Kegiatan ini mudah dilakukan. Ayo, ambil
sebuah pena, lalu jawablah pertanyaan berikut: apakah Anda bahagia, di rumah, kantor, dan
lingkungan sosial? Kalau dibuat rentang 1-10, berapa skor kebahagiaan Anda?
Lalu, apa saja sih yang membuat Anda bahagia di rumah, kantor dan lingkungan
sosial?
Mudah, bukan pertanyaannya? Atau malah sulit (bahkan
Anda tak pernah memikirkannya)?
Sejak jaman Aristoteles, kebahagian menjadi salah satu
kata yang banyak dieksplorasi, diutak-atik, dicari maknanya, ditelusuri
sumbernya, tapi juga paling tidak dimengerti. Karena katanya, kebahagian itu
dirasakan, bukan didiskusikan.
Toh bukan berarti kebahagian berhenti jadi
perbincangan. Begitu pula upaya untuk mencari di mana negeri tempat orang-orang
paling bahagia berada. Bukti sahih: 2 April 2012, PBB menggelar Conference on Happiness di markas besarnya, New York. Ini adalah konferensi pertama yang dihelat PBB tentang kebahagiaan. Berbarengan
dengan itu, dirilis untuk pertama kalinya World
Happiness Report yang dipublikasikan
Columbia University’s Earth Institute. Setebal
158 halaman, laporan yang disupervisi PBB itu menyatakan Denmark sebagai “the happiest country”, diikuti Finlandia, Norwegia dan Belanda. Indonesia?
Tak masuk 10
besar. Indonesia ada di peringkat 83, di bawah Laos. Paling rendah, adalah Benin,
Republik Afrika Tengah, Togo dan Sierra Leone. Dalam
laporan ini, ukuran yang digunakan adalah skala “live evaluation”, sebuah ukuran yang memperhitungkan sejumlah
faktor penentu kebahagiaan seperti: people’s
health, family, job security, political freedom dan … aha… government corruption. Skor Indonesia ada di 5,1. Denmark di posisi 7,9.
Tapi orang
Indonesia patut bangga. Dua bulan lalu, 14 Februari 2012, sebuah jajak pendapat yang digelar Ipsos, sebuah perusahaan
riset global untuk majalah What Makes You
Happy mengungkap bahwa orang-orang Indonesia adalah orang yang paling
bahagia di planet bumi. 51% orang Indonesia menyatakan mereka “sangat bahagia”.
Berikutnya menyusul India dan Mexico (43%). Orang AS hanya 28% yang menyatakan
“very happy”, ada di peringkat ke-7,
disusul Inggris (21%), lalu Swedia (20%). Ini adalah hasil jajak pendapat atas 18.687 orang dewasa di seluruh dunia, yang dilakukan 1 November-15 November 2011.
Orang Indonesia sangat berbahagia? Bukankah GDP kita di
bawah negara-negara maju?
Lupakan kaitan GDP dengan kebahagiaan. Bila itu terhubung
erat dan jadi determinan utama, niscaya orang Qatar dan Uni Emirates Arab
menjadi nomor wahid dalam urusan kebahagiaan dalam semua survei, sebagaimana
kebahagiaan orang China pun akan terus melejit seiring pendapatannya yang
merangkak naik. Tentang hal ini, Carol
Graham, pengarang
buku The Pursuit of Happiness: An Economy of Well-Being, punya pernyataan menarik, “Happiness
is, in the end, a much more complicated concept than income.”
Kebahagiaan memang lebih kompleks ketimbang
pendapatan. Dan faktanya, uang memang bukan determinan utama pembawa
kebahagiaan. Itupun terkonfirmasi dari survei SWA terhadap 207 kalangan bisnis (pemilik, eksekutif dan staf). Di
keluarga, hubungan harmonis menjadi sumber kebahagiaan utama (52,66%). Di
tempat kerja, suasana nyaman menjadi nomor wahid (43%), sementara gaji di
peringkat 4 (12,08%). Adapun di lingkungan masyarakat, lingkungan yang bersih,
tertib, aman dan nyaman menjadi determinan utama (31,88%).
Keluarga, tempat kerja serta lingkungan sosial menjadi
pertimbangan SWA untuk mengetahui
bagaimana perasaan bahagia kalangan bisnis. Asumsinya, sebagai pribadi dan
mahluk sosial, kebahagiaan manusia yang memiliki jiwa, raga serta sukma, datang
dari interseksi sejumlah faktor dimana dia berinteraksi, entah itu di
lingkungan keluarga, kerja serta masyarakat. Kebahagian tidak datang dari satu
sisi.
Di sisi keluarga, keharmonisan diyakini memegang
peranan bagi ketenangan jiwa, raga dan sukma. “Prioritas utama adalah keluarga. Setelah urusan
keluarga terpenuhi, baru kita mengurus usaha. Cari usaha yang menguntungkan,” diakui Ello Suhaeli Kalla,
salah seorang pemilik Grup Bukaka. Di sisi kehidupan sosial, mereka yang bisa memberi
arti (meaning) pada sesama akan jauh
lebih bahagia ketimbang yang hidup selfish.
“Orang yang bahagia itu cuma satu orientasinya: seberapa banyak dia bermanfaat
bagi orang lain,” ujar Palgunadi T. Setyawan, Komisaris Adaro. Sementara di
dunia kerja, keseimbangan hidup di tempat kerja, yang terkenal dengan istilah worklife balance diasumsikan menjadi salah
satu pilar kebahagiaan.
Laporan PBB pun menyatakan bahwa konsep kebahagiaan
semakin menyentuh banyak sisi yang memenuhi kebutuhan jiwa, raga dan sukma
manusia. Di tempat kerja, misalnya, mempunyai pekerjaan dengan gaji besar, tak
menjamin kebahagiaan. Kenyamanan workplace social life adalah faktor yang lebih determinan.
Adapun dalam kehidupan keluarga, di seluruh dunia, orang-orang yang menikah dan
memiliki kehidupan pernikahan yang baik mendatangkan kebahagiaan ketimbang
mereka yang disebut single counterpart.
Kembali ke
survei SWA. Asumsi tentang aspek
interseksi ini terkonfirmasi dalam survei. Dan orang Indonesia boleh
dibilang menekankan nilai-nilai keluarga sebagai sumber kebahagiaan. Contohnya,
waktu berkumpul dengan keluarga menjadi aktivitas keseharian yang paling membahagiakan
(71,01%). Kalangan self employee pun
merasakan hal itu. Inggrid Kansil, ambil contoh. Bagi artis dan anggota DPR
ini, keluarga adalah sumber kebahagiaan utama. “Apabila suami maupun anak saya tidak mendukung apa
yang saya lakukan di luar sana rumah, maka apa-apa yang saya kerjakan, hanya
akan menjadi beban. Dengan munculnya beban seperti itu, maka saya tidak akan
mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin,” ujarnya.
Indikasi berkumpul dengan keluarga
secara fisik merupakan sisi yang menarik di tengah maraknya dunia media sosial
yang disinyalir menimbulkan banyak alienasi di negara maju karena orang lebih
senang terhubung secara virtual. Orang-orang yang bahagia dalam survei ini
adalah mereka yang aktif di dunia media sosial, yang terkoneksi ke dunia luar.
Ketika di rumah, mereka yang bahagia aktif di Facebook (78,7%). Di kantor,
76,92% tak terputus dari Facebook. Sementara dalam pergaulan di masyarakat
76,33%. Mereka juga aktif di Twitter, tapi tak seaktif di Facebook. Tampaknya,
karakter Facebook yang lebih guyub dengan tampilan foto menarik, yang membuka
peluang orang terkoneksi secara lebih intim dengan kawan dan kerabat,
membuatnya lebih digemari.
Akhirnya,
hasil survei ini secara keseluruhan bisa dibilang menggembirakan. Dalam skala
1-10, mereka yang menyatakan bahagia (skala 8-9) di rumah mencapai 81,64%,
sementara yang sangat bahagia 9,66%. Di tempat kerja, yang bahagia 76,81%, yang
sangat bahagia 2,9%. Proporsi ini tak berbeda jauh untuk di lingkungan
masyarakat: 75,85% bahagia, 1,93% menyatakan sangat bahagia. Dan dalam seluruh
aspek kehidupan, bisa dikatakan mayoritas kaum bisnis menyatakan dirinya
bahagia: cukup bahagia 15,46%, bahagia 81,16%, dan sangat bahagia 2,9%.
Lantas, apa arti ini semua, khususnya bagi dunia
bisnis? Apa artinya kalau banyak yang bahagia seperti ini?
Oke, mari kita dudukkan terlebih dulu apa arti
bahagia. Menurut Arvan
Pradiansyah,
motivator dan penulis buku 7 Law of
Happiness, kebahagiaan sering disalahartikan. “Semua orang bisa mendefinisikan
happiness dengan sudut pandang
masing-masing, tapi sebenarnya banyak orang yang tidak memahami, happiness is actually a process,”
jelasnya. Maksudnya? Banyak
orang, dia
melanjutkan, yang berpendapat bahwa yang
perlu dikejar dalam hidup ini adalah sukses. Sebab kalau sudah mencapai kesuksesan, dia
akan mendapatkan kebahagiaan.
Gede Prama,
Konsultan Manajemen Dynamics Consultant bahkan melihat banyak orang
merasa bahwa sumber kebahagiaan berada di luar dirinya, seperti uang, barang, serta pujian. Dan khusus para eksekutif, dia menengarai kebanyakan masih di tingkatan yang disebutnya "muda" dalam hal sumber kebahagiaan. “Buktinya, energi di balik kerja dan karya mereka masih
berupa barang, pujian dan uang,” ujarnya. Apakah ini keliru?
Penelitian
psikologi positif membuktikan paradigma yang menyatakan bahwa sukses mendatangkan kebahagiaan itu salah. Banyak
orang yang sudah mencapai tangga kesuksesan, seperti karir dan materi,
ternyata tidak kunjung merasa bahagia. Arvan menandaskan, bahagia itu bukan hasil kesuksesan. “Happiness dulu, baru sukses,” kata dia.
Alhasil, yang
harus diupayakan adalah
bagaimana orang merasa bahagia terlebih dahulu. Dalam konteks pribadi, banyak pakar
menyatakan bahwa sumber utama untuk melahirkan kebahagiaan adalah rasa syukur
pada Tuhan YME. “Ia tersembunyi
pada kualitas terimakasih kita pada kehidupan, kualitas penerimaan kita pada
kekurangan,” kata
Gede Prama. “Dalam bahasa seorang Guru, ‘when I love my self enough, life
begins to blossom in a beautiful way’,” dia melanjutkan.
Dan khusus di dunia kerja atau karir, Arvan menyebut
dua faktor yang memengaruhi kebahagiaan para eksekutif: bersifat job dan non job. Banyak pihak berpikir faktor non job seperti uang dan sederet benefit menjadi determinan utama sehingga gaji terus dikerek
manajemen perusahaan. Boleh jadi ini memengaruhi. Tapi sifatnya temporer. “Ini hanya mengurangi ketidakpuasan, tapi belum
tentu bahagia,” katanya.
Tentang hal ini, sudah banyak penelitian yang
menyuarakannya. Salah satunya dari Michael Norton. "We
are doing things with our money that make us happy in the moment, but that's
not always the best strategy for long-term well-being," demikian
ungkap Guru Besar Harvard Business School yang tekun meneliti psikologi
kebahagiaan. Tak heran, Arvan pun berpendapat tentang kebahagiaan yang lahir
dari sifat non-job, “Ini happiness
yang palsu.” Yang
asli?
“Happiness yang sejati itu yang didapat dari the job itself. Pekerjaan saya ini
pekerjaan yang bermakna, pekerjaan yang membuat saya bahagia, pekerjaan yang
membuat saya menemukan diri saya,” paparnya. Inilah faktor job.
Pekerjaan yang menantang, yang membuat orang flow (larut), yang menghasilkan meaning
bagi yang bersangkutanlah yang memberi kebahagiaan. “Kalau orang itu bahagia, melihat pekerjaannya
bermakna, maka inner beauty-nya akan
keluarnya, semua energi terbaik dan kemampuan terbaiknya akan keluar. Semua
hambatan dan tantangan itu akan kecil. Karena energi yang begitu besarnya, bisa
mengalahkan semuanya,” lanjut pria yang juga banyak menelaah perihal kebahagiaan.
Bahagia mendatangkan energi yang besar, yang mengalahkan
segalanya. Ini kesimpulannya. Dalam konteks bisnis, kesimpulan itu lebih
spesifik: kebahagiaan akan mendongkrak produtivitas. Jadi untuk pertanyaan di
atas, “Apa arti survei ini bagi dunia bisnis?”, maka jawabannya jelas: fakta
ini adalah kabar yang positif karena dapat berpengaruh bagi produktivitas
bisnis.
Isu kebahagiaan dan produktivitas tergolong bahasan
yang makin hot dalam 4-5 tahun
terakhir. Dan kebanyakan riset menunjukkan relasi positif: orang bahagia akan
makin produktif. Riset John Helliwell, umpamanya.
Guru Besar Emeritus yang juga ekonom University of
British Columbia ini beberapa waktu lalu mengungkap studinya atas lebih dari
100 ribu orang di sejumlah negara. Salah satu temuannya yang kemudian
mempengaruhi banyak korporasi untuk membenahi workplace-nya adalah hubungan yang positif antara kebahagiaan
karyawan dengan produktivitas, bahkan bos yang membuat nyaman bekerja sudah
berpengaruh besar bagi produktivitas bawahannya.
Studi ini
segaris dengan pandangan psikolog ternama, Martin Seligman. Dalam bukunya, Authentic Happiness, dia menyimpulkan: happier
people got better performance evaluations and high pay. Begitu juga D. G. Myers lewat bukunya, The Pursuit of Happiness yang menyatakan: dibanding mereka yang
tertekan atau tak bahagia, happy employee
punya catatan biaya kesehatan yang sangat rendah, kerja yang efisien, dan lebih
jarang tidak masuk kerja.
Faktanya, kesadaran
adanya relasi positif antara kebahagiaan dan produktivitas ini semakin banyak dimiliki
para bos di Indonesia. Di IBM misalnya. "Di
mana pun IBM beroperasi, kami memiliki program untuk memastikan karyawan
memiliki lingkungan kerja yang terbaik," ungkap Vincent Hilliard, Country HR Manager
PT IBM Indonesia.
Untuk mengetahui tingkat kebahagiaan atau well-being karyawan, dilakukan
beragam cari,
mulai dari focus group discussion (FGD) dan
one on one session untuk mengetahui apa yang
diinginkan serta dibutuhkan karyawan. Mengapa? "Kepemimpinan kami didorong oleh keyakinan bahwa
kesejahteraan dan kebahagiaan karyawan adalah salah satu nilai dasar yang
menentukan kesuksesan bisnis. Karyawan
yang bahagia dan sejahtera, motivasi kerjanya akan terpacu dan akan berdampak
pada peningkatan produktivitas dan pertumbuhan bisnis," ujarnya.
Hal yang
sama juga disadari di AXA
Services Indonesia.
Agar bahagia, karyawan harus tumbuh, belajar, memiliki karir yang baik, peluang yang besar, dan keterlibatan (engage). “Saya yakin,
jika karyawan engage, ia berarti happy di kantornya,” ujar Presdirnya, Randy Lianggara. Seperti halnya di IBM, manajemen AXA juga menelusuri
apa yang diinginkan karyawannya, mulai dari sisi kepemimpinan, budaya perusahaan, remunerasi, kepuasan kerja, hingga apresiasi buat karyawan. Dari sini kemudian dianalisis
untuk mengetahui apa saja yang bisa membuat karyawan engage. “Jadi, dari karyawan, untuk karyawan,” kata Thomas Suhardja, Direktur SDM PT AXA Services.
Bahkan bukan hanya kalangan eksekutif yang menyadari
relasi positif antara kebahagiaan dan produktivitas. Kalangan self employee malah semakin
membutuhkannya. Melanie Subono, misalnya. “Buat saya, happy
penting sekali karena saya seniman yang membutuhkan mood ketika buat tulisan, lirik, dan karya lainnya. Pada saat saya
menjadi diri sendiri, saya happy, (saya) bisa bekerja dengan maksimal, kreatif,” katanya. “Kalau mood berantakan, saya mau cari uang dari
mana? Saya tidak berkarya kalau mood
berantakan.”
Tentang kebijakan manajemen yang memperhatikan upaya
menciptakan well being bagi karyawan,
Gede Prama sangat mengapresiasinya. Peran
organisasi,
terutama organisasi bisnis adalah
mengisi apa yang
disebutnya "lobang-lobang
jiwa" yang ada
dalam diri karyawan, yang boleh jadi muncul dari relasi keseharian di dunia
kerja. Kelelahan batin, kecewa, ketidakpuasan adalah lubang jiwa. Lubang yang
tak terisi akan menganga lebar, membuat produktivitas menjadi barang langka.
Arvan pun mengapresiasi upaya manajemen yang seperti
ini. Menurutnya, banyak bos menganggap happy dan happiness berkonotasi negatif terhadap produktivitas.
“Banyak orang memandang, jika
karyawannya dibuat happy, (jadi ragu) apakah dia mau bekerja, apakah memiliki daya
juang yang tinggi,” tuturnya. Kalau karyawan merasa bahagia, banyak bos menyangka mereka akan
manja, main-main, dan
lebih senang ngobrol. “Maka tak
heran banyak atasan suka berujar, ‘Kita
sudah sampai di sini, tapi jangan happy
dulu’,” dia
melanjutkan. Sekali lagi, ini karena paradigma yang keliru.
Menimbang produktivitas terkait kebahagiaan, dengan
demikian, upaya memperbaiki well-being
di dunia bisnis dengan beragam kreativitas serta bentuknya merupakan sesuatu
yang harus terus didorong. Para bos mesti memperhatikan ini.
Oh ya, ngomong-ngomong,
kembali ke pernyataan di awal tulisan, ayo, ambil pena dan jawab pertanyaan
berikut: berapa
skor kebahagiaan Anda? ***
Special thanks to:
Denoan Rinaldi, Herning Banirestu, Radito Wicaksono, Siti Ruslina, Risvan dan S. Sumariyati