rebekah Brooks, CEO News Internasional, yang
menyupervisi News of the World.
Dalam
posisi yang tidak terlibat, Liz mengeluarkan komentarnya yang meretakkan
keluarga besarnya. Kepada rekan dekatnya dia menyalahkan kekeraskepalaan
James sehingga membuat repot ayahnya. Dalam percakapan telepon dengan ayahnya
dan saudara-saudaranya, Liz mendesak James dan Brooks untuk
mundur. Dia juga meminta keluarga Murdoch melakukan investigasi internal serta
bekerjasama dengan kepolisian. Dalam beberapa hari, Murdoch menutup News of the World, sementara Brooks mengundurkan diri. James
lalu mundur,
pindah ke New York, menjabat Deputy COO News Corp.
Penegasan
sikap Liz diulanginya kembali saat bicara di acara
Edinburgh International Television Festival, Agustus 2011. Dia bicara tentang
pentingnya “kekuatan karakter” dan secara terbuka mengritik saudaranya, James
serta News Corp. James pun merasa dikhianati. Antara kakak beradik ini juga tak akur. James jarang bicara dengan kakaknya, Liz.
Tak
ayal, pidatonya di Edinburgh International Television menimbulkan spekulasi tentang masa
depan dinasti Murdoch. Beberapa penasihat Rupert mempercayai bahwa suami Liz, Freud berada di balik gerak istrinya untuk merebut
posisi sebagai penerus Rupert. Isu pun menyeruak bahwa Rupert ingin anak
perempuannya itu menceraikan suaminya.
Freud dikenal
luas sering mengutarakan keyakinannya bahwa
istrinya terhalang menjadi penguasa bisnis keluarga Murdoch karena persoalan gender. Seorang
kenalan keluarga ini membandingkan Liz dengan Cordelia, putri King Lear
yang dihukum sang ayah, tapi sebenarnya
paling mencintainya dibanding saudara-saudaranya.
Skandal
News of the World memang dahsyat. Setelah skandal yang memalukan itu, selain
menutup News of the World, Rupert pun menarik tawarannya membeli 61%
saham di BSkyB. Sementara itu James turun dari posisi Chairman BSkyB.
Setelah
investigasi panjang, anggota komite parlemen merilis laporan setebal 121
halaman yang menyimpulkan bahwa Rupert Murdoch sebagai “not a fit person”
untuk menjalankan perusahaan internasional. Para politisi yang dulunya
menikmati kejayaan Rupert dan mendukung ekspansinya di Inggris kini menghindar
dan tak mau difoto dekat Rupert.
Jelas,
bagi Rupert, kerajaan bisnisnya di Inggris semakin kurang menarik. Secara
terbuka, dia juga menyatakan tak lagi punya pandangan bahwa Inggris Raya
menjadi tempat berinvestasi. Sementara itu, di tengah mandeknya sirkulasi media
cetak, berbagai spekulasi merebak menyatakan Rupert akan menutup Times
dan Sunday Times yang menurut sejumlah sumber diyakini tidak
menghasilkan keuntungan.
Tapi
yang paling menarik, selain berefek besar, pada gilirannya skandal News of
the World juga memunculkan spekulasi lain: akankan Liz orang yang tepat
untuk berada di tampuk kekuasaan keluarganya?
Pada
tahun 2003, dalam interview di Times, rekan senior Rupert menyatakan,
“Rupert tak pernah bicara anak gadisnya. Dia selalu bicara anak-anak
lelakinya,” katanya tentang taipan yang kekayaaannya di tahun 2012 sebesar US$
8,4 miliar.
Itu
memang benar adanya. Selama bertahun-tahun, Liz berada di belakang adik
laki-lakinya. Tapi kini situasi sudah berbeda. Lachlan dan James sudah mundur.
Banyak
pihak meyakini, Liz yang meninggalkan News Corp. karena merasa perusahaan lebih
bersahabat kepada saudara-saudara lelakinya ketimbang dirinya yang perempuan,
pada akhirnya akan pulang ke bisnis keluarga. Namun, untuk sementara waktu, Liz
masih ngemong Shine yang kini dimiliki ayahnya. Dia juga punya
ketertarikan lain: video online. Dia sangat yakin bisnis ini akan berpengaruh
besar. Menurutnya, baru YouTube, Amazon dan Netflix yang berinvestasi besar di sisi
konten. Dalam pandangannya, wilayah ini merupakan peluang untuk tumbuh yang
luar biasa bagi Shine.
Untuk
mendukung ambisinya itu, Liz telah mengunjungi Silicon Valley, mencari
perusahaan digital. Pada Januari 2012, Shine mengakuisisi ChannelFlip,
perusahaan yang memproduksi konten video Internet. Sebelumnya dia juga telah
bernegosiasi untuk membeli Bossa Studios, perusahaan social-gaming. “Dia
benar-benar memahami medium baru ini,” puji Chairman Google, Eric Schmidt.
Lantas, bagaimana dengan peluang menjadi ratu di keluarga Murdoch?
“Anda
pastinya ingin ayah Anda bangga dan terkesan. Tapi saya tidak lagi, karena saya
merasa setiap saya bekerja untuk perusahaannya, dia tidak terkesan,” ujarnya
dengan getir.
Untuk
sementara, tanda-tanda Liz sebagai orang nomor satu memang belum terlihat
jelas. Namun, dengan prestasinya yang telah ditempa di luar keluarga, bukan
mustahil dia akan menjadi pengganti sang ayah yang sebenarnya lebih menyukai
James dan Lachlan sebagai putra mahkota. ***