Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, December 16, 2011

Kala Etika di Bawah Karpet


Skandal tata kelola perusahaan tak kunjung berhenti. Etika kerap hanya jadi seperangkat aturan tertulis. Pada akhirnya mengelola korporasi memang soal yang satu ini: kejujuran.

Bom atom itu bernama Olympus. Berawal dari tuntutan mantan CEO-nya, Michael Woodford, skandal busuk yang sudah disimpan rapat selama 20 tahun itu terkuak sudah. Bahkan bukan hanya di Jepang, bau anyirnya menyebar ke banyak tempat, memancing mual melihat rakusnya segelintir orang-orang terhormat di pucuk korporasi.

Pemicu terkuaknya borok ini bermula dari permintaan Woodford terhadap perusahaan berumur 92 tahun ini untuk menjelaskan transaksi akuisisi sebesar US$ 1,3 miliar (Rp 11 triliun) yang menurutnya janggal. Woodford mencium bau busuk. Ada yang salah dari kebijakan yang diambil. Dia curiga dana tersebut mengalir ke pos yang salah.

Awalnya – seperti lazimnya skandal yang mesti ditutup rapat-rapat –, manajemen Olympus menyangkal mati-matian. Namun, lewat jalan berliku, akhirnya produsen kamera asal Jepang itu mengakui telah menyembunyikan kerugian investasi di perusahaan sekuritas selama 20 tahun, sejak era 1980-an.

Aib ini bermula dari akuisisi Olympus atas produsen peralatan medis asal Inggris, Gyrus, pada tahun 2008. Transaksi senilai US$ 2,2 miliar (Rp 18,7 triliun) ini juga melibatkan biaya-biaya lain, yakni ongkos penasihat yang mencapai US$ 687 juta (Rp 5,83 triliun) dan pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal senilai US$ 773 juta (Rp 6,57 triliun).

Belakangan terungkap, biaya-biaya lain tersebut (ongkos penasihat dan perusahaan investasi lokal) adalah akal-akalan. Dana-dana itu digunakan untuk menutupi kerugian investasi di dua dekade lalu. Modus ini pun terlihat terang-benderang lantaran pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal itu dihapusbukukan.

Laiknya aib besar, saling tuding pun terjadi diantara pihak-pihak terkait. Presiden Direktur Olympus Shuichi Takayama menunjuk hidung Tsuyoshi Kikukawa, yang mundur dari jabatan Presiden dan Komisaris Olympus pada 26 Oktober 2011, sebagai pihak yang bertanggung jawab. "Saya benar-benar tidak mengetahui kebenaran tentang semua ini," kilah Takayama, yang mengaku tidak mengetahui kasus ini sejak jabatan Presiden Direktur diserahkan Kikukawa kepadanya. Baru Wakil Presiden Direktur Hisashi Mori dan auditor internal Hideo Yamada yang menyatakan siap jika pada akhirnya dituntut hukuman pidana karena mengetahui transaksi ini.

Di tengah kepastian akan diseretnya para direksi serta akuntan dengan delik manipulasi laporan keuangan, masa depan Olympus menjadi pertanyaan besar. Sahamnya rontok. Kepercayaan anjlok. Dan masyarakat Jepang pun sontak diingatkan skandal besar lain di era 1990-an yang menimpa meluluhlantakkan broker terbesar keempat di Jepang, Yamaichi Securities pada 1997.

24 November 1997. Yamaichi Securities Co., perusahaan broker tertua di Jepang, yang juga perusahaan terbesar nomor 4, mengumumkan kebangkrutannya. Utang yang melilitnya mencapai US$ 23,8 miliar, tapi kalangan media Negeri Matahari Terbit menaksir utang yang sebenarnya di kisaran US$ 53 miliar. Kewajiban sebesar itu melibatkan 40 perusahaan terafiliasi, baik dari bisnis investasi, keuangan dan properti yang bernaung di bawah kelompok Yamaichi.

Saat itu, banyak kalangan meyakini Yamaichi Securities sebagai core company dari kelompok usaha ini akan mampu bertahan dengan mem-bail out utang-utang perusahaan afiliasinya. Tapi alih-alih mampu menghapusbukukan utang di perusahaan afiliasi, Kementrian Keuangan Jepang justru mengungkap kotoran besar yang selama ini disimpan rapatt: Yamaichi menyembunyikan kerugian US$ 1,58 miliar dalam neraca keuangannya. Dan kalangan media membongkar bahwa skandal ini dilakukan dengan modus kuno: perdagangan ilegal di mana kerugian brokerage dialihkan dari satu klien ke klien lain sehingga nasabah tidak mengetahui situasi sebenarnya. Kelak, seluruh kerugian itu kemudian dikumpulkan di perusahaan bodong di mancanegara.

Skandal kedua perusahaan Jepang di atas hanyalah sedikit noda dunia korporasi yang meninggalkan kelu bagi pihak yang dirugikan, sekaligus rasa mual tatkala membaca atau mendengarnya. Tapi Jepang tidak sendirian. Di AS, skandal korporasi yang sampai sekarang masih menyakitkan, tentunya adalah Enron.

Akhir tahun 2002, raja perdagangan energi yang sebelumnya berkali-kali masuk menjadi perusahaan yang mengagumkan menjatuhkan bom yang lebih besar dari Olympus. Tak tanggung-tanggung, salah satu perusahaan terbesar di dunia ini mengumumkan kebangkrutannya.

Tentu saja ini berita terbesar setelah serangan ke Menara Kembar WTC setahun sebelumnya. Bagaimana tidak, Enron selama ini adalah perusahaan yang penuh puja-puji. Bahkan pada tahun 2001, ia masih melaporkan rapor keuangan yang seperti biasanya, menawan para investor: pendapatan mencapai US$ 100 miliar, laba US$ 3,8 miliar. Buat perusahaan sebesar Enron, tak ada yang mengira kematian datang tiba-tiba setahun berikutnya ketika melaporkan kerugian US$ 50 miliar.

Sejarah mencatat, kebangkrutan yang membuat pelaku pasar modal nangis bombay karena rugi US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron kering airmatanya lantaran dana pensiunnya sebesar US$ 1 miliar lenyap itu berangkat dari praktik window dressing. Manajemen Enron di bawah pimpinan Ken Lay dan Jeff Skilling telah menggelembungkan pendapatan sebesar US$ 600 juta sembari menyembunyikan utang US$ 1,2 miliar.

Melihat beberapa skandal di atas, tak heran jika muncul pertanyaan: mengapa semua ini berulang?

Modus yang digunakan perusahaan di atas menjadi potret betapa etika telah disimpan di bawah karpet bersama borok-borok yang ditimbulkannya. Tapi, apakah tak ada aturan etika bisnis yang selaras dengan tata kelola usaha mereka?

Justru di sinilah ironi besar itu terletak. Dilihat dari sudut pandang etika serta tata kelola perusahaan, apa kurangnya Enron, Yamaichi dan Olympus? Seperangkat code of conduct mereka miliki.

Enron, ambil contoh. Kode etiknya luar biasa. Berbentuk booklet setebal 64 halaman, kode etik terakhir diperbarui pada Juli 2000. Kalimat Pendahuluannya pun sangat indah. “As officer and employees of Enron Corps., its subsidiaries, and its affiliated companies, we are responsible for conducting the business affairs of the companies in accordance with all applicable laws and in a moral and honest manner”. Indah bukan? Yang menuliskannya: Ken Lay, Chairman dan CEO Enron, biang skandal.

Dalam booklet, nilai-nilai moral bertebaran di sekujur halaman, bertaburan perintah ini-itu. Buat karyawan, diantaranya termaktub: dilarang menguntungkan diri sendiri atau bertindak demi keuntungan pihak lain, diminta menjaga nama baik Enron dengan standar moral yang tinggi, dan sederet aturan lain yang amat hebat. Tapi praktik membuktikan, bukan karyawan yang menghancurkan aturan itu, melainkan para pembuatnya sendiri.

Tak heran, karena jengkel, setelah Enron kolaps, booklet ini oleh orang yang sinis dilelang di E-Bay, laku di posisi US$ 202,5. Betapa murahnya untuk seperangkat rambu tindakan yang hebat.

Begitu pula halnya Olympus. Perhatikan code of conduct-nya: sound corporate activities, action on behalf of the customer, respect for human right, serta working environment with vitality. Tiap poin tersebut selanjutnya memiliki penjabarannya masing-masing yang cukup panjang, terinci dan detail. Pedoman etika ini juga harus digunakan di seluruh grup. Salah satunya adalah Gyrus ACMI yang mencantumkan kalimat berikut dalam pedoman perilakunya: "As members of the Olympus Group, we all understand that in striving to achieve success in our business lines, we must conduct ourselves in accordance with the law and with the highest standards of ethics and integrity."

Sebenarnya, sejak skandal Enron meledak, banyak upaya dilakukan untuk meredam perilaku tidak etis yang dibuat para pemuncak korporasi. Boardroom memang menjadi titik perhatian karena inilah sentrum kapitalisme. Di sinilah kapitalisme diharapkan bisa mengalirkan kebaikan. Tapi skandal yang meruyak membuktikan justru di sini juga akar kejahatan besar itu sering bermula sehingga melahirkan istilah “the madness in boardrom”, kegilaan di ruang direksi.

Menyadari direksi bukan manusia berhati malaikat – malah sering menjadi serigala berbulu domba di balik jas dan dasi mahalnya – sejumlah upaya diluncurkan, mulai dari Sarbanes-Oxley (tahun 2002) hingga ketentuan memperbanyakan direktur independen seperti yang ditetapkan Wall Street dan Nasdaq pada 2009. Pemikirannya mendasar: perlunya mekanisme checks and balances yang lebih ketat di tengah godaan penyelewengan kuasa yang amat berat.

Peraturan yang dibuat memang cukup memperketat potensi penyelewengan. Tapi tetap saja muncul seorang Bernard Lawrence "Bernie" Madoff yang melakukan penipuan gila-gilaan lewat skema Ponzi. Menilik posisinya, Madoff mungkin benar-benar orang keblinger. Bagaimana tidak. Dia mantan kepala bursa Nasdaq yang memahami arti tata kelola dan etika. Lewat Madoff Investment Securities LLC, ribuan investor dibuatnya gigit jari karena Madoff tidak melakukan investasi tetapi memindahkan uang para investor baru untuk membayar uang para investor lama pada tanggal jatuh tempo. Kerugian akibat skema Ponzi ditaksir mencapai US$ 20 miliar, yang menjadi kerugian investasi terbesar di negeri itu. Madoff dihukum 150 tahun.

Melihat apa yang terjadi, tak heran bila Vineet Nayar punya pendapat yang tampaknya akan selalu relevan. Katanya, “Corporate ethics isn't about rules. It's about honesty.” Nayar adalah Vice Chairman dan CEO HCL Technologies Ltd., perusahaan IT dari India. Dia penulis buku laris, Employees First, Customers Second.

Baginya, corporate governance dan etika yang sesungguhnya bukanlah seperangkat aturan formal. Ini tentang hati. Tentang kejujuran. Khususnya buat para pemimpinnya. Akuntabilitas para pemimpin, katanya adalah sesuatu yang tak bisa dinegosiasikan kepada seluruh pemangku kepentingan. “Hal yang kita lakukan setiap hari adalah berlaku jujur,” katanya. Tapi justru itulah yang kini seringkali menjadi barang langka di jagat bisnis. Padahal, trust akan muncul dalam sebuah perusahaan bila para pemimpinnya transparan. Dan trust menjadi mata uang paling berharga dalam sebuah perusahaan.

Sayang, lanjut Nayar, keserakahan para pemimpin membuyarkan itu semua. Etika pun akhirnya hanya seperangkat aturan yang bersifat lentur, digunakan sesuka hati, dan disimpan di bawah karpet manakala tidak menguntungkan. Etika membeku di atas kertas, tidak dihidupkan dalam perilaku keseharian. Lantas, harus dari mana memulainya?

Tentu saja seluruh elemen perusahaan wajib menjalankan etika yang dituliskan. Tapi yang menarik, Nayar mengingatkan para pemimpin bahwa perilaku etis mereka sesungguhnya sangat berpengaruh pada karyawannya. Para pemimpin itu, katanya, berutang kepada karyawannya yang telah memahat kesuksesan perusahaan. Karyawanlah yang bangun pagi dan berangkat kerja dengan semangat. Agar tata kelola perusahaan yang baik dapat berjalan, pemimpin mesti mencontohkan terlebih dahulu sebelum meminta karyawan bertindak etis. Sebab karyawan akan mencontohnya. “Tuhan hanya memberi kita satu kehidupan. Lakukanlah hal yang baik,” katanya menasehati para CEO. ***

Friday, November 18, 2011

One Get Three


Era memperbesar follower telah usai. Tugas mendesak pemimpin adalah creating more leaders.

JUDUL di atas, sepintas mirip iklan produk yang diobral: “buy one, get three”. Tapi jelas judul di atas bukanlah seperti itu: bahwa bila kita membeli satu produk, kita akan mendapat bonus. Kata itu saya dapatkan dari owner sekaligus CEO Adhimix, Edno Windratno. Perusahaan precast nasional yang urusannya memproduksi beton-beton ini kinerjanya luar biasa. Setelah di-spin off dari Adhi Karya pada tahun 2002, Adhimix melesat luar biasa. Turnover-nya yang hanya miliaran rupiah, kini telah mendekati Rp 5 triliun. Padahal, sebelumnya Adhimix selalu merugi sehingga tidak berkontribusi pada Adhi Karya. Lantas, apa maksudnya dengan “one get three”?

Yang dimaksudkannya di sini adalah tentang pentingnya peran seorang pemimpin dalam melahirkan pemimpin-pemimpin di bawahnya, pemimpin-pemimpin berikutnya, sehingga organisasi berjalan berkesinambungan. Bukan organisasi yang pemimpinnya lebih besar dari organisasi itu sendiri sehingga ketika sang pemimpin pergi, organisasi itu pun berantakan.

Seringkali, memang, orang menilai pemimpin dari prestasi, atau result, yang dibuatnya sekarang. Di organisasi bisnis, prestasi itu berupa kinerja finansial yang mengesankan, atau target yang jauh terlampaui. Penilaian seperti itu tentunya tak keliru. Indikator-indikator kuantitatif semacam itu memang yang paling disorot karena menjadi cerminan sejauh mana yang bersangkutan telah mampu membawa organisasinya tumbuh.

Akan tetapi, pandangan seperti itu tidak sepenuhnya tepat. Tugas pemimpin bukan sekedar mencetak angka pertumbuhan bisnis, tapi juga mencetak pemimpin-pemimpin baru. Leader create leader. Bukan hanya satu, tapi banyak, setidaknya 3 orang. Itulah yang dimaksud dengan “one get three”. Jadi dengan demikian, lebih tepatnya adalah “leader create more leaders”.  Bahkan bukan sekadar mencetak pemimpin di bawahnya, tapi kalau bisa mendorong munculnya pemimpin-pemimpin di semua level yang ada.

Di masa lampau, pendekatan yang sering kali berlaku untuk menilai kesuksesan pemimpin adalah “berapa banyak orang yang mengikutinya (followers)”. Entah itu organisasi bisnis, terlebih organisasi sosial. Bila pengikutnya semakin banyak, maka sukseslah dia.

Era seperti itu kiranya sudah tidak banyak berlaku lagi. Paradigmanya kian bergeser. Di masa kini dan masa mendatang, saya sepenuhnya meyakini bahwa para pemimpin juga akan dinilai dari “seberapa banyak pemimpin yang mereka hasilkan”. Apa maknanya?

Itu artinya, bila diletakkan dalam konteks organisasi bisnis, kesuksesan pemimpin bukan semata dilihat dari sisi pertumbuhan finansial (financial growth), tapi juga dilihat dari sejauh mana dia berperan di sisi ini: melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih berkualitas dibanding dirinya (human capital growth).

Bagi organisasi yang ingin tumbuh, tumbuh dan terus tumbuh, paradigma yang terakhir adalah yang paling relevan. Sebab, organisasi yang ingin terus berkembang, yang ingin “sawah ladangnya kian meluas untuk ditanami dengan beragam tumbuhan yang menghasilkan”, pastinya ia akan menciptakan atau merebut peluang demi peluang yang kadang datangnya tak terantisipasi. Seperti orang yang berada di stasiun, organisasi yang ingin maju akan menghadapi kereta demi kereta yang datang dengan jadwal tiba-tiba.

Dalam kondisi demikian, tentunya diperlukan para pemimpin. Dibutuhkan orang-orang yang berkarakter memimpin, yang tahu bagaimana melihat serta memanfaatkan peluang, dan yang terpenting: berani mengambil keputusan dengan segala risiko yang terkalkulasikan, sekaligus berani menghadapi tantangan serta mempertanggungjawabkannya. Para pemimpin ini bukan hanya di pucuk organisasi, tapi di semua level. Bukan hanya satu orang di satu departemen atau divisi, tapi berlapis demi lapis.

Bila pemimpin yang ada dalam organisasi tersebut terbilang sedikit, tidak di semua level, bisa dibayangkan seperti apa organisasi itu akan bergerak. Boleh jadi organisasi itu hanya akan berjalan di tempat karena orang-orang yang semestinya berani berinisiatif hanya diam menunggu titah. Cuma duduk manis karena bersikap sebagai follower yang takut mengambil keputusan.

Melihat perjalanan ke depan, dan keinginan terus berlari hingga batas yang tak bertepi, semua organisasi dalam skala apapun, sungguh memerlukan munculnya pemimpin-pemimpin bisnis di semua level. Pemimpin di sini bukan semata jabatan atau posisi, tapi juga karakter seperti berikut: jiwa untuk memimpin, mengelola, mempengaruhi, memotivasi dan menginpirasi orang lain.

Kalau sedemikian penting artinya “one get three” ini, maka otomatis para pemimpin dituntut harus tahu bagaimana caranya mencetak pemimpin-pemimpin baru.

Ini memang bukan pekerjaan gampang. Di banyak organisasi, bahkan bukan cerita baru orang-orang dari luar direkrut besar-besaran untuk menjadi pemimpin karena minimnya orang-orang dari lingkungan internal yang berkualifikasi untuk me-lead dan me-manage.

Untuk kebetuhan mendesak, itu mungkin bisa dilakukan. Namun belakangan banyak yang menyadari bahwa pemimpin yang terbaik biasanya memang datang dari “ladang” sendiri. Mengapa? Karena yang bersangkutan sudah memahami seluk-beluk mulai dari values, sistem hingga budaya yang berkembang. Ibarat petani, dia sudah mengetahui jenis tanaman yang cocok dengan kontur tanah yang digarapnya berikut kebutuhan airnya.

Akan tetapi, seperti disinggung di atas, sekalipun menyadari orang lingkungan internal memiliki keunggulan karena mengetahui serta memahami lekuk-lekuk organisasi, mencetak pemimpin-pemimpin baru tidak semudah membalik telapak tangan. Di belakang kata “create more leader”, mestinya ada proses yang panjang, yakni proses men-develop leader.

Laiknya orang yang bercocok tanam, atau mengandung, proses untuk mendapatkan hasil memerlukan waktu yang tidak sebentar. Pengembangan calon pemimpin tidaklah bisa sekejap. Proses ini butuh sejumlah hal, mulai dari keseriusan, daya tahan, kejelian, dan yang satu ini: kerendahan hati.

Semua itu diperlukan karena dalam mengembangkan calon pemimpin, seseorang mesti mampu membantu yang bersangkutan mengidentifikasi serta menghubungkan apa yang menjadi potensinya dengan hal-hal yang akan meningkatkan kapasitas dirinya. Selanjutnya, dia juga harus bisa mendorong sang calon mengembangkan diri sehingga seluruh potensinya tersebut akan keluar secara maksimal. Agar seluruh potensinya itu keluar, dia kudu sanggup mendesain tantangan yang akan membuatnya berkembang lebih matang, baik sebagai individu maupun pemimpin.

Untuk terus berjaya, semua organisasi harus menghindari kelangkaan pemimpin. Sebagai organisasi yang ingin melesat, sudah semestinya perusahaan menjadi ladang tumbuhnya bibit-bibit pemimpin baru. Semua pemimpin di level unit dan divisi, harus bisa mendorong bawahannya tumbuh menjadi pemimpin yang lebih hebat dari dirinya. Mereka harus menjadi leader, juga teacher. Mentalnya seperti petani: menyirami, menyemai benih, memberinya cahaya, dan menyiangi dari hal-hal yang akan mengganggu pertumbuhannya.

Alhasil, buat para pemimpin, ada baiknya melihat ke dalam: sudahkah kita berupaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru? Atau kita justru ingin menunjukkan diri sebagai terhebat, yang tak bisa disaingi orang lain?

Bila perasaan terakhir yang muncul, rasa takut disaingi, itu berarti tak memahami arti dan tugas pemimpin. Tak memahami makna “one get three”.

Tuesday, November 8, 2011

Jurus “4A” Si Raja Saus

Bak singa lapar, satu demi satu perusahaan dicaploknya. Dan memahami konteks lokal menjadi pijakannya mencengkram pasar.

Tak salah bila menyebut HJ Heinz sebagai raja kecap dan saus dunia. Sejak 1999, satu persatu perusahaan makanan yang memproduksi kecap dan saus, juga makanan bayi dicaploknya. Yang terakhir diakuisisinya adalah Coniexpress, produsen kecap Quero. Mei 2011, Heinz mengucurkan US$ 494 juta untuk mengambil jagoan Brazil itu. Langkah ini mengikuti dua akuisisi sebelumnya di tahun 2010: membeli Foodstar di China senilai US$ 165 juta dan Cairo Food Industries di Mesir (US$ 62 juta).

Hanya kurun 2007-2009 Heinz tak belanja. Kurun 1999-2006 mereka jor-joran membeli 5 perusahaan yang tersebar di sejumlah negara berkembang. Tahun 1999, US$ 78 juta dibenamkan di Indonesia untuk membeli raksasa kecap-saus ABC. Dua tahun kemudian giliran Productos Columbia, produsen kecap Banquete di Kosta Rika. Lalu memperbesar saham di Heinz Foods South Africa tahun 2004. Kemudian mengambil Petrosoyuz di Rusia senilai US$ 75 juta (tahun 2005), dan ABAL di Meksiko setahun berikutnya. Petrosoyuz adalah produsen mayonnaise, kecap, saus dan mentega, sementara ABAL memproduksi saus tomat.

Merajalelanya Heinz terhitung mengagumkan. Perusahaan asal Pitsburg ini seperti singa lapar. Tapi sejatinya itu tidak mengagetkan jika menyimak bagaimana pandangan manajemen perusahaan ini. Sejak dua dekade lalu, seiring tumbuhnya perekonomian negara-negara berkembang, Heinz pun mengarahkan sasaran untuk pasar yang tumbuh di kawasan tersebut (emerging market), terutama BRIIC (Brazil, Rusia, India, Indonesia dan China).

Secara umum, Heinz menggariskan 4 strategi. Pertama, grow the core portfolio. Bergelut di industri makanan, portofolio yang ada akan ditumbuhkan dengan mengedepan keunggulan cita rasa, kesehatan dan kenikmatan. Kedua, strengthen and leverage global scale. Meningkatkan posisi perusahaan di kancah global dengan memperkuat rantai pasok, kepuasan pelanggan, kapabilitas, dan isu kesehatan. Ketiga, make talent an advantage. Memperkuat SDM dengan mencari talenta terbaik di industri makanan global. Dan keempat, accelerate growth in emerging market, menggenjot pertumbuhan di pasar-pasar yang tengah berkembang. Itulah sebabnya Heinz merajalela.

Sejauh ini strategi ini sukses digelar sehingga mereka tak ragu mengambil posisi jor-joran untuk mengakuisisi. Dan Indonesia punya posisi penting bagi strategi ini. Simak saja pengakuan William R. Johnson, CEO dan Chairman Heinz. “Indonesia adalah contoh yang hebat. Hari ini, bisnis kami (di Indonesia) bernilai US$ 400 juta. Bandingkan dengan saat kami membelinya US$ 78 juta. ABC adalah salah satu merek besar di dunia, dan sangat menguntungkan,” kata Johnson sebagaimana diungkap di Harvard Business Review, Oktober 2011.

Tapi tentu saja itu merupakan hasil perjudian. Di tahun 1999, situasi Indonesia masih sangat bergejolak selepas tumbangnya rejim Soeharto. “Jujur saja, banyak orang sangsi apakah Indonesia adalah tempat yang bagus buat perusahaan Amerika,” katanya. Perjudian itu berhasil sehingga lelaki yang diangkat menjadi CEO sejak 1998 pun mengalihkan pandangan ke negara-negara berkembang lainnya. Johnson mengakui menjelajahi banyak benua bukan perkara mudah. Mereka beruntung Indonesia terbilang mulus melakukan demokratisasi. Di Zimbabwe, itu tak terjadi. Masuk negara itu di dekade 1990-an, mereka hengkang begitu kemelut politik terus berlangsung. Begitu pula di Rusia. Sebelum datang kembali untuk mengambil Petrosoyuz, Heinz telah meninggalkan negeri itu di pertengahan 1990-an begitu mata uang Rusia, Ruble didevaluasi.

Kembalinya Heinz ke negerinya Vladimir Putin itu sebenarnya mengundang tanya: mengapa datang lagi? Apakah tidak kapok?

Sebagai CEO dan kemudian menjadi Chairman di tahun 2000, Johnson menyatakan bahwa pandangan Heinz sangat jauh ke depan. Menurutnya secara meyakinkan emerging markets adalah masa depan. BRIICS serta negara berkembang lainnya memiliki keunggulan demografis seiring pertumbuhan ekonomi negara-negara itu, yakni dengan meningkatnya daya beli masyarakat yang populasinya besar. Memusatkan perhatian di wilayah ini amat krusial karena potensi pertumbuhan yang ditawarkannya jauh lebih besar ketimbang pasar yang sudah jenuh seperti Eropa dan AS.

Dengan menggembungkan kehadirannya di emerging market, Johnson yakin Heinz telah menancapkan kaki untuk menguasai masa depan. Sang CEO bahkan sangat percaya bahwa masa depan dunia akan didominasi “5 R”; Real (Brazil), Renmimbi (China), Rupee (India), Ruble (Rusia) dan Rupiah (Indonesia). “Mata uang di atas memang bergerak naik turun, tetapi mereka akan menjadi yang terkuat di dunia karena kelak ekonomi merekalah yang terkuat,” katanya. Itulah mengapa Rusia kembali ditembus.

Namun, bukan berarti semua emerging market akan selalu direngkuh. Heinz sangat ketat dalam membuat penaksiran dan evaluasi akuisisi. Mereka memiliki matriks akuisisi yang mengupas habis potensi bisnis negara yang akan dimasuki. Bukan hanya tren konsumsi perkapita, tapi juga lingkungan makro di negara tersebut, mulai dari system pajak hingga stabilitas politik. Dengan pendekatan yang dimiliki, Heinz memutuskan tak jadi masuk Ukraina, Vietnam serta beberapa negara lain yang lewat due diligence dipandang lebih besar risiko ketimbang potensinya. “Yang paling penting ketika masuk ke emerging market adalah memahami risiko,” Johnson menandaskan.

Itu artinya akusisi demi akuisisi yang dijalankan sudah melewati perhitungan yang masak. Dan faktanya, Heinz relatif jarang salah dalam mengalkulasi setelah kegagalan di Zimbabwe serta Rusia di dekade 1990-an. Perusahaan-perusahaan yang diambil kurun 1999-2010 telah menampilkan kinerja menawan seperti ABC di Indonesia. Contoh lain adalah Foodstar di China. Foodstar mendongkrak pasar Heinz di Negeri Panda ini menjadi US$ 350 juta tahun 2011. Bahkan Quero yang baru diambil pun telah memberi sinyal positif. Dengan pendapatan tahunan US$ 325 juta, kiprah Quero akan berdampak signifikan. Ia segera akan melipatgandakan penjualan Heinz di Amerika Latin.

Dengan berpijak pada kinerja yang ada dan potensi berkuasanya mata uang “5 R” di masa mendatang, tak heran bila Johnson sudah berkoar-koar tentang ambisinya. Dia akan berupaya menggenjot 25% pendapatannya dari emerging market di tahun 2016. Prosentase ini terbilang besar. Tahun 2011, sumbangan dari wilayah ini baru 20% untuk pendapatan sebesar US$ 10,7 miliar. Lima tahun sebelumnya (2006), prosentasenya masih 10% dan hanya 9% di tahun 2005. Kelak, setelah tumbuh 25% di tahun 2016, selanjutnya Heinz mematok target lebih hebat lagi: kontribusi emerging market mencapai 40%. Sekarang, kontribusi terbesar masih dipegang di markas mereka, AS (33%).

Untuk merealisasikan ambisinya tersebut, 4 strategi di atas (grow the core portfolio, dst) masih menjadi pijakan. Heinz akan menggenjot habis portofolio produknya dengan menekankan pada 3 kategori makanan di mana mereka punya posisi yang kuat: kecap-saus, kudapan, dan nutrisi bayi. Inilah yang mereka sebut "category champion" di mana mereka menguasai detail tentang kesukaan pelanggan, memiliki kekuatan saluran distribusi, mempunyai kapabilitas dan teknologi tercanggih untuk mengolah bahan baku, dan tentu saja kekuatan merek yang telah lebih dari satu abad.

Agar tetap unggul di 3 kategori tersebut, Heinz pun berupaya terus inovatif. Produk, resep serta kemasan terus diperbarui. Perusahaan dengan 35 ribu karyawan ini bahkan membangun Global Innovation and Quality Center di Pittsburgh di mana lebih dari 100 chefs, ahli gizi serta peneliti bekerja sama mengembangkan produk-produk terbaik di 3 kategori di atas.

Akan tetapi, 4 strategi di atas tidaklah berjalan sendiri. Sebagai pemain global yang merangsek banyak tempat dengan keunikannya masing-masing, Johnson sadar perlunya memahami kondisi lokal. Karena itulah Heinz mengembangkan platform yang disebutnya sebagai jurus “4 A”.

“A” yang pertama adalah applicability. Produk yang dikembangkan haruslah bisa diterima pasar setempat. Di China, kecap sangat dominan. Di Korea, saus tomat digemari untuk teman makan pizza. Di Filipina, saus tomat berasa nanas. “Buat saya pribadi, itu semua kadang tidak bisa diterima. Tapi itulah yang konsumen setempat inginkan. Itulah yang applicable,” ujar Johnson.

Yang kedua, availability. Produk yang dijual harus disalurkan melalui kanal yang tepat dan relevan dengan konsumen setempat. Di AS, mayoritas konsumen belanja di toko modern atau hypermarket. Di emerging market, tak semuanya belanja di tempat seperti ini. Di Indonesia, pasar becek dan warung kecil masih jadi tempat belanja utama. Di China, rantai grosir hanya menguasai 50% kanal penjualan, di Rusia 40% sementara di India kurang dari 15% (mirip Indonesia).

Heinz memahami dinamika ini. Itulah sebabnya mereka melemparkan produk lewat beragam kanal yang disesuaikan, mulai dari agen dan distributor independen, jaringan toko grosir, convenience stores, bakeries, farmasi, mass merchants, club stores, hotel, restoran, hingga rumah sakit.

Selanjutnya adalah affordability. Produk yang dipasarkan mesti disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan daya beli masyarakat setempat. Di AS atau negara-negara maju, botol kecap atau saus yang besar bukan masalah. Itu bukan barang mahal. Kulkas di rumah pun besar-besar. Tapi di pasar negara berkembang, pendekatannya mesti berbeda. “Itulah sebabnya di Indonesia kami menjual dalam bentuk sachet kecil. Di pasar negara maju, hal seperti ini mungkin tak masuk akal. Namun di Indonesia, kami menjual miliaran sachet karena harganya terjangkau. Konsumen juga tak perlu kulkas besar untuk menyimpan kecap dalam botol-botol besar,” jelas Johnson panjang lebar. Affordability diberikan dalam beragam kemasan.

Yang menarik, strategi ini belakangan juga dipraktikkan di AS. Seiring ancaman krisis ekonomi, Heinz membuat kemasan yang lebih kecil. Mereka menyasar masyarakat low-income yang mengeluarkan kurang dari US$ 50 setiap minggu di toko grosir.

Adapun yang keempat adalah affinity. Heinz perlu hal-hal yang berbau lokal, mulai dari karyawan hingga para manajer. Karena merekalah yang memahami kondisi dan cita rasa konsumen setempat. “Biasanya kami hanya menempatkan satu atau dua manajer ekspat di satu negara,” Johnson menjelaskan. Dan jika dirasa perlunya menambah ketrampilan di area tertentu, misalnya pemasaran dan keuangan, atau mengimplementasikan strategi global, Heinz akan mengirimkan tim khusus bernama Emerging Markets Capability Team. Ini adalah sekumpulan manajer senior yang berkeliling untuk melatih manajer-manajer lokal.

Johnson mengungkap bahwa Heinz bisa dikatakan unggul di banyak pasar emerging market dengan menerapkan jurus “4 A” di atas. Para pesaing banyak yang terpaku dengan pendekatan markas besar: menempatkan manajer asing dan mengandalkan merek serta kemasan global tanpa memperhatikan nuansa lokal. Heinz bersaing ketat dengan Kraft Food, Tyson Foods, ConAgra Foods dan Campbell Soup Company. Tapi Johnson juga menggarisbawahi bahwa untuk menerapkan jurus tersebut, pihaknya memerlukan beberapa syarat: sabar, fleksibilitas dan pikiran terbuka untuk ide-ide lokal. Contoh di Indonesia adalah meluncurkan kecap pedas yang buat Johnson terasa aneh tapi memiliki penggemarnya sendiri.

Itu artinya, ketika melakukan akuisisi sebagai basis pertumbuhan, Heinz menerapkan strategi “2 B”, buy and build. Setelah membeli, mereka membangunnya menjadi merek yang lebih kuat dari sebelumnya. “Setiap tahun saya minta para manajer di setiap pasar yang mereka kelola untuk menciptakan inovasi baru,” ujar Johnson.

Di tangan Johnson, kini Heinz bisa dikatakan melaju cepat dengan cengkraman globalnya. Namun bukan berarti tak ada tantangan berat. Mereka dituntut beroperasi makin efisien, terutama di sisi manufaktur serta rantai pasok. Ini tak lain karena harga komoditas global yang kian melaju. Dan merespons hal tersebut, sang CEO bereaksi cepat. Mei 2011, meluncur kabar lima pabrik di Eropa akan ditutup sebagai bagian dari ikhtiar mengefisiensikan diri. Setidaknya 1000 orang akan dikorbankan dalam langkah ini.

Keputusan di Eropa itu memang pahit. Tapi mesti diambil karena selain kepentingan efisiensi, juga karena bidikan tak lagi mengarah ke Benua Biru yang tengah dililit masalah, melainkan ke emerging market. Dan di tanah-tanah seperti Indonesialah harapan tumbuh si raja saus itu dilabuhkan. ***

Friday, October 7, 2011

Mereka adalah “Benjamin Button”


Di usia senjanya, beberapa pebisnis tua tetap berkiprah dan mengendalikan kerajaan bisnisnya. Siapa saja mereka?

Bagi orang biasa, di usia 80 tahun rasanya lebih enak tinggal menikmati masa-masa terakhir. Menimang cucu, mengurusi taman atau hobi lainnya yang mengasyikkan. Atau jalan-jalan keliling dunia mengunjungi tempat-tempat indah bila dompet cukup tebal.

Tapi bagi Rupert Murdoch, situasinya berbeda. Di usia 80 tahun (lahir 11 Maret 1931), dia sibuk ke sana ke mari. Persis seperti pemadam kebakaran, dia mengatasi kemelut di salah satu unit usaha dari kerajaan medianya, News of the World. Sejak terbongkarnya skandal penyadapan telepon yang dilakukan sejumlah wartawan News of the World, Murdoch bukan lagi seperti orang tua lazimnya. Dia tetap seperti julukan sebelumnya, Sang Serigala. Dengan trengginas, kakek uzur ini wara-wiri AS-Inggris-Australia untuk menyelamatkan kerajaan bisnsinya yang berada di ujung tanduk.

Persoalan yang dihadapi Murdoch memang tidak enteng. Sebab, ditutupnya News of the World tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Kemelut itu melebar. Tak hanya kehilangan media, pengaruh sang taipan di kalangan politisi Inggris pun kian pudar setelah dekade demi dekade begitu dihormati bak Raja serta Perdana Menteri Inggris. Hingga akhir tahun ini, diyakini skandal penyadapan telepon akan membawa guncangan berat pada kerajaan sang kakek dari Melbourne yang memang tetap super aktif di usia senja itu.

Untuk urusan tua-tua keladi, Murdoch belum seberapa. Di Beverly Hills, California, Kerkor “Kirk” Kerkorian adalah pengendali kerajaan bisnis Tracinda Corporation. Di usia 94 tahun (Kirk lahir 6 Juni 1917), jutawan ini masih mengendalikan bisnisnya dengan jabatan mentereng: CEO Tracinda.

Di dunia properti AS, Kirk adalah nama besar. Dialah salah seorang tokoh bisnis yang membentuk kota Las Vegas seperti sekarang dikenal dunia. Memiliki properti besar di Las Vegas Strip, dia dijuluki the father of megaresort lantaran berderet resort besar dimiliki atau lahir dari tangannya. Salah satu yang terkenal adalah MGM Resorts International.

Keluar sekolah di usia 8 tahun, keturunan Armenia ini jarang sekali bicara di depan publik, termasuk untuk wawancara. Itulah sebabnya Kirk yang cenderung tertutup ini terkenal dengan sebutan “The Quiet Lion”. Singa yang pendiam.

Tapi dia menolak anggapan itu. “Saya nggak ekslusif, kok,” kata Kerkorian. “Saya punya pertemanan lebih dari 30-40 tahunan. Saya pergi ke pesta. Saya memang tidak pergi ke banyak acara dan beredar di ruang publik. Tapi bukan berarti saya anti sosial. Saya ke restoran 3 atau 4 kali seminggu,” lanjut kakek yang juga dijuluki Las Vegas Baron and Casino Titan ini.

Toh ibarat singa, geliat mantan petinju dan penerbang di Perang Dunia II ini selalu menyita publik AS, terutama urusan bisnis serta membelanjakan kekayaan pribadinya yang ditaksir Forbes mencapai US$ 3,5 miliar. Kirk adalah investor terkemuka di sejumlah perusahaan otomotif besar seperti GM, Ford dan Chrysler. Dia juga seorang filantrop yang menyumbang sekolah, yayasan sosial serta rumah sakit di pelbagai penjuru dunia. Kakek yang telah menikah 3 kali ini sekarang tetap aktif mengurusi bisnisnya, termasuk bepergian antara Beverly Hills dan Las Vegas.

Sedikit lebih muda dari Kirk adalah Charles de Ganahl Koch. Di usia 76 tahun, Charles adalah Chairman dan CEO Koch Industries Inc. Ini adalah perusahaan privat terbesar nomor dua di AS (penjualan di atas US$ 100 miliar) yang bergerak di sektor manufaktur minyak, gas, kayu serta perdagangan. Bersama adiknya, David H. Koch (71 tahun) yang menjabat Executive Vice President Koch Industries, mereka memproduksi sejumlah merek top seperti karpet Stainmaster, Lycra fiber, tisu Quilted Northern dan kertas Dixie.

Lewat perusahaan yang dipimpinnya, Charles kini berada di posisi 24 orang kaya dunia 2011 versi Forbes dengan nilai kekayaan mencapai US$ 22 miliar, yang sebagian besar datang dari nilai sahamnya yang mencapai 42% kepemilikan di Koch Industries (David juga memiliki 42% saham).

Bersama adiknya, Charles yang punya moto “Pantang menyerah untuk memperbaiki hidup” ini masih aktif mengurusi konglomerasi mereka. Di luar itu, laiknya orang kaya, kedua bersaudara Koch ini aktif dalam kegiatan filatropi. Mereka aktif berkontribusi pada seni, penelitian kanker serta dan Smithsonian Institute.

Yang menarik, mereka tetap aktif dalam urusan politik seperti beberapa dekade lalu. Sejak muda, mereka terlibat aktif dalam gerakan libertarian. Selama bertahun-tahun, jutaan dolar uang Koch mengalir ke berbagai tanki pemikir berhaluan kanan. Langkah mutakhirnya yang belakangan terus membetot perhatian publik Negeri Abang Sam adalah sikap oposisinya terhadap kebijakan-kebijakan Presiden Obama. Bahkan pada masa awal kepresidenan Obama, Charles dan David mengorganisasi sebuah manuver yang mencoba menghentikan kebijakan stimulus Obama. Koch bersaudara meluncurkan iklan televisi serta radio yang menyerang kebijakan tersebut. Cato Institute dan Heritage Foundation, tanki pemikir yang berafiliasi dengan Koch bersaudara menyuarakan gerakan kembali ke pemotongan pajak ala Bush untuk memerangi resesi. Di luar itu, mereka juga menyerang kebijakan reformasi kesehatan Obama. Oh ya, tahun 2007, Charles Koch menerbitkan bukunya, The Science of Success. Buku yang memuat filosofi bisnisnya ini terhitung cukup laris di pasar. Maklum, bagaimanapun, Koch Industries adalah raksasa. Orang ingin tahu pandangan tokoh di baliknya.

Aktivitas para kakek perkasa ini memang mengagumkan, terlepas dari kontroversinya masing-masing. Kontroversi? Ya. Murdoch dengan skandal medianya. Kirk yang meski filantrop tapi dijuluki sering terlalu rakus. Atau Koch bersaudara yang perusahaannya banyak mencemari lingkungan.

Di usia yang terus merambat senja, mereka tak ubahnya Benjamin Button. Dalam film yang dibintangi Brad Pitt ini, Benjamin justru semakin muda ketika beranjak tua. BusinessWeek mencatat setidaknya ada 12 orang perkasa, khususnya di atas 80 tahun. Di luar nama-nama di atas, masih ada David H. Murdock, CEO Dole yang berusia 88 tahun. Lalu, S. J. Newhouse (83 tahun), CEO Advance Publications; Sumner Redstone (88 tahun), CEO National Amusement, orang nomor wahid di Viacom; Henry Kissinger (88 tahun), Chairman Kissinger Associates.

Di tanah Asia, untuk urusan ini ada Stanley Ho Hung Sun. Pengusaha Hong Kong ini dijuluki Raja Judi di Makau, yang telah menguasai industri judi lebih dari 40 tahun lewat lisensi monopoli yang didapatnya. Di usia 90 tahun, lelaki terkaya nomor 13 di Hong Kong ini (nilai kekayaan US$ 2 miliar) adalah Group Executive Chairman kerajaan bisnisnya, Shun Tak Holdings sementara posisi managing director dipegang anaknya, Pansy Ho (49 tahun). Stanley menikah 4 kali, dikarunia 17 anak.

Tapi yang tergolong edun (luar biasa), rasanya adalah Run Run Shaw. Mereka yang sempat mengalami dekade 1970-an dan menggemari film-film kungfu, pasti tahu Shaw Brothers. Nah, Tuan Run Run Shaw adalah Chairman Shaw Brothers. Usianya? Catat ini: menjelang 104 tahun!

Run Run Shaw lahir di Ningbo, Zhejiang, China. Tak ada kepastian tanggal kelahirannya, sekalipun secara resmi ditulis 23 November 1907. Yang pasti dia adalah anak bungsu dan 6 bersaudara, putra pedagang tekstil, Shaw Yuh Hsuen (1867–1920). Tahun 1925, dia membantu kakak-kakaknya, Runje, Runde serta Renme membangun studio film di Shanghai. Mereka memproduksi film bisu. Setahun kemudian, Run ikut kakaknya, Sun Me Shaw berangkat ke Singapura. Bersama saudaranya itu, pada tahun 1930 mereka kemudian mendirikan studio South Seas Film.

Tahun 1959, Run pindah ke Hong Kong dan mendirikan Shaw Studios. Sejak itu, bisnisnya berkembang pesat. Pada masanya, studio ini adalah salah satu studio film terbesar di dunia. Run membuat Hong Kong menjadi “Hollywood dari Timur”. Ratusan film-film lahir dari studio ini, terutama bergenre kungfu.

Bisnis Run kian berkembang setelah di tahun 1967 meluncurkan TVB (Television Broadcasts Ltd.) di Hong Kong. Studio film dan televisi membuat Run menjadi taipan nomor wahid industri hiburan di Hong Kong. Di lini film, judul demi judul film kungfu lahir. Dalam setahun 34 dirilis. Shaolin Temple, Five Shaolin Masters, Young Avenger, Killer Snakes King Boxer dan Five Fingers of Death adalah beberapa diantara filmnya yang tenar. Bintang-bintang besar pun muncul, diantaranya Lo Mang, yang menjadi salah seorang aktor yang paling banyak bermain di kurun 1970-an. Filmnya yang paling terkenal adah Five Deadly Venoms dan Kid with The Golden Arm.

Laiknya manusia, Run bukan tanpa kesalahan. Dalam ranah film, kesalahannya adalah tidak mampu mengontrak Bruce Lee di tahun 1970. Sang aktor legendaris ini menuntut kontrak besar yang tidak mau dipenuhi Run. Belajar dari kesalahan itu, tahun 1978 dia menawarkan bonus besar pada Jackie Chan. Tapi rupanya bonus itu tak cukup menarik hati si “Drunken Master”. Sang bintang lebih memilih bergabung di studio Golden Harvest dan membesarkannya, yang bahkan akhirnya menggusur Shaw Brothers ke sandyakalaning-nya.

Di tengah kemerosotan Shaw Brothers dan pamor TVB, kesehatan Run yang sering juga disebut Luk Suk (Paman Keenam) sejak lama menjadi bahan gunjingan pemerhati bisnis. Pada September 2007, Run sudah tampak sulit berjalan ketika dia memberikan penghargaan Shaw Prize di bidang ilmu matematika untuk Prof. Robert Langlands dari Institute for Advanced Study in Princeton, New Jersey. Lewat yayasannya, Shaw Foundation, Run memang memberikan penghargaan untuk para ilmuwan yang berjasa bagi umat manusia. Shaw Prize bahkan cukup prestisius, sering disebut “Hadiah Nobel dari Asia”. Untuk tiap pemenang, diberikan hadiah US$ 1 juta – sementara Nobel di kisaran US$ 1,4 juta.

Menyadari besarnya perhatian publik, di perayaan usia 100 tahun, Run menyatakan akan mundur dari posisinya sebagai chairman. Istrinya yang berusia 76 tahun, Mona Shaw juga menyatakan ke sejumlah wartawan bahwa “orang tua bijak itu” telah berpikir untuk istirahat dan mencari pengganti yang akan mengelola kerajaan medianya yang ditaksir Forbes senilai US$ 3,5 miliar. Mona (sebelumnya bernama Fong Yat-wa) adalah istri kedua yang dinikahi pada tahun 1997. Sebelumnya, Run menikahi Wong Mee-chun pada tahun 1932. Wong Mee yang melahirkan 4 orang anak, mangkat pada tahun 1987.

Sekalipun Run menyatakan ingin pensiun, dan Mona Shaw kadang mengonfirmasinya pada jurnalis, fakta bicara kakek sepuh ini tetap menjadi chairman perusahaan yang dibesutnya. Entah kapan lengser itu akan terjadi, orang hanya menunggu-nunggu. Yang pasti, banyak orang ingin tahu bagaimana sih cara Run bisa menjadi centenarian (orang yang berusia di atas 100 tahun)?

Rahasia kesehatan Run, kata orang-orang dekatnya, terletak pada perhatiannya yang besar pada kesehatan sejak usia muda. Secara rutin, dia mengonsumsi ginseng mahal. 300 ribu dolar Hong Kong setahun dianggarkannya untuk mengonsumsi ginseng. Dia juga disiplin bangun jam 5 pagi, lalu jalan kaki diikuti senam qigong. Tetangga-tetangganya sering melihatnya berjalan santai dengan sendalnya. “Bos bertahun-tahun qigong. Dia juga bilang ke kami, karyawannya, untuk sering olahraga supaya tubuh menjadi kuat,” ujar salah seorang eksekutif TVB, Virginia Lok Yi-ling.

Orang seperti Kakek Run, juga nama-nama lain di atas (Kerkorian, dsb) rasanya sangat langka di dunia ini. Terlepas dari pro-kontra terhadap keterlibatan mereka, karena dianggap menghalangi regenerasi bisnis, semangat para Benjamin Button ini untuk tetap muda dan berkarya layak diberi jempol – sekalipun kita tahu, Benjamin Button pun akhirnya kembali menua. ***

Thursday, September 29, 2011

Apple-nya Kafe Roti


Saat kompetitornya melemah dan tiarap, ekspansi dipilih di atas jalur healthy food. Hasil pun dipetik: tumbuh dan terus tumbuh.

Panera Bread. Inilah salah satu the hottest brand di negeri Abang Sam. Bahkan ada julukan bombastis: Panera Bread is the Apple of bakery cafe.

Tentu saja bukan tanpa alasan menyebut demikian. Karakter Apple adalah outperform the competition: mengalahkah pesaing, bahkan melewati laju pertumbuhan industrinya. Panera memiliki karakter ini. Panera adalah rantai kafe roti paling sukses di AS dengan 1421 gerai dan kapitalisasi pasar di NASDAQ mencapai US$ 3 miliar.

Kinerja yang paling tampak adalah pada masa krisis global 2008 yang sangat terasa di seantero AS. Manakala perusahaan lain mengalami kontraksi, Panera seperti kebal krisis. Sementara pelaku sejenis kembang kempis, kafe roti ini justru melaju cepat. Manajemen Panera Bread Company membenamkan investasi di lini produk dan penambahan gerai di kota-kota besar AS. “Ketika krisis mulai datang, kami memutuskan untuk meningkatkan investasi. Pada saat hampir semua restoran mengambil posisi tiarap, kami justru berinvestasi pada peningkatan kualitas produk dan menggenjot pemasaran,” kata Ronald M. Shaich, Executive Chairman Panera. Apa latar belakangnya? Mengapa bukan bersikap menunggu sampai badai reda?

“Saat yang paling baik untuk tumbuh adalah pada masa resesi. Masa yang buruk untuk tumbuh justru pada saat booming.” Itulah jawaban Shaich.

Shaich adalah orang penting di balik Panera. Kafe roti ini awalnya bernama St. Louis Bread Co., sebuah jaringan kafe roti dengan 19 gerai di Missouri. Tahun 1993 Shaich yang sebelumnya memiliki jaringan Au Bon Pain, membeli St. Louis Bread senilai US$ 23 juta. Dia menamakannya Panera. Ini bahasa Latin. Artinya: "waktunya makan roti". Tahun 1999, agar bisa berkonsentrasi untuk Panera, Shaich menjual Au Bon Pain. Dan setelah itu, Panera pun melaju seperti kereta Hogwart Express di dongeng Harry Potter: cepat plus fantastis. Termasuk di saat krisis 2008 ketika yang lain lesu darah.

Berekspansi menambah gerai sesungguhnya tak murah sama sekali. Selain biaya konstruksi setiap toko yang menguras kocek, tenaga kerja pun otomatis bertambah. Toh strategi Shaich berhasil. Pada tahun 2009, Panera meraup pendapatan US$ 1,4 miliar, naik dari US$ 640 juta di tahun 2005. Penambahan gerai membuat pengunjung semakin ramai datang, menambah pundi-pundi uang. Tak heran, sejak akhir 2007, pendapatan melonjak 24% sementara industri resto AS turun 2%.

Tak ayal, fenomena kafe roti yang satu ini mengundang kalangan akademisi serta analis untuk membedahnya. Mereka kagum dan bertanya: apa rahasianya?

Visi. Inilah kekuatan awal yang menjadi titik tolaknya. Menurut Shaich yang tahun lalu mundur sebagai CEO Panera namun tetap menjadi Chairman, dia membawa kafe rotinya dengan satu pandangan jernih: bahwa konsumen AS semakin menolak apa yang disebut komoditisasi. “Setelah Perang Dunia II, McDonald's dan Burger King sangat spesial. Namun tahun 1993-1994, mereka tak ubahnya menjadi stasiun pompa bensin untuk tubuh manusia,” katanya ketika diskusi di Wharton. “Ada reaksi di sini. Orang ingin kekhususan dan mengakhiri komoditisasi. Kita saksikan ini dalam kekhususan untuk minuman ringan, es krim, kopi. Ini juga terjadi di industri makanan. Dan visi saya untuk Panera adalah menyajikan roti tanpa bahan kimia,” kata Shaich.

Visi ini kemudian diturunkannya dengan ciamik. Shaich memilih jalur niche strategy: menempatkan diri sebagai kafe roti yang menyajikan makanan sehat dengan harga terjangkau. Menu di Panera Bread beragam, tapi terkesan healthy. Burger tidak disajikan burger. Begitu juga gorengan. Di sini lebih banyak roti panggang, salad, sup vegetarian dan sandwiches dengan bandrol US$ 7. Semua disajikan di piring beling ketimbang piring plastik.

Tak hanya memosisikan sebagai kafe sehat. Panera juga cozy. Masuk ke gerai kafe roti ini, entah itu di Oregon, Florida, atau tempat lain di AS, setting-nya sama: lebar, cahaya yang kaya, dinding berwarna merah di tengah aroma harum roti yang meruap ditingkahi keramahan pelayan.

Pilihan di healthy food ini sungguh langkah yang tepat. Masyarakat AS mengalami obesitas. Pemerintah negeri Abang Sam telah menghabiskan sedikitnya US$ 150 miliar untuk mengobati kegemukan. Roti dan makanan lain di Panera yang rendah lemak memenuhi gerakan antiobesitas. Majalah Health menyebut Panera sebagai “healthiest quick serve restaurants”. “Jika makan di tempat seperti Panera, pengunjung merasa menyantap makanan yang lebih sehat,” kata John Ballantine, dosen Brandeis University International Business School.

Faktanya memang demikian. “Waktu resesi lalu, ambil contoh, bisnis salad kami naik 30%,” aku Shaich. Ini menunjukkan kesadaran masyarakat AS atas makanan sehat terus meningkat.

Harga juga menjadi faktor sukses. Pada saat krisis, terutama, konsumen menjadi sangat sensitif terhadap harga. “Panera menang karena mampu memberikan harga yang terjangkau dengan kualitas terjaga,” kata Guru Pemasaran Wharton, Yoram Wind.

Begitu pula dengan lokasi yang nyaman. Manajemen kafe roti ini, lanjut Yoram, memahami perubahan psikografis konsumen untuk memberikan customer experience secara detail. “Starbucks menciptakan apa yang disebut ‘tempat ketiga’. Anda punya rumah, punya tempat kerja, dan Anda punya Starbucks. Coba kita lihat Starbucks. Di sana orang duduk sepanjang hari, minum kopi, ngobrol, baca surat kabar, di depan komputernya,” ungkap Yoram. Itu juga terjadi pada Panera. Di tempat-tempat kafe ini berada, ia telah menjadi community center. Pelanggan datang untuk bersosialisasi, bekerja dan meeting. Semua disajikan karena Panera adalah salah satu resto dengan jaringan wi-fi terkuat di AS.

“Kita tengah melihat evolusi the common space and the community space. Panera menjadi bagian itu," timpal Ballantine. “Sebelumnya, kafe roti yang enak adalah pada kualitas makanannya. Tapi sekarang kafe roti telah menjadi tempat di mana orang berkumpul,” dia menyambung. “Panera sukses menjadi simbol kehangatan,” kata Lawrence Hrebiniak, Guru Besar Manajemen Wharton menambahkan. “Dalam iklan-iklannya, Panera memosisikan diri sebagai tempat yang hangat, terbuka, tempat mengajak keluarga dan teman, termasuk teman-teman lama.” Di sini, pengunjung duduk di kursi kayu elegan ketimbang sofa mengkilat seperti di kebanyakan resto fast food.

Dalam urusan customer experience, Panera menggalakkan program loyalitas pelanggan dengan memberikan cemilan dan kopi gratis. Juga ada tawaran melihat demonstrasi masak. “Sebetulnya kami tak melakukan sesuatu yang baru dan berbeda. Kami hanya berupaya semakin dekat dengan pelanggan,” terang Shaich.

Bos kafe ini boleh jadi merendah. Realitasnya, Panera juga melakukan terobosan yang membuatnya makin terkenal dalam urusan customer experience. Apa itu?

Ketika efek krisis masih terasa, Shaich mendirikan Panera Bread Foundation yang menggelar konsep kafe komunitas, Panera Cares. Diluncurkan pada 16 Mei 2010, ada dua kafe yang telah dibuka dengan konsep ini, di Michigan dan Orlando. Kafe ini tergolong istimewa. Di gerai ini tidak ada harga makanan serta cash register. Pengunjung bisa mengambil apa makanan yang diinginkan. Cara bayarnya? Mereka tinggal melihat apa yang disebut “donation amount” dan “donation suggestion” pada produk yang diinginkan, lalu memasukkan uang ke dalam kotak donasi yang disediakan. Uang yang masuk akan diputar untuk produksi, selebihnya untuk disumbangkan.

Inilah kafe roti dengan model nonprofit. "We encourage those with the means to leave the requested amount or more if you're able”. Itu tulisan di kafe Panera Care. Artinya, Anda boleh membayar sesuai “amount” atau “suggestion”. Atau bahkan lebih. Terserah sesuai keikhlasan Anda.

Menurut Shaich, ini adalah bagian dari upaya Panera membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Dan dia punya kenangan untuk itu. “Ketika diluncurkan, kami tak yakin bagaimana orang akan merespons. Dalam banyak hal, kafe ini adalah tes kemanusiaan. Kami tak tahu apakah orang akan menolong satu sama lain, atau mengambil keuntungan,” katanya. Kenyataannya?

“Dua belas bulan kemudian, kami bangga orang menolong sesama dan memastikan kami bisa terus menyediakan makanan bagi pengunjung.”

Dalam catatan Shaich, sekitar 20% pengunjung kafe memberikan lebih dari “donation amount”, 20% di bawah donasi, dan 60% di atas “suggested donation”. Lalu, secara rata-rata, setiap minggu 3.500-4.000 orang datang ke tiap kafe berkonsep nonprofit ini. Karena sukses dengan model ini, majalah TIME menyebutnya “sandwich philantrophy”.

Tak ayal, kesuksesan Panera membetot pengunjung untuk singgah, pada ujungnya memberikan kegembiraan bagi investornya. Sebagai pelaku resto di bursa, kinerjanya memuaskan. Akhir Juni 2011, manajemen kafe roti ini melaporkan laba bersih mencapai US$ 68 juta atau US$ 2,27 per lembar saham. Sementara periode sebelumnya laba yang diraih di posisi US$ 53 juta atau US$ 1,67/saham.

Sekalipun memuaskan, Panera tetap diingatkan. Dari sisi konsep bisnis, misalnya. Ada pepatah mengatakan, “Success always breeds imitation”. Kesuksesan akan mengundang imitasi. Manajemen Panera dituntut inovatif, semakin dekat ke pasar, memahami perubahan yang terjadi pada selera konsumen, dan menyesuaikan produknya dengan tetap memunculkan persepsi di benak konsumen bahwa mereka mendapat good value bila datang ke kafe Panera.

Di luar tantangan itu, Ballantine menaruh perhatian terhadap gaya ekspansi Shaich. “Itulah yang terjadi pada Starbucks,” katanya. Selama 5 periode, 2002-2007, Starbucks menambah gerai hingga 3 kali lipat di seluruh dunia, dari 5.886 menjadi 15.011 gerai. Namun, dengan krisis ekonomi 2008, pendapatan Starbucks merosot. Arus pelanggan menurun. Perusahaan pun menutup 600 gerai yang underperform. “Saya khawatir adanya over-expanding,” kata Ballantine.

Kekhawatiran ini boleh jadi beralasan. Terlebih kini ekonomi AS kembali melesu, berdampingan dengan kelesuan di tanah Eropa. Ancaman penurunan pelanggan bukan sebuah hal yang mustahil di tengah situasi yang ditaksir lebih berat dibanding krisis 2008.

Membuat Panera tetap berjaya dalam kondisi seperti ini jelas tak mudah. “Ini adalah tugas yang menantang dan sulit,” ujar Hrebiniak. Tapi inilah tantangan. Bila bisa melewati, Panera semakin pantas disebut Apple-nya kafe roti. (*)

Wednesday, September 21, 2011

Stay Hungry, Stay Foolish


Saya sedang buka folder-folder lama terkait sebuah email tentang pidato Mandela tentang motivasi. Saya pun tiba-tiba ingat file "Stay Hungry, Stay Foolish" yang menurut saya, kontennya tak kalah hebatnya.

Steve Jobs sering disebut perpaduan Mozart, Alfa Edison dan Einstein. Buah pikirnya telah merevolusi kehidupan manusia lewat produk yang bukan cuma canggih, user friendly, tapi juga artistik. Bagaimana dia menjelma seperti itu, telah mendorong orang menuliskan banyak sekali risalah untuk mengupas apa yang menjadi pikirannya, juga latar belakangnya. Termasuk juga berjilid-jilid buku.

Jobs sendiri belum membuat otobiografi atau mengamini biografi yang ditulis orang lain. Baru beberapa waktu lalu dia mengaku memberikan otoritas untuk penulisan biografi dirinya. Berjudul “iSteve”, buku ini direncanakan terbit paling cepat Januari 2012. Dan sekarang, kabarnya yang memesan sudah sangat banyak. Saya sendiri sangat menunggu buku itu. Dan rasanya nanti akan jadi salah satu buku terlaris di dunia.

Sekalipun belum ada naskah yang otoritatif tentang Jobs, ada satu penggalan hidupnya yang menarik untuk diungkap di sini. Ini adalah pidato Steve Jobs di Acara Wisuda Stanford University, yang isinya adalah biografi Steve Jobs sendiri dan merupakan perjuangan hidupnya dalam mencapai keberhasilan sampai dengan saat ini.

Terjemahan pidato Steve Jobs ini layak renung, bukan cuma bagi individu, tapi juga perusahaan yang ingin berubah . Pidato ini mengingatkan untuk tak putus asa, tak pernah puas, tak disergap rasa nyaman, dan terus ingin belajar karena selalu merasa bodoh. Sebuah motivasi yang luar biasa.

Merasa pesan pidato itu sangat relevan -- apalagi Steve baru saja lengser dari Apple --, maka saya pun menukilkannya di sini. Oh ya, ini adalah terjemahan Dewi Sri Takarini, alumni sebuah perguruan tinggi di Australia. Thanks to her yang membantu pencerahan ini.

Bagi yang sudah baca, yah... anggap saja ini sebagai bahan untuk instrospeksi ulang.

Berikut nukilannya:

Stay Hungry, Stay Foolish

Pidato Steve Jobs di Acara Wisuda Stanford University
12 Juni, 2005

“Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu banyak.

Cukup tiga.

Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik

Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi.

Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran bayi perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab:
“Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai. Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga.

Saya beri Anda satu contoh:
Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang. Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz (Steve Wozniak) dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah, itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang.

Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan. Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya -saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley . Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali- saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal. Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa. Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya.

Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun asangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.

Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal.

Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya,
yang ada di sana , mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang. Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi.

Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna: Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama “The Whole Earth Catalog“, yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park , dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat. Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi “The Whole Earth Catalog”, dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” (Jangan Pernah Puas. Selalu Merasa Bodoh).

Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Terima kasih.”