Come on

Follow me @teguhspambudi

Wednesday, August 25, 2010

Nothing is Impossible

Sejumlah tokoh sanggup bangkit dari keterpurukan. Resep mereka sama: pantang menyerah, berpikir positif, dan punya mindset bahwa impossible is nothing.



KALI ini saya ingin menulis tentang personal turnaround. Ini tak ubahnya corporate turnaround. Bedanya, kali ini adalah pribadi-pribadi yang bisa membalik kondisi terpuruk menjadi bekal untuk sukses. Tulisan ini akan dimuat di SWA, edisi paska lebaran, September 2010. Saya tulis di sini sebagai appetizer saja. Let's read!

***

Dalam urusan personal turnaround, rasanya salah satu yang paling menyentuh adalah kebangkitan seorang Lance Edward Armstrong dari vonis kematian menjadi seorang juara Tour de France yang melegenda. Cerita ini mungkin sudah banyak yang mengetahui, tapi selalu menarik untuk mengingatnya karena spirit yang ada di dalamnya sangat menggugah.

Lance masih ingat peristiwa itu. Kejadian yang bak petir di siang bolong. Bagaimana tidak, pada 2 Oktober 1996, dia menerima kabar “kematian” dari dokter yang menyatakan dirinya positif mengidap kanker testis.

Ini benar-benar kabar kelam bagi seorang pembalap sepeda profesional yang tengah merintis karir menuju puncak. Kabar yang dalam sekejap membalikkan semua kegembiraan lantaran dia baru saja melakukan kontrak senilai US$ 2,5 juta dengan tim balap dari Prancis.

Tapi, dokter mau bilang apa lagi. Testis sang pembalap sudah bengkak parah: sebesar buah jeruk. Diagnosis dokter malah lebih menyeramkan: kanker yang diidap bukan cuma bersarang di testis, tapi sudah menjalar ke paru-paru dan otak. Tak ada jalan lain, Lance harus naik meja operasi dengan catatan yang membuat lemas persendian: persentase sang pasien untuk hidup cuma 50%.

Cuma 50%? Ya. Dan ini pun sebenarnya prosentase yang “dikorupsi”. Hitungan medis yang sesungguhnya, lebih gila lagi. Harapan hidup Lance tinggal 3%.

Tapi, siapa sih yang bisa menandingi Tuhan dalam urusan hidup dan kematian?

Setelah operasi, hari-hari berikutnya adalah hari melintasi etape harapan bercampur kecemasan. Sebagai manusia biasa, Lance terombang ambing antara kekuatan, harapan dan ketakutan. Kadang dia tegar. Kali lain dia luruh seperti rumah kartu tertiup angin.

Namun Lance tabah. Dia jalani kemoterapi seperti seorang pembalap melahap etape demi etape di sebuah perlombaan. Dan baginya, kanker itu memang ibarat sebuah perlombaan yang harus ditaklukkan, bukan ditangisi.

Lance sendiri adalah anak yang sudah kenyang dengan penderitaan. Dalam bukunya, The Survivor’s Story, dia mengisahkan masa kecilnya yang pilu. Hanya dibesarkan oleh ibu, karena sejak usia dua tahun orang tuanya bercerai, Lance tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Sejak kecil, sang ibu, Linda, adalah panutannya. Kelahiran 18 September 1971 ini menyaksikan sendiri bagaimana sang bunda berpindah-pindah pekerjaan demi sesuap nasi, sementara sang ayah genetiknya, Edward Gunderson, baginya tak lebih dari “pendonor DNA-ku”.

Kelak Linda menikah dengan Terry Armstrong. Seperti jatuh ke pelukan singa, Lance bertemu dengan ayah tiri yang keras. Tak terhitung cambuk ayahnya mendarat di tubuh Lance jika alpa melakukan hal-hal kecil seperti merapikan lemari baju. Tapi Lance memang istimewa. Rasa sakit akibat deraan itu membuatnya justru semakin kuat.

Dunia Lance kecil berubah ketika dia mengenal sepeda. Masa kanak-kanaknya yang pedih, seketika bersalin menjadi suka ketika di menginjak pedal dan duduk di atas sadel. Berada di atas pedal, membuatnya sungguh merasakan apa yang selama ini tidak dia dapatkannya: kebebasan dan kemerdekaan.

Dengan sepedanya, Lance bebas mengayuh ke mana saja dia suka. Dia pun menjadi pebalap profesional yang berprestasi, sampai vonis itu mendarat di telinganya, di usianya yang ke 25 tahun.

Kanker membuat fisik Lance melemah. Jangankan bersepeda jauh, untuk mengitari rumahnya pun dia tak mampu. Tapi fisik boleh lemah, spirit tak boleh padam. “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif.” Begitu katanya ketika dia melukiskan kobaran semangat dalam dirinya. Tanpa mengeluh, kemoterapi terus dia jalani. Keinginannya sangat kuat: sembuh total dan kembali berlomba.

Kekuatan Lance menghadapi cobaan tak bisa dilepaskan dari pola asuh Linda. Wanita yang melahirkan Lance di usianya yang ke-17 tahun itu menempa putranya dengan penuh disiplin dan motivasi. Dalam sebuah lomba triathlon, dia pernah mendapati Armstrong berhenti di tengah jalan lantaran kelelahan. Alih-alih menariknya ke pinggir jalan, dia malah memarahinya. "Kamu tidak boleh berhenti meskipun harus berjalan." Lance akhirnya bisa sampai garis finish. Linda yang kemudian bercerai dari Terry karena perselingkuhan, kini menjadi salah seorang motivator terkenal di AS.

Mental yang sudah ditempa Lance membuatnya bertahan melakukan pengobatan. Dan seperti etape demi etape yang dilahap seorang pembalap, Lance akhirnya tiba di garis finis dengan hasil yang sangat positif: dia sembuh total.

Cerita selanjutnya sudah diketahui semua. Setelah sembuh, Lance memutuskan kembali kepada dunia yang telah memberikannya rasa kemerdekaan dan kebebasan: sepeda. Di tengah keraguan, dia pun menjawabnya dengan elegan. Kurun 1999-2005, bersama tim US Postal, berturut-turut dia menjuarai Tour de France, melampaui rekor juara 5 kali yang dipegang Bernard Hinault, Eddy Merckx dan Jacques Anquetil. "Jika Anda meminta saya untuk memilih menang di Tour de France atau dari kanker, saya akan memilih menang dari penyakit itu. Karena itu adalah kemenangan saya sebagai manusia, pria, suami, anak, dan ayah," kata Lance mengomentarai perjalanan hidupnya.

From zero to hero!

Kemampuan membalik keterpurukan menjadi modal untuk sukses adalah ciri orang-orang hebat. Bergeser ke Spanyol, Anda pasti ingat kisah Julio Iglesias. Putra Dr. Julio Iglesias Puga dan Maria del Rosario ini mulanya adalah seorang pemain sepakbola. Dia sempat menjadi kiper salah satu tim Real Madrid, tim yang dinobatkan FIFA sebagai klub Abad 20.

Kecelakaan mobil membuat kelahiran 23 September 1943 ini mengubur cita-cita menjadi pemain profesional. Bagaimana tidak, tiga tahun dalam masa perawatan, sang dokter berpikir mahasiswa sekolah hukum di Madrid ini tak akan pernah bisa berjalan lagi.

Tapi jalan hidup memang sering berkata lain. Seraya merawat kaki dan dalam masa pemulihan, Julio mulai bermain gitar dan bernyanyi. Dan ketika sudah sembuh, dia melanjutkan studi di Ramsgate, kemudian di Bell Educational Trust Language School Cambridge.

Setelah itu dia menjadi penyanyi dengan karir yang cemerlang. Suaranya yang mendayu-dayu, terjual lebih dari 200 juta kopi. Merilis 77 album, Julio disebut Sony Music Entertainment sebagai salah satu dari top 10 best selling music artists in history.

Julio mungkin lebih beruntung daripada Andrea Bocelli, penyanyi tenor dengan suara yang merdu. Bocelli lahir di Lajatico, Toscana (Italia), 22 September 1958. Kemalangan menimpanya sejak kecil karena sedari lahir di menderita congenital galucoma, dan akhirnya dia buta total di usia 12 tahun.

Lazimnya orang-orang hebat, kebutaan total tidak menghalangi Bocelli untuk maju. Dia terus menimba ilmu. Berkat motivasi ibunya, Bocelli berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum di University of Pisa, dan sempat berpraktik menjadi pengacara.

Di Italia, sudah lazim para pengacara memiliki peran ganda. Banyak pengacara yang juga menjadi wasit sepakbola yang disegani. Sehari-hari jadi pengacara, di akhir pekan menjadi pengadil di rumput hijau.

Bocelli pun demikian. Sejak kecil, anak yang lahir dari penganut Katolik yang taat ini menyumbang suara dan bermain organ di gereja. Menyanyi adalah panggilan hatinya. Karena itulah, setelah berpraktik jadi pengacara di siang hari, malam harinya dia berganti profesi: menyanyi di bar.

Lompatan karir Bocelli sebagai penyanyi terjadi ketika dia berkolaborasi dengan Zucchero, musisi Italia di tahun 1992. Dan namanya kian melejit setelah berduet dengan penyanyi sopran Sarah Brightman menyanyikan Con Te Partiro (Time to Say Goodbye). Setelah itu, telebih setelah mangkatnya Luciano Pavarotti, Bocelli adalah penghibur papan atas yang penampilannya selalu dinanti-nanti. Ada yang bilang Bocelli terlambat untuk menjadi penyanyi. Ada juga yang bilang justru dunia musik yang terlambat untuk mengambil sang bintang. Yang pasti, Bocelli telah memupuk rasa percaya dirinya di atas ketidaksempurnaan yang ada sehingga bisa menjadi seperti yang dikenal masyarakat dunia sekarang ini.

Bila ditelurusi, masih banyak tokoh besar yang bangkit dari keterpurukannya, untuk menjadi yang terbaik di bidangnya masing-masing. Namun, secara umum, apa yang mereka tampilkan biasanya memiliki kesamaan: pantang menyerah, berpikir positif, dan punya mindset bahwa impossible is nothing. Ya, tak ada yang mustahil bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Karena dalam keterbatasan, kerap ada jalan terang. Lihat saja tokoh seperti Stephen William Hawking. Kelahiran 8 Januari 1942 ini terus menyumbang pemikirannya di bidang fisika kuantum sekalipun mengalami tetraplegia (kelumpuhan). Stephen boleh lumpuh badannya, yang dideritanya secara berangsur sejak kecil, tapi tidak dengan pikiran dan semangatnya.

Kini, salah satu tokoh yang sedang diuji kemampuannya untuk keluar dari persoalan berat adalah Presiden Paraguay, Fernando Lugo. Awal Agustus 2010, dia didiagnosis terkena non-Hodgkin lymphoma, kanker yang menyerang sistem kelenjar getah bening. Selama 18 minggu ke depan, Lugo akan menjalani kemoterapi secara rutin. Bagaimana dia akan bangkit, dunia akan menunggunya.

Adakah orang sekitar Anda yang bisa melakukan seperti kisah di atas? Kalau ada, silakan di-share. Kisah-kisah mereka, pastinya sangat inspiratif.

Tuesday, August 24, 2010

Mereka Bertahan dengan Keintiman

Di tengah arus permodalan perusahaan besar, mereka sanggup bertahan sementara yang lain tumbang satu demi satu. Keintiman dengan pelanggan, adalah salah satu kuncinya.


PERNAH dengar mom-pop business?

Ini adalah bisnis kecil, yang bermula dari keluarga, dikelola suami-istri hingga akhirnya turun-temurun ke anak cucu. Di kota-kota Indonesia, masih banyak bisnis yang seperti ini. Di kota Anda pun, bila dicermati, mungkin akan ditemui bisnis mom-pop yang bertahan sampai sekarang. Mereka tidak membesar dan meraksasa. Tapi mereka sanggup bertahan, dilanjutkan oleh anak-cucunya.

Kali ini, saya akan bercerita bagaimana bisnis mom-pop di AS yang bergelut dengan perusahaan-perusahaan besar, yang nota bene awalnya juga berangkat dari mom-pop, seperti Wal-Mart, Ford, dsb. So, selamat menikmati!


JOHN NESE sudah puluhan tahun membantu orang tuanya di Galco Soda Pop Stop. Ini adalah bisnis grosir yang diintis ayahnya. Awal tahun 1980-an, Nese masih ingat bagaimana bisnis yang dirintis ayahnya itu terancam kematian. Sebuah chain store besar masuk, melebarkan tentakelnya ke penjuru kota Los Angeles.

Keluarga Nese memutar otak. Mereka harus mencari cara agar bisa survive. Dilihat dari sudut modal, jelas posisi mereka tak ubahnya David berhadapan dengan Goliath. Kalau beradu modal, sekali pukul pasti modar!

Dalam posisi terjepit itu, sang ayah membuat kejutan. Merasa tidak lagi memiliki kecakapan untuk bertarung di medan pertempuran yang buas, Nese dipanggilnya. Tampuk perusahaan diserahkan padanya.

Dapat makota dalam masa tenang, mungkin menyenangkan. Namun dalam situasi tertekan, tak salah bila tampuk pimpinan itu justru seperti kursi panas. Tapi Nese berusaha mati-matian melawan keadaan. Dia pun berprinsip lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dalam jajahan. “Kalaupun kami bangkrut, kami jatuh bangkrut dengan kebanggaan karena sudah berbuat sesuatu,” ujarnya.

Menyadari modal adalah wilayah yang tak bisa dilawannya, Nese mengambil jalur yang lain untuk bertahan. Dia mencari 25 merek soda yang tidak terlalu terkenal, yang tidak disediakan jaringan toko-toko lain, termasuk chain store yang tengah merangsek kota.. Dia letakkan soda-soda itu di rak toko Galco.

Awalnya, situasinya sungguh tidak mudah. Orang yang masuk toko bertanya dengan mencibir. “Apa yang kamu lakukan dengan merek-merek tua itu?,” kata mereka.

Nese cuek. Dia tetap dengan langkah-langkahnya. Dan ketika perlahan-lahan jenis soda itu terus bertambah, mencapai 250 merek, para pengunjung pun bertanya, “Hei, di mana kamu menemukan itu semua?”

Nese pintar. Dia mencari perusahaan-perusahaan mom-pop kecil dari banyak tempat yang bisnisnya adalah memroduksi soda. Para mom-pop store ini tidak masuk jaringan toko-toko besar sehingga produk yang ada di Galco pun terbilang ekslusif.

Kini, Galco punya 500 jenis soda. Dan dari ancaman kebangkrutan, Galco berdiri tegar. Para pelanggannya terus datang. Di sini mereka bisa mendapatkan aneka rasa soda: vanilla soda, caribbean cream soda dengan rasa kelapa, juga soda dari Peru. Setiap hari, Nese membantu para pelanggan menemukan apa yang mereka inginkan. Dia bergerak dari satu rak ke rak lain. Dia tahu, dalam ekslusivitas yang dijualnya, keramahan (hospitality) memegang peran penting. dia sadar personal treatment dari dirinya sebagai pemilik toko adalah sesuatu yang tidak diberikan jaringan toko-toko besar. Dia pun memanfaatkan You Tube dan website untuk memomulerkan tokonya.

Hospitality. Di Knoxville, Tennessee, prinsip ini juga dipraktikkan Pratts Country Store, sebuah toko grosir. Orang tua Perry Pratt yang menjalankan toko ini, merintis bisnisnya sejak 1923. Toko ini bermula dari permintaan masyarakat tentang apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Keluarga ini kemudian mencari barang dengan kudanya, lalu menjualnya di toko mereka.

Hingga kini, Pratt Country Store tetap bertahan di Knoxville. “Kita bisa dapatkan makanan segar hasil produksi masyarakat setempat dengan harga yang murah di sini,” kata salah seorang penduduk.

Selain keramahan, kunci sukses Pratt Country Store adalah keintiman dan berupaya tetap dekat dengan heritage setempat, dan juga tetap dikelola sebagai sebuah bisnis keluarga. Perry Pratt mengungkap organisasi bisnisnya. "Ayah saya menguruh daging dan kentang. Saya mengurus bumbu-bumbu. Kami tak punya computer,” katanya. Hare gene tak punya komputer?

“Yah, agak low-tech, memang,” akunya. Ini berbeda bila dibanding Galco yang sudah bermain online. Tapi Perry dan keluarganya tak ambil pusing. “Kalau kita butuh sesuatu, tinggal tulis saja, lalu kirim ke distributor lokal,” katanya enteng. Menurutnya, banyak orang tidak menyadari hakikat bisnis Pratt Country Store. “Kami ini sebenarnya kan bukan pemain bisnis grosir.” Jadi? “We're in the relationship business," ujarnya mantap.

Pratt Country Store memang punya pelanggan-pelanggan loyal yang dipertahankannya. Mereka telah menjadi pembeli dan pemasok barang selama puluhan tahun. “Bahkan sepanjang hidup mereka,” kata Perry bangga. Toko ini sungguh tipikal bisnis mom-pop yang mempertahankan keintiman dengan pelanggan. Di toko ini, para pelayan membawakan keranjang belanjaan hingga ke mobil. Di toko ini, orang bisa bertemu untuk belanja, dan ah… mungkin juga bergosip.

Penulis buku The Mom & Pop Store (2009), Robert Spector menyatakan bahwa kedekatan dengan pelanggan, yang sifatnya personal adalah hal yang membuat mom-pop store bisa bertahan. Spector sendiri datang dari keluarga yang menjalankan bisnis daging di Perth Amboy, New Jersey. Selain hospitality, “ The most basic thing was honesty,” katanya. Jika seorang pelanggan mengajukan pertanyaan tentang berat daging, kenang Spector, maka pemilik toko harus menyatakan dengan jujur. Sebab, para pelanggan akan melihat langsung timbangannya. “Untuk bisa survive, Anda harus menjadi orang yang jujur sehingga pelanggan akan hormat,” lanjutnya.

Bertahannya mom and pop store di atas di kancah bisnis AS merupakan adalah hal yang hebat karena jaringan pengusaha besar – yang awalnya juga berangkat dari mom-pop store – terus melebar ke mana-mana. Wal-Mart, Lowe, Home Depot, adalah contohnya. Di luar mereka dan perusahaan keluarga lain yang menjadi ikon bisnis negeri Abang Sam, mom and pop yang meraksasa adalah Ford.

Peran mom-pop itu sendiri, mengacu pada studi yang dilakukan the Raymond Institute and Massachusetts Mutual pada tahun lalu menyatakan bahwa 89% dari seluruh bisnis di AS adalah bisnis keluarga (family-owned and operated), yang berkontribusi sebesar 64% dari Gross National Product. Adapun untuk mom-pop, kebanyakan adalah perusahaan keluarga yang mempekerjakan 5 orang atau lebih sedikit.

Sayangnya, setelah tahun ke tahun, apalagi setelah hantaman krisis, jumlah mereka yang tergolong mom and pop ini semakin berkurang. The Small Business Administration (SBA) baru-baru ini melaporkan bahwa jumlah pengusaha semacam mom-pop, juga mereka yang berwirausaha independen, menurun dari 10,4 juta di tahun 2007 menjadi 9,6 juta di tahun 2008, dan diperkirakan kian turun di 2009 setelah hantaman krisis.

Fakta di atas sejalan dengan tulisan Art Cunningham, editor The News Times yang aktif mencatat tentang momo-pop yang tumbang di AS, terutama di daerah New Milford, Connecticut. Dulu, katanya, di wilayah ini ada Rocano’s. Ini sebuah toko kecil. Namun bagi sejumlah orang, mereka seakan berziarah bila pergi ke toko olahraga ini. Apa menariknya?

Sneaker Converse. Di sini orang bisa beli lebih murah daripada di toko lain. Bisa lebih murah 20%.

Masih dekat dengan Rocano’s, ada Feinson's, toko pakaian pria terbaik di wilayah itu di era 1960-an. Ia juga nasibnya sama, lenyap karena datangnya jaringan toko-toko besar. Cunningham kemudian memuat daftar panjang mom-pop yang tergilas persaingan.

Tapi, laiknya bisnis mom-pop: ada yang pergi, ada yang datang. Di Knoxville, baru-baru ini berdiri The Spiceorium. Dua sejoli, suami istri Michael dan Tricia Bogdal membuka toko ini setelah pindah dari Florida. Di sini mereka menjual rempah-tempah untuk masakan, serta ramuan tradisional untuk pengobatan.

Menyadari persaingan tidak mudah bagi bisnis mom-pop, suami istri ini pun tidak main-main dalam bisnisnya. “Kami banyak melakukan riset tentang tipe bisnis apa yang seharusnya kami jalani,” kata Tricia. “Saya suka memasak dengan bumbu rempah-rempah yang sedap, dan kemudian kami meriset untuk melihat ada nggak ya toko seperti ini di Knoxville. Dan kami tidak menemukan. Karena itu, kami putuskan untuk buka di sini,” katanya.

The Spiceorium mengkhususkan diri pada bumbuh-bumbu yang segar, tanaman herbal, juga daun-daun teh. Tapi juga ada variasi saus yang bisa digunakan untuk barbeque. Di toko ini juga bisa ditemukan mangkuk untuk mengulek bumbu, buku-buku masakan, dan barang lain yang terkait dengan masak-memasak. “Kami juga akan menambahkan paprika,” sergah Michael. Ketika dia ditanya bagaimana reaksi masyarakat setempat, dengan antusias dia menjawab. “Oh, orang-orang yang baru datang ke toko ini bilang: ‘Ini dia yang kami tunggu’. Mereka sangat senang,” katanya.

Yah, pastinya waktulah yang akan membuktikan sejauh mana mereka bertahan. Tapi dari pengalaman sejumlah mom-pop stores, mereka bisa bertahan karena faktor-faktor yang disinggung di atas: keramahan, keintiman, dan kejujuran. Adapun untuk bisa memberikan harga produk yang bersaing dengan pesaing sejenis yang lebih kuat permodalannya, para mom-pop store ini harus bisa mendapatkan jalur pasokan produk yang terbaik, dan termurah, tentunya.

Tuesday, August 17, 2010

Menarik Argonaut demi Brain Gain

Isu mengubah brain drain menjadi brain circulation telah menjadi perhatian global. Sejumlah negara sukses melakukannya.


SEKITAR 25 tahun lalu, ketika PM India, Rajiv Gandhi bertemu Presiden AS di Gedung Putih, Ronald Reagan mengajukan pertanyaan singkat: mengapa talenta-talenta terbaik dari India pergi ke AS, bukankah itu brain drain? Rajiv pun menjawab, “Oh, itu bukan brain drain seperti yang diramaikan orang, tapi itu brain bank yang akan kami tarik sewaktu-waktu bila perlu.”

Tahun 2009. Duta Besar India untuk AS, Meera Shankar dilontari pertanyaan serupa oleh anggota The Indus Entrepreneurs, Chapter Washington, DC ketika mereka melakukan pertemuan. Seperti halnya mendiang Rajiv, Bu Dubes ini mengatakan bahwa itu bukanlah brain drain, tapi lebih sebagai “brain circulation”. "What goes around, comes around. And I have seen that movement of Indians to other countries has had a very positive impact back in India," katanya.

Andhra Pradesh adalah contoh yang ditunjukkan Meera. Dulunya, negara bagian ini tergolong terbelakang. Namun, kini menjadi salah satu negara bagian paling berkembang di India setelah teknisi dan ilmuwan yang merantau ke AS mengembangkan bisnis di wilayah ini.

Tanpa meninggalkan agrikultur (4 sungai besar India, yakni Godavari, Khrisna, Penna dan Thungabhadra melintasinya) yang menghasilkan tanaman padi, kapas, merica, dan mangga, pada awal dekade 2000-an Andhra Pradesh memfokuskan diri pada industri TI dan bioteknologi. Para teknisi India pulang kampung membangunnya. Buahnya, dari wilayah terbelakang, Andhra Pradesh menjadi pengekspor produk/jasa TI dengan nilai di atas Rp 45 triliun. Namun bukan hanya TI yang berkembang. Ibukotanya, Hyderabad menjadi pusat manufaktur farmasi.

From brain drain to brain circulation.

Terminologi brain circulation yang dikutip Meera merupakan istilah yang dimunculkan Profesor AnnaLee Saxenian, yang kini menjabat Dekan UC Berkeley, School of Information. Saxenian melihat bahwa pergerakan talenta dan skil seharusnya menguntungkan dua pihak: negara yang ditinggalkan dan negara yang dituju. Seperti sebuah sikulasi, kata Saxenian, seyogyanya ada proses “to give and to receive”. Wanita ini terkenal dengan bukunya, The New Argonauts: Regional Advantage in a Global Economy (2006). Saxenian mengeksplorasi globalisasi teknologi dan tenaga kerja, seraya menunjukkan fakta bahwa brain drain telah menjadi brain circulation. Imigran sejumlah negara seperti India, Cina, Taiwan dan Israel membawa kemampuan entrepreuneurial-nya ke negaranya masing-masing seraya tetap mempertahankan koneksi dengan negara tempatnya menimba ilmu dan pengalaman.

Taiwan adalah salah satu contoh brain circulation yang baik. Di tahun 1970-an, negara ini adalah daerah pinggiran (peripheral) dalam urusan entrepreneurship dan innovation di dunia. Mereka kemudian menjadi salah satu pusat inovasi terkemuka di dunia ketika mereka pulang kampung di dekade 1980-1990-an.

Miin Wu, salah satunya. Datang ke AS di awal 1970-an untuk mengejar gelar sarjana teknik elektro, Wu akhirnya meraih gelar doktor dari Stanford University pada tahun 1976. Selepas lulus, Wu melihat ilmu yang digunakannya belum bisa diimplementasikan di Taiwan. Dia pun bertahan di negeri Abang Sam. Dia merintis karir di sejumlah perusahaan Silicon Valley, termasuk Siliconix dan Intel. Dia juga sempat mengecap pengalaman sebagai salah satu pendiri VLSI Technology.

Tahun 1980-an ekonomi Taiwan berkembang. Wu memutuskan mudik. Tak berapa lama, pada 1989, perusahaan semikonduktor pertama di Taiwan, Macronix Co. dikibarkannya di Hsinchu Science and Industrial Park. Wu juga menjadi anggota aktif Silicon Valley's Monte Jade Science and Technology Association yang membangun hubungan bisnis antara komunitas teknis di Silicon Valley and Taiwan.

Berkembang pesat, tahun 1995, Macronix mendaftar di bursa Taiwan, dan setahun kemudian menjadi perusahaan pertama yang terdaftar di Nasdaq. Berkekuatan 4282 karyawan, Macronix kini menjadi salah satu pabrikan dan pemasok integrated circuits (IC) serta kartu memori terbesar untuk wilayah Asia, Eropa dan AS.

Langkah Wu diikuti sejawat-sejawatnya. Maka jadilah Taiwan sebagai salah satu pusat inovasi dunia, khususnya untuk semikonduktor. Langkah yang juga terjadi di Andhra Pradesh. Langkah brain circulation: ketika negara yang disinggahi dan negara yang ditinggalkan sama-sama memetik keuntungan dari sirkulasi pengetahuan, skil dan talenta-talenta terbaik. Memetik apa yang disebut brain gain.

Wu, serta orang-orang yang kembali dari petualangan memburu ilmu dan karir untuk membangun negerinya, bagi Prof. Saxenian adalah para “Argonaut Baru”. Argonauts adalah cerita mitologi Yunani tentang sekumpulan pahlawan yang berlayar untuk mencari bulu biri-biri emas. "Mereka menciptakan peluang untuk diri mereka dan kolega-koleganya di tanah air. Itulah the new Argonaut, orang-orang yang bisa memindai lingkungan dan mengenali peluang dari posisinya masing-masing, untuk kemudian mengeplorasinya,” kata Saxenian.

Isu mengubah brain drain menjadi brain circulation agar diperoleh brain gain, adalah isu yang terus menyita perhatian. Pada tahun 2006, Bank Dunia bahkan membuat laporan khusus seputar ini. Institusi ini mengakui bahwa globalisasi dan pasar yang terintegrasi telah membuat penghargaan yang tinggi bagi skil dan talenta-talenta premium (top): individu-individu yang punya high impact. Dengan demikian, brain drain sejatinya merupakan fenomena yang lazim. Namun, seiring meningkatnya peran skil dan talenta SDM sebagai aset yang luar biasa – bukan lagi sumber daya alam (SDA) –, maka negara-negara berkembang yang ditinggalkan putra-putra terbaiknya harus memikirkan bagaimana me-leverage pengalaman serta pengetahuan para diaspora ini untuk tanah airnya.

Ini artinya, peran negara harus besar bila menginginkan terciptanya brain circulation demi brain gain. Bukan hanya sekedar atau mengimbau agar putra-putra terbaiknya pulang kampung.

"Pada tahun 1980-an, dilema anak-anak Cina dan India yang lulus PhD dari Stanford atau Berkeley adalah tak ada pekerjaan buat mereka di tanah air, sementara keluarga meminta segera pulang,” kata Saxenian. Akhirnya mereka berwirausaha. Dia mencatat, kurun 1995-2000, orang-orang India dan Cina mendirikan lebih dari 4000 perusahaan di Silicon Valley. Brain circulation terjadi ketika mereka pulang atau tetap tinggal di AS tapi menciptakan koneksi dengan kolega-koleganya di India serta Cina.

Peran negara, tentu saja adalah menciptakan sarana-prasarana bagi otak-otak terbaik itu untuk pulang: kesempatan untuk tumbuh-kembang. Taiwan contohnya. Untuk mendorong ekonomi lokal dan menarik talenta terbaik menciptakan brain circulation, pada 15 Desember 1980 dibangunlah Hsinchu Science and Industrial Park yang berdampingan dengan National Chiao Tung University dan National Tsing Hua University. Taiwan ingin membangun Silicon Valley yang berdampingan dengan Stanford. Di Hsinchu inilah Miin Wu membangun Macronix. Kini ratusan perusahaan berdiri di sini, membetot anak-anak Taiwan yang menimba ilmu di mancanegara.

India tak mau kalah. "Pemerintah India sangat berupaya menarik pulang talenta-talenta terbaik,” kata Meera. “Di jaman sekarang, tak ada yang bisa memisahkan diri dari globalisasi. Harus ada dua arah pertukaran ide, pengetahuan dan investasi. Dengan cara itulah kita bisa menghasilkan sirkulasi,” lanjutnya. Fasilitas, insentif, dan peluang kemitraan dibuka di India buat anak-anak terbaik yang ingin membangun negerinya. Negeri ini juga mengembangkan universitas-universitas si seluruh pelosok sebagai mitra untuk penelitian. "Kami juga mengembangkan 10.000 pusat balai latihan baru untuk mengembangkan kompetensi warga India,” lanjut Meera. Ini dilakukan agar orang-orang lokal yang tidak melanglang-buana juga bisa mengimbangi rekan-rekannya yang baru pulang dari mancanegara atau tetap di luar negeri yang membutuhkan tenaga-tenaga ahli di India. “Jadi, harapan kami, nantinya tidak ada mismatch antara permintaan industri dan pasokan yang dibutuhkan,” katanya lagi menegaskan.

Selain India dan Taiwan, Cina juga menjadikan isu brain circulation sebagai perhatian utamanya. Negara ini bahkan bukan sekedar berupaya menarik pulang, tapi makin aktif mendorong guanxi, jejaringnya di seluruh dunia yang memiliki kedekatan etnis-genealogis untuk membantu perluasan ekspansi korporasi negara itu. Jiran kita, Vietnam juga aktif berupaya menciptakan brain circulation. Mereka mengundang orang-orang yang berdiaspora semasa Perang Vietnam untuk pulang membangun negeri setelah sukses di rantau. Pada 21-23 November 2009, sekitar 1000 warga diaspora ini dipertemukan dalam sebuah konferensi di Hanoi. Pemerintah Vietnam berupaya menarik anak-anak negeri terbaik untuk membangun tanah air. Menarik para Argonaut untuk sama-sama menciptakan peluang.

Belajar dari Taiwan atau India, tampaklah bahwa negara berperan menciptakan lingkungan yang kondusif buat talenta-talenta terbaik untuk pulang dan membangun negeri. Pemerintah bukan cuma mencak-mencak, tapi proaktif menarik anak terbaik dengan menyediakan lahan seperti industrial park yang ditopang universitas serta balai-balai ketrampilan. Tidak menuduh antinasionalis, tapi begitu anak-anak negeri pulang, malah tidak disediakan sarana-prasarana yang kondusif.

What goes around, comes around. Begitu kata Dubes Meera. Tapi percayalah, para New Argonaut terbaik tak akan pernah pulang dari berlayar bila tanah tumpah darahnya tidak menawarkan kesempatan yang menarik. Bagaimana dengan Indonesia?

Unik, tapi Dibutuhkan

Mereka mengambil profesi yang unik di tempatnya masing-masing. Motifnya, dari sekedar mencari uang, sampai membantu orang lain.

ENDA Junkins berdiri di hadapan sejumlah orang. Sejurus kemudian, dia pun tertawa diikuti peserta. Mereka tergelak bersama. Seperti bunyi yang bersahut-sahutan. Satu tertawa, yang lain pun terbahak, menimbulkan efek tawa yang berantai. Siapa Enda? Seorang komedian kah dia?

Bukan. Enda adalah seorang laughter therappist. Dia adalah orang yang melakukan terap dengan cara menstimulasi pasien sehingga tertawa, dan tertawa. Seperti diketahui, tertawa seringkali dianggap menjadi terap yang ampuh selain obat-obatan. Dengan tertawa yang bebas dan lepas, dalam tubuh akan terjadi proses biologis serta psikologis yang positif. Sebab, pembuluh darah melebar, oksigen masuk lebih banyak, sehingga sel tubuh mendapatkan nutrisi yang membuat sistem kekebalan tubuh meningkat. Satu menit tertawa lepas tak ubahnya mengayuh sepeda selama 10 menit.

Dengan tools serta teknik yang dimilikinya, Enda melatih pasien-pasiennya untuk melakukan itu. Profesi ini di AS terbilang unik. Keliling kota-kota di negeri Abang Sam, dia melatih orang untuk berada pada gelombang alfa (titik nol pikir atau zero mind). Dia meyakinkan bahwa tertawa dapat meningkatkan kadar endorphin yang bisa mengurangi rasa sakit akibat radang sendi atau kejang otot, sekaligus dapat meringankan bronchitis, asma, dan migren.

Di AS, banyak profesi-profesi unik yang berkembang. Salah satunya adalah odor tester. Ini adalah profesi yang mengetes bau deodorant sebelum dipasarkan. Orang yang berprofesi ini harus memastikan bahwa produk yang dilepas ke pasar bisa dinikmati pengguna. Bayarannya lumayan, minimal US$ 55 perjam.

Untuk urusan mengendus aroma, pekerjaan Simon Allison tak kalah unik. Dia adalah senior food technologist di Marks & Spencer yang bertanggung jawab untuk pet produce. Lebih spesifik: bertugas mendeteksi makanan yang disukai anjing dan kucing. “Saya terlatih untuk mencari dan memastikan bahan-bahan makanan yang akan diramu buat hewan,” katanya.

Pet food taster. Itulah sebutan profesi buat Simon. Dia sendiri bangga dengan profesinya. “The more we can make the pet food like the owner’s food, the more comfortable we think customers will be serving it,” katanya. Toh sekalipun mencintai pekerjaannya, dia mengaku tidak mengunyah banyak bahan-bahan makanan yang akan diolah. “Takut gemuk,” dia melanjutkan.

Apakah profesi mengendus ini sepele? Jangan keliru. Bahkan di NASA, ini urusan besar. Dan inilah yang membuat seorang pria bernama George Aldrich sangat dihormati. Bekerja di bagian laboratorium Molecular Desorption Analysis NASA, New Mexico, tugas Aldrich adalah mengkalibrasi pesawat ruang angkasa dengan hidungnya. Aneh?

Sepintas, ya. Namun, selain menggunakan peralatan canggih, NASA rutin melakukan apa yang disebut “smelling mission” untuk menentukan ada tidaknya kerusakan. Aldrich, dengan hidungnya, akan mendeteksi apa yang tak mudah diperiksa oleh sistem komputerisasi yang ada: aroma. Aldrich harus mendeteksi kondisi peralatan yang ada dengan mengendus aromanya. Tapi sebenarnya, bukan hanya tingkat kerusakan yang dideteksi, aroma dari dalam tubuh pesawat akan menimbulkan efek bagi para astronaut yang menjalankan misi ruang angkasa. “Dalam ruang tertutup, apalagi di luar angkasa, astronaut akan sakit bila bersentuhan dengan aroma-aroma tertentu,” katanya.

Profesi ini telah dijalaninya lebih dari 30 tahun. Tapi saat memulainya, bisa dikatakan sebuah kebetulan. Di usia 18 tahun, Aldrich mulanya bertugas di bagian pengetesan misil. Suatu hari, atasannya mencari seorang sukarelawan yang akan dimintai bantuan mengendus sejumlah barang. Aldrich mengacungkan jari. Motifnya: membantu para astronaut, menjadi bagian NASA. Dia pun mengambil tes uji kalibrasi. Hasilnya mengagumkan: nilai ujiannya sempurna, 10. Setiap waktu, dia terus mengikuti tes ini. Dan hasilnya tak pernah berubah: tetap 10.

Karena keahliannya yang langka dan unik tersebut, kolega-koleganya menjulukinya “the Most Smella Fella”. Intinya, orang yang daya penciumannya paling hebat. Lebih dari 771 “smelling mission” dijalankannya. ”Ah, ini seperti wine tester aja, kok,” katanya merendah. “Tugas saya hanya membantu para astronaut,” lanjut pria yang memimpin tim sebanyak 25 orang ini.

Selain di ranah indra penciuman, banyak orang juga menekuni profesi lain. Di Taiwan, ada orang-orang tertentu yang menjadi professional mourner. Tugas mereka adalah membantu menangis di keluarga yang tengah berduka, tepatnya tengah melepas anggota keluarga yang mangkat.

Di Taiwan, kematian tidak hanya cukup dengan kertas-kertas yang beterbangan, marching band tradisional, atau dupa-dupa yang mengiringi jenazah. Bagi jenazah yang akan dilepas ke dunia lain, ada satu hal yang tak boleh ditinggalkan: menangis. Semakin banyak yang menangis, maka makin terhormatlah sang jenazah tersebut.

Salah satu peran kunci dalam prosesi pemakaman adalah seseorang yang disebut sebagai “mourning daughter”, seorang wanita yang menangis, yang membantu menolong terciptanya suasana duka yang sangat mendalam.

Jadi, di sini, lupakan Enda yang mengajari orang untuk tertawa. Dan mari kita mengenal salah seorang diantara “tukang tangis professional” ini, Liu Chunling. Liu datang dari keluarga yang telah berpartisipasi dalam prosesi pemakaman selama bertahun-tahun. Dia sendiri telah memulai “karir” profesionalnya sebagai “mourning daughter” sejak berusia belasan tahun. “Orang-orang yang tak bisa menangis, akan susah melepas emosinya di hadapan orang banyak. Itulah sebabnya mereka mengundang saya. Tugas saya adalah membimbing emosi mereka sehingga mereka bisa melepaskan emosi saat di pemakaman,” kata Liu.

Sebagai profesional, Liu berupaya berlakon sebaik-baiknya sebagai “anak gadis” yang menangis ditinggalkan orang terkasih dalam keluarga. Sebelum beraksi, dia biasanya mengobrol dulu dengan anggota keluarga yang tengah berduka tentang perasaan mereka. "Saya memosisikan diri seperti mereka, menjadi anggota keluarga. Saya berusaha berakting serealistis mungkin. Apa yang saya lakukan memang harus seperti itu,” katanya.

Selagi menangis, Liu seringkali menutup wajahnya dengan topi duka. “Ini untuk menunjukkan ketulusan saya. Saya sendiri percaya air mata bukan hanya untuk ditunjukkan. Setiap tetes air mata saya ini beneran, lho,” tukasnya.

Industri “pemakaman” memang tumbuh di Taiwan. Dan itu berpadu dengan budaya. Alhasil, bukan hanya peti jenazah yang dibutuhkan, mereka yang membantu suasana haru dengan tangisannya pun diperlukan. Di Taiwan, orang seperti Liu tidaklah jarang. Wang Liling, adalah orang yang berprofesi serupa Liu. Di luar “karir”-nya ini, Wang sehari-harinya adalah seorang guru.

Karena budaya, profesi ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat terutama sejak decade 1970-an. Keluarga yang tak punya “mourning daughter” akan menyewa para profesional. Tapi belakangan, Pemerintah Taiwan di sejumlah kota mulai turun tangan, bahkan ada kota yang melarang prosesi ini. Rupanya, ini karena beberapa tukang tangis profesional ini meluapkan emosinya lewat pengeras suara, sehingga membuat bising.

Liu sendiri ketika ditanya apa kesan-kesannya menjadi bagian dari pelaku industri ini menjawab pendek. Menurutnya, bekerja dalam apa yang disebutnya “emotional roller coaster” membuatnya menjadi melihat hidup dengan cara yang khas: kematian adalah sesuatu yang bisa diterima.

Anda ingin seperti Enda atau Liu? Apapun, profesi-profesi yang bagi banyak orang terdengar tak lazim ini selain dihargai cukup tinggi, juga menolong orang lain. Dan bicara soal profesi unik, belakangan ada orang-orang yang menjadi “professional sleeper”. Mereka adalah orang-orang yang siap untuk tidur, dan membantu para saintis yang tengah melakukan sleep research project, yang berupaya mencari misteri dalam tidur, dan berupaya membantu mereka yang mengalami gangguan tidur (sleep disorder). Tentu saja ini bukan profesi yang selamanya ada. Tapi, cukup dengan zzz..., dompet Anda pun akan bertambah tebal. Mau?

Filantrop Kaya Negeri Kanguru

Sempat tersandung, dia bangkit menjadi orang terkaya Australia. Toh kekayaan tak membuatnya silau. Separuh hidupnya akan didedikasikan untuk mengatasi persoalan sosial.

Teguh S. Pambudi

Lelaki ini akrab disebut Twiggy. Terdengar lucu, memang. Tapi jangan ditanya reputasinya. Orang Australia mengenalnya sebagai lelaki terkaya di negeri itu. Tahun ini, dia mendongkel posisi James Packer sebagai orang terkaya Negeri Kanguru setelah nilai kekayaannya melonjak 149%, mencapai Rp 41 triliun. Itu semua buah peruntungannya lewat Fortescue Metals Group (FMG) Ltd., perusahaan pertambangan bijih besi.

Andrew Forrest. Itulah nama lelaki kelahiran 1961 ini. Dibesarkan di Minderoo, sebuah ranch di wilayah Pilbara, dia tinggal di mana lima generasi keluarganya hidup dan bekerja. Salah seorang kerabatnya, Sir John Forrest, adalah golongan pertama orang-orang yang menghuni Australia Barat. Juga Alexander Forrest. Patung keduanya terkenal di ibukota Australia Barat, Perth.

Selepas dari Hale School, Forrest mengambil jurusan ekonomi di University of Western Australia. Setelah lulus, dia menjadi pialang saham di perusahaan sekuritas, Jacksons. Namun itu tak lama dilakoninya.

Seperti beberapa wilayah lain di Australia yang kaya bahan tambang, Pilbara pun demikian. Bahkan, daerah ini bertransformasi menjadi ladang-ladang bijih besi yang memasok pabrik-pabrik baja Asia. Dan Forrest pun tertarik untuk ikut menggelutinya, masuk ke dunia pertambangan.

Awal usia 30-an, Forrest mendirikan Anaconda Nickel Ltd. dan menjadi CEO-nya. Tangan dinginnya mengantar Anaconda menjadi eksportir mineral terbesar di Australia. Sayang, tak semuanya berjalan mulus. Proyek pertambangan Forrest di lahan Murrin Murrin menjadi biang keroknya. Karena ditunda, anggaran proyek tambang nikel ini jadi membengkak. Celakanya, surat-surat utang telah jatuh tempo.

Dalam situasi demikian, Anaconda chaos. Forrest pun ditendang dari posisi CEO. Investor-investor menelan kerugian. Anglo American Plc, salah satu perusahaan besar dunia hanya bisa mendapat 7% dari investasi US$ 200 juta yang dikucurkannya, setelah berjuang menyingkirkan Forrest. Secara umum, para investor hanya menerima US$ 23 sen dari setiap dolar yang diinvestasikan ketika Anaconda dipaksa melakukan restrukturisasi (sekarang menjadi Minara Resources).


Memang Forrest terpukul. Tapi dia tak mengaku kalah ketika bisnisnya hancur lebur. Dia juga tak mau lama tenggelam dalam kegagalan. Melihat permintaan bijih besi dari pabrik-pabrik di Cina terus meningkat, dia segera bergerak. Tahun 2003, Forrest mengambil alih Allied Mining and Processing dan mengganti namanya menjadi Fortescue Metals Group. Kepada publik dia pun mengobral janji: Fortescue akan menjadi tambang bijih besi nomor tiga di Australia.

Tak banyak yang menanggapi sesumbar itu. Tak banyak yang menilai rencana-rencana Forrest. Malah lebih banyak yang menyangsikannya. Sebab, selain rekam jejaknya yang babak belur di Murrin Murrin, saingannya adalah dua pemain besar Anglo-Australian, BHP Billiton dan Rio Tinto. Saat itu, Forrest tak ubahnya Don Quixote, berteriak-teriak di tengah raksasa pertambangan.

Tapi bukan Forrest namanya kalau tak bisa membuktikan omong besarnya. Dari rumahnya di sisi pantai Perth, dia merancang semuanya buat Fortescue. Rumah ini tergolong besar. Namun gaya hidup Forrest tidaklah berlebihan. Tak ada mobil mewah yang berkilat. Tak ada kapal besar di dekatnya. Yang tampak adalah tanda-tanda patriotisme: bendera Australia.

Perlahan tapi pasti, Forrest bangkit dari keterpurukannya. Satu demi satu dia mengambil lahan-lahan tambang di Mount Nicholas, Christmas Creek, Cloudbreak, dan Tongolo. Tahun 2007 bahkan mengambil Niagara Mining, yang punya lahan luas di sekitar Laverton, Australia Barat.

Dewi Fortuna memang berpihak padanya. Permintaan bijih besi untuk pabrik-pabrik baja terus melonjak sehingga harga komoditas ini pun terus meroket puluhan persen setiap tahunnya. Sebagai contoh, pertengahan tahun ini, harga bijih besi mencapai US$190 dolar/ton, dua kali lipat dibanding posisi September 2009.

Setelah tertarih, Forrest sukses berat. Dia membawa Fortescue menjadi perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Australia dengan nilai US$13,4 miliar – Macquarie Bank jadi yang terbesar. Perusahaan yang didirikan Forrest, the Metal Group adalah pemegang saham terbesar Fortescue, dengan 31,35% saham. “Forrest adalah tipe hands-on management,” ujar David Sanders, seorang pengacara yang mengenalnya. “Tak ada yang bisa menahannya untuk bekerja. Kalau dia menemukan bijih besi, dia akan terlibat dalam penggaliannya,” lanjutnya.

Untuk mencapai kekayaan, jalan yang dilalui Forrest terbilang cukup berliku. Namun menariknya, dia bukanlah tipe orang yang pelit ketika uang berlimpah urah. Yang menjadi buah bibir darinya adalah bahwa dia bukan hanya terkaya, melainkan juga dermawan dan sangat peduli orang sekitar, terutama nasib kaum Aborigin: suku asli yang dipinggirkan dari arus besar pembangunan di Negeri Kanguru.

Selama dua tahun terakhir, Forrest telah meluncurkan program Generation One. Ini adalah

program untuk melatih dan mencarikan kerja buat orang Aborigin. Seperti diketahui, suku ini adalah penduduk asli Australia yang terpinggirkan dalam proses pembangunan di Negeri Kanguru. Tapi mengapa menolong Aborigin?

Forrest mengaku meluangkan banyak waktu di masa kecilnya dengan anak-anak Aborigin. “Mereka yang mengajariku berburu, melacak dan berkelahi,” katanya. Tapi bukan sekedar mengenang masa lalu yang membuatnya menolong orang-orang Aborigin. Menurutnya, menolong orang Aborigin bahkan akan menjadi kunci masa depan bisnisnya karena mereka akan terlibat banyak dalam bisnis pertambangan.

Generation One itu sendiri merupakan menjadi proyek filantropinya yang paling ambisius. Tapi Forrest tak sendirian. Dia mengajak serta orang-orang kaya Australia diantaranya James Packer, Kerry Stokes dan Lindsay Fox. Besarnya sumbangan ketiga orang ini bersama Forrest tak diketahui publik. Namun setidaknya diyakini masing-masing dari mereka menyumbang US$1,8 juta untuk mengampanyekan program ini.

Ide Generation One adalah memotong kompas peran pemerintah dan menggunakan periklanan untuk meningkatkan kesadaran publik untuk menyediakan peluang kerja bagi orang-orang Abogirin. Forrest menyatakan bahwa keputusan untuk tidak melibatkan pemerintah pada Generation One adalah penting agar proyek ini tidak bersifat partisan. "Kami tak ingin kebijakan yang dibuat pemerintah,” katanya. “Saya percaya kita dapat menciptakan welfare dependency,” tandasnya.

Membantu orang Aborigin hanyalah bagian dari dimensi filantropi Forrest. Dia sendiri berjanji untuk memberikan kekayaannya, juga kehidupannya untuk filantrofi. "Saya dedikasikan separuh hidup untuk filantropi,” katanya.

Itu benar adanya. Filantrofi memang seakan jadi hobi Forrest. Jauh sebelumnya, dia telah menyumbang Australian Children's Trust, sebuah organisasi yang menolong anak-anak suku terasing. Caranya? Dia memberi saham pada Children's Trust yang sekarang bernilai US$35 juta.

Dalam urusan filantropi, Forrest menyatakan bahwa dia menggunakan orang-orang AS sebagai modelnya dalam berderma. “Saya telah pelajari apa yang Bill dan Melinda Gates lakukan, seperti juga halnya Warren Buffet. Saya berharap pebisnis Australia mengikuti mereka,” katanya.

Melihat kedermawanannya itu, tidak heran bila Forrest termasuk pebisnis yang dikagumi di Australia. Dia membuktikan pebisnis bukan semata pemburu profit, tapi juga bertanggung jawab pada masyarakat. Kalau sudah begini, menyebut Twiggy, sama dengan mengingat seorang dermawan.