Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, April 22, 2012

Mereka Bahagia. Anda?




Kegiatan ini mudah dilakukan. Ayo, ambil sebuah pena, lalu jawablah pertanyaan berikut: apakah Anda bahagia, di rumah, kantor, dan lingkungan sosial? Kalau dibuat rentang 1-10, berapa skor kebahagiaan Anda? Lalu, apa saja sih yang membuat Anda bahagia di rumah, kantor dan lingkungan sosial?

Mudah, bukan pertanyaannya? Atau malah sulit (bahkan Anda tak pernah memikirkannya)?

Sejak jaman Aristoteles, kebahagian menjadi salah satu kata yang banyak dieksplorasi, diutak-atik, dicari maknanya, ditelusuri sumbernya, tapi juga paling tidak dimengerti. Karena katanya, kebahagian itu dirasakan, bukan didiskusikan.

Toh bukan berarti kebahagian berhenti jadi perbincangan. Begitu pula upaya untuk mencari di mana negeri tempat orang-orang paling bahagia berada. Bukti sahih: 2 April 2012, PBB menggelar Conference on Happiness di markas besarnya, New York. Ini adalah konferensi pertama yang dihelat PBB tentang kebahagiaan. Berbarengan dengan itu, dirilis untuk pertama kalinya World Happiness Report yang dipublikasikan Columbia University’s Earth Institute. Setebal 158 halaman, laporan yang disupervisi PBB itu menyatakan Denmark sebagai “the happiest country”, diikuti Finlandia, Norwegia dan Belanda. Indonesia?

Tak masuk 10 besar. Indonesia ada di peringkat 83, di bawah Laos. Paling rendah, adalah Benin, Republik Afrika Tengah, Togo dan Sierra Leone. Dalam laporan ini, ukuran yang digunakan adalah skala “live evaluation”, sebuah ukuran yang memperhitungkan sejumlah faktor penentu kebahagiaan seperti: people’s health, family, job security, political freedom dan ahagovernment corruption. Skor Indonesia ada di 5,1. Denmark di posisi 7,9.

Tapi orang Indonesia patut bangga. Dua bulan lalu, 14 Februari 2012, sebuah jajak pendapat yang digelar Ipsos, sebuah perusahaan riset global untuk majalah What Makes You Happy mengungkap bahwa orang-orang Indonesia adalah orang yang paling bahagia di planet bumi. 51% orang Indonesia menyatakan mereka “sangat bahagia”. Berikutnya menyusul India dan Mexico (43%). Orang AS hanya 28% yang menyatakan “very happy”, ada di peringkat ke-7, disusul Inggris (21%), lalu Swedia (20%). Ini adalah hasil jajak pendapat atas 18.687 orang dewasa di seluruh dunia, yang dilakukan 1 November-15 November 2011.

Orang Indonesia sangat berbahagia? Bukankah GDP kita di bawah negara-negara maju?

Lupakan kaitan GDP dengan kebahagiaan. Bila itu terhubung erat dan jadi determinan utama, niscaya orang Qatar dan Uni Emirates Arab menjadi nomor wahid dalam urusan kebahagiaan dalam semua survei, sebagaimana kebahagiaan orang China pun akan terus melejit seiring pendapatannya yang merangkak naik. Tentang hal ini, Carol Graham, pengarang buku The Pursuit of Happiness: An Economy of Well-Being, punya pernyataan menarik,Happiness is, in the end, a much more complicated concept than income.

Kebahagiaan memang lebih kompleks ketimbang pendapatan. Dan faktanya, uang memang bukan determinan utama pembawa kebahagiaan. Itupun terkonfirmasi dari survei SWA terhadap 207 kalangan bisnis (pemilik, eksekutif dan staf). Di keluarga, hubungan harmonis menjadi sumber kebahagiaan utama (52,66%). Di tempat kerja, suasana nyaman menjadi nomor wahid (43%), sementara gaji di peringkat 4 (12,08%). Adapun di lingkungan masyarakat, lingkungan yang bersih, tertib, aman dan nyaman menjadi determinan utama (31,88%).

Keluarga, tempat kerja serta lingkungan sosial menjadi pertimbangan SWA untuk mengetahui bagaimana perasaan bahagia kalangan bisnis. Asumsinya, sebagai pribadi dan mahluk sosial, kebahagiaan manusia yang memiliki jiwa, raga serta sukma, datang dari interseksi sejumlah faktor dimana dia berinteraksi, entah itu di lingkungan keluarga, kerja serta masyarakat. Kebahagian tidak datang dari satu sisi.

Di sisi keluarga, keharmonisan diyakini memegang peranan bagi ketenangan jiwa, raga dan sukma. “Prioritas utama adalah keluarga. Setelah urusan keluarga terpenuhi, baru kita mengurus usaha. Cari usaha yang menguntungkan,” diakui Ello Suhaeli Kalla, salah seorang pemilik Grup Bukaka. Di sisi kehidupan sosial, mereka yang bisa memberi arti (meaning) pada sesama akan jauh lebih bahagia ketimbang yang hidup selfish. “Orang yang bahagia itu cuma satu orientasinya: seberapa banyak dia bermanfaat bagi orang lain,” ujar Palgunadi T. Setyawan, Komisaris Adaro. Sementara di dunia kerja, keseimbangan hidup di tempat kerja, yang terkenal dengan istilah worklife balance diasumsikan menjadi salah satu pilar kebahagiaan.

Laporan PBB pun menyatakan bahwa konsep kebahagiaan semakin menyentuh banyak sisi yang memenuhi kebutuhan jiwa, raga dan sukma manusia. Di tempat kerja, misalnya, mempunyai pekerjaan dengan gaji besar, tak menjamin kebahagiaan. Kenyamanan workplace social life adalah faktor yang lebih determinan. Adapun dalam kehidupan keluarga, di seluruh dunia, orang-orang yang menikah dan memiliki kehidupan pernikahan yang baik mendatangkan kebahagiaan ketimbang mereka yang disebut single counterpart.

Kembali ke survei SWA. Asumsi tentang aspek interseksi ini terkonfirmasi dalam survei. Dan orang Indonesia boleh dibilang menekankan nilai-nilai keluarga sebagai sumber kebahagiaan. Contohnya, waktu berkumpul dengan keluarga menjadi aktivitas keseharian yang paling membahagiakan (71,01%). Kalangan self employee pun merasakan hal itu. Inggrid Kansil, ambil contoh. Bagi artis dan anggota DPR ini, keluarga adalah sumber kebahagiaan utama. “Apabila suami maupun anak saya tidak mendukung apa yang saya lakukan di luar sana rumah, maka apa-apa yang saya kerjakan, hanya akan menjadi beban. Dengan munculnya beban seperti itu, maka saya tidak akan mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin,” ujarnya.

Indikasi berkumpul dengan keluarga secara fisik merupakan sisi yang menarik di tengah maraknya dunia media sosial yang disinyalir menimbulkan banyak alienasi di negara maju karena orang lebih senang terhubung secara virtual. Orang-orang yang bahagia dalam survei ini adalah mereka yang aktif di dunia media sosial, yang terkoneksi ke dunia luar. Ketika di rumah, mereka yang bahagia aktif di Facebook (78,7%). Di kantor, 76,92% tak terputus dari Facebook. Sementara dalam pergaulan di masyarakat 76,33%. Mereka juga aktif di Twitter, tapi tak seaktif di Facebook. Tampaknya, karakter Facebook yang lebih guyub dengan tampilan foto menarik, yang membuka peluang orang terkoneksi secara lebih intim dengan kawan dan kerabat, membuatnya lebih digemari.

Akhirnya, hasil survei ini secara keseluruhan bisa dibilang menggembirakan. Dalam skala 1-10, mereka yang menyatakan bahagia (skala 8-9) di rumah mencapai 81,64%, sementara yang sangat bahagia 9,66%. Di tempat kerja, yang bahagia 76,81%, yang sangat bahagia 2,9%. Proporsi ini tak berbeda jauh untuk di lingkungan masyarakat: 75,85% bahagia, 1,93% menyatakan sangat bahagia. Dan dalam seluruh aspek kehidupan, bisa dikatakan mayoritas kaum bisnis menyatakan dirinya bahagia: cukup bahagia 15,46%, bahagia 81,16%, dan sangat bahagia 2,9%.

Lantas, apa arti ini semua, khususnya bagi dunia bisnis? Apa artinya kalau banyak yang bahagia seperti ini?

Oke, mari kita dudukkan terlebih dulu apa arti bahagia. Menurut Arvan Pradiansyah, motivator dan penulis buku 7 Law of Happiness, kebahagiaan sering disalahartikan. “Semua orang bisa mendefinisikan happiness dengan sudut pandang masing-masing, tapi sebenarnya banyak orang yang tidak memahami, happiness is actually a process,” jelasnya. Maksudnya? Banyak orang, dia melanjutkan, yang berpendapat bahwa yang perlu dikejar dalam hidup ini adalah sukses. Sebab kalau sudah mencapai kesuksesan, dia akan mendapatkan kebahagiaan.

Gede Prama, Konsultan Manajemen Dynamics Consultant bahkan melihat banyak orang merasa bahwa sumber kebahagiaan berada di luar dirinya, seperti uang, barang, serta pujian. Dan khusus para eksekutif, dia menengarai kebanyakan masih di tingkatan yang disebutnya "muda" dalam hal sumber kebahagiaan. Buktinya, energi di balik kerja dan karya mereka masih berupa barang, pujian dan uang,” ujarnya. Apakah ini keliru?

Penelitian psikologi positif membuktikan paradigma yang menyatakan bahwa sukses mendatangkan kebahagiaan itu salah. Banyak orang yang sudah mencapai tangga kesuksesan, seperti karir dan materi, ternyata tidak kunjung merasa bahagia. Arvan menandaskan, bahagia itu bukan hasil kesuksesan. Happiness dulu, baru sukses,” kata dia.

Alhasil, yang harus diupayakan adalah bagaimana orang merasa bahagia terlebih dahulu. Dalam konteks pribadi, banyak pakar menyatakan bahwa sumber utama untuk melahirkan kebahagiaan adalah rasa syukur pada Tuhan YME. “Ia tersembunyi pada kualitas terimakasih kita pada kehidupan, kualitas penerimaan kita pada kekurangan,” kata Gede Prama. Dalam bahasa seorang Guru, ‘when I love my self enough, life begins to blossom in a beautiful way’,” dia melanjutkan.

Dan khusus di dunia kerja atau karir, Arvan menyebut dua faktor yang memengaruhi kebahagiaan para eksekutif: bersifat job dan non job. Banyak pihak berpikir faktor non job seperti uang dan sederet benefit menjadi determinan utama sehingga gaji terus dikerek manajemen perusahaan. Boleh jadi ini memengaruhi. Tapi sifatnya temporer. “Ini hanya mengurangi ketidakpuasan, tapi belum tentu bahagia,” katanya.

Tentang hal ini, sudah banyak penelitian yang menyuarakannya. Salah satunya dari Michael Norton. "We are doing things with our money that make us happy in the moment, but that's not always the best strategy for long-term well-being," demikian ungkap Guru Besar Harvard Business School yang tekun meneliti psikologi kebahagiaan. Tak heran, Arvan pun berpendapat tentang kebahagiaan yang lahir dari sifat non-job, Ini happiness yang palsu.” Yang asli?

Happiness yang sejati itu yang didapat dari the job itself. Pekerjaan saya ini pekerjaan yang bermakna, pekerjaan yang membuat saya bahagia, pekerjaan yang membuat saya menemukan diri saya,” paparnya. Inilah faktor job. Pekerjaan yang menantang, yang membuat orang flow (larut), yang menghasilkan meaning bagi yang bersangkutanlah yang memberi kebahagiaan. “Kalau orang itu bahagia, melihat pekerjaannya bermakna, maka inner beauty-nya akan keluarnya, semua energi terbaik dan kemampuan terbaiknya akan keluar. Semua hambatan dan tantangan itu akan kecil. Karena energi yang begitu besarnya, bisa mengalahkan semuanya,” lanjut pria yang juga banyak menelaah perihal kebahagiaan.

Bahagia mendatangkan energi yang besar, yang mengalahkan segalanya. Ini kesimpulannya. Dalam konteks bisnis, kesimpulan itu lebih spesifik: kebahagiaan akan mendongkrak produtivitas. Jadi untuk pertanyaan di atas, “Apa arti survei ini bagi dunia bisnis?”, maka jawabannya jelas: fakta ini adalah kabar yang positif karena dapat berpengaruh bagi produktivitas bisnis.

Isu kebahagiaan dan produktivitas tergolong bahasan yang makin hot dalam 4-5 tahun terakhir. Dan kebanyakan riset menunjukkan relasi positif: orang bahagia akan makin produktif. Riset John Helliwell, umpamanya. Guru Besar Emeritus yang juga ekonom University of British Columbia ini beberapa waktu lalu mengungkap studinya atas lebih dari 100 ribu orang di sejumlah negara. Salah satu temuannya yang kemudian mempengaruhi banyak korporasi untuk membenahi workplace-nya adalah hubungan yang positif antara kebahagiaan karyawan dengan produktivitas, bahkan bos yang membuat nyaman bekerja sudah berpengaruh besar bagi produktivitas bawahannya.

Studi ini segaris dengan pandangan psikolog ternama, Martin Seligman. Dalam bukunya, Authentic Happiness, dia menyimpulkan: happier people got better performance evaluations and high pay. Begitu juga D. G. Myers lewat bukunya, The Pursuit of Happiness yang menyatakan: dibanding mereka yang tertekan atau tak bahagia, happy employee punya catatan biaya kesehatan yang sangat rendah, kerja yang efisien, dan lebih jarang tidak masuk kerja.

Faktanya, kesadaran adanya relasi positif antara kebahagiaan dan produktivitas ini semakin banyak dimiliki para bos di Indonesia. Di IBM misalnya. "Di mana pun IBM beroperasi, kami memiliki program untuk memastikan karyawan memiliki lingkungan kerja yang terbaik," ungkap Vincent Hilliard, Country HR Manager PT IBM Indonesia. Untuk mengetahui tingkat kebahagiaan atau well-being karyawan, dilakukan beragam cari, mulai dari focus group discussion (FGD) dan one on one  session untuk mengetahui apa yang diinginkan serta dibutuhkan karyawan. Mengapa? "Kepemimpinan kami didorong oleh keyakinan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan karyawan adalah salah satu nilai dasar yang menentukan kesuksesan bisnis. Karyawan yang bahagia dan sejahtera, motivasi kerjanya akan terpacu dan akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan pertumbuhan bisnis," ujarnya.

Hal yang sama juga disadari di AXA Services Indonesia. Agar bahagia, karyawan harus tumbuh, belajar, memiliki karir yang baik, peluang yang besar, dan keterlibatan (engage). “Saya yakin, jika karyawan engage, ia berarti happy di kantornya,” ujar Presdirnya, Randy Lianggara. Seperti halnya di IBM, manajemen AXA juga menelusuri apa yang diinginkan karyawannya, mulai dari sisi kepemimpinan, budaya perusahaan, remunerasi, kepuasan kerja, hingga apresiasi buat karyawan. Dari sini kemudian dianalisis untuk mengetahui apa saja yang bisa membuat karyawan engage. “Jadi, dari karyawan, untuk karyawan,” kata Thomas Suhardja, Direktur SDM PT AXA Services.

Bahkan bukan hanya kalangan eksekutif yang menyadari relasi positif antara kebahagiaan dan produktivitas. Kalangan self employee malah semakin membutuhkannya. Melanie Subono, misalnya. “Buat saya, happy penting sekali karena saya seniman yang membutuhkan mood ketika buat tulisan, lirik, dan karya lainnya. Pada saat saya menjadi diri sendiri, saya happy, (saya) bisa bekerja dengan maksimal, kreatif,” katanya. “Kalau mood berantakan, saya mau cari uang dari mana? Saya tidak berkarya kalau mood berantakan.

Tentang kebijakan manajemen yang memperhatikan upaya menciptakan well being bagi karyawan, Gede Prama sangat mengapresiasinya. Peran organisasi, terutama organisasi bisnis adalah mengisi apa yang disebutnya "lobang-lobang jiwa" yang ada dalam diri karyawan, yang boleh jadi muncul dari relasi keseharian di dunia kerja. Kelelahan batin, kecewa, ketidakpuasan adalah lubang jiwa. Lubang yang tak terisi akan menganga lebar, membuat produktivitas menjadi barang langka.

Arvan pun mengapresiasi upaya manajemen yang seperti ini. Menurutnya, banyak bos menganggap happy dan happiness berkonotasi negatif terhadap produktivitas. “Banyak orang memandang, jika karyawannya dibuat happy, (jadi ragu) apakah dia mau bekerja, apakah memiliki daya juang yang tinggi,” tuturnya. Kalau karyawan merasa bahagia, banyak bos menyangka mereka akan manja, main-main, dan lebih senang ngobrol. “Maka tak heran banyak atasan suka berujar, ‘Kita sudah sampai di sini, tapi jangan happy dulu’,” dia melanjutkan. Sekali lagi, ini karena paradigma yang keliru.

Menimbang produktivitas terkait kebahagiaan, dengan demikian, upaya memperbaiki well-being di dunia bisnis dengan beragam kreativitas serta bentuknya merupakan sesuatu yang harus terus didorong. Para bos mesti memperhatikan ini.

Oh ya, ngomong-ngomong, kembali ke pernyataan di awal tulisan, ayo, ambil pena dan jawab pertanyaan berikut: berapa skor kebahagiaan Anda? ***

Special thanks to:
Denoan Rinaldi, Herning Banirestu, Radito Wicaksono, Siti Ruslina, Risvan dan S. Sumariyati




Friday, April 6, 2012

Kala Kaum Hawa Menggeliat di Pentas Dunia




Sejumlah wanita menunjukkan kemampuannya berkontribusi besar di berbagai bidang kehidupan. Survei dan studi kepemimpinan juga menunjukkan potensi besar mereka untuk menjadi pemimpin hebat. Toh kegalauan akan masih minimnya wanita perkasa, tetap menyeruak. Inilah potret mutakhir kaum hawa.

Lincoln Center, David H. Koch Theater, New York, awal Maret 2012. Suara tepuk tangan membahana begitu satu persatu panelis bicara. Ini adalah momen penting bagi kalangan wanita di seluruh dunia. Di sini mereka berkumpul dalam pertemuan Women in the World Summit ke-3 yang digagas majalah Newsweek.

Sejumlah wanita hebat hadir di sini. Diantaranya, Hillary Clinton (Menlu AS) beserta pendahulunya, Madeleine Albright, Leymah Gbowee (pemenang Nobel), Meryl Streep (pemenang Oscar), Nancy Pelosi (Ketua DPR AS dari Partai Demokrat), Sheryl Sandberg (COO Facebook), Gloria Steinem (feminis) dan Direktur Pengelola IMF, Christine Lagarde.

Sederet topik menyeruak di perhelatan selama 3 hari itu (8-10 Maret). Tapi semuanya mengerucut pada upaya memperkuat peranan kaum hawa di berbagai ranah kehidupan, baik itu politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Bahkan dalam acara yang disponsori  perusahaan raksasa macam HP, Bank of America, Toyota, Coca-Cola, Intel, Ann Taylor, Liberty Mutual serta Thomson Reuters itu keluar pernyataan yang heroik, women’s rights are human rightsdi samping keyakinan bahwa kaum hawa punya potensi serta kompetensi untuk berkontribusi di segala aspek. Bahkan mereka punya obligasi moral untuk mewujudkannya.

Perhelatan di New York itu memang telah usai. Tapi dalam konteks unjuk gigi di pentas dunia, kaum hawa belum menyatakan selesai. 18 Juni mendatang, misalnya, di Claridge’s, hotel mewah di Mayfair, London, akan dihelat ajang Most Powerful Women yang digelar majalah Fortune. Pertemuan dan gala dinner ini akan menghadirkan sejumlah perempuan hebat dibidang bisnis, sosial, politik hingga seni. Dan itu pun belum selesai. Pada 1-3 Oktober 2012, Fortune akan menggelar ajang yang lebih prestisius, Fortune Most Powerful Women Summit 2012 di Laguna Niguel, Kalifornia.

Kian menggeliatnya kaum hawa di pentas dunia memang kian terasa dalam satu dekade terakhir. Patut dicatat, pada 20 April 2012, sejarah akan menggores tinta emas bila Ngozi Okonjo-Iweala terpilih menjadi Gubernur Bank Dunia, menyisihkan wakil AS, Jim Yong Kim dan Jose Antonio Ocampo dari Kolombia. Bila Menteri Keuangan Nigeria itu terpilih, dia akan melengkapi dominasi kaum perempuan di lembaga keuangan dunia. Di IMF, sejak 5 Juli 2011 telah bercokol Christine Lagarde, wanita pertama yang menduduki kursi tertinggi lembaga moneter tersebut.

Lagarde adalah salah seorang wanita kuat di dunia. Sebelum menduduki kursi direktur IMF, dia menjabat Menteri Urusan Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian Perancis. Ini juga jabatan bergengsi karena menjadikannya perempuan pertama yang menjabat menteri ekonomi negara-negara kelompok ekonomi G-8. Dan merunut ke belakang, kelahiran 1 Januari 1956 ini telah mencatat banyak prestasi serta menorehkan sejarah. Diantaranya: perempuan pertama yang menjadi Direktur Baker & McKenzie, firma konsultan hukum papan atas.

Di ranah politik dan pemerintahan level dunia, dalam World’s Most Powerful Women 2011 versi Forbes, Lagarde masih di bawah sejumlah nama. Peringkat pertama diduduki Kanselir Angela Merkel (Jerman) yang kini tengah bertarung menyelamatkan Eropa dari terkaman resesi, disusul Hillary Clinton, dan berikutnya, bintang dari Amerika Latin, Dilma Roussef, wanita pertama yang menjadi Presiden Brazil. Adapun Aung San Suu Kyi, yang kini tengah merintis jalan menjadi pemimpin Myanmar, berada di posisi 26 – peringkatnya diyakini akan segera naik seusai Pemilu Myanmar.

Tak hanya di ranah politik, geliat itu terasa. Di ranah bisnis pun, kaum hawa kian bersemangat unjuk gigi. Di kalangan eksekutif wanita papan atas, nama-nama lama masih bercokol dalam sejumlah daftar most powerful women in business yang dirilis banyak media. Diantaranya, Irene Rosenfeld (CEO Kraft Food), Indra Nooyi (Pepsi), Patricia Woertz (Archer Daniels Midland), Ursula Burns (Xerox) dan Andrea Jung (Avon).

Untuk Irene Rosenfeld, wanita ini sangat istimewa. Fortune menahbiskannya di posisi pertama, mengungguli Indra Nooyi yang biasanya nangkring di nomor wahid. Irene yang menjadi CEO Kraft Food sejak 2006, dipandang sukses menjadikan Kraft perusahaan papan atas dan tetap solid di tengah aktivitas akuisisinya yang agresif seperti mengambil LU, produsen biskuit dari Prancis dan Cadbury (Inggris). Dia mampu menyegarkan kembali merek-merek Kraft seperti Oreo, Jell-O, serta Maxwell House. Dengan pendekatannya yang disebut “Growth Diamond”, Kraft dibawanya melaju dengan bertumpu pada lini-lini produk yang memromosikan kesehatan. Hasilnya mengesankan. Tahun lalu, laba bersih Kraft meningkat 10% dibanding tahun sebelumnya.

Kendati nama lama tetap berkibar, nama-nama baru juga telah muncul. Yang teranyar adalah Ginni Rometty yang menjadi Presiden dan CEO IBM serta Heather Bresch, CEO Mylan Inc., perusahaan farmasi besar di Pittsburgh, AS. Keduanya efektif menjabat posisi prestisius tersebut per-1 Januari 2012.

Bagi IBM, Rometty bukanlah figur sembarangan. Merintis karir di IBM sejak 1981 di Detroit, Michigan, karirnya terus menanjak pesat. Dia banyak mengurusi aspek penjualan dan pemasaran. Sebagai Senior Vice President and Group Executive, IBM Sales, Marketing and Strategy, wanita 54 tahun ini mengelola bisnis IBM senilai US$ 99 miliar. Sebelumnya dia sukses memimpin integrasi PricewaterhouseCoopers Consulting yang diakuisisi IBM pada tahun 2002 senilai US$ 3,5 miliar. Ini adalah akuisisi layanan konsultasi terbesar dalam sejarah. Kendati tugasnya maha berat, toh Rometty mampu mengintegrasikan lebih dari 100 ribu konsultan.

Kemudian, selain pergerakan wanita perkasa di AS dan Eropa, Fortune juga mencatat tokoh wanita hebat di Asia, terutama di ranah bisnis. Salah satunya adalah Chandra Kochhar. Wanita 51 tahun ini adalah Direktur Pengelola dan CEO ICICI Bank. Ini adalah bank swasta terbesar di India. Di bawah Kochhar, ICICI beberapa tahun terakhir menyabet penghargaan sebagai “Best Retail Bank in India” dan “Excellence in Retail Banking Award” yang diberikan The Asian Banker. Di India, popularitas Kochhar hanya mampu disaingi Sonia Gandhi.

Terlepas dari sebaran kaum wanita perkasa di pelbagai belahan dunia, bagi sebagian kalangan, pengangkatan Rometty dan Bresch adalah momen yang penting karena itu membuat daftar CEO wanita dalam kelompok Fortune 500 menjadi 18 orang. Ini adalah sebuah catatan tersendiri karena biasanya wanita perkasa di kelompok korporasi elit ini hanya segelintir saja, paling bagus di kisaran 12-15 orang. Akan tetapi, bagi kalangan lain, jumlah itu sangatlah minim, hanya 3,6% dari populasi 500 perusahaan elit di dunia.

Masih minimnya wanita perkasa di percaturan korporasi global, juga sangat diperhatikan di Eropa. Maret lalu, Viviane Reding, Komisioner Uni Eropa menyatakan keprihatinannya. Apa pasal?

Tahun 2011, dia secara terbuka mengundang perusahaan yang terdaftar di sejumlah bursa di Uni Eropa untuk menandatangani sebuah perjanjian. Isinya: meningkatkan proporsi jumlah kaum hawa dalam manajemen korporasi. Peningkatan ini dilakukan bertahap: 30% di tahun 2015, dan 40% di tahun 2020. Sayang, hanya 24 perusahaan yang menandatangani.

Kini, hanya 13,7% anggota direksi perusahaan besar di Uni Eropa yang berjenis kelamin wanita. Memang persentase ini bertambah dibanding tahun 2003 yang ada di posisi 8,5%. Tapi itu tetap jauh dari harapan Viviane dan sejumlah kalangan yang ingin membesarnya populasi kaum hawa di board. Apalagi bila melihat proporsi kaum hawa yang jadi Presiden dan Preskom. Jumlahnya lebih sedikit lagi: hanya 3,2%. Betul itu meningkat ketimbang 1,6% di tahun 2003, tapi tetap mengecewakan. Sebab, mengutip data yang ada, potensi kaum hawa di Benua Biru untuk bicara lebih banyak sangat besar. Di Uni Eropa, bahkan lulusan sarjana didominasi wanita. Mereka masuk ke banyak lapangan pekerjaan. Tapi populasi yang besar itu menghilang entah ke mana manakala melihat prosentase di pucuk korporasi didominasi pria.

Kegelisahan semacam ini, sebelumnya dengan sangat mengena telah diungkap Jane Martinson dalam tulisannya di harian terkemuka Inggris, Guardian. Bedanya, dia menyoroti lebih ke kiprah wanita di ranah politik dan pemerintahan. Dalam tulisan berjudul “Davos: if women are the future, where are they?” (27 Januari 2012), dia mencatat apa yang terjadi di Davos saat pertemuan World Economic Forum. Dari 2500 delegasi yang hadir pada pertemuan di Davos, hanya 17% kalangan perempuan. Begitu juga dengan para panelisnya, terutama ketika bicara ekonomi, masih dikuasai kaum Adam – kulit putih pula, sindir Jane. “Entah ke mana kaum wanita itu berada,” dia menulis dengan sinis. Padahal, Jane melanjutkan, semuanya terasa meyakinkan di awal perhelatan yang sangat bergengsi tersebut. Maklum, Angela Merkel bicara. Begitu juga pemenang Nobel, Leymah Gbowee yang belakangan bicara juga di Lincoln Center. Awal yang meyakinkan, papar Jane dengan nada masygul.

Kegalauan Jane dan Viviane tampaknya cukup beralasan. Di tengah upaya sejumlah perempuan perkasa untuk terus menunjukkan kekuatan mereka yang diantaranya digalang lewat sejumlah “Women Summit”, survei juga menunjukkan potensi kepemimpinan kaum hawa. Contohnya temuan Jack Zenger dan Joseph Folkman dari Zenger/Folkman, konsultan pengembangan kepemimpinan di AS. Maret lalu mereka merilis riset “Women vs Men in Leadership”. Menggunakan 7280 partisipan yang datang dari kalangan pemimpin korporasi, Zenger dan Folkman menyatakan bahwa sementara kaum pria terbilang hebat di area teknis dan strategis, kaum wanita unggul di sisi yang sangat penting seperti hubungan manusia dan komunikasi. “Mereka juga mengungguli mitra pria dalam hal dorongan diri untuk mencetak hasil yang hebat,” ungkap Zenger. Dari 16 kompetensi, kalangan wanita menguasai 15 kompetensi seperti “takes initiative” dan “develop others”. Hanya di kompetensi “develop strategic perpectives” pria unggul.

Jadi, kalau ada yang bertanya, “Mengapa harus wanita yang memimpin?”, Zenger dan Folkman menunjukkan jawabannya.

Apa yang diurai kedua konsultan itu cukup menjadi perbincangan di AS. Selain mengukuhkan beberapa riset lain yang telah dirilis banyak pihak pada 2-3 tahun terakhir, hasil survei Zenger-Folkman memperkuat asumsi tentang potensi besar kaum wanita untuk menjadi pemimpin, eksekutif atau pebisnis yang tangguh.

Pada faktanya, sejumlah wanita perkasa yang sering menjadi inspirasi itu sendiri banyak yang sunguh-sunguh telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola organisasi masing-masing. Di jagat bisnis, selain Irene Rosenfeld yang piawai menavigasi Kraft, atau Rometty di IBM, Indra Nooyi juga telah membuktikannya di Pepsi. Dan Nooyi yang telah menjadi CEO Pepsi sejak 2006 itu kini tengah diuji untuk kesekian kalinya. Apa yang terjadi?

Penyebabnya adalah tekanan investor serta pemegang saham yang geregetan karena wanita kelahiran Madras, India itu terlalu fokus pada strategi nutrisi (produk-produk yang sehat), dan mengabaikan bisnis minuman ringan berkarbonasi di Amerika Utara. Akibatnya, flagship brand-nya, Pepsi terkapar dihajar Diet Coke. Sementara saham Coca-Cola terus meningkat, saham Pepsi justru terus merosot. Pepsi bahkan disebut-sebut akan mengurangi karyawan hingga 4000-8000 orang. Apakah Nooyi mampu membalik keadaan, banyak pihak masih menunggu. Dan bila dia gagal, bukan mustahil dia akan menyusul Carly Fiorina, mantan CEO HP yang terpental.

Yang menarik, tatkala bicara tentang wanita perkasa – terutama di ranah bisnis – versi Fortune, juga terungkap fakta bahwa mereka yang berada di peringkat atas, ternyata tidak selalu mendapat kompensasi tertinggi. Lantas, siapa wanita bergaji termahal di dunia?

Perkenalkan: Safra A. Catz. Wanita 52 tahun yang menjabat Presiden Oracle Corporation ini ada di peringkat 11 daftar Powerful Women in Business versi Fortune. Tapi gajinya nomor satu: US$ 42 juta setahun. Adapun Irene Rosenfeld, yang menjadi nomor satu, cuma dibayar US$ 13,4 juta. Irene berada di peringkat 11 untuk urusan kompensasi. Jadi mereka bertukar posisi.

Tapi Irene tak mau pusing dengan urusan itu. Tipikal wanita hebat di level ini lebih galau pada pembuktian bahwa mereka dipilih karena mereka memang mampu mengelola organisasi besar dengan karyawan puluhan hingga ratusan ribu. ***