Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, October 21, 2010

Insider atau Outsider?

Setelah krisis global menepi, beberapa isu menantang para pemimpin bisnis. Diantaranya adalah managing change, improving growth, dan isu sensitif: mengganti para pemimpin tak berkinerja apik. Persoalannya: ambil dari dalam atau luar?

Inilah celoteh ringan dari Taman Tanah Abang III

SEPTEMBER 2010 menjadi bulan kelabu bagi Olli-Pekka Kallasvuo. Lelaki yang akrab disapa OPK itu harus merelakan kursi CEO Nokia lepas dari genggamannya. Dan kini, dia pun menjadi olok-olok dengan sebuat “dead man walking”, seorang pecundang.

Dunia memang kejam bagi Kallasvuo. Masih lekat dalam ingatan, musim panas 2006 menjadi masa terhebat dalam karirnya. Dia didapuk menjadi bos raksasa ponsel dari Finlandia itu. Tapi rupanya bulan madu itu berlangsung demikian cepat. 6 bulan setelah penahbisannya, tanda-tanda kehancuran sudah membayanginya. Dan bayang-bayang itu muncul dari Steve Jobs yang meluncurkan iPhone.

Benar saja. iPhone merebut hati banyak orang. Ujungnya, Nokia perlahan tapi pasti terjun bebas. Marjin labanya terus merosot dari 17% menjadi 7%. Sahamnya pun rontok karena investor kian tak percaya.

Kekalahan Nokia, dan itu teramat jelas, adalah sektor smartphone. Pasarnya terus tergerus disikat iPhone dan BlackBerry yang merajalela dengan rakusnya. Parahnya, sementara dua pesaingnya itu kian membesar, ancaman baru kini telah hadir dari markas Google: Android. Lengkap sudah derita Nokia.

Sangat mudah menunjuk biang kerok porak-porandanya jagoan yang satu ini: Symbian. Sementara para kompetitor muncul dengan sistem operasi yang ciamik, Symbian seperti ketinggalan jaman. Pesaing juga muncul dengan application store yang memanjakan pengguna: beragam, dan banyak yang gratisan.

Nokia sebenarnya melawan, diantaranya lewat ovi store. Tapi itu rupanya belum cukup. Ia tetap kalah cool dibanding pesaingnya. Padahal, raksasa ini demikian besar. Ya, ia sungguh perusahaan global kelas XXXL (triple L), dengan menguasai 35% pasar handset. Jagoan Silicon Valley yang hebat juga mesti mikir-mikir jika dibandingkan dengan perusahaan Eropa ini. Fasilitas R&D-nya, ambil contoh, bukan main-main: ada di 16 negara dengan penjualan di lebih dari 160 negara.

Nokia juga memimpin industri dalam urusan membangung distribusi yang gigantik. Ambil contoh, ia punya 90 ribu outlet penjualan di Cina, 1000 customer-service centres, dilengkapi pasukan tenaga penjualan yang besar sekali. Apple dan BlackBerry belum seperti itu.

Jelas, kemerosotan ini mesti harus ada yang mempertanggungjawabkannya. Maka OPK pun tumbang. Menariknya, yang menggantikannya bukanlah orang dalam. Adalah Stephen Elop yang menggusur OPK. Sebelumnya, lelaki ini adalah bos di Microsoft, memegang divisi bisnis. Dia juga sempat menjadi COO Juniper Networks dan eksekutif di Adobe Systems Inc.

Pemilihan ini tak ayal menggoyang Nokia. Selama bertahun-tahun, raksasa ponsel ini alergi terhadap CEO dari “luar kebun”. Naiknya Elop berujung pada mundurnya sejumlah pejabat puncak Nokia. Salah satunya, Anssi Vanjoki, Executive Vice President and General Manager, Multimedia Nokia. Dia kecewa tak terpilih pemuncak korporasi. "Saya tak menjadi CEO, hanya itu masalahnya, sederhana saja," katanya. Mengabdi di Nokia selama 20 tahun, dia berharap dapat melaju ke singgasana. "Anda tahu, ketika tak terpilih, maka apa yang harus Anda lakukan adalah bertahan atau mundur. Dan saya memilih mundur," sambung pria berusia 54 tahun tersebut.

Suksesi di Nokia adalah salah satu isu yang hot di dunia leadership global yang saling terkait dengan isu lainnya. Setelah krisis global menepi, ada beberapa isu yang melilit para pemimpin bisnis. Diantaranya: managing change. Juga: improving growth. Para pemimpin bisnis kini dituntut untuk melakukan penataan organisasi agar bisa tumbuh lebih cepat, mengisi momentum yang hilang selama periode krisis. Dan selagi pemimpin tak mampu menggenjot pertumbuhan, maka nasibnya sangat jelas: diganti! Tapi organisasi bisnis juga dihadapkan pada pilihan apakah harus mengambil pemimpin dari dalam, insider, atau orang luar (outsider)?

Studi Booz & Co. bertajuk CEO Succession 2000-2009 yang terbit baru-baru ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, tren penunjukkan CEO dari dalam (insider) ternyata terus berlanjut. Terbanyak di Jepang (prosentasenya 96%), menyusul AS (80%), Eropa (73%), dan Asia (72%).

Menurut studi itu, orang dalam dinilai lebih mengetahui seluk-beluk perusahaan dan tantangan yang dihadapi. Dan para insider, masih dalam temuan studi itu, ternyata memang menampilkan performa yang bagus ketika didapuk menjadi pemimpin tertinggi. Bertahun-tahun tinggal di dalam perusahaan, mereka tahu kultur yang ada. Mereka juga relatif bisa diterima kalangan internal perusahaan. Situasi yang membuat nyaman karena tinggal mendongkrak seluruh potensi yang ada menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.

Jauh sebelumnya, lelaki yang dijuluki über-guru, Jim Collins dalam “Good to Great”, telah mengobservasi bahwa lebih dari 90% CEO perusahaan sukses yang menjadi sampelnya, ternyata adalah para insider. Begitu juga Rakesh Khurana dari Harvard Business School. Lewat bukunya, “Searching for a Corporate Saviour”, dia menyatakan bahwa perusahaan yang mengandalkan orang luar, bahkan sekarismatis apapun dia, kerapkali harus memendam kecewa. Para outsider, yang kadang disebut dengan sinisnya sebagai alien boss, seakan dikutuk.

Lantas, mengapa Nokia mengambil jalur eksternal?

Darah segar dari luar diharapkan bisa merevitalisasi perusahaan ini. Rekam jejak Elop juga dianggap kinclong. Dia punya reputasi bagus di dunia peranti lunak, berkemampuan untuk mengelola perubahan dan proyek-proyek peranti lunak yang kompleks. Ingat, Nokia punya masalah besar di sektor sistem operasi.

Ternyata bukan hanya Nokia yang mengambil dari luar. Di Hewlett-Packard, kini kursi tertinggi diduduki orang Jerman, Léo Apotheker, yang menggantikan CEO sebelumnya, Mark Hurd yang terlilit skandal seks dengan seorang artis. Siapa Tuan Apotheker ini?

Dia adalah mantan CEO SAP, raksasa peranti lunak dari Jerman. Sebelum Leo masuk, berembus kabar bahwa yang menggantikan Mark adalah orang internal HP. Tapi seperti halnya di Nokia, orang luar dipilih dengan anggapan bisa membawa darah segar, dengan kompetensi yang dimilikinya.

Leo dikenal jago dalam urusan software, yang nota bene menjadi salah satu titik lemah HP. Dia juga punya pengalaman dalam urusan merger seperti pada Oktober 2007 ketika dia mengarsiteki pembelian Business Objects, perusahaan peranti lunak Prancis-AS, dan mengintegrasikannya dengan SAP. Latar belakang ini juga diyakini akan sangat berguna mengingat HP aktif melakukan akuisisi bernilai miliaran dolar.

Toh bukan berarti keraguan tak menyerbak. Sebab, Tuan Apotheker yang resmi menjadi CEO HP pada 1 November 2010 ini akan menghadapi serangkaian tantangan yang tak ringan, termasuk membangun morale karyawan HP, yang dinodai Mark Hurd. Dia harus mampu merestorasi kepercayaan yang sangat terkenal di jagat bisnis, “the HP way”, sebuah gaya manajemen yang menekankan pada standar etika yang tinggi.

Bagaimana para outsider ini akan menjawab tantangan masing-masing, masih akan ditunggu kelanjutannya. Bila mereka sukses, mereka akan membuktikan bahwa para alien boss tidak selalu dikutuk. Mereka mengikuti jejak Lou Gerstner ketika petinggi Nabisco ini memimpin IBM melewati masa-masa sulit.

Selain Nokia, HP, perusahaan raksasa lain yang juga mengalami gejolak adalah Toyota. Mereka meletakkan cucu pendiri untuk merevitalisasi raksasa otomotif ini. Tapi, di luar isu orang dalam atau luar untuk memimpin perusahaan meniti masa transisi, dunia kepemimpinan global memang dihadapkan pada tantangan yang tak mudah. Peran CEO, sebagaimana diungkap studi Booz & Co. di atas, juga semakin berkembang. Para pemimpin dituntut untuk selalu mampu mendefinisikan sukses bagi organisasi yang dipimpinnya. Dan salah satu yang menguat adalah tuntutan untuk semakin mampu melakoni peran selaku connector, yakni orang yang “integrate the parts with the whole”, membuat perusahaan tidak terkotak-kotak (silo), tapi terhubung dalam rantai nilai yang kuat. Juga, tidak terlalu cepat berpuas diri.

Di Nokia, ambil contoh, sesungguhnya persoalan bukan semata orang dalam atau luar. Birokrasi adalah penyakit yang memotong terciptanya rantai nilai yang hebat. Beberapa tahun sebelum Apple merilis iPhone 4, tepatnya tahun 2004, divisi pengembangan Nokia telah membuat prototipe telepon genggam berteknologi layar sentuh dengan koneksi internet tinggi dan diharapkan dapat memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan.

Prototipe ponsel yang mirip dengan iPhone itu segera didemonstrasikan di kantor pusat Nokia di Finlandia tahun 2004. Sayang, manajemen Nokia menolak untuk mengembangkan lebih lanjut. Alasannya: akan menelan biaya produksi yang mahal. "Pengembangan ponsel itu masih terlalu dini, dan tak ada orang yang tahu bagaimana potensi layar sentuh. Ini terlalu berisiko dan akan memakan biaya produksi yang sangat mahal, jadi manajemen memutuskan untuk 'membunuhnya' ketika itu," ungkap salah seorang eks Nokia (New York Post, 28 September 2010).

Kesombongan untuk inovasi baru dan merasa sudah besar juga muncul saat menghadapi tantangan para pesaing. Anssi Vanjoki, Chief Mobile Solutions Nokia, mengatakan tak ada gunanya menggunakan Android. “Menggunakan Android sama saja seperti anak kecil yang kencing di celana untuk mendapatkan kehangatan di musim dingin,” katanya. Sebab, Android tidak mengijinkan sinkronisasi produk antar produsen pengguna Android. Kini, lanjutnya, Nokia lebih memilih MeeGo sebagai senjata baru mereka di masa depan, berdampingan dengan Symbian.

Inilah contoh tantangan berat bagi Elop. Di satu sisi, dia harus mengobati penyakit internal. Di sisi lain, dia mesti sanggup membangkitkan kembali kejayaan raksasa ponsel asal Finlandia tersebut dengan memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Symbian, ambil contoh, sekalipun tergerus, sesungguhnya tetap memiliki potensi hebat. Kalau Elop gagal, nasib muram seperti yang dialami OPK tinggal menunggu waktu untuk menyapa dirinya. Dan salah satu pertaruhan yang sudah diluncurkannya, yang paling gress adalah Nokia N8.

Lantas, bagaimana dengan perusahaan Anda? Ambil orang dalam atau luar?

Wednesday, October 13, 2010

Kiprah Cemerlang Cucu Pendiri 7Eleven

Di tengah sorotan publik karena nama besar keluarganya, dia berhasil menunjukkan dirinya adalah entrepreneur jempolan. Ini kisahnya:

AMBIT Energy. Nama itu pastinya bukan nama perusahaan yang populer dibanding raksasa macam Exxon atau Shell yang telah menjadi ikon bisnis energi. Namun, nama itu kini kian menjulang setelah menduduki nomor wahid peringkat Inc 500 tahun 2010. Ini adalah daftar the fastest growing private companies. Perusahaan-perusahaan yang tumbuh sangat cepat di negeri Abang Sam.

Berbasis di Dallas, Ambit memang tumbuh mengesankan. Tilik saja data berikut: pendapatannya mencapai US$ 325 juta di tahun 2009, naik dari US$ 1,6 juta di tahun 2006. Itu berarti, peningkatan lebih dari 20.000% selama 3 tahun! Tak heran ia ditahbiskan menjadi peringkat wahid. Pertanyaannya sekarang: bagaimana Ambit bisa tumbuh secepat itu?

Sebenarnya bukan hanya itu pertanyaan yang meluncur. Publik pun menyoroti sang pembesut, Jere Thompson Jr. yang merupakan cucu pebisnis legendaris, Joe Thompson, pendiri 7-Eleven di tahun 1927. Maklum, menjadi keturunan orang terkenal seringkali menyebalkan. Masyarakat kadang membanding-bandingkan. Ada yang kuat menghadapinya, tapi banyak juga yang terjungkal karena beban mental yang ditanggungnya. Jere Thompson tergolong mereka yang bukan hanya bertahan terhadap tekanan mental, tapi mampu menjawab tantangan dengan mengesankan.

Kuncinya ada pada orang,” jelas Thompson. “Really, ini seperti tim bola basket. Anda harus bisa mendapatkan dan menempatkan lima pemain di posisinya masing-masing,” lanjutnya.

Bagi yang tak mengetahui duduk perkaranya, pernyataan itu sepertinya klise. Tapi, Ambit memang berbasis pada sumber daya manusia yang andal. Dan itu dimulai ketika Thompson mencari jati diri dan bisnis yang tepat.

Thompson tumbuh di keluarga pebisnis, dikelilingi truk-truk es, dan di tengah pusat distribusi untuk 7Eleven. Ayahnya mendidik dia dan saudara-saudara kandungnya dengan keras dan disiplin. Dia dibayar US$ 3 sen saat berusia 7 tahun untuk membantu bisnis keluarga.

Setelah lulus MBA dari University of Texas, Thompson bergabung dengan bisnis investasi milik keluarga besarnya. Mereka berinvestasi di sejumlah perusahaan. Meski menantang, sejak awal, dia menyadari lebih tertarik pada aspek operasional ketimbang investasi. Karena itulah, dia mulai berbisnis sendiri dengan mendirikan jaringan toko Blockbuster.

Ketertarikannya pada teknologi fiber optic, mengantarnya pada dimensi baru. Dia mengetahui, teknologi ini akan menghubungkan satu rumah dengan rumah lain, dan para penghuninya bisa mengunduh data dengan kecepatan besar. Semakin dia memperdalam, semakin dia merasa ini merupakan hal yang benar-benar menarik.

Satu waktu, saat mempelajari teknologi baru ini, Thompson mengunjungi Texas bagian selatan dekat perbatasan Meksiko. Dengan melihat banyaknya trafik telepon jarak jauh antara AS-Mesiko, dia pun melihat sebuah peluang untuk membangun bisnis kabel serat optik. Dia segera menghubungi 3 perusahaan telekomunikasi, AT&T, Sprint, dan MCI. Kerjasama ditawarkannya. Maka berkibarlah CapRock Fiber Network yang membangun kabel serat optik bagi perusahaan telekomunikasi.

Thompson berada di tempat dan waktu yang tepat. Perusahaan serat optik ini tumbuh cepat, dari nol menjadi 1300 karyawan. Pada tahun 1998, CapRock ini merger dengan IWL Communications dan go public. Tapi dua tahun kemudian (2000), Thompson menjual perusahaannya ke McLeodUSA, yang merupakan pesaingnya di Texas.

Cucu Joe Thompson ini rupanya melihat peluang besar dari kebijakan pemerintah negara bagian Texas yang menderegulasi pasar listrik menjadi tiga jenis: pembangkit listrik, perusahaan transmisi dan distribusi, serta penyedia listrik ritel yang membeli energi di harga grosir, dan menjualnya ke pasar ritel. Perusahaan ini disebut dengan istilah REP. Tak seperti dua jenis perusahaan yang lain, REP tidak membangkitkan dan mendistribusikan listik, mereka hanya mendapatkan pelanggan dan menarik bayaran untuk penggunaan listrik. Keuntungan REP akan bergantung pada selisih biaya dan harga yang dibandrol. Maka berdirilah Ambit Energy, perusahaan listrik ritel.

Sejak awal, Thompson memfokuskan Ambit pada pasar residensial. Dia sendiri menjadi pelanggan yang pertama. yang kedua adalah orang tuanya. Awalnya tak mudah. Sebab, orang harus berpindah sistem kelistrikan, dengan berlangganan ke Ambit.

Menghadapi tantangan yang ada, Thompson mengaku belajar banyak saat bisnis telekomunikasi. Di pasar sambungan telepon jarak jauh, perusahaan yang ingin sukses harus ditopang sistem yang bisa menangani aktivitas kastemer. Sebagai perusahaan yang tidak membangkitkan dan mentransmisi listrik, maka tumpuan kesuksesan Ambit terletak pada data. Dengan demikian, Ambit sejatinya adalah data-processing company, bukan sekedar penjual listrik eceran. Dan di sinilah Thompson mengakui pentingnya SDM yang andal sebagai kunci sukses perusahaannya.

John Burke, salah satunya. Diposisikan sebagai CIO, Burke meyakinkan Thompson untuk membangun sistem yang mendukung model bisnis Ambit. Sebagai perusahaan pengecer listrik ke kalangan residensial, model bisnis Ambit adalah: switching, billing, collections, dan customer care.

Burke mendorong Thompson untuk memperkuat sistem. Maka jutaan dolar pun dibenamkan untuk investasi teknologi yang memungkinkan perusahaan melakukan proses dari penggunaan listrik di perumahan hingga ke sistem pembayaran setiap bulannya. Burke meyakinkan Thompson bahwa semakin canggih dalam mengotomasi, maka proses bisnis akan berjalan semakin baik. Tak mengherankan jika kantor Ambit tak ubahnya perpustakaan: sepi. Hanya terdengar suara dari ruangan komputer. “Kami meluangkan satu tahun untuk membangun sistem. Kami ingin meyakini sistem back-office ini bekerja baik,” jelas Thompson. “Sebab kami tahu, kami harus bisa menciptakan sistem yang bisa memroses 10-10.000 permintaan setiap hari,” dia melanjutkan.

Orang kedua yang menopang sukses Ambit adalah Chris Chambless, yang diposisikan menjadi CMO. Chris sebelumnya bekerja di Excel Telecommunications, yang bergerak di pelayanan sambungan telekomunikasi jarak jauh. Untuk menjalankan model bisnisnya, Excel menggunakan direct sales. Dan mereka sukses: tumbuh dari penjualan US$ 30 juta menjadi US$ 1,5 miliar dalam waktu lima tahun.

Chris membawa model ini ke Ambit. Dia mengingatkan Thompson bahwa Ambit harus piawai dalam mengakuisisi pelanggan baru dengan tarif yang lebih murah. Kuncinya adalah direct sales. Maka independent sales consultants pun direkrut. Seiring bisnis yang terus mendapat kepercayaan publik, jumlah independent sales consultants telah melebihi 70 ribu orang.

Saya bawa mereka (Chris dan Burke) karena pengalamannya. Anda tahu, success breeds success. Ketika Anda menarik eksekutif senior yang sukses, mereka akan bisa menarik orang-orang terbaik,” katanya. Kedua orang ini memang berpengaruh dalam menarik tenaga-tenaga andal untuk bergabung ke Ambit. Ini sesuatu yang tidak mudah. “Karena Ambit masih start-up, berbeda dengan mereka yang sudah lebih dulu tumbuh dan stabil. Yang saya tawarkan adalah masa depan,” sambung Thompson.

Jika pemrosesan data sangat vital dalam urusan switching hingga billing, maka independent sales consultants amatlah signifikan dalam urusan mengelola kastemer. Untuk urusan ini, Thompson menelpon temannya di Mary Kay, perusahaan kosmetik direct sales. Temannya itu memberikan nasehat, “Jangan pernah korbankan integritas demi pertumbuhan”.

Sejak itu, kalimat tersebut menjadi mantra Ambit. Para independent sales consultants ini dibayar untuk setiap pelanggan yang didapatkan. Mereka juga diberi komisi besar. Tapi kepada mereka, Thompson menerapkan sistem yang keras. Siapa yang berbuat kesalahan dan mengecewakan pelanggan, bisa segera dikeluarkan dari perusahaan.

Sistem yang keras ini membuat Ambit menjadi perusahaan yang sangat memperhatikan kepuasan pelanggan. Hasilnya, ditopang dengan sistem pemrosesan data yang akuntabel, dengan cepat Ambit mengambil hati warga Texas. Reputasinya terbangun sebagai “an honest and respected place to work”. Tak heran, penjualannya pun melonjak dengan cepat. Ketika Thompson mendirikan Ambit di tahun 2006, perusahaan ini baru mencetak penjualan US$ 1 juta. Tahun 2007 mencapai US$ 44 juta, lalu US$ 197 juta (208), dan US$ 325 juta (2009).

Tahun ini, Thompson berharap penjualan Ambit akan lebih hebat dari masa sebelumnya. Tapi dia menyadari bahwa mengelola pertumbuhan yang sangat cepat seperti ini, hypergrowth, bukan perkara enteng. Toh dia sudah mewanti-wanti manajemen Ambit dan tenaga independent sales consultant-nya. Kepada mereka, dia selalu mengingatkan, “Our philosophy is don’t worry about the revenue and speed of growth — although we have grown fast — let’s just focus on doing everything right and doing things the right way. Don’t sacrifice integrity for growth. Growth isn’t just revenues — it’s personal advancement or any other activity or action in the business.”

Sungguh sebuah filosofi bisnis yang elegan dari seorang cucu pebisnis besar.