Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, April 21, 2014

Kisah Sepatu James Bond

Berangkat dari kreativitas, produk ini telah melewati tantangan jaman dan pasang surut persaingan. Di tangan generasi kelima, mereka kian mengglobal.

MUNGKIN tak banyak yang menyadari bahwa salah satu faktor yang membuat Daniel Craig terlihat gagah dan keren dalam film James Bond terakhirnya, Skyfall adalah sepatunya. Ya, sepatu di kedua kakinya yang kokoh itu. Dan yakinlah, makin banyak lagi yang tak mengetahui bahwa selama film laga itu berlangsung, Si James Bond ini menggunakan 4 pasang sepatu buatan Crockett & Jones. Keempat pasang sepatu itu bernama Alex, Highbury, Tetbury dan Islay.

Bukan tanpa alasan agen rahasia Inggris itu menggunakan sepatu-sepatu yang harganya tak murah ini – di kisaran US$ 524-735 sepasang. Crockett & Jones adalah salah satu produk kebanggaan bangsa Inggris. Sepatu hand made ini merupakan wujud kualitas yang terjaga, yang melewati 8 tahap produksi serta 8 minggu untuk pengerjaan setiap pasangnya. Lebih dari itu, Crockett & Jones adalah wujud dari perjalanan kreativitas yang panjang, yang berangkat dari keahlian menyamak kulit, yang membuat bangsa Inggris bangga.

Empat Sepatu Crockett & Jones untuk James Bond

Crockett & Jones dibangun pada 1879 oleh Sir James Crockett dan saudara iparnya, Charles Jones di Northampton dengan modal hibah sebesar ₤ 200 dari Thomas White Trust (TWT). Saat itu, TWT menyatakan memberi hibah untuk “mendorong anak-anak muda dengan karakter yang baik di kota Northampton serta Coventry untuk membangun bisnisnya sendiri”.

Bermodal uang hibah itu, James dan Charles mendirikan Crockett & Jones. Northampton menjadi basisnya. Ada alasan mengapa kedua anak muda itu membuat perusahaannya di sini. Wilayah Northampton secara tradisional dikenal sebagai daerah tempat tinggal orang-orang yang ahli membuat sepatu. Dan jangan keliru, kepiawaian para pembuat sepatu di wilayah ini sudah terkenal lebih dari 800 tahun. Pasokan air untuk menyamak, kulit yang berlimpah dari pasar ternak, membuat wilayah ini menjadi tempat sempurna untuk menjamurnya para pembuat sepatu. Di sini, selama berabad-abad, para perajin dan pendesain sepatu mengasah kemampuan mereka, memroses bahan baku menjadi sepatu terbaik.

Northampton memang sungguh punya sejarah yang panjang. Para pembuat sepatu dari wilayah ini bahkan sudah menyediakan sepatu saat Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Lalu, 2/3 dari 70 juta pasang sepatu prajurit yang bertempur saat Perang Dunia I diproduksi dari Northampton. Dan laiknya sebuah kluster industri, hampir setiap desa di wilayah ini punya industri sepatu dengan spesialisasinya masing-masing. Long Buckby, misalnya, terkenal dengan long boot sementara Wollaston untuk sepatu kerja.

Iklan Sepatu Crockett & Jones Model Lama

Saat ini, ada sekitar 25 pabrikan sepatu berada di wilayah ini. Mereka punya merek dan jejak di pasar global yang disegani. Tapi, menspesialisasikan diri dalam membuat alas kaki kulit dengan teknik yang disebut Goodyear-welted, Crockett & Jones mengukuhkan sebagai yang terbaik dan terbesar, terutama dalam urusan sepatu pria. Selain Crockett & Jones, sejumlah merek terkenal yang di Northampton adalah Trickers, Barker, Cheaney, Grenson, Loake, John Lobb, Edward Green, Alfred Sargeant, dan Church.

PASANG SURUT
Namun tentu saja ini perjalanan yang pasang-surut. Pada saat berdiri, perusahaan memulainya dari skala kecil untuk membuat sepatu pria. Roda bisnis baru berkembang di tangan generasi kedua. Pada tahun 1890-an, generasi kedua, Harry Crockett dan Frank Jones menambahkan elemen-elemen baru. Mereka memodernisasi fasilitas dengan mesin yang lebih bagus, terutama peralatan sol yang diproduksi Charles Goodyear. Langkah ini sangat strategis karena mampu membantu perusahaan memproduksi sepatu lebih cepat. Tak lupa, mereka juga membangun pabrik di Perry Street, Northamptom, yang kemudian ditambah bangunan baru di tahun 1910 dan 1935 sehingga memberikan ruang kerja yang sangat lapang.

Setelah itu, pelan tapi pasti, kinerja mereka pun terus menanjak. Bahkan pada tahun 1910, masa di mana banyak negara masih berkutat untuk memerdekakan diri, Crockett & Jones telah bergerak maju. Mereka mengekspor produksinya ke Australia, Argentina, Afrika Selatan, AS dan Timur Jauh (Jepang) sekalipun Inggris tetap menjadi pasar utamanya.

Pada tahun 1930-an, dengan generasi ketiga berada di tampuk kekuasaan, pamor Crockett & Jones kian mencorong. Produksi bisa mencapai 15.000 pasang sepatu dalam seminggu. Mayoritas sepatu ini adalah boot serta sepatu perempuan. Dan sewaktu Perang Dunia meletus. mereka memasok sepatu para prajurit. Lebih dari 1 juta pasang sepatu diluncurkan Crockett & Jones. Di masa perang ini, atas perintah Pemerintah Inggris, produksi sepatu pria dan wanita yang biasa dibuat di Northampton dihentikan, berganti khusus untuk sepatu perang yang diperlukan semua angkatan (darat, laut dan udara).

Lewat masa perang, terutama dekade 1950-1960-an, Crockett & Jones mereguk masa gemilang. Puncaknya terjadi di tahun 1968. Saat itu, Crockett & Jones menjadi salah satu bintang di tengah industri sepatu yang berjaya. Tahun itu, industri sepatu Inggris mempekerjakan 92 ribu tenaga kerja, yang menghasilkan lebih dari 200 juta pasang sepatu dalam setahun. Dari total produksi itu, sebanyak 185 juta pasang dibeli dan digunakan di Inggris. Ini adalah penanda hebatnya industri sepatu Inggris saat itu.

Tapi memang tak ada yang abadi di dunia ini. Jaman berubah, rodanya siap menggilas mereka yang nyaman. Tahun 1970-an, rencana proteksi pemerintah Inggris untuk industri sepatu gagal terlaksana. Akibatnya, sepatu dari luar menyerbu masuk. Toko-toko menawarkan sepatu alternatif dari pasar mancanegara, termasuk dari Benua Eropa.

Dalam kondisi demikian, seperti pembuat sepatu lainnya dari Inggris, Crockett & Jones pun mengalami mimpi buruk. Produksi melambat dan merosot, bahkan pernah hanya membuat 60 ribu pasang sepatu dalam setahun.

Menyiasati keadaan, pada tahun 1977, manajemen Crockett & Jones memfokus (re-focus) ulang bisnisnya. Mereka memutuskan untuk memusatkan perhatian pada sepatu laki-laki berkualitas tinggi. Lalu, alih-alih bertahan di dalam negeri di tengah serbuan sepatu asing, mereka juga memutuskan untuk mengembangkan pasar mancanegara, terutama Eropa, AS serta Jepang.

Bisnis pun kembali bergulir cepat. Selama 13 tahun kemudian, 70% dari produksi bahkan untuk pasar ekspor. Tak heran, pada 1990, Crockett & Jones pun diganjar Queens Award for Export Achievement oleh pemerintah Inggris.

Setelah itu, Crockett & Jones kian melebarkan sayapnya. Mereka merasa tak cukup lagi hanya melempar produk ke pasar tanpa sesuatu yang bisa mewakili citra elitnya. Seusai membuka toko ritelnya yang pertama di Jermyn Street, London pada tahun 1997, mereka merentangkan toko-toko di luar negeri seperti New York, Paris and Brussels.

Menurut managing director-nya, Jonathan Jones, setelah situasi yang buruk di dekade 1970-an, perlahan-lahan keadaan Crockett & Jones kembali membaik hingga produksi bisa tumbuh ke titik 130 ribu dalam setahun. Namun jelas masa gemilang dekade 1950-1960’an itu telah memudar. “Kami bergerak mendatar, dan problem terbesar adalah mengelola permintaan serta menemukan tenaga kerja ahli yang kami perlukan,” kata Jonathan.

Sekarang, setelah 4 dekade berlalu dari masa kegemilangan industri sepatu Inggris, yang tersisa hanya sekitar 4500 pembuat sepatu di negara itu. Mereka memproduksi 5 juta pasang setahun. Itu pun kebanyakan secara parsial dibuat di luar Inggris dengan model outsourcing, kemudian distempel “Made in England” – sesuatu yang menjadi ciri semua industri global.

ADAPTIF
Dalam kondisi demikian, sebagai pemain terbesar, Crockett & Jones berupaya bersikap adaptif terhadap perubahan situasi. Di tangah generasi kelima, mereka terus berupaya mengatasi tantangan yang tak mudah, baik yang datang dari lingkup internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, mereka kini terus aktif merekrut orang. Persoalannya, membuat sepatu hand made tidaklah gampang. Tak selalu mudah mendapatkan orang-orang yang ahli dalam urusan ini untuk bersedia duduk asyik bekerja di lantai produksi.

Pekerja Crockett & Jones. Mencari Tenaga Ahli untuk Hand Made Shoes tidak Mudah. 

Kemudian, di lingkup eksternal, Crockett & Jones mendapat kerepotan lain. Mereka bukan hanya berduel dengan pemain sejenis melainkan juga mesti berkompetisi dengan pelaku bisnis tas tangan mewah yang tengah booming, yang juga membutuhkan kulit bermutu tinggi. Akibatnya, ongkos produksi pun meningkat sehingga mau tak mau harga sepatu Crockett & Jones ikut terdongkrak.

Namun tentu saja hal yang bisa melemahkan ini mesti dicari solusinya. Selain terus mencari tangan-tangan terampil untuk lantai produksi, lalu membenahi sisi bahan baku dengan mengupayakan mendapat bahan sepatu terbaik, Crockett & Jones juga mengaktifkan lini-lini pemasaran, termasuk dengan teknik word of mouth (WOM). Di sini, mereka beruntung. Kebanyakan para pengguna fanatiknya menjadi evangelical consumer yang konsisten untuk perusahaan sepatu ini. Dalam satu kesempatan, para pengguna fanatik mengungkap di koran The Daily Telegraph dengan menyatakan sudah menggunakan sepatu Crockett & Jones selama satu dekade. Artinya, sekalipun mahal, sepatunya awet. Selama lebih dari 20 tahun terakhir, rekomendasi WOM ini telah turut membantu Crockett & Jones bertahan dan tumbuh menjadi kebanggaan bangsa Inggris.

Tapi tentu saja manajemennya tidak mau terlena. Mereka ingin merek Crockett & Jones kian mendunia. Mereka ingin sepatu ini bukan hanya dipakai James Bond, tapi sebanyak mungkin orang. ***

Sunday, March 23, 2014

Bintang Baru Hollywood

Di tengah kompetisi yang ketat, studio ini terus mencetak prestasi besar. Apa kunci suksesnya?

SEJARAH BESAR
DUA tahun lalu, persisnya 23 Maret 2012, sejarah ditoreh. Tiada dinyana, peluncuran perdana film The Hunger Games mencetak penjualan US$ 68,3 juta. Dalam sejarah perfilman, ini adalah opening day terbaik untuk film yang bersifat non-sequel, dan menjadi yang terbesar kelima dalam urusan mencetak penjualan. Dan hari-hari berikutnya, film ini menahbiskan diri sebagai tayangan papan atas. Seperti air bah, penonton tak henti mengalir. Tak heran, dalam satu minggu, film yang menceritakan perjuangan Katniss Everdeen dalam pertarungan hidup mati dengan busur panahnya itu meraup US$ 152,5 juta. Menutup tahun 2012, The Hunger Games meraup US$ 643 juta sementara ongkos produksinya hanya US$ 78 juta.

Kesuksesan The Hunger Games tak cuma melejitkan pemerannya, Jennifer Lawrence dan mengerek penjualan pernak-pernik mainan seperti busur panah ala Katniss. Film yang diadaptasi dari novel trilogi karya Suzanne Collins ini juga melejitkan nama Lionsgate. The Hunger Games seakan membentangkan karpet merah untuk Lionsgate sebagai bintang Hollywood di tengah dominasi studio besar. Ia menjadi fast-growing independent studio. Tak seperti studio-studio besar yang muncul sejak era Gloria Swanson dan Rudy Valentino (bintang legendaris era film bisu), Lionsgate baru berusia 17 tahun. Di usia muda, prestasi hebat digoresnya. Tahun 2012, pendapatan kotornya mencapai US$ 1,1 miliar, menempatkannya di posisi ke-5 di Hollywood, tepat di belakang Sony/Columbia. Hebatnya, prestasi itu diulang setahun kemudian. Sekuel ke-2 The Hunger Games, Catching Fire sukses di pasar. Menutup tahun 2013, Lionsgate mencetak penjualan US$ 1,1 miliar.


Keberhasilan ini memancing orang melayangkan puja-puji dan menganalisis apa yang menjadi kuncinya. The Economist, salah satunya, membedah kesuksesan studio ini. Dan rupanya, keberhasilan ini merupakan perpaduan dari sejumlah faktor. Di sisi produk, ambil contoh. Winning formula-nya adalah kemampuannya untuk mencari cerita yang diperkirakan akan meledak sekalipun tak ada yang bisa menjamin itu terjadi. Sebelumnya, Lionsgate dikenal sebagai produsen film murah tapi menguntungkan dari genre horor, seperti seri Saw dan komedi menampilkan Tyler Perry. Kesuksesan The Hunger Games menjadi bukti paling sahih kemampuan membidik cerita berkelas. 

Dari sisi operasi, manajemen Lionsgate juga menerapkan pola yang efisien dan cerdik. Lini operasinya ramping. Tak seperti studio Hollywood besar yang gemuk dan tua, yang dikelompokkan sebagai major studio, Lionsgate tak punya area studio yang besar, berisikan perangkat permanen untuk membuat film. Markasnya pun hanya di blok perkantoran di Santa Monica. Mereka biasanya mengambil lisensi hak internasional untuk memfilmkan, dan biasanya tak menaruh lebih dari US$ 15 juta untuk produksi. Memang kebijakan ini membatasi Lionsgate meraup lebih banyak keuntungan ketika filmnya laris, akan tetapi strategi ini melindunginya dari kerugian yang pernah membenamkan penantang studio besar Hollywood seperti United Artist yang filmnya, Heaven's Gate gagal total di tahun 1980. Karya sutradara Michael Cimino (The Deer Hunter) ini rugi ₤75,6 juta atau setara Rp 1,1 triliun.

Salah satu contoh lain rampingnya operasi Lionsgate adalah armada SDM-nya. Mereka hanya berkekuatan 550 orang. Bandingkan dengan 10 ribu orang di Warner Bros. Selain membuat ongkos operasi yang lebih murah, kerampingan ini juga membuat keputusan yang diambil manajemen bisa begitu cepat dilakukan sehingga kecil kemungkinan ide bagus harus mengendap di "pengembangan produk" yang kadang birokratis


The Hunger Games. Blockbuster bagi Lionsgate


Salah satu yang sangat kentara sebagai efek dari keputusan yang cepat adalah bagaimana aksi korporasi yang mereka lakukan setelah berganti nama pada 1998. Merunut ke belakang, Lionsgate punya akar yang panjang. Tahun 1962, John Dunning dan Andre Link mendirikan Cinépix Film Properties (CFP). Perusahaan perfilman independen di Kanada ini aktif merilis baik film Inggris maupun Prancis. Setidaknya, mereka menghasilkan 10-12 film setiap tahunnya dan mendistribusikan sejumlah film, termasuk film dokumenter grup rock Hype, dan Sick: The Life & Death of Bob Flanagan, Supermasochist

Tahun 1997, Lionsgate Entertainment masuk membeli Cinépix. Saat itu, Cinépix telah memiliki 56% saham Cine-Group, perusahaan animasi. Setahun kemudian, 12 Januari 1998. Cinépix Film Properties bersalin nama menjadi Lionsgate Films. Dua tahun kemudian, meluncurlah box office pertama mereka, American Psycho. Film ini melahirkan tren memproduksi serta mendistribusikan film yang kontroversial, termasuk Lolita. Sekalipun tidak menjadi box office, film lain yang terkenal dari Lionsgate adalah Affliction, Gods and Monsters, Dogma, Saw, dan film dokumenter monumental karya lelaki yang terkenal kritis dan bawel, Michael Moore, Fahrenheit 9/11, yang memberikan pendapatan kotor terbesar bagi Lionsgate sampai munculnya The Hunger Games di tahun 2012.


AKUISISI
Aksi korporasi Lionsgate yang membuatnya disegani adalah aktif melakukan akuisisi. Di bawah kendali duet Jon Feltheimer dan Tom Ortenberg, mereka membawa studio ini fokus mengambil laba dari video dan DVD, juga mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang sedang terlilit masalah, tapi memiliki aset yang luar biasa: koleksi film dengan jumlah yang banyak untuk didistribusikan. Maka satu persatu studio dicaploknya. Diantaranya adalah Trimark Holdings (650 judul film) pada tahun 2000. Pembelian ini tergolong penting karena memasukkan CinemaNow, situs broadband streaming di mana Lionsgate bisa menampilkan filmnya untuk konsumen wilayah Kanada dan AS. Setelah itu Artisan Entertainment Inc. pada 2003 senilai US$ 160 juta. Artisan terkenal dengan filmmya yang fenomenal di tahun 1999, The Blair Witch Project.

Setelah mereka, menyusul akuisisi lain yakni Redbus, Debmar-Mercury, Mandate dan TV Guide Network. Dengan akuisisi ini, dampaknya sangat signifikan. Lionsgate punya koleksi DVD terbesar kedua di industri perfilman. Di dalamnya termasuk Total Recall, Reservoir Dogs, On Golden Pond, Super Mario Bros, Young Guns, Dirty Dancing dan It's a Wonderful Life.

Tapi akuisisi yang terkenal tentu saja yang dilakukan pada 13 Januari 2012 ketika Lionsgate mengambil Summit Entertainment senilai US$ 412,5 juta dalam bentuk kombinasi uang tunai dan saham. Transaksi ini membuat posisi Lionsgate sebagai studio independen semakin kuat. Dengan mengakuisisi Summit, koleksi film Lionsgate bertambah 13.000 judul. Summit bukan nama sembarangan. Ia punya sejumlah box-office seperti The Hurt Locker, Red, dan film yang membius kaum muda, The Twilight Saga.

Lionsgate dan Summit. Kekuatan besar penantang The Big Six


Masuknya Summit ke dalam pelukan, membuat Lionsgate menjadi pemain mini studio yang kian diperhitungkan. Di Hollywood dan industri film global, sudah ada kemafhuman bahwa produsen dan distributor film terbagi dalam dua kelompok besar ditinjau dari skala produksinya: major studio dan mini studio. Di kelompok major studio berdiri nama-nama besar seperti The 20th Century Fox, Paramount, Walt Disney, Warner Bros, Columbia, serta Universal. Mereka dijuluki The Big Six. Sementara di barisan mini studio berdiri Lionsgate, Summit, The Weinstein Company, CBS Films dan raksasa yang sudah lumpuh, MGM.

Jon Feltheimer dan Tom Ortenberg menyadari bahwa pertarungan di industri film tidaklah mudah. Karena itu mereka bergerak cepat dengan mengakusisi perusahaan yang akan memperkaya kekuatan jaringan mereka. Saat mengambil Summit, Feltheimer, Co-Chairman dan CEO Lionsgate berujar, “Transaksi ini melanjutkan strategi pertumbuhan jangka panjang kami untuk membangun perusahaan media kelas dunia yang terdiversifikasi melalui kombinasi dari disiplin, akuisisi strategis serta pertumbuhan organik, dengan tetap menjaga neraca yang solid.” 

Lionsgate memang sangat terdiversifikasi. Salah satunya adalah ekspansi ke bisnis televisi. Unit ini memberikan sepertujuh bagi pendapatan perusahaan. Unit ini juga punya hit-nya sendiri, yakni Mad Men tentang orang periklanan tahun 1960-an, dan Nashville, cerita tentang bintang musik country.

Semua langkah akuisisi dan diversifikasi ini dimudahkan dengan organisasi Lionsgate yang ramping. Namun, kunci sukses lainnya adalah dari sisi pemasaran, terutama mencari momentum yang pas. Kebanyakan studio besar merilis blockbuster-nya ke pasar secara simultan di liburan musim panas dan saat Natal. Lionsgate tak melakukan itu. Dia mencari celah waktu di saat penonton dianggap tak punya banyak pilihan. The Hunger Games salah satu contohnya, diputar pada Maret 2012.

Yang mutakhir adalah film Divergent, yang dirilis pada bulan yang sama, tepatnya 21 Maret 2014. Divergent yang dibintangi Shailene Woodley ini berkisah tentang Tris Prior yang hidup di kota futuristik Chicago, yang masyarakatnya dibagi menjadi 5 bagian: Candor (jujur), Erudite (pintar), Dauntless (berani), Amity (damai), dan Abnegation (penolong). Saat melakukan tes, Tris ternyata tak cocok di kriteria manapun lantaran kepribadiannya yang beragam, yang disebut sebagai "divergent". Sebagai "divergent", dia pun dilarang membocorkan identitasnya pada yang lain karena akan membahayakan jiwanya. Bersama seorang “divergent” lain bernama Four, mereka berjuang meruntuhkan konspirasi yang dilakukan pemimpin kelompok lain. Pada penayangan perdananya, film yang diadaptasi dari novel Veronica Roth ini meraup US$ 4,9 juta dan diprediksi akan sukses pada hari-hari berikutnya.

Catatan yang menarik dari Lionsgate adalah sementara major studio menjadi konglomerasi besar, studio ini tak punya induk yang siap menopangnya saat melewati masa sulit di tengah kompetisi yang begitu ketat. Namun, dengan independensinya, mereka justru jadi bebas mengejar apa yang buat studio lain mungkin diabaikan. Dan lantaran bergerak independen, Lionsgate berupaya melakukan perlindungan risiko dengan level kehati-hatian yang sangat tinggi. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah menjual saham dalam produksi beranggaran besar kepada perusahaan luar dan sosok yang makmur, yang sering dijuluki sebagai keluarga Medici modern, yakni Amir Malin dari Qualia Capital, perusahaan private equity.

Dengan posisi tanpa induk, manajemen Lionsgate juga kerap menghadapi tantangan yang tak mudah. Pada tahun 2011, mereka bertempur melawan Carl Icahn, investor yang selama tiga tahun mencoba menendang para pemimpin Lionsgate dan menggabungkan studio ini dengan MGM, studio legendaris yang telah kehilangan aumannya.

Hal semacam ini sebenarnya tidak mengejutkan. Sebagai pemain independen yang mencorong, sangat wajar bila ada pihak-pihak yang ingin mencaplok Lionsgate. Sebelumnya hal ini telah dialami DreamWorks, perusahaan yang didirikan trio Steven Spielberg, Jeffrey Katzenberg dan David Geffen. Mengenyam sukses di periode 1998-2005, DreamWorks menjadi ancaman serius The Big Six. Tahun 2006, Viacom, induknya Paramount mengakuisisi DreamWorks. Tetapi tahun 2008, DreamWorks mengakhiri kerjasama itu, lalu didanai Reliance ADA Group untuk kembali menjadi perusahaan independen dan memercayakan fungsi distribusinya kepada Touchstone. Karya DreamWorks yang terkenal diantaranya adalah Lincoln (2013).

Feltheimer sendiri menyadari tidaklah mudah untuk terus mencetak box-office dan bertarung melawan studio-studio besar. Dan kenyataannya, memang sangatlah sulit untuk memprediksi film yang akan jadi blockbuster. Lionsgate sendiri pernah terpeleset. Salah satunya adalah film yang digadang-gadang akan laris: Ender’s Game. Film military sci-fi. ini hanya mencetak pendapatan kotor US$ 112 juta di seluruh dunia, sementara anggarannya US$ 110 juta, belum lagi biaya pemasarannya yang tak murah.

Tantangan bagi Lionsgate sebagai jagoan dari kalangan mini studio memang tidaklah kecil. Ada semacam sifat di Hollywood bahwa sesuatu -- termasuk studio film -- yang sebelumnya tidak dikenal dan tiba-tiba tenar, seringkali terbakar habis. Seperti meteor menghujam bumi. Banyak studio berusia muda dapat menjaga biayanya tetap ramping di awal, tapi begitu mereka mulai tenar, mereka malah kepayahan untuk tetap efisien karena sulit menolak permintaan aktor dan sutradara yang ingin honor lebih banyak. Lihat saja New Line Cinewa, yang berdiri tahun 1967, yang akhirnya menjadi divisi di Warner Bros. Mekar di tahun 1980-an, New Line yang sempat top lewat trilogi Lord of the Rings, tapi kemudian melar dalam urusan anggaran untuk film-film yang ironisnya malah tidak terlalu laku.


Divergent. Siap menjadi lumbung uang baru bagi Lionsgate

Kini, di tengah sorotan kekaguman dan ancaman pemain besar, Feltheimer terus berupaya mencari sumur-sumur pertumbuhan baru. Selain berencana meneruskan sekuel ketiga The Hunger Games, yakni Mockingjay, Feltheimer menyatakan akan membuat kelanjutan Divergent, yaitu Insurgent. Bagi sejumlah pengamat, kelanjutan dua film ini akan menjadi pundi-pundi uang bagi Lionsgate. Benar tidaknya pendapat itu, tentu masih ditunggu. Yang pasti, Lionsgate telah menjadi penantang serius The Big Six. ***