Gerakan kewirausahaan sosial kian menyebar di seantero dunia. Kisah
SoleRebels dan Ecofiltro adalah sedikit gambaran tentang hal ini.
Alemu berpikir demikian karena
di tengah kemiskinan, wanita yang seorang akuntan ini melihat sesungguhnya ada sebuah
potensi besar yang belum digerakkan
di Zenabwork. Mutiara yang belum diasah, pikirnya. Dia melihat
orang-orang sekitar punya cita rasa desain. Punya talenta seni yang belum tersalurkan.
“Mereka punya
kemampuan, tapi tak punya peluang untuk bekerja,” katanya. Sementara
itu, di sisi lain, dia juga melihat banyak barang-barang bekas seperti ban yang
tidak termanfaatkan. Teronggok tak keruan di pinggir-pinggir jalan.
Seketika dia pun berpikir. Otak
kreatifnya bekerja. Dia
tahu antara masyarakat dengan barang-barang bekas serta
barang-barang daur ulang itu bisa dihubungkan. Apalagi di tingkat global, dia melihat ada
rasa lapar untuk mendapatkan produk-produk yang eco-sustainable,
yang ramah lingkungan. Maka dalam benak wanita berambut keriting ini pun lahirlah
gagasan untuk membuat produk sepatu dan sendal dari bahan tak terpakai,
bahan-bahan daur ulang, termasuk ban-ban bekas itu. “Idenya adalah membuat produk mengunakan tangan
serta memanfaatkan material lokal oleh orang lokal,” katanya.
Merasa mantap dengan solusi
yang dipikirkannya, wanita muda ini pun lalu mendirikan perusahaan dengan
menjadikan warga sekitar sebagai tenaga kerja sementara bahan produksi dipasok dari barang bekas serta
daur ulang datang dari wilayah yang tak jauh dari Zenabwork. “Saya ambil orang-orang lokal
yang belum pengalaman tapi punya talenta,” ujarnya. Lahirlah
SoleRebels, sepatu dan sandal dari bahan barang bekas dan daur ulang. Uang US$ 10 ribu dikucurkan
Alemu sebagai investasi awal.
Sejak awal, Alemu telah
menjadikan misi sosial sebagai nyawa SoleRebels. Dia tak mau mengambil untung
untuk kantungnya sendiri. SoleRebels
akan menjadi kanal untuk kesejahteraan masyarakat, bukan
kemakmuran dirinya. “Idenya
bukan saya mengambil untung, tapi untuk masyarakat,” katanya.
Karena itu dia menerapkan apa yang populer dengan sebutan fair trade: membayar dengan pantas pada
produsen dan pekerja.
Sebab, dia menegaskan, SoleRebels berangkat dari sebuah ide: menciptakan
lapangan pekerjaan sekaligus menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk
komunitas. Inilah khittah-nya.
Alemu berupaya konsisten dengan
tekad tersebut. Dia pun rajin memberikan
pelatihan bagi karyawannya. Dan karena ingin produknya eco-sustainable,
SoleRebels
berkomitmen untuk tetap zero carbon footprint lewat pemanfaatan barang
daur ulang.
Alemu konsisten menggunakan ban bekas, serat dari alam serta bahan lokal lain yang
tak mencemari lingkungan untuk dibuat sendal serta sepatu yang motifnya
mengikuti corak tradisional alas kaki karet Selate dan Barabasso yang pernah
digunakan pemberontak Ethiophia. Adapun desainnya modern dan mengikuti tren
konsumen di Barat.
Berangkat dari nol, tiada dinyana SoleRebels
berkembang pesat. Apa yang dipikirkan Alemu benar: produknya disukai masyarakat
karena eco-friendly dengan desain modern. SoleRebels bahkan telah
menembus pasar ekspor. Kini dalam
sehari sekitar 800 pasang sepatu dan sendal dengan bandrol US$
35-95 diserap pasar. Produknya terjual di 55 negara,
kebanyakan melalui riteler individual. Pasar terbesarnya ada di Austria,
Kanada, Jepang, Swiss dan AS. Sepatu ini juga dijual online, lewat Amazon
dan Endless, juga kanal solerebelsfootwear.co.
“Bisnis kami berjalan bagus.
Kami berusaha meraih (pendapatan) US$ 2 juta untuk tahun ini. Lalu US$ 20 juta
di tahun 2016. Itulah mengapa kami bekerja keras dan memperluas fasilitas
produksi,” kata Alemu.
Yang menyenangkannya, orang-orang di Zenabwork kini lebih sejahtera. Pada saat
ini, ada 75 karyawan bekerja di pabrik, dan lebih dari 200 pemasok bahan mentah
menjadi mitra SoleRebels. Mereka bergandengan tangan membangun kondisi yang
lebih baik lewat
SoleRebels.
Diam-diam kiprah Alemu ini
dipantau. Juni 2012, Alemu menjadi salah satu dari lima orang social entrepreneur yang mendapat penghargaan Social Entrepreneur of the Year 2012 for Africa.
Hadiah ini diberikan Schwab
Foundation for Social Entrepreneurship pada ajang World
Economic Forum on Africa.
Lima orang ini diberi penghargaan karena dianggap berperan dalam pengembangan ekonomi,
politik dan sosial.
Alemu
juga masuk daftar “The World’s Most Powerful Women: Women to
Watch” versi Forbes. Lalu World
Fair Trade Organization (WFTO) mengganjar SoleRebels
sebagai perusahaan
pertama di planet bumi yang
disebut fair trade green footwear firm
karena produknya ramah lingkungan dan menggaji atau membayar pemasok secara fair.
Atas segala prestasinya itu,
Alemu tetap rendah hati. “Bisa
saya katakan bahwa
perjalanan SoleRebels baru saja dimulai,” katanya. Toh dia punya
keinginan besar: terus meluaskan pasar
sepatu dan sandalnya. “Kami akan membuka ritel SoleRebel di seluruh penjuru
bumi mulai dari kota terbesar kedua di Taiwan, Taichung,” katanya. Selanjutnya, gerai baru akan menyusul di Zurich, New York City, Seoul,
Chicago dan London. Dengan ekspansi ini, selain agar komunitas di sekitarnya
makin sejahtera, juga agar masyarakat dunia tahu spirit di balik sepatu dan
sandal SoleRebels: kebersamaan mengatasi kemiskinan.
Bagi Schwab Foundation for Social
Entrepreneurship, kemunculan orang-orang seperti Alemu, orang-orang yang berbisnis
dengan misi sosial, sangatlah penting di dunia yang makin kapitalistik dan
masih terjadi jurang antara yang kaya dan miskin. Tak heran, lembaga ini sangat
mendorong munculnya orang-orang yang juga disebut social innovator di pelbagai belahan dunia. Dan harapan ini
tampaknya bukan menggantang asap.
Di Guatemala, misalnya, berdiri Ecofiltro. Ini
adalah perusahaan penyedia sistem penyaringan air bersih. Produknya adalah
filter air yang digunakan untuk menyuling air. Ecofiltro menggunakan bahan
murah seperti filter karbon untuk membuat filter air yang bisa menghasilkan air
siap minum. Ecofiltro mudah digunakan: cukup tuangkan air
dari segala sumber ke dalam filter, yang kemudian menyaring kuman, bakteri serta benda terkontaminasi lainnya. Setelah melewati filter, muncul
air bersih yang bebas dari aroma dan warna.
Philip
Wilson, CEO Ecofiltro
adalah orang di balik perusahaan
ini. Jiwa sosialnya tergerak karena menyadari betapa minimnya akses masyarakat
Guatemala kepada air bersih. Saat itu Wilson melihat pilihan untuk
menyelesaikan masalah air bersih ini bisa saja ditempuhnya melalui gaya karitatif
(pemberian bantuan) seperti yang dilakukan kalangan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat). Namun dia ragu. “Orang-orang LSM bekerja ketika ada bencana.
Mereka mencari dana dan membantu siapa yang membutuhkan,” ujarnya. “Tapi jika
Anda berurusan dengan isu keberlanjutan, saya benar-benar ragu dengan mereka.”
Sebab, pola karitatif semacam ini cenderung bersifat hit and run: sekali datang, langsung selesai. Alhasil, ketimbang
mencari bantuan untuk menyediakan air bersih, Wilson memutuskan membuat produk
filter air yang pendistribusiannya dibantu bank.
Untuk menggerakkan misi sosialnya, Wilson
memang menyambat bantuan dari BanRural, bank Guatemala yang memiliki 1000
cabang. Dalam skema yang dibuat Wilson, BanRural bertindak sebagai institusi
pembiayaan. Bank ini memberi bantuan pinjaman kepada masyarakat miskin
berpendapatan rendah untuk mendapatkan Ecofiltro yang dibandrol US$ 30 perunit.
Wilson percaya dengan cara ini produk filter airnya bisa dimiliki orang-orang
miskin. Dia juga yakin cara ini lebih berkelanjutan karena ada produk yang
diperjual-belikan sehingga bisa menunjang produksi selanjutnya.
Ecofiltro sungguh sangat fenomenal bagi
masyarakat Guatemala. Filter air ini membantu orang miskin, memangkas biaya air
bersih dari US$ 15 menjadi US$ 3 perkeluarga setiap bulannya. Harganya yang US$
30 perunit, terjangkau baik oleh kalangan rumah tangga maupun kelas UMKM. Sampai
sekarang Ecofiltro telah mendistribusikan lebih dari 96
ribu filter air di Guatemala.
Selain berusaha membantu masyarakat pada akses
air bersih, Wilson juga mencoba menyelesaikan problem sosial, terutama dari
sisi kesetaraan gender. Seluruh karyawan paruh waktu adalah kaum Hawa.
Seperti halnya Alemu, karena bisnisnya membantu
menyelesaikan persoalan sosial, Wilson beserta Ecofiltro-nya juga telah mendapat banyak penghargaan.
Termasuk yang bergengsi adalah Latin
America Social Entrepreneur of the Year 2012 dari Schwab
Foundation for Social Entrepreneurship. Penghargaan ini diberikan April lalu di Puerto Vallarta, Meksiko.
Apa yang dipikirkan Wilson tentang
keberlanjutan usaha ternyata benar adanya. Sekalipun bermisi sosial, bisnis
Ecofiltro berkembang secara finansial. Mempekerjakan 110 orang, Wilson
mengapalkan 120 ribu filter air di tahun 2012 dan akan meningkat menjadi 240
ribu di tahun 2013. Akhir tahun 2011, Ecofiltro meraup pendapatan US$ 1 juta.
Melihat perkembangan itu, Wilson pun kini sedang bersiap-siap untuk melebarkan
sayap bisnis sosialnya. Rencananya, Ecofiltro akan berekspansi ke El-Salvador
dan Honduras di akhir 2012. Tujuan besar Wilson adalah membangun 100 pabrik di
100 negara pada akhir 2020.
Orang boleh menganggapnya ambisius. Namun
seperti halnya Alemu, Wilson adalah entrepreneur
dengan misi suci. Apa yang dilakukannya adalah upaya menjawab tantangan WHO
(Organisasi Kesehatan Dunia) yang menyatakan lebih dari 1 miliar orang tak
memiliki akses ke sumber air bersih. Sekalipun sejumlah metode purifikasi air
tersedia, seperti klorinasi, ternyata banyak yang secara kultural tidak bisa diterima
atau tidak ramah lingkungan. Di titik ini Ecofiltro memainkan peranannya. Ecofiltro berupaya mengatasi masalah krisis air yang akut di negara
berkembang.
Sejumlah universitas, termasuk MIT (Massachusetts
Institute of Technology) telah mempelajari efektifitas Ecofiltro. Dan kajian
lapangan pada lebih dari 1000 keluarga telah mengonfirmasi bahwa Ecofiltro memang
aman dan sehat untuk digunakan.
Seperti halnya Afrika, kawasan
Amerika Latin terhitung cukup subur untuk melahirkan social entrepreneur. Dan menariknya, gerakan yang berbasis
filantropi, atau charity, semakin
dianggap kurang pas untuk menyelesaikan persoalan sosial, terutama dari sisi
keberlanjutannya. Cara yang ditempuh Wilson, yang juga dipraktikkan Alemu,
dianggap lebih pas, yakni market-based
models dengan menyasar komunitas miskin: mengeluarkan produk yang
terjangkau dengan model pembiayaan mandiri atau dibantu lembaga keuangan.
Dengan demikian, masyarakat akan bisa mengakses kebutuhannya, dan perusahaan
yang memproduksi barang/jasa itu sendiri pun bisa berkelanjutan.
Di Lima, ibu kota Peru, ambil
contoh, Juan Carlos Aguilar Macizo – salah seorang fellows Ashoka – memimpin proyek inovatif untuk pengelolaan limbah.
Modelnya adalah investasi mandiri yang dilakukan komunitas lokal. Mereka membiayai
40% untuk proyek ini. Aguilar percaya model ini membuat sistem yang
berkelanjutan karena komunitas terlibat aktif.
Bicara
social entrepreneur yang tengah
berkembang di sejumlah belahan dunia, termasuk Indonesia, mau tak mau membuat
orang melirik praktik di Inggris. Mesti diakui, di Negeri Ratu Elizabeth ini, wirausaha
dan kewirausahaan sosial telah berkembang sejak tahun 1970-an sewaktu komunitas masyarakat menggunakan
pendekatan kewirausahaaan sosial untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial,
ekonomi dan lingkungan di sekitar mereka.
Perlahan
tapi pasti, social entrepreneur berkembang pesat di Inggris.
Kini setidaknya ada 60
ribu organisasi melakukan kegiatan kewirausahaan sosial dengan total pendapatan
setahun hingga 27 miliar poundsterling, setara dengan 5% total bisnis yang
berputar di negeri itu. Tak heran bila sektor ini seperti sektor bisnis
tersendiri.
Perkembangan
positif ini tak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah Kerajaan Inggris yang
sangat mendukung gerakan ini. Pada
tahun 2006, umpamanya, pemerintah Inggris membuat The Office of The Third Sector di bawah Kantor Perdana Menteri.
Kantor ini dibentuk untuk membantu Sektor Ketiga sekaligus mendorong
terciptanya lingkungan kondusif bagi perkembangan sektor ini. Sektor Ketiga adalah
sektor non-pemerintah yang value driven
dan menginvestasikan surplus keuangannya untuk meraih kesejahteraan sosial,
lingkungan dan budaya. Social
entrepreneur serta aneka lembaga kemasyarakatan termasuk yayasan wakaf dan
koperasi adalah bagian dari Sektor Ketiga.
Bagi
Pemerintah Inggris, Sektor Ketiga adalah semacam jalan tengah diantara
kapitalisme dan sosialisme untuk membantu kesejahteraan sosial sehingga sangat
didorong perkembangannya. Di tataran politik, konsep jalan tengah telah lama
dikampanyekan partai-partai sosial-demokrat, seperti Partai Buruh. Sejak krisis
2008 dan krisis yang kini melanda Eropa, konsep jalan tengah itu kini menguat
kembali dan semakin diperhitungkan.
Tak hanya Inggris yang memperhatikan sektor
non-profit seperti ini. Embahnya
kapitalisme, Amerika Serikat juga mendorong perkembangannya. Pada Mei 2009, ambil
contoh, Presiden Barack Obama bahkan membentuk Social Innovation Fund
di bawah kendali The White House Office of Social Innovation and Civic
Participation. Kantor ini menggalang dana US$ 50 juta untuk membantu mewujudkan program-program nirlaba serta memperluas cakupan layanannya ke seluruh
negeri. Mereka menghimpun dan mengoordinasikan
individu, wirausaha
sosial serta yayasan untuk memecahkan tantangan-tantangan besar dalam
bidang sosial.
Gelombang
social enterprise memang tak bisa
lagi ditahan. Kalangan civil society
percaya mereka tak bisa terlalu mengandalkan negara dalam menyelesaikan
persoalan sosial, juga kalangan perusahaan serta pebisnis, terutama mereka yang
terlalu memburu laba. Alhasil, orang-orang seperti Alemu dan Wilson, diyakini
akan semakin banyak meramaikan dunia. Dan bila itu terjadi, akan banyak produk
yang menyusul Sandal SoleRebels dan Ecofiltro yang merambah banyak tempat untuk
menyebarkan spirit kewirausahaan sosial. ***