Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, January 20, 2013

Menanti Ratu Keluarga Murdoch



Merasa sang ayah lebih memihak saudara laki-lakinya, dia berbisnis di luar keluarga dan membuktikan kemampuannya. Kini, seiring kemelut yang melanda keluarga besarnya, orang pun berpaling padanya.


KELUARGA Murdoch memang tak pernah sepi berita. Namun, liputan Ken Auleta di New Yorker (10 Desember 2012) menampilkan sisi lain dari sekedar kehebohan yang biasanya meliputi keluarga ini, terutama sang kepala keluarga yang juga seorang baron industri media, Keith Rupert Murdoch. Di tengah gonjang-ganjing sebagai buntut dari skandal penyadapan telepon yang dilakukan awak News of the World, muncul sosok wanita yang diprediksi akan menjadi kekuatan baru keluarga taipan Australia ini. Dia adalah Elisabeth Murdoch.

Kini, Elisabeth disebut-sebut menjadi pewaris terkuat sang ayah setelah adiknya, James Murdoch mundur dari posisi Chairman dan CEO News Corp. akibat skandal penyadapan telepon. Setelah James pindah ke New York, menjabat Deputi COO News Corp., publik pun menyoroti Elisabeth sekaligus mencari tahu bagaimana sepak terjangnya. Sebab, sudah lama dua putra Rupert, Lachlan Murdoch (lahir tahun 1971) dan James Murdoch (1972) digadang-gadang menjadi penerus kerajaan, tapi keduanya mundur. Jadi, siapa sebenarnya Elisabeth Murdoch?


Berambut pirang dengan bahu lebar, raut wajah Elisabeth – biasa disapa Liz –tajam, menurun dari ibunya, Anna. Liz lahir 22 Agustus 1968 di Sydney, Australia, tempat di mana ayahnya dibesarkan dan membangun kerajaan media. Tanah Negeri Kangguru ini tak selamanya dia jejak. Seiring langkah ekspansi Rupert, Liz beserta ibu dan adik-adiknya, Lachlan dan James kemudian ke Inggris di mana ayahnya menancapkan kukunya dengan membeli News of the World dan Sun, yang kemudian disusul Times dan Sunday Times.

Namun di Inggris pun Liz tak lama menetap. Ketika usianya menginjak 5 tahun, keluarga Murdoch pindah ke New York, di mana Rupert membeli Express-News yang kemudian disusul pengakusisian New York Post.

New York menjadi kota Liz menikmati hari-harinya. Dan sebagai putri  taipan media, dia yang sudah terbiasa melihat kesibukan sang ayah, diam-diam menaruh minat untuk bergabung dengan kerajaan Murdoch. Minat yang disambut Rupert dengan tangan terbuka. Terbukti, ketika lulus tahun 1990 dari Vassar College, Liz segera masuk bisnis ayahnya. Tapi Rupert tak menempatkannya di New York atau Inggris. Liz dipindahkannya ke Australia untuk belajar seputar pertelevisian di Channel Nine. Menonton televisi adalah kegemarannya sejak kecil. Sementara ayahnya sibuk, Liz lebih banyak bergaul dengan layar kaca, menonton film kegemarannya seperti “I Love Lucy”, “The Brady Bunch”, dan “The Partridge Family”.

Pindah ke Australia membawa banyak berkah bagi Liz. Selain memperdalam ilmu pertelevisian, di sini dia juga bertemu calon suaminya yang lebih muda dua tahun, Elkin Pianim yang keturunan Ghana, Afrika. Melihat potensi anaknya, setelah dua tahun di Australia, Rupert menempatkannya bergabung dengan News Corp. Liz ditugaskannya ke Los Angeles bekerja di departemen pemrograman grup Fox TV, yang menjadi tulang punggung jaringan Fox. Sang pacar, Pianim ikut ke Los Angeles. Pianim menjadi associate di corporate finance department Rothschild Inc., sebuah bank investasi di New York.

Jaringan Fox menjadi tempat Liz menempa diri. Untuk mengasah kemampuan sang putri, Rupert pun mengangkatnya menjadi direktur program stasiun Fox di Salt Lake City. Tak cukup dengan itu, setelah menikah dengan Pianim, September 1993, dia pun bergabung di tim pemrograman FX, kanal Fox yang baru.

DARAH ENTREPRENEUR
Sebagai putri taipan yang terkenal rakus melahap peluang bisnis, darah entrepreneur rupanya mengalir deras dalam tubuh Liz. Setelah setahun di FX, dia menunjukkan minatnya di dunia kewirausahaan. “Rasanya saya ingin menjadi bos sendiri,” katanya pada rekan-rekan terdekatnya.

Rupert tak punya pilihan lain. Dengan uang pinjaman bank yang dijamin ayahnya, Liz dan Pianim membeli 2 stasiun kecil yang terafiliasi dengan NBC di Kalifornia. Dan rupanya bakat Rupert dalam bisnis benar-benar menitis. Dengan cepat Liz meningkatkan penjualan lewat pengembangan konten berita lokal, menggenjot penjualan, mengurangi jumlah staf.  

Setahun kemudian, Liz dan Pianim menjual stasiun televisinya, meraup dana segar US$ 12 juta. Ingin istirahat sejenak, Liz pun memutuskan menimba ilmu, sekolah di Stanford Business School. Sewaktu dia menceritakan ini pada ayahnya, Rupert nyerocos, “Kamu tak perlu gelar MBA! Saya akan kasih kamu gelar itu. Yang kamu perlukan adalah pergi ke London, kerja untuk BskyB dan melihat hal-hal hebat dunia televisi digital,” kata Rupert ketus. Maka pergilah Liz ke tempat masa kecilnya di London yang sudah jauh berubah dibanding dekade 1970-an.

Di London, bosnya adalah Sam Chisholm, CEO BSkyB. Oleh Sam, Liz diberi tanggung jawab bidang pemasaran dan akuisisi program. Tapi dengan cepat putri Rupert ini merasa tak ada pekerjaan yang cocok buatnya. Atmosfernya, menurutnya sangat kelelaki-lakian. Akhirnya, lambannya gerak di British Sky Broadcasting (BskyB) pun mengetuk kesadaran Liz: apa yang bisa diperbuat untuk melangkah maju?

Saat itu adalah masa-masa yang tak menyenangkan buat Liz. Sementara dia merasa karirnya mentok, kedua adik laki-lakinya justru tengah menapak karir yang lebih besar dalam kerajaan keluarga. Lachlan tumbuh dari penerbit Australian menjadi penerbit New York Post, dan menjadi deputi COO News Corp. Lalu, James, setelah drop out dari Harvard, menjalankan operasi Internet News Corp. dan dipromosikan menjadi CEO & Chairman STAR TV, televisi satelit yang berpusat di Asia.

Salah seorang yang dekat dengan Rupert menggambarkan Elisabeth sebagai “Terhalangi oleh saudara laki-lakinya. Dan Rupert juga bukan orang yang tertarik dengan eksekutif wanita.” Ucapan ini mungkin benar adanya. Rupert memang cenderung mengangkat anak laki-lakinya sebagai calon pewaris tahta kerajaannya.

Tak betah dengan keadaan yang melingkupinya, awal 1997, Liz ingin segera meninggalkan BskyB. Namun dia mengurungkan niatnya. Dia tak mau dianggap gagal dalam bisnis keluarga.

Keinginannya itu baru terpenuhi setelah dia bercerai dari Pianim, menikahi Matthew Freud. Maret 1997, Elisabeth berjumpa Freud saat ada pertemuan kalangan bisnis di London. Meski masing-masing sudah punya pasangan, pertemuan itu mengesankan mereka berdua. Liz dan Freud langsung cocok secara intelektual. “Saya suka pikiran-pikirannya. Saya menyenangi intensitasnya. Kami mirip satu sama lain. Kami sama-sama punya antusiasme bicara tentang ide dan orang,” kata Liz tentang pria kelahiran 2 November 1963 itu. Pertemuan ini menumbuhkan benih-benih cinta. Mereka pun menikah Agustus 2001.

Tak lama setelah menikah, dengan dorongan Freud, Liz akhirnya meninggalkan BSkyB. Dia mencoba petualangannya kembali sebagai entrepreneur. Sebuah perusahaan stasiun televisi independen dikibarkannya dengan bendera “Shine”. “Dia merasa perlu tahu sebagus apa dirinya. Liz pun tahu orang akan ragu kalau dia sukses di Sky, itu tentunya karena Rupert,” kata Freud.

Sementara Liz mulai membangun kerajaan pribadinya, dia hanya bisa melihat dari jauh bagaimana Rupert mengatur kerajaan keluarganya, yang rupanya terpecah. Lachlan, semula diduga akan menjadi pengganti sang ayah. Namun tahun 2005, dia meninggalkan perusahaan karena merasa Rupert masih melakukan micromanagement, mengurusi hal-hal detil yang jadi kewenangan direksi. Lachlan pindah ke Australia, dan meski tetap di dewan direksi News Corp., dia menyibukkan diri dengan investasi pribadinya di dunia media.

James, si bungsu, pun mengganti sang kakak. Namun ketidakpuasan segera menyergapnya. James selalu didera rasa cemburu. Dia merasa bahwa Lachlan adalah favorit ayahnya. Hubungan ayah dan anak pun bisa dibilang tidak terlalu kondusif.

Liz menyaksikan itu dari jauh. Di perusahaannya, dia ingin membuktikan meski wanita dia mampu membangun bisnisnya. Dan itu benar-benar dilakukannya. Shine dibawanya berlari cepat. Program demi program dihasilkannya, dijualnya ke jaringan televisi. Di Inggris, Shine menjual lusinan drama dan reality show ke BBC, juga ke 4 jaringan komersial: Sky, Channel 4, Channel 5 dan ITV.

Kiprahnya mengundang kagum dan menarik minat sejumlah perusahaan besar. Salah satunya, Sony. “Dia melakukan pekerjaan hebat di bidang televisi,” puji Michael Lynton, CEO Sony Entertainment Group.

Awalnya, Liz ingin mempertahankan independensinya. Dia ingin tetap mandiri. Namun keinginannya berkespansi lebih luas membuatnya bersikap realistis: dia perlu mitra disertai topangan dana serta jaringan. Tahun 2005, Shine membuat perjanjian dengan BSkyB; stasiun televisi ini mendapat 5% saham dan setuju menyiarkan pertunjukan Shine. Dengan Sony, Liz merelakan 20% saham Shine senilai £5 juta dan menjadi mitra distribusi.

Mendapatkan dana dari penjualan saham membuat Liz lebih leluasa bergerak. Tapi berbeda dengan ayahnya yang tertarik masuk televisi murni karena uang, baginya yang memang senang televisi sejak kecil, stasiun televisi adalah tempat untuk membuat program yang menarik hati pemirsa. “Pendekatan saya untuk konten, apapun genre programnya, adalah harus datang dari keinginan menghubungkan diri dengan pemirsa,” katanya.

Dengan uang di tangan, Liz melebarkan sayap globalnya. Dia benar-benar mewarisi ambisi ayahnya. Pada tahun 2008, untuk mentransformasi Shine menjadi perusahaan global, Liz mengakuisisi Reveille, perusahaan Amerika yang didirikan Ben Silverman, mantan Chairman NBC Entertainment. Shine juga mengakuisisi sejumlah rumah produksi di Inggris dan Eropa yang membuat Shine punya kantor di 10 negara dan menjual lebih dari 100 program.

Cengkraman yang kian luas secara infrastruktur ini diiringi inovasi produk yang tiada henti. Shine Group telah memproduksi 42 scripted shows yang bervariasi, mulai dari “The Bridge” (drama politik) sampai “Plus One”. Di luar itu, Shine menghasilkan 154 non-scripted reality show, termasuk “Too Hot for Love”, “Celebrity MasterChef”, “Junior MasterChef”, “MasterChef All Stars” dan “The Biggest Loser”.



Program-program itu laris manis di pasar. Tak heran, Jonathan Miller, mantan CEO Nickelodeon U.K. dan eksekutif senior News Corp. bahkan punya penjelasan bagaimana Liz bisa membangun Shine begitu cepat. Menurutnya, program “MasterChef” dan “The Biggest Loser” adalah program yang hebat. Mengapa? Karena keduanya dapat dibuat (diwaralabakan) dan diperbarui di setiap negara. “Itu benar-benar bisnis model yang hebat,” katanya penuh pujian.

Kiprah Liz rupanya terus diamati ayahnya. Terbukti, April 2011, News Corp. mengakuisisi Shine beserta 800 karyawannya senilai US$ 670 juta. Liz mundur sebagai CEO tapi bertindak sebagai chairwoman buat Shine – dia tak gaji untuk posisi ini.

Saat pembelian ini terjadi, Freud menentang pembelian ini. “Saya sangat bangga dengan istri saya. Dia bekerja sangat keras untuk menjadi Liz Murdoch, sebagai lawannya Rupert Murdoch,” katanya. Antara Rupert dan menantunya ini memang kurang akur. Mereka jarang bicara satu sama lain.

Setelah pembelian ini, berita pun simpang-siur bersliweran. Beberapa pemegang saham News Corp. menuduh ada nepotisme di balik pembelian ini. Mereka menuduh Rupert memperlakukan perusahaan terbuka seperti toko permen milik keluarga. Liz sendiri menyatakan harga itu adalah hasil validasi yang fair. Toh koran London, Evening Standard dengan sinis memunculkan headline berjudul provokatif: “MURDOCH’S DAUGHTER TO GET £370M FROM DADDY”. Beberapa hari kemudian, dalam acara bersulang untuk film “The King’s Speech”, Freud yang temperamennya dikenal tak stabil, mendekati editor Evening Standard, Geordie Greig dan melabraknya. “Berani-beraninya kamu menghina istriku,” katanya seraya menumpahkan Martini ke wajah Greig.

MERETAKKAN KELUARGA
Insiden ini tak berpanjang lama. Sebabnya, Juli 2011, skandal penyadapan telepon News of the World meledak, menyita seluruh perhatian publik Inggris dan dunia, dan tentu saja keluarga besar Murdoch.

Skandal penyadapan telah membuat Rupert kerepotan. Dia bolak-balik ke Inggris, dari Sun Valley, Idaho, menyelesaikan urusan ini. Dia membela anaknya, James Murdoch dan Rebekah Brooks, CEO News Internasional, yang menyupervisi News of the World.

Dalam posisi yang tidak terlibat, Liz mengeluarkan komentarnya yang meretakkan keluarga besarnya. Kepada rekan dekatnya dia menyalahkan kekeraskepalaan James sehingga membuat repot ayahnya. Dalam percakapan telepon dengan ayahnya dan saudara-saudaranya, Liz mendesak James dan Brooks untuk mundur. Dia juga meminta keluarga Murdoch melakukan investigasi internal serta bekerjasama dengan kepolisian. Dalam beberapa hari, Murdoch menutup News of the World, sementara Brooks mengundurkan diri. James lalu mundur, pindah ke New York, menjabat Deputy COO News Corp.

Penegasan sikap Liz diulanginya kembali saat bicara di acara Edinburgh International Television Festival, Agustus 2011. Dia bicara tentang pentingnya kekuatan karakter” dan secara terbuka mengritik saudaranya, James serta News Corp. James pun merasa dikhianati. Antara kakak beradik ini juga tak akur. James jarang bicara dengan kakaknya, Liz.

Tak ayal, pidatonya di Edinburgh International Television menimbulkan spekulasi tentang masa depan dinasti Murdoch. Beberapa penasihat Rupert mempercayai bahwa suami Liz, Freud berada di balik gerak istrinya untuk merebut posisi sebagai penerus Rupert. Isu pun menyeruak bahwa Rupert ingin anak perempuannya itu menceraikan suaminya.

Freud dikenal luas sering mengutarakan keyakinannya bahwa istrinya terhalang menjadi penguasa bisnis keluarga Murdoch karena persoalan gender. Seorang kenalan keluarga ini membandingkan Liz dengan Cordelia, putri King Lear yang dihukum sang ayah, tapi sebenarnya paling mencintainya dibanding saudara-saudaranya.

Skandal News of the World memang dahsyat. Setelah skandal yang memalukan itu, selain menutup News of the World, Rupert pun menarik tawarannya membeli 61% saham di BSkyB. Sementara itu James turun dari posisi Chairman BSkyB.

Setelah investigasi panjang, anggota komite parlemen merilis laporan setebal 121 halaman yang menyimpulkan bahwa Rupert Murdoch sebagai “not a fit person” untuk menjalankan perusahaan internasional. Para politisi yang dulunya menikmati kejayaan Rupert dan mendukung ekspansinya di Inggris kini menghindar dan tak mau difoto dekat Rupert.

Jelas, bagi Rupert, kerajaan bisnisnya di Inggris semakin kurang menarik. Secara terbuka, dia juga menyatakan tak lagi punya pandangan bahwa Inggris Raya menjadi tempat berinvestasi. Sementara itu, di tengah mandeknya sirkulasi media cetak, berbagai spekulasi merebak menyatakan Rupert akan menutup Times dan Sunday Times yang menurut sejumlah sumber diyakini tidak menghasilkan keuntungan.

Tapi yang paling menarik, selain berefek besar, pada gilirannya skandal News of the World juga memunculkan spekulasi lain: akankan Liz orang yang tepat untuk berada di tampuk kekuasaan keluarganya?

Pada tahun 2003, dalam interview di Times, rekan senior Rupert menyatakan, “Rupert tak pernah bicara anak gadisnya. Dia selalu bicara anak-anak lelakinya,” katanya tentang taipan yang kekayaaannya di tahun 2012 sebesar US$ 8,4 miliar.

Itu memang benar adanya. Selama bertahun-tahun, Liz berada di belakang adik laki-lakinya. Tapi kini situasi sudah berbeda. Lachlan dan James sudah mundur.

Banyak pihak meyakini, Liz yang meninggalkan News Corp. karena merasa perusahaan lebih bersahabat kepada saudara-saudara lelakinya ketimbang dirinya yang perempuan, pada akhirnya akan pulang ke bisnis keluarga. Namun, untuk sementara waktu, Liz masih ngemong Shine yang kini dimiliki ayahnya. Dia juga punya ketertarikan lain: video online. Dia sangat yakin bisnis ini akan berpengaruh besar. Menurutnya, baru YouTube, Amazon dan Netflix yang berinvestasi besar di sisi konten. Dalam pandangannya, wilayah ini merupakan peluang untuk tumbuh yang luar biasa bagi Shine.

Untuk mendukung ambisinya itu, Liz telah mengunjungi Silicon Valley, mencari perusahaan digital. Pada Januari 2012, Shine mengakuisisi ChannelFlip, perusahaan yang memproduksi konten video Internet. Sebelumnya dia juga telah bernegosiasi untuk membeli Bossa Studios, perusahaan social-gaming. “Dia benar-benar memahami medium baru ini,” puji Chairman Google, Eric Schmidt. Lantas, bagaimana dengan peluang menjadi ratu di keluarga Murdoch?

“Anda pastinya ingin ayah Anda bangga dan terkesan. Tapi saya tidak lagi, karena saya merasa setiap saya bekerja untuk perusahaannya, dia tidak terkesan,” ujarnya dengan getir.

Untuk sementara, tanda-tanda Liz sebagai orang nomor satu memang belum terlihat jelas. Namun, dengan prestasinya yang telah ditempa di luar keluarga, bukan mustahil dia akan menjadi pengganti sang ayah yang sebenarnya lebih menyukai James dan Lachlan sebagai putra mahkota. ***