Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, December 16, 2012

Senandung Pertumbuhan Bimbo



Jagoan dari Meksiko ini terus meraksasa, menjadi produsen roti terbesar di muka bumi. Akuisisi dan kemampuan mensegmentasi produk menjadi kunci pertumbuhannya.


5 November 2011. Akhirnya persetujuan itu pun rampung sudah setelah melewati rute berliku. Sara Lee Corp. resmi menyelesaikan penjualan bisnis rotinya di wilayah Amerika Utara (AS dan Kanada) kepada Grupo Bimbo S.A.B. sebesar US$ 709 juta. Nilai yang tak bisa dipandang remeh.

Jelas ini adalah berita menarik yang cukup menyita perhatian pelaku bisnis global. Grupo Bimbo, siapa itu?

Tak banyak orang tahu kelompok bisnis yang satu ini. Namun Departemen Kehakiman AS sangat mengenal kelompok usaha ini dengan baik. Sebelum November 2011 tiba, mereka menentang keras proses penjualan bisnis roti milik Sara Lee itu lantaran mewaspadai potensi monopoli yang akan ditimbulkan dari transaksi ini.

Ya, di kawasan Amerika belahan utara, terutama di Amerika Serikat, Grupo Bimbo telah mencengkramkan kukunya cukup dalam. Pemerintah AS mempermasalahkan potensi monopoli Bimbo di pasar roti, terutama roti iris. Dengan mencaplok bisnisnya Sara Lee, kelompok bisnis ini menguasai sejumlah pasar, diantaranya 63% pangsa pasar di San Diego, Sacramento (59%), Los Angeles (58%) dan San Francisco (56%). Tentu ini dipandang tak sedap oleh Pemerintah AS. Persetujuan akuisisi itu sendiri akhirnya diberikan setelah Bimbo setuju membatasi dominasinya di sejumlah kawasan yang sudah dikuasainya.

Jadi, siapa Bimbo?

Dalam bahasa Spanyol, kata “Bimbo” tak punya arti atau makna spesifik. Tapi di bisnis roti dan makanan, ini adalah nama yang tengah bersinar terang. Seperti biduan, ia tengah manggung dengan senandungnya nan merdu. Betapa tidak, kelompok usaha ini adalah produsen roti terbesar di muka bumi, dan perusahaan makanan keempat terbesar di dunia, setelah Nestle, Kraft serta Unilever.

Bimbo mengelola lebih dari 7000 produk, mulai dari aneka roti, cemilan, tortilla, hingga permen karamel. Hadir di 19 negara, ia memiliki 174 merek. Diantaranya: Bimbo, Marinela, Ricolino, Barcel, Lonchibón, Tía Rosa, El Globo, Milpa Real, Coronado, Duvalín, La Corona, Suandy, Marisela, Arnold, Park Lane, Gabi, Ana María, Pullman, Nutrella, Entenmann´s, dan Mama Ines. Adapun 153 pabriknya tersebar di banyak tempat, diantaranya di Meksiko (43 buah), Amerika Selatan (25), Amerika Serikat (34) dan China (2).

Grupo Bimbo didirikan di Mexico City, 4 Juli 1945 oleh enam sahabat: Lorenzo Servitje Sendra, Jaime Jorba, Jaime Sendra, José Mata, Alfonso Velasco dan Roberto Servitje Sendra. Di awal berdiri, mereka mendistribusikan roti dalam kotak. Pada 2 Desember 1945, Bimbo baru memiliki 38 orang karyawan.



RAHASIA PERTUMBUHAN

Melesatnya Bimbo tak ayal memancing banyak pihak bertanya seputar rahasia pertumbuhannya. Dan bila Roberto Servitje Sendra yang menjawab, dia punya penjelasan yang merujuk pada nilai-nilai Katolik yang mereka hayati. Di Warren Auditorium, San Diego University, 12 Oktober 2012, dalam acara “Making Business 'Truly Efficient and Truly Humane': The Case of Grupo Bimbo, Roberto menyatakan bahwa kunci sukses kelompok usahanya adalah menjadi perusahaan yang peduli pada karyawannya.

Nilai-nilai Katolik memang memainkan peran dalam budaya perusahaan Bimbo. Sejak awal, pola pikir yang berkembang di perusahaan yang kini memiliki 155 ribu karyawan adalah bahwa karyawan harus diperlakukan dengan penuh hormat dan didorong bersikap aktif. Roberto dengan bangga menyatakan bahwa selama berdiri 67 tahun, Bimbo tidak pernah mengalami gejolak karyawan, seperti demontrasi serta bentuk ketidakpuasan lainnya. “People are first,” ujar lelaki yang menjadi Chairman Grupo Bimbo itu.

Apa yang dipaparkan Roberto tidaklah keliru. Seperti perusahaan besar lainnya, Bimbo memang tumbuh dengan modal manusia-manusia kreatif. Dan salah satu sosok kreatif itu adalah putra Roberto, Daniel Servitje Montull yang mengambil posisi CEO Grupo Bimbo pada tahun 1997.

Di bawah arahan Daniel yang lulusan Stanford Graduate School of Business ini, Bimbo dibawa begitu kreatif dan ekspansif, merajalela ke banyak tempat. Dari hanya berkutat di Meksiko, perusahaan ini perlahan-lahan merangsek ke tetangga-tetangganya.

Dalam ikhtiar mengembangkan Bimbo ke pasar global, Daniel memang kreatif. Pria 53 tahun ini memperhatikan banyak aspek, terutama sisi produksi. “Saya belajar bahwa roti tidak bisa dibawa dalam perjalanan jarak jauh,” katanya (The Making of Emerging-Market Champion, McKinsey Quaterly, Agustus 2011). Apa artinya itu?

“Kami harus melokalisasi pasar, menyesuaikan dengan kebutuhan,” dia menambahkan. Itulah sebabnya Bimbo mulai rajin mengakuisisi. Satu demi satu pabrik roti pun dibeli. Termasuk juga para distributornya. Daniel paham distributor adalah penguasa rute untuk menyalurkan roti-roti segar. Tanpa menguasai titik distribusi berarti seperti menembak dengan peluru hampa.

Daniel adalah sosok yang cerdas. Selain sisi produksi, dia juga memerhatikan selera konsumen. “Saya berupaya memahami pasar. Saya belajar. Bahkan di Meksiko pun aspek budaya diperhatikan. Di Meksiko, ada 10 tipe tortilla, berbasis pada kesukaan daerah setempat,” dia berujar. Berangkat dari itu, Bimbo pun melakukan diversifikasi produk sehingga tak heran bila akhirnya memiliki lebih dari 7000 varian produk. “Sebenarnya apa yang kami lakukan di banyak tempat adalah mensegmentasi portofolio produk di kanal yang berbeda,” dia menjelaskan.


Kendati berawal dari akuisisi yang kecil-kecil, namun karena menguasai jalur distribusi diiringi kemampuan inovasi produk yang baik, Bimbo pun tumbuh membesar di banyak tempat. Tak heran pasar Amerika Utara pun bisa ditembusnya, terutama Amerika Serikat.

Cerita Bimbo membuka pasar di AS cukup menarik. Sewaktu Daniel membuka rute di Los Angeles, dia membidik wilayah yang ditinggali kaum Hispanik di kota itu dengan asumsi akan lebih mudah menggarap mereka yang berbahasa Spanyol, atau datang dari Amerika Latin. Tapi apa lacur, bertahun-tahun dia mengejar konsumen Hispanik, mereka tak bisa meraihnya. Komunitas Hispanik baru bisa jatuh ke pelukan Bimbo setelah Daniel bisa menguasai pasar yang lebih besar, di Texas dan California.

Di Amerika Utara, sebelum mengambil Sara Lee, Daniel terlebih dahlulu mencaplok bisnis roti milik George Weston Foods Ltd. di awal 2008 senilai US$ 2,4 miliar. Ini sebabnya Departemen Kehakiman kemudian menjadi was-was ketika Bimbo ingin membeli bisnis roti Sara Lee. Mereka khawatir dominasi jagoan Meksiko yang terlalu kuat.

Sara Lee sendiri menjual bagian bisnis rotinya sebagai bagian dari konsolidasi internal. Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis Sara Lee melemah. Selain roti, Sara Lee juga menjual bisnis produk rumah tangga, kecantikan, serta perawatan sepatu. Sara Lee kini membagi bisnisnya dalam dua perusahaan perdagangan. Satu perusahaan fokus di Amerika Utara dengan makanan merek Jimmy Dean serta Hillshire Farm. Satu lagi fokus di minuman internasional dengan merek seperti Pickwick serta Maison du Cafe. Khusus dengan Bimbo, selain di wilayah operasi Amerika Utara, Sara Lee juga menjual bisnis rotinya di Spanyol dan Portugal ke Grup Bimbo senilai US$ 158,3 juta.

Begitulah. Akuisisi demi akuisisi dilakukan jagoan Negeri Sombrero ini. Bahkan di tahun 2006, Bimbo melangkah ke China, membeli Panrico. Di negeri Tirai Bambu itu, industri roti tumbuh 7% setiap tahunnya, dan Bimbo menikmati kinerja yang lumayan: penjualan mencapai US$ 35 juta.


10 BESAR

Secara keseluruhan, langkah akuisisi inilah yang membuat Bimbo tumbuh kian pesat. Dari jalan akuisisi ini, Bimbo menjadi satu-satunya perusahaan dari negara berkembang yang bergabung dalam 10 besar perusahaan makanan global. Di tengah konsolidasi pasar yang diwarnai sejumlah akuisisi, seperti Kraft dan Cadbury atau Mars dan Wrigley, Bimbo tumbuh 15% pertahun di kurun 2006-2011. Pasca akuisisi Sara Lee, Bimbo bahkan diprediksi akan makin kinclong. Tahun 2004, penjualan mencapai US$ 4,6 miliar. Tahun 2011, nilaianya mencapai US$ 10,7 miliar. Dalam 3-5 tahun mendatang, diprediksi nilai ini akan berlipat ganda.

Prediksi ini tak berlebihan. The Economist, 27 Oktober 2012, mengulas betapa berartinya pasar Amerika Utara bagi perusahaan-perusahaan Meksiko, termasuk Bimbo. Berkat North American Free-Trade Agreement (NAFTA), Meksiko jadi salah satu wilayah ekonomi paling terbuka di dunia. Dan lokasi yang dekat dengan AS sangat membantu kalangan bisnis negeri itu. Betapa tidak, selain Meksiko, tak ada ekonomi negara berkembang yang berbatasan lagsung dengan pasar terbesar di dunia, AS. Dan sungguh ini sangat menguntungkan. Barang-barang dari Meksiko mudah dialirkan ke AS lewat Sungai Rio Grande ketimbang dari Guangdong, misalnya, yang mesti lewat Samudra Pasifik terlebih dahulu. Inilah yang membuat kiprah Bimbo ditaksir akan semakin cemerlang setelah menguasai bisnis roti peninggalan Sara Lee.

Faktanya, setelah mengambil Sara Lee, Grupo Bimbo menggeber habis-habisan bisnisnya di AS. Meski membatasi dominasinya di sejumlah tempat, Daniel mendorong Bimbo melebarkan jaringan di sejumlah wilayah seperti Connecticut, Maine, Massachusetts, New Hampshire, New York, Rhode Island serta Vermont. Jaringan distribusi roti Sara Lee di wilayah Mid-Atlantic pun dilebarkan. Untuk menangkap pasar AS, Daniel segera mengucurkan investasi US$ 1 miliar untuk membangun pabrik-pabrik roti.

Kendati pasar Amerika Utara dieksplorasi habis-habisan, Daniel tak melepaskan basis kekuatannya di Amerika Latin. Salah satu yang kini menjadi perhatiannya adalah perubahan perilaku konsumen di negara-negara Amerika Latin. Akibat pertumbuhan ekonomi, mereka menjadi berkelimpahan dan lebih terinformasi. Sekarang, “Konsumen di Amerika Latin dan Meksiko lebih perhatian pada aspek kesehatan dan gizi ketimbang 10 tahun lalu,” kata Daniel. Menghadapinya, Bimbo melakukan sejumlah perbaikan, terutama melakukan reformulasi produk. Wujudnya: lemak, garam, dan gula dikurangi, sementara serat ditambahkan.

“Konsumen mencari value, produk yang sehat dan kaya nutrisi,” Daniel menjelaskan perilaku konsumen yang kini mesti diantisipasinya. Itulah value yang dikejar. Dan itulah yang diyakininya harus diberikan. Bila ini bisa dilakukan konsisten, senandung pertumbuhan pun akan terus terdengar dari Bimbo. ***

Thanks to Armiadi Murdiansah (Research)

Monday, December 3, 2012

Berselancar di Atas Disrupsi Digital



Perkembangan teknologi digital dan telekomunikasi membuat konsumen memiliki daya tawar yang luar biasa. Perusahaan harus menyikapinya dengan cepat dan tepat. Di industri ritel, sejumlah pemain telah beradaptasi.


Disruptive innovations are like missiles launched at your business. Begitu tulis Maxwell Wessel dan Clayton M. Christensen dalam Surviving Disruption (Harvard Business Review, Desember 2012). Ya, perubahan seringkali seperti misil yang meluncur dan siap merontokkan bisnis apapun manakala sang pelaku tidak siap menghadapinya. Dan disrupsi besar pada satu dekade akhir yang paling mematikan adalah perkembangan teknologi digital. Di industri musik, misalnya, Wessel dan Christensen menyebut bagaimana Napster, Amazon dan Apple Store telah meluluhlantakkan Tower Records serta Musicland. Begitu pula personal computer yang merontokkan minicomputer dan mainframe. Atau, fotografi digital yang membuat teknologi film menjadi usang, seperti teknologi jaman batu.

Disrupsi digital yang bergerak demikian dinamis ini, tentu saja memerlukan kelincahan para pemain bisnis agar bisa berselancar di atasnya. Bila tidak, siap-siap saja tergulung ombak besar. Yang kemarin terlihat hebat, satu dekade kemudian hanya terngiang namanya. Di industri ponsel, ambil contoh, Nokia kini nyaris tinggal nama dilibas Apple, Samsung dan serombongan telepon berbasis Android.

Salah satu industri yang mendapat tantangan keras gelombang teknologi digital adalah ritel. Darrell Rigby, mitra Bain & Company, penulis artikel The Future of Shopping (HBR, Desember 2011) membuat pernyataan menarik. Menurutnya, disrupsi telah terjadi di industri ritel hampir setiap 50 tahun sekali. Diantaranya: department store (tahun 1860an), mal (1910-an) serta toko diskon (1960). Dan 50 tahun kemudian, disrupsi berbasis teknologi digital bisa dikatakan yang paling signifikan memengaruhi industri ritel. Teknologi ini mengubah secara fundamental, terutama pengalaman belanja ritel yang memaksa para pelaku industri ritel berubah jika tidak ingin tergilas roda jaman.

Salah satu teknologi yang menuntut pelaku ritel melakukan perubahan adalah smartphone. Bagi masyarakat modern, ponsel cerdas memungkinkan mereka memindai label harga di toko dan membelinya secara online di tempat lain. Fenomena ini disebut "showrooming" yang membuat pengelola ritel harus pandai menyiasati karena pembeli memraktikkan apa yang disebut "scan and scram" (pindai dan langsung pergi).

Faktanya, gejala ini semakin marak. Deloitte Consulting baru-baru ini melakukan survei dan menemukan kenyataan bahwa dari 2.598 pengguna ponsel cerdas, 58% menggunakannya untuk belanja. Dari jumlah itu, 61% diantaranya menggunakannya ketika berada di toko (CIO, 25 Oktober 2012). Ini berarti mereka memindai saat berada di toko, dan boleh jadi membelinya di situs online.

Terhadap fenomena ini, Kasey Lobaugh dari Deloitte Consulting menyebut dunia industri ritel semakin dekat dengan apa yang disebut omnichannel. “Kita harus melihat bahwa setiap pelanggan kini terhubung secara konstan: sewaktu mereka berada di toko dan berseluncur online secara bersamaan. Mereka dihubungkan dengan peranti mobile sehingga dua pengalaman belanja (online dan offline) ini tidak terpisahkan,” katanya.

Perihal komunikasi dan perilaku pelanggan ritel di jaman sekarang yang semakin cair, diakui Jeffrey Grau, analis eMarketer. “Seorang pelanggan mungkin saja meriset produk secara online, melihatnya di toko, mencari opini dari teman lewat jaringan sosial, menggunakan ponsel untuk mengecek harga produk sejenis, hingga akhirnya membeli di toko menggunakan Pay-Pal dari ponselnya,” katanya.

Kalau begitu halnya, lantas bagaimana tindakan para peritel?


OMNICHANNEL
Dalam laporannya, Greg Girard, analis IDC Retail Insights mengatakan, "Strategi yang paling sukses untuk mempertahankan toko dari sekedar menjadi showroom adalah membawa mereka ke arus besar bernama omnichannel commerce dan mentransformasi mereka ke dalam orkestrasi omnichannel." Apa maksudnya?

Selama beberapa dekade, toko brick-and-mortar adalah gurun informasi. Memang ritel tradisional punya keunggulan: aroma barang yang meruar, gantungan dari pabrik yang masih gres, serta sentuhan inderawi lainnya yang tidak bisa diberikan oleh toko online. Namun sulit mencari informasi barang yang dijual di antara tumpukan produk yang menggunung.

Padahal, di sisi lain, perubahan telah melaju demikian dinamis. Konsumen ingin bergerak cepat. Konsumen masa kini lebih lentur dibanding masa-masa sebelumnya. Mereka lebih melek informasi, sekaligus kurang loyal pada merek. Konsumen semakin menginginkan harga terbaik dan berharap layanan memuaskan dari peritel. Pelanggan kini semakin berdaya, punya akses banyak terhadap informasi dan harga produk lewat internet serta peranti mobile.

Di sinilah letak keunggulan toko online yang kenikmatan untuk berbelanja di dalamnya makin dipermudah dengan mengadopsi ponsel cerdas. Lewat satu sentuhan, orang punya pilihan banyak, mudah belanja, harga murah, bisa membeli apa saja di waktu bersamaan dan bisa mengakses review produk yang diulang pihak lain. Akibatnya, ritel berikut pemasaran tradisional pun berpotensi kehilangan posisi.

Untuk berselancar di tengah disrupsi digital semacam ini, salah satu cara yang disarankan untuk digunakan para peritel adalah menggunakan teknologi pula. Salah satunya adalah yang dikenal dengan sebutan customer-facing.

Customer-facing adalah kata sifat yang digunakan untuk menggambarkan peranti keras atau produk peranti lunak, teknologi atau apapun yang digunakan secara langsung oleh konsumen. Ini mencakup user interface dari aplikasi peranti lunak, help desk yang memungkinkan pelanggan bisa menelpon pihak produk, surat atau kontak lainnya yang diterima pelanggan, atau bahkan kebijakan perusahaan yang mendeskripsikan bagaimana pelanggan bisa berinteraksi dengan produsen.

Dalam konteks omnichannel commerce, teknologi customer-facing sangat diperlukan. Pemasaran model omnichannel adalah pemasaran yang terintegrasi dan multidisiplin yang memberikan pengalaman menarik bagi konsumen lewat beragam titik sentuh (touch point). Lewat beragam peranti keras maupun lunak berisikan aplikasi mobile dan online, seperti in-store solutions, kiosk systems, electronic shelf labels atau digital merchandising equipment, diharapkan konsumen akan mendapat pengalaman belanja yang menyenangkan sehingga akan melakukan pembelian dan menjadi pelanggan yang loyal.

Faktanya, para riteler kelas dunia juga telah bergerak di jalur ini. Untuk berselancar di tengah disrupsi digital, mereka membangun infrastruktur digital untuk membuat platform yang bisa menciptakan customer experiences dalam menarik pelanggan terbaik. Para peritel membangun sejumlah kanal yang jumlahnya terus bertambah di mana mereka bisa menjangkau konsumen dari segala arah, mulai dari smartphone, tablet, websites, in-store digital signage, toko fisik, kios, media sosial dan smart-TV yang semuanya tidak lagi dikelola sebagai aktivitas terpisah, tapi terpadu.

Sears, misalnya. Perusahaan ritel ini menyebut pendekatannya sebagai "integrated retail” yang bukan sekedar peningkatan infrastruktur TI, tapi juga pemikiran organisasional. Sears Holdings telah berinvestasi di jalur omnichannel untuk seluruh ritel miliknya, termasuk Kmart. Mereka mengucurkan ratusan juta dolar untuk peningkatan hardware, software dan infrastruktur TI lainnya. Diantara yang mereka lakukan adalah mengembangkan Wi-Fi untuk memperbaiki konektivitas smartphone di toko. Sears juga bereksperimentasi dengan iPad dan iPod untuk mobilitas serta fleksibilitas ketika menolong pelanggan. Mereka juga melatih ulang para associate sales-nya untuk memahami model ritel terintegrasi ini.

Hal serupa juga muncul di Ahold USA, induk sejumlah perusahaan ritel termasuk Giant Food Stores, Martin's Food Markets, Stop and Shop, serta toko online, Peapod. "Pelanggan kian mendefinisikan bagaimana mereka ingin belanja, dan jika kita tidak bisa memenuhinya, maka kita menjadi tidak relevan dengan mereka,” kata John Dettenwanger Jr., CIO Ahold USA.

Sejumlah toko milik Ahold telah menggunakan program Scan It, peralatan pemindaian in-store keluaran Motorola, juga Scan It Mobile, yang bisa beroperasi dengan smartphone pribadi. Peranti-peranti ini memungkinkan para pembeli memindai sewaktu belanja sehingga mereka bisa tinggal bayar dan pergi ketimbang menunggu untuk check-out. Adapun barang yang mereka beli dikirim belakangan.


Adapun Home Depot, sejak tahun 2010 telah berupaya terjun ke pendekatan omnichannel. Ritel ini mengijinkan para pelanggan melakukan pembelian online (homedepot.com) dan mengambil barangnya di toko. “Kami ingin melayani pelanggan kami di manapun,” ujar CIO Home Depot, Matt Carey.

Carey mendorong Home Depot bergerak aktif, semakin dekat ke ritel omnichannel dengan menerapkan mobile apps yang memungkinkan pelanggan menemukan produk yang mereka inginkan dengan cepat. “Sehingga Anda tidak membuang waktu perjalanan ke toko, karena Anda tahu barang itu ada di sana, katanya.

Agar program ini berjalan baik, manajemen Home Depot membekali para sales associates-nya dengan 34 ribu peranti mobile dari Motorola dengan kemampuan melihat inventori dan komunikasi satu sama lain. Peranti-peranti ini juga bisa digunakan untuk remote checkout, sehingga bisa membantu menempatkan produk yang dibutuhkan pelanggan yang kebetulan berada di toko lain.

Lantaran pentingnya praktik ini, pada tahun 2011, Home Depot bahkan menambahkan interconnected retail” sebagai prinsip inti yang mesti dipegang awak perusahaan, sebagai pelengkap 3 prinsip lainnya: a passion for customer service, being the product authority for home improvement, dan disciplined capital allocation driving productivity and efficiency.


VIRTUAL STORE
Di luar para pemain ritel di atas, langkah yang menarik seputar menunggangi gelombang disrupsi digital adalah Tesco, peritel terbesar nomor 3 di dunia setelah Wal-Mart dan Carrefour. Agustus 2012, Tesco meluncurkan “virtual grocery store” di Inggris di mana pelanggan dapat mengorder produk lewat ponsel cerdas dari billboard interaktif di tempat umum.

Ya, Tesco memang membuat billboard elektronik yang menampilkan rak-rak berisi produk, yang masing-masing ada barcode-nya. Menggunakan aplikasi telepon yang dibuat internal Tesco, seorang pembeli dapat memindai barcode, menambahkannya ke dalam keranjang belanja, membayar, dan lalu kemudian memilih waktu pengiriman.

Di Inggris, hal ini sudah dicoba di Gatwick Airport, North Terminal. Tempat ini dipilih karena dianggap sebagai cara mudah bagi para calon penumpang untuk memanfaatkan waktu luang. Penumpang yang bosan bisa mengisi waktu dengan belanja yang kemudian akan dikirim begitu mereka tiba di rumah.

Riset Tesco menyatakan mereka harus bergerak cepat terhadap teknologi digital bila tak ingin ketinggalan kereta. Mereka berpegang pada dua data. Pertama, mengacu data IDC, pada tahun 2016, 90% dari seluruh ponsel yang beredar di Inggris adalah ponsel cerdas. Lalu yang kedua, merujuk data Centre for Retail Research terungkap bahwa konsumen di Inggris akan membelanjakan hingga £ 4,5 miliar lewat smartphone-nya di tahun 2012.

Langkah Tesco di Inggris ini bukanlah gerakan yang tiba-tiba, atau diambil tanpa preseden. Model ini ditempuh setelah cara serupa sukses mereka terapkan di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng, Tesco mengoperasikan toko virtual sejak April 2011 lewat Tesco Homeplus. Menyasar kalangan pelajar serta kaum pekerja, mereka mengoperasikannya di sejumlah penghentian bis serta kereta bawah tanah. Cara belanjanya sangat mudah: orang mengorder produk dengan cara memindai barcode lewat ponselnya, membayarnya, untuk kemudian barang dikirim ke rumah.


Sejak diluncurkan April 2011, program toko virtual di Korea Selatan ini laris manis diserbu pelanggan. Kebanyakan masyarakat mengorder barang antara pukul 10.00-16.00 ketika berangkat ke tempat kerja.

Menyikapi kesuksesan itu, CEO Tesco Homeplus di Korsel, SH Lee mengatakan, “Tren yang berkembang di smartphone Korsel menunjukkan bahwa belanja virtual semakin mudah dan nyaman dari masa-masa sebelumnya.” Tak heran, Tesco pun mencoba melebarkan toko virtualnya di tanah asalnya, Inggris. Harapannya, sukses serupa akan diraih.

Dengan melesatnya teknologi digital, peritel memang perlu lebih banyak tetap mengikuti perkembangan. Simon Kendrew, Direktur Digital Gratterpalm, perusahaan iklan dan pemasaran, menyatakan, “Dengan penggunaan teknologi digital yang makin canggih dan meluas, lingkungan ritel telah berubah secara drastis. Sangat vital buat para peritel untuk bereaksi terhadap perkembangan ini.” Toko virtual Tesco merupakan salah satu contohnya. Mengapa demikian?

Virtual shops adalah jurus Tesco yang cerdas untuk mendorong orang belanja lebih banyak melalui ponselnya. Sebab, setiap orang dapat mengorder secara online lewat smartphone begitu melihat billboard elektronik. Ini membuat belanja menjadi lebih mudah lagi. Dengan adanya toko virtual, orang yang sebelumnya tidak berpikir untuk membeli barang, jadi terpikir untuk membeli begitu dia melihat rak-rak barang virtual yang tampak menggoda. Tesco jelas bisa mendapat penjualan ekstra dari cara ini.

Memang, seperti dikatakan Kendrew, dia percaya bahwa sekalipun virtual store belum menjadi revenue stream utama bagi Tesco. Akan tetapi dia juga percaya langkah ini merupakan pijakan yang kuat terhadap brand positioning di masyarakat yang makin powerful dengan ponsel cerdas di tangannya. Publik jadi mengetahui betapa mudahnya belanja di Tesco, sebuah pengalaman yang makin penting di era pemasaran omnichannel seperti saat ini.

Bicara tentang disrupsi digital, pada 2 bulan terakhir, forum-forum tentang hal ini kian ramai digelar. Salah satunya adalah Digital Disruption Summits and Forums di Orlando, AS, pada 18-19 Oktober 2012. Pada forum itu, VP Forrester, James McQuivey mengingatkan para pemasar dan produsen untuk melihat disrupsi digital dengan waspada. Mereka harus menambahkan kapabitas digital dalam operasi bisnisnya bila tak ingin tergilas di tengah gelombang digital yang tengah pasang ini.

Apa yang kini sudah dilakukan sejumlah pemain industri ritel di atas hanyalah sedikit gambaran bagaimana berselancar di atas perubahan teknologi digital. Industri lain juga tengah bergerak karena seperti dicatat McQuivey, pelaku bisnis mesti waspada pada tiga hal yang menjadi sumber kekuatan teknologi digital: peranti gratis yang membuat orang bisa menciptakan produk atau jasa dengan cepat; berkembangnya platform digital yang mudah dieksploitasi; dan melonjaknya kelas konsumen digital yang memiliki daya tawar serta aspirasinya sendiri. Tiga kekuatan ini, bila diabaikan akan menjadi senjata yang mematikan. ***

*Thanks to S. Sumariyati for the research!