Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, October 25, 2012

Spirit di Balik Sepatu dan Filter Air



Gerakan kewirausahaan sosial kian menyebar di seantero dunia. Kisah SoleRebels dan Ecofiltro adalah sedikit gambaran tentang hal ini.

Delapan tahun lalu semuanya bermula. Di tahun 2004 itu, seorang wanita pertengahan usia 20-an, Bethlehem Tilahun Alemu berpikir ada yang bisa dilakukannya untuk membantu masyarakat tempatnya tinggal, Zenabwork. Ini adalah lingkungan di sekitar Addis Ababa, Ethiopia, tempat Alemu dilahirkan. Sebuah lingkungan miskin, diisi pengangguran yang tak tahu mau bekerja apa.

Alemu berpikir demikian karena di tengah kemiskinan, wanita yang seorang akuntan ini melihat sesungguhnya ada sebuah potensi besar yang belum digerakkan di Zenabwork. Mutiara yang belum diasah, pikirnya. Dia melihat orang-orang sekitar punya cita rasa desain. Punya talenta seni yang belum tersalurkan. “Mereka punya kemampuan, tapi tak punya peluang untuk bekerja,” katanya. Sementara itu, di sisi lain, dia juga melihat banyak barang-barang bekas seperti ban yang tidak termanfaatkan. Teronggok tak keruan di pinggir-pinggir jalan.

Seketika dia pun berpikir. Otak kreatifnya bekerja. Dia tahu antara masyarakat dengan barang-barang bekas serta barang-barang daur ulang itu bisa dihubungkan. Apalagi di tingkat global, dia melihat ada rasa lapar untuk mendapatkan produk-produk yang eco-sustainable, yang ramah lingkungan. Maka dalam benak wanita berambut keriting ini pun lahirlah gagasan untuk membuat produk sepatu dan sendal dari bahan tak terpakai, bahan-bahan daur ulang, termasuk ban-ban bekas itu. “Idenya adalah membuat produk mengunakan tangan serta memanfaatkan material lokal oleh orang lokal,” katanya.

Merasa mantap dengan solusi yang dipikirkannya, wanita muda ini pun lalu mendirikan perusahaan dengan menjadikan warga sekitar sebagai tenaga kerja sementara bahan produksi dipasok dari barang bekas serta daur ulang datang dari wilayah yang tak jauh dari Zenabwork. “Saya ambil orang-orang lokal yang belum pengalaman tapi punya talenta,” ujarnya. Lahirlah SoleRebels, sepatu dan sandal dari bahan barang bekas dan daur ulang. Uang US$ 10 ribu dikucurkan Alemu sebagai investasi awal.

Sejak awal, Alemu telah menjadikan misi sosial sebagai nyawa SoleRebels. Dia tak mau mengambil untung untuk kantungnya sendiri. SoleRebels akan menjadi kanal untuk kesejahteraan masyarakat, bukan kemakmuran dirinya. “Idenya bukan saya mengambil untung, tapi untuk masyarakat,” katanya. Karena itu dia menerapkan apa yang populer dengan sebutan fair trade: membayar dengan pantas pada produsen dan pekerja. Sebab, dia menegaskan, SoleRebels berangkat dari sebuah ide: menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk komunitas. Inilah khittah-nya.

Alemu berupaya konsisten dengan tekad tersebut. Dia pun rajin memberikan pelatihan bagi karyawannya. Dan karena ingin produknya eco-sustainable, SoleRebels berkomitmen untuk tetap zero carbon footprint lewat pemanfaatan barang daur ulang. Alemu konsisten menggunakan ban bekas, serat dari alam serta bahan lokal lain yang tak mencemari lingkungan untuk dibuat sendal serta sepatu yang motifnya mengikuti corak tradisional alas kaki karet Selate dan Barabasso yang pernah digunakan pemberontak Ethiophia. Adapun desainnya modern dan mengikuti tren konsumen di Barat.

Berangkat dari nol, tiada dinyana SoleRebels berkembang pesat. Apa yang dipikirkan Alemu benar: produknya disukai masyarakat karena eco-friendly dengan desain modern. SoleRebels bahkan telah menembus pasar ekspor. Kini dalam sehari sekitar 800 pasang sepatu dan sendal dengan bandrol US$ 35-95 diserap pasar. Produknya terjual di 55 negara, kebanyakan melalui riteler individual. Pasar terbesarnya ada di Austria, Kanada, Jepang, Swiss dan AS. Sepatu ini juga dijual online, lewat Amazon dan Endless, juga kanal solerebelsfootwear.co.

“Bisnis kami berjalan bagus. Kami berusaha meraih (pendapatan) US$ 2 juta untuk tahun ini. Lalu US$ 20 juta di tahun 2016. Itulah mengapa kami bekerja keras dan memperluas fasilitas produksi,” kata Alemu. Yang menyenangkannya, orang-orang di Zenabwork kini lebih sejahtera. Pada saat ini, ada 75 karyawan bekerja di pabrik, dan lebih dari 200 pemasok bahan mentah menjadi mitra SoleRebels. Mereka bergandengan tangan membangun kondisi yang lebih baik lewat SoleRebels.


Diam-diam kiprah Alemu ini dipantau. Juni 2012, Alemu menjadi salah satu dari lima orang social entrepreneur yang mendapat penghargaan Social Entrepreneur of the Year 2012 for Africa. Hadiah ini diberikan Schwab Foundation for Social Entrepreneurship pada ajang World Economic Forum on Africa. Lima orang ini diberi penghargaan karena dianggap berperan dalam pengembangan ekonomi, politik dan sosial.

Alemu juga masuk daftar “The World’s Most Powerful Women: Women to Watch” versi Forbes. Lalu World Fair Trade Organization (WFTO) mengganjar SoleRebels sebagai perusahaan pertama di planet bumi yang disebut fair trade green footwear firm karena produknya ramah lingkungan dan menggaji atau membayar pemasok secara fair.

Atas segala prestasinya itu, Alemu tetap rendah hati. “Bisa saya katakan bahwa perjalanan SoleRebels baru saja dimulai,” katanya. Toh dia punya keinginan besar: terus meluaskan pasar sepatu dan sandalnya. “Kami akan membuka ritel SoleRebel di seluruh penjuru bumi mulai dari kota terbesar kedua di Taiwan, Taichung,” katanya. Selanjutnya, gerai baru akan menyusul di Zurich, New York City, Seoul, Chicago dan London. Dengan ekspansi ini, selain agar komunitas di sekitarnya makin sejahtera, juga agar masyarakat dunia tahu spirit di balik sepatu dan sandal SoleRebels: kebersamaan mengatasi kemiskinan.

Bagi Schwab Foundation for Social Entrepreneurship, kemunculan orang-orang seperti Alemu, orang-orang yang berbisnis dengan misi sosial, sangatlah penting di dunia yang makin kapitalistik dan masih terjadi jurang antara yang kaya dan miskin. Tak heran, lembaga ini sangat mendorong munculnya orang-orang yang juga disebut social innovator di pelbagai belahan dunia. Dan harapan ini tampaknya bukan menggantang asap.

Di Guatemala, misalnya, berdiri Ecofiltro. Ini adalah perusahaan penyedia sistem penyaringan air bersih. Produknya adalah filter air yang digunakan untuk menyuling air. Ecofiltro menggunakan bahan murah seperti filter karbon untuk membuat filter air yang bisa menghasilkan air siap minum. Ecofiltro mudah digunakan: cukup tuangkan air dari segala sumber ke dalam filter, yang kemudian menyaring kuman, bakteri serta benda terkontaminasi lainnya. Setelah melewati filter, muncul air bersih yang bebas dari aroma dan warna.


Philip Wilson, CEO Ecofiltro adalah orang di balik perusahaan ini. Jiwa sosialnya tergerak karena menyadari betapa minimnya akses masyarakat Guatemala kepada air bersih. Saat itu Wilson melihat pilihan untuk menyelesaikan masalah air bersih ini bisa saja ditempuhnya melalui gaya karitatif (pemberian bantuan) seperti yang dilakukan kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Namun dia ragu. “Orang-orang LSM bekerja ketika ada bencana. Mereka mencari dana dan membantu siapa yang membutuhkan,” ujarnya. “Tapi jika Anda berurusan dengan isu keberlanjutan, saya benar-benar ragu dengan mereka.” Sebab, pola karitatif semacam ini cenderung bersifat hit and run: sekali datang, langsung selesai. Alhasil, ketimbang mencari bantuan untuk menyediakan air bersih, Wilson memutuskan membuat produk filter air yang pendistribusiannya dibantu bank.

Untuk menggerakkan misi sosialnya, Wilson memang menyambat bantuan dari BanRural, bank Guatemala yang memiliki 1000 cabang. Dalam skema yang dibuat Wilson, BanRural bertindak sebagai institusi pembiayaan. Bank ini memberi bantuan pinjaman kepada masyarakat miskin berpendapatan rendah untuk mendapatkan Ecofiltro yang dibandrol US$ 30 perunit. Wilson percaya dengan cara ini produk filter airnya bisa dimiliki orang-orang miskin. Dia juga yakin cara ini lebih berkelanjutan karena ada produk yang diperjual-belikan sehingga bisa menunjang produksi selanjutnya.

Ecofiltro sungguh sangat fenomenal bagi masyarakat Guatemala. Filter air ini membantu orang miskin, memangkas biaya air bersih dari US$ 15 menjadi US$ 3 perkeluarga setiap bulannya. Harganya yang US$ 30 perunit, terjangkau baik oleh kalangan rumah tangga maupun kelas UMKM. Sampai sekarang Ecofiltro telah mendistribusikan lebih dari 96 ribu filter air di Guatemala.

Selain berusaha membantu masyarakat pada akses air bersih, Wilson juga mencoba menyelesaikan problem sosial, terutama dari sisi kesetaraan gender. Seluruh karyawan paruh waktu adalah kaum Hawa.

Seperti halnya Alemu, karena bisnisnya membantu menyelesaikan persoalan sosial, Wilson beserta Ecofiltro-nya juga telah mendapat banyak penghargaan. Termasuk yang bergengsi adalah Latin America Social Entrepreneur of the Year 2012 dari Schwab Foundation for Social Entrepreneurship. Penghargaan ini diberikan April lalu di Puerto Vallarta, Meksiko.

Apa yang dipikirkan Wilson tentang keberlanjutan usaha ternyata benar adanya. Sekalipun bermisi sosial, bisnis Ecofiltro berkembang secara finansial. Mempekerjakan 110 orang, Wilson mengapalkan 120 ribu filter air di tahun 2012 dan akan meningkat menjadi 240 ribu di tahun 2013. Akhir tahun 2011, Ecofiltro meraup pendapatan US$ 1 juta. Melihat perkembangan itu, Wilson pun kini sedang bersiap-siap untuk melebarkan sayap bisnis sosialnya. Rencananya, Ecofiltro akan berekspansi ke El-Salvador dan Honduras di akhir 2012. Tujuan besar Wilson adalah membangun 100 pabrik di 100 negara pada akhir 2020.

Orang boleh menganggapnya ambisius. Namun seperti halnya Alemu, Wilson adalah entrepreneur dengan misi suci. Apa yang dilakukannya adalah upaya menjawab tantangan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang menyatakan lebih dari 1 miliar orang tak memiliki akses ke sumber air bersih. Sekalipun sejumlah metode purifikasi air tersedia, seperti klorinasi, ternyata banyak yang secara kultural tidak bisa diterima atau tidak ramah lingkungan. Di titik ini Ecofiltro memainkan peranannya. Ecofiltro berupaya mengatasi masalah krisis air yang akut di negara berkembang.

Sejumlah universitas, termasuk MIT (Massachusetts Institute of Technology) telah mempelajari efektifitas Ecofiltro. Dan kajian lapangan pada lebih dari 1000 keluarga telah mengonfirmasi bahwa Ecofiltro memang aman dan sehat untuk digunakan.

Seperti halnya Afrika, kawasan Amerika Latin terhitung cukup subur untuk melahirkan social entrepreneur. Dan menariknya, gerakan yang berbasis filantropi, atau charity, semakin dianggap kurang pas untuk menyelesaikan persoalan sosial, terutama dari sisi keberlanjutannya. Cara yang ditempuh Wilson, yang juga dipraktikkan Alemu, dianggap lebih pas, yakni market-based models dengan menyasar komunitas miskin: mengeluarkan produk yang terjangkau dengan model pembiayaan mandiri atau dibantu lembaga keuangan. Dengan demikian, masyarakat akan bisa mengakses kebutuhannya, dan perusahaan yang memproduksi barang/jasa itu sendiri pun bisa berkelanjutan.

Di Lima, ibu kota Peru, ambil contoh, Juan Carlos Aguilar Macizo – salah seorang fellows Ashoka – memimpin proyek inovatif untuk pengelolaan limbah. Modelnya adalah investasi mandiri yang dilakukan komunitas lokal. Mereka membiayai 40% untuk proyek ini. Aguilar percaya model ini membuat sistem yang berkelanjutan karena komunitas terlibat aktif.

Bicara social entrepreneur yang tengah berkembang di sejumlah belahan dunia, termasuk Indonesia, mau tak mau membuat orang melirik praktik di Inggris. Mesti diakui, di Negeri Ratu Elizabeth ini, wirausaha dan kewirausahaan sosial telah berkembang sejak tahun 1970-an sewaktu komunitas masyarakat menggunakan pendekatan kewirausahaaan sosial untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan di sekitar mereka.

Perlahan tapi pasti, social entrepreneur berkembang pesat di Inggris. Kini setidaknya ada 60 ribu organisasi melakukan kegiatan kewirausahaan sosial dengan total pendapatan setahun hingga 27 miliar poundsterling, setara dengan 5% total bisnis yang berputar di negeri itu. Tak heran bila sektor ini seperti sektor bisnis tersendiri.

Perkembangan positif ini tak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah Kerajaan Inggris yang sangat mendukung gerakan ini. Pada tahun 2006, umpamanya, pemerintah Inggris membuat The Office of The Third Sector di bawah Kantor Perdana Menteri. Kantor ini dibentuk untuk membantu Sektor Ketiga sekaligus mendorong terciptanya lingkungan kondusif bagi perkembangan sektor ini. Sektor Ketiga adalah sektor non-pemerintah yang value driven dan menginvestasikan surplus keuangannya untuk meraih kesejahteraan sosial, lingkungan dan budaya. Social entrepreneur serta aneka lembaga kemasyarakatan termasuk yayasan wakaf dan koperasi adalah bagian dari Sektor Ketiga.

Bagi Pemerintah Inggris, Sektor Ketiga adalah semacam jalan tengah diantara kapitalisme dan sosialisme untuk membantu kesejahteraan sosial sehingga sangat didorong perkembangannya. Di tataran politik, konsep jalan tengah telah lama dikampanyekan partai-partai sosial-demokrat, seperti Partai Buruh. Sejak krisis 2008 dan krisis yang kini melanda Eropa, konsep jalan tengah itu kini menguat kembali dan semakin diperhitungkan.

Tak hanya Inggris yang memperhatikan sektor non-profit seperti ini. Embahnya kapitalisme, Amerika Serikat juga mendorong perkembangannya. Pada Mei 2009, ambil contoh, Presiden Barack Obama bahkan membentuk Social Innovation Fund di bawah kendali The White House Office of Social Innovation and Civic Participation. Kantor ini menggalang dana US$ 50 juta untuk membantu mewujudkan program-program nirlaba serta memperluas cakupan layanannya ke seluruh negeri. Mereka menghimpun dan mengoordinasikan individu, wirausaha sosial serta yayasan untuk memecahkan tantangan-tantangan besar dalam bidang sosial.

Gelombang social enterprise memang tak bisa lagi ditahan. Kalangan civil society percaya mereka tak bisa terlalu mengandalkan negara dalam menyelesaikan persoalan sosial, juga kalangan perusahaan serta pebisnis, terutama mereka yang terlalu memburu laba. Alhasil, orang-orang seperti Alemu dan Wilson, diyakini akan semakin banyak meramaikan dunia. Dan bila itu terjadi, akan banyak produk yang menyusul Sandal SoleRebels dan Ecofiltro yang merambah banyak tempat untuk menyebarkan spirit kewirausahaan sosial. ***


Thursday, October 4, 2012

Kultur dalam Perusahaan Kreatif




Di balik produk dan layanan yang kreatif, terdapat kultur yang mendorong karyawan memiliki kreativitas yang tinggi. Kraft dan Starbucks adalah contohnya.

Betapa pentingnya arti kreativitas bagi perusahaan tergambar lewat studi yang digelar IBM. Tahun 2010, IBM melakukan studi atas 1500 CEO global. Hasilnya, para pemuncak korporasi itu mengidentifikasi bahwa kreativitas berada di urutan nomor wahid dalam hal kompetensi pemimpin. Para CEO itu percaya sepenuhnya: kreativitas akan mendorong pertumbuhan perusahaan.

Menyadari pentingnya kreativitas, sejumlah perusahaan pun berupaya mendorong karyawannya terus kreatif, terutama dalam menciptakan produk. Di Kraft Foods Inc., misalnya. Manajemen Kraft menciptakan budaya kreativitas dan inovasi, terutama bagi 3300 karyawannya yang bekerja di 15 pusat penelitian Kraft di seluruh dunia. Bisa dikatakan, merekalah yang menjadi ujung tombak dalam menghasilkan produk-produk unggulan di pasar.





Carol Oman, Associate Principal Scientist of Consumer Innovation, Kraft Foods Research, Development & Quality menceritakan kebijakan yang dibuat Kraft terkait kreativitas karyawannya. Secara umum, dia menuturkan, tim pengembangan produk baru disebar di seluruh unit bisnis, diorganisasikan di sekitar bagian yang mengurusi produk dan merek.

Alur penciptaan produk baru di Kraft memiliki pola tersendiri. Lazimnya semua bermula dari consumer insight. Dari sini diketahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen, termasuk persoalan-persoalan yang sekiranya dihadapi konsumen dan tak bisa mereka pecahkan sendiri. Namun ini hanyalah tahap awal, titik munculnya sebuah isu di kalangan konsumen. selanjutnya, dalam kultur kreatif di Kraft, proses penciptaan produk baru yang memenuhi kebutuhan konsumen akan melewati dua fase: diverging dan converging.

Fase pertama, diverging, adalah sesi ketika pikiran orang-orang bebas berkelana untuk mengembangkan ide-ide mereka untuk menjawab tantangan yang muncul dari consumer insight. Semua orang dalam tim dipancing berpikir kreatif. Namun sekalipun gagasan bebas berkeliaran, para kreator ini harus tetap fokus pada isu utama. Fase ini dalam budaya Kraft disebut sebagai fase ideation.

Dalam sesi ini, hal yang sangat ditekankan pada anggota tim kreator adalah wajib mengetahui latar belakang mereka berkumpul berikut sasaran yang ingin dicapai. Mereka harus mengetahui mengapa ada di sana, apa yang akan dilakukan, serta sejarah tantangan yang dihadapi. Mengapa hal itu penting?

Manajemen Kraft meyakini bahwa ide yang bersifat “aha”, tidak datang sendiri dari seorang yang superjenius. Ide-ide brilian, biasanya tumbuh dari pengetahuan masa kini dan pengalaman (sejarah), juga dari kolaborasi sejumlah orang, bukan seseorang. Mengetahui mengapa duduk bersama dan pentingnya berkolaborasi merupakan persiapan untuk brainstroming yang sukses karena orang akan bekerja ke arah tujuan yang sama.

Setelah muncul sejumlah gagasan, masuklah fase kedua, converging. Ini adalah tahap mengritik dan menyeleksi ide. Dalam kultur Kraft, tahap ini sering juga disebut fase evaluasi. Bagian ini tak bisa dihilangkan karena ide yang muncul tidak bersifat final dan mutlak, apalagi gagasan yang muncul juga banyak sehingga terkadang diperlukan modifikasi agar dari seluruh gagasan yang muncul, yang terpilih adalah sesuatu yang benar-benar berguna. “Ini fase kritikal. Dengan adanya evaluasi, kami akan bisa menyortir, memprioritaskan dan menyuling semua ide sehingga akan benar-benar muncul solusi yang tepat buat konsumen,” kata Carol.

Dari fase diverging ke converging, ungkap Carol, biasanya ada fase inkubasi. Ide-ide yang muncul dalam fase diverging dibiarkan mengendap terlebih dahulu. Setelah itu barulah tim memikir ulang ide yang ada lewat evaluasi yang menyeluruh sampai dihasilkan solusi yang tepat. “Waktu inkubasi biasanya terbatas karena kecepatan ke pasar sangatlah penting. Proses dapat terjadi dalam sejam, sebulan, tergantung pada banyak faktor,” Carol menjelaskan. Bila sudah mantap dengan keputusannya, tim akan datang ke manajemen Kraft dengan konsep yang dianggap memenuhi kebutuhan konsumen. “Selanjutnya, prototipe produk diciptakan dan dites ke konsumen. Kemudian dibuat produknya, baru setelah itu diluncurkan ke pasar,” dia menambahkan.

Untuk menciptakan iklim yang kreatif, manajemen Kraft berupaya melakukannya sejak dari awal. Pada saat seleksi karyawan untuk tim produksi, manajemen Kraft mengakui sangatlah tidak mudah untuk mengukur serta memprediksi kreativitas. Biasanya, mereka meminta calon karyawannya menjelaskan apa solusi kreatif yang telah mereka buat dalam karir dan hidupnya. Dengan cara ini diharapkan calon karyawan memiliki tiga hal penting: punya pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dengan masalah yang bersifat harus dipecahkan; memahami ilmu dan teknologi; terbiasa dengan pemikiran kreatif.

Kreativitas, Carol memaparkan, merupakan kemampuan yang sangat berharga pada diri karyawan. “Namun itu bukan satu-satunya kualitas yang dicari manajemen Kraft saat menarik karyawan. Aspek fleksibilitas serta keinginan mencoba pendekatan baru dan berbeda menjadi faktor penting. Kemampuan bekerja sama dalam tim, mengapresiasi keberagaman pemikiran, latar belakang, opini dan pengalaman, juga kemampuan melihat big picture adalah sifat-sifat yang memperkuat kreativitas,” dia menjelaskan panjang lebar.

Lantaran tak mudah mendeteksi atau mengukur level kreativitas karyawan di awal rekrutmen, Kraft berusaha menciptakan kultur yang akan membangkitkan kreativitas seseorang dalam perusahaan. Manajemen Kraft percaya bahwa kemampuan kreatif seseorang datang dari beragam sumber: bakat alam, belajar dari orang lain, praktik, termasuk juga mempelajari peranti kreatif. Semakin sering berpikir kreatif, kata Carol, maka seseorang akan semakin kreatif.

Dalam upaya itu, para pemimpin di Kraft Food harus menciptakan suasana seperti musik jazz yang memungkinkan orang melakukan improvisasi. Mereka memimpin dengan pola mempengaruhi. Para pemimpin berbagi keahlian dan konsultasi dalam proyek-proyek inovasi. Mereka mendorong tumbuh kembangnya pola pikir divergent dan convergent. Manajemen Kraft percaya bahwa kreativitas dapat diajarkan. Dan orang bisa fokus pada kemampuan kreatifnya dengan cara memaksimalkannya melalui praktik.

Itulah yang dibangun di Kraft. “Sesungguhnya kreativitas bukan sekedar menciptakan musik atau menulis buku. Ini tentang mengobservasi, memahami, meneliti, menghubungkan, mengklarifikasi, memodifikasi dan membuat hal baru,” kata Carol. Agar bisa melakukan observasi dan hal-hal di atas (memahami, dst.), di lingkungan Kraft, area kerja dibuat senyaman mungkin agar lahir kreativitas dan kolaborasi ide. Sejumlah ruangan disediakan perangkat-perangkat kreatif, minimal white boards dan flipcharts. Ada juga peranti mainan untuk berpikir (toys to think) agar orang mau berimajinasi mencari inspirasi.

Hasilnya adalah seperti yang dikenal publik saat ini. Lewat proses dan sistem yang memicu tumbuhnya kultur kreatif, Kraft Foods adalah salah satu pemain terdepan untuk produk-produk makanan. Di dapur, kulkas dan meja makan, produk-produknya menjadi pilihan di banyak negara.

Perusahaan lain yang sangat menaruh perhatian pada kreativitas adalah Starbucks. Saking pentingnya kreativitas, perusahaan yang merevolusi gaya minum kopi di dunia ini membuat posisi khusus: Chief Creative Officer yang ditempati Arthur Rubinfeld.

Kreativitas boleh dikata menjadi jantungnya Starbucks. Dan menariknya, di balik gerai serta produk-produk Starbucks yang inovatif, ada sebuah proses yang terkait sangat erat. Idea Sandbox, konsultan yang membantu Starbucks dalam hal mengelola program kreativitas dan inovasi, mengungkap bahwa ada 5 langkah yang dilakukan di Starbucks untuk menumbuhkan kultur kreatif.

Yang pertama, marketing author series. Manajemen Starbucks membuat sejumlah rangkaian seminar pemasaran. Guru-guru pemasaran, inovasi dan kreativitas dibawa ke markas besar Starbucks untuk berdiskusi dan berbagi seputar konsep-konsep mutakhir. Kedua, creativity lab. Membuat ruang konferensi serta laboratorium kreatif yang didesain untuk tempat melakukan brainstroming gagasan. Ketiga, creativity curriculum and website. Membuat website berisi kurikulum untuk memperkuat kemampuan dalam hal kreativitas dan problem solving.

Adapun yang keempat adalah group challenge. Dibuat sebuah kelompok yang bersifat interaktif dan kolaboratif. Anggota tim dipancing untuk saling berbagi informasi, saran serta solusi yang harus dipecahkan bersama. Terakhir (kelima) adalah apa yang disebut in the know presentations, yakni kajian yang komprehensif berbasis riset yang mengupas posisi Starbucks berikut tren pemasaran di seluruh dunia.

Hasilnya adalah kultur kreatif yang luar biasa. Salah satu yang terlihat adalah desain kafe. Saking hebatnya gerai-gerai kafe Starbucks, Juni 2012, studi yang digelar Ravi Mehta, guru besar administrasi bisnis di University of Illinois at Urbana-Champaign menyebut bahwa lingkungan yang seperti kafe kopi yang tidak terlalu tenang, dengan ambien yang moderat, yang tidak sehening perpustakaan justru memicu kreativitas seseorang. Ide-ide baru, kata Mehta yang melakukan penelitian bersama koleganya, Rui (Juliet) Zhu dan Amar Cheema, muncul dalam suasana seperti ini.

Jangan heran bila gerai Starbucks dipuji sebagai tempat untuk melahirkan pemikiran kreatif. Desain sangatlah diperhatikan oleh manajemen Starbucks. Sejak dimulai dari satu gerai di Seattle, desain gerai memang digunakan untuk membantu menjual gaya hidup minum kopi kepada pelanggan. Tim dari Starbucks Global Creative bahkan secara teratur mengubah tema desain gerai kopi mereka yang kini mencapai 19.972 outlet, yang dibuat sekreatif mungkin di setiap negara (tersebar di 60 negara). Baru-baru ini, gerai yang mendapat pujian adalah gerai kopi Starbucks di Jepang. Gerai di dekat biara Dazaifu Tenman-gu, Fukuoka ini dipuji sebagai gerai yang sangat kreatif. Didesain arsitek Jepang yang terkenal, Kengo Kuma, bagian dinding dan langit-langit gerai ini didominasi batang-batang kayu yang bersilangan secara simetris, yang sangat menarik.


Starbucks Global Creative adalah tim yang terdiri dari 100 orang. Mereka bertanggung jawab dalam urusan kemasan materi iklan dan pemasaran, termasuk juga dari sisi visual merchandising. Dalam tim ini ada juga store design group yang bertanggung jawab pada aspek yang spesifik yakni furniture, fitting dan layout gerai. Adapun untuk merek-merek produk, dikelola oleh brand group yang memikirkan lini produk baru, juga identitas baru -- yang belakangan memancing heboh.

Dalam hal produk, Starbucks mengembangkan pola kreativitas yang menarik. Gerai kopi ini tak hanya mengandalkan kekuatan tim kreatif globalnya, tapi juga mengundang para konsumennya menyumbang saran. Hingga kini, Starbucks bersama komunitas konsumennya telah menciptakan lebih dari 87 ribu jenis minuman. Beberapa yang terkenal, diantaranya adalah Zebra Mochas dan Cinnamon Roll Frappuccinos.

Kraft dan Starbucks hanyalah sedikit perusahaan yang menyadari pentingnya kultur kreatif sebagai pilar pertumbuhan perusahaan. Di luar mereka, ada banyak perusahaan yang bergerak dengan nafas yang sama. Pertanyaannya: bagaimana perusahaan-perusahaan itu tetap kreatif?

Alicia Arnold, dalam tulisannya, Building a Creative Organization (BusinessWeek, 9 September 2010), meyakini bahwa perusahaan-perusahaan yang kreatif tak bisa dilepaskan dari kemampuannya mengelola 4P: people, products, process dan press.

Aspek people adalah membentuk tim yang akan melibatkan diri dalam proses penggalian ide, mengklarifikasi, mengembangkan dan mengimplementasi gagasan. Setelah itu process. Mampu menerapkan gagasan kreatif dalam proses yang benar. Di sini, perusahaan mesti tahu sejumlah proses kreatif, salah satunya adalah Osborne-Parnes Creative Problem Solving Process (CPS). Berikutnya adalah products: memancing customer insights untuk menstimulasi pemikiran-pemikiran kreatif agar dihasilkan produk yang dibutuhkan konsumen. Terakhir adalah press. Yang dimaksud di sini adalah iklim organisasi yang memunculkan kultur kreatif.

Keempat “P” ini, kata Alicia” akan mendorong perusahaan lebih maju dari waktu ke waktu. Dan melihat apa yang dipraktikkan Kraft serta Starbucks, hal-hal di atas dipraktikkan dengan antusias. ***