Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, February 10, 2013

Bergandengan dalam Co-Creation



Berkolaborasi dengan konsumen makin banyak dilakukan perusahaan besar. Bukan hanya produk baru, konten pemasaran pun digarap bersama.

BERHENTILAH bekerja terlalu keras untuk menciptakan produk. Biarkan pelanggan yang melakukannya.

Slogan ini tak berlaku bagi mendiang Steve Jobs. Baginya, perusahaanlah yang semestinya memikirkan apa yang terbaik buat pelanggannya. Bukan sebaliknya: pelanggan yang berpikir apa produk yang terbaik buat mereka.

Jobs ada benarnya. Dan dia memang benar bila merujuk pada laris manisnya produk-produk Apple. Namun, slogan di atas kini semakin nyaring diteriakkan. Sejumlah perusahaan besar kini aktif melakukannya. Menggelar customer co-creation bersama komunitas pelanggannya. Beberapa diantaranya yang juga aktif melakukan adalah Coca-Cola, Target dan ModCloth. Mereka melibatkan komunitas pelanggan dalam proses produksi dan pemasaran melalui pola customer co-creation.

ModCloth, misalnya. Perusahaan apparel yang berbasis di San Fransisco ini adalah ahlinya dalam urusan menciptakan apa yang disebut user-generated content. Dalam situs korporatnya, komunitas pelanggan ModCloth sangat menyenangi seksi "Be the Buyer", ketika mereka dikasih kesempatan memberikan suara untuk desain favoritnya. Sewaktu sebuah produk menerima banyak suara, ModCloth akan segera memajangnya di toko-toko dengan asumsi itulah produk yang disenangi pelanggan. Para pelanggan juga bisa memberi nama untuk desain baru, serta mendapat poin bila mereferensikannya ke orang lain. Setiap bulan bahkan ada ajang “Blogger of the Moment” untuk mereka yang mengulas sebuah desain produk. Bila ulasannya menarik, nama sang blogger ditabalkan menjadi nama produk yang selanjutnya bisa dibeli oleh para follower-nya di toko.

Masih tak cukup dengan itu, ModCloth juga punya acara “Make the Cut”. Di sini, komunitas pelanggan bisa mengirim sketsa buatannya masing-masing untuk dilombakan. ModCloth lalu mengambil 7 desain terbaik untuk dinobatkan sebagai pemenangnya. Sudah lebih dari 1900 desain meluncur masuk. Desain itu kemudian ditempatkan di ModCloth Facebook page. Pada laman inilah dilakukan voting untuk memilih yang terbaik. Ribuan komentar pun masuk menunjukkan tingginya respons konsumen.


Berkembangnya media sosial, seperti Facebook telah mendorong komunitas konsumen semakin diperhitungkan sebagai mitra dalam co-creation. Di tempat lain, perusahaan minuman Vitamin Water juga terhitung aktif menggunakan komunitas konsumennya di Facebook dalam proses penciptaan produk baru. Komunitas konsumen diundang Vitamin Water untuk memilih cita rasa produk yang akan diluncurkan, mendesain kemasannya, sampai memberikan nama untuk produk baru. Caranya tak jauh beda dengan ModCloth: dihelat sebuah kontes di mana komunitas fans memasukkan ide-ide mereka, dan memberikan suara terhadap ide orang lain. Suara terbanyak dan terfavorit menjadi pemenangnya. Agar fans makin tertarik, Vitamin Water bahkan memberi iming-iming menarik: konsumen atau penggemar yang usulan namanya diterima hingga masuk final, diganjar US$ 5000. Lumayan, khan?

Hal serupa ditawarkan perusahaan minuman berkarbonasi, Mountain Dew. Mereka merekrut fans dan follower-nya di Facebook dan Twitter untuk berpartisipasi dalam kampanye "DEWmocracy 2". Mereka dikirimi peranti tes cita rasa dan diminta membuat video yang berisikan bagaimana aksi mereka menawarkan 7 cita rasa berbeda untuk minuman berkarbonasi. Dari seluruh video yang masuk, dipilih cita rasa terbaik.

Menurut pakar pemasaran yang banyak mengakaji co-creation, Matthew S. O'Hern dan Aric Rindfleisch, kini gairah untuk melakukan customer co-creation semakin berkembang. Customer co-creation bagi kedua pengajar pemasaran di Wisconsin School of Business ini adalah "aktivitas pengembangan produk baru di mana konsumen, baik secara individu maupun komunitas secara aktif berkontribusi dan terlibat menyeleksi sejumlah elemen penciptaan produk baru". Adapun tujuannya adalah di samping menghasilkan produk baru, juga memunculkan customer engagement yang luar biasa.


Poin terakhir (customer engagement) ini benar adanya. Salah satu yang merasakannya adalah Starbucks. Microsite-nya, My Starbucks Idea laris manis. Situs ini sebenarnya punya agenda sederhana: memunculkan diskusi di kalangan komunitas pelanggan untuk membicarakan bagaimana caranya supaya Starbucks bisa berkembang. Namun dari yang sederhana ini lahir banyak ide-ide produk baru. Ditaksir sudah lebih dari 98 ribu ide yang masuk di microsite ini yang 100 diantaranya sudah dieksekusi menjadi produk-produk yang tersaji di gerai-gerai Stabucks. Dan lebih dari itu, situs ini memunculkan para loyalis Starbucks yang luar biasa. Melihat kesuksesan itu, BMW pun mengikuti jejaknya. Pabrikan mobil ini punya minisite yang memungkinkan komunitas pengguna berkontribusi dalam proyek yang tengah berjalan.

Raksasa minuma, Coca-Cola juga tak mau ketinggalan. Mereka bahkan mempunyai Facebook fan page yang dirintis oleh dua orang konsumen fanatiknya, untuk mengampanyekan “Share a Coke” di Australia. Kampanye ini mendorong konsumen menciptakan gambar untuk album Facebook-nya, membagi coke virtual, sekaligus mendapat kaleng Coca-Cola dengan nama temannya

“Kami gunakan kekuatan seperti itu untuk mengingatkan orang-orang tentang siapa saja teman atau saudaranya yang mungkin sudah kehilangan kontak,” ujar Lucie Austin, direktur pemasaran Coca-Cola Pasifik Selatan. “Kami buat nama mereka di botol Coca-Cola sehingga konsumen akan senang menemukan nama teman dan anggota keluarganya tertera di sana, dan lalu menikmati Coke bareng-bareng,” dia menambahkan.

Fakta yang menarik, Coca-Cola bukan hanya mewadahi penciptaan produk baru yang terjadi lewat pola co-creation ini. Untuk urusan pemasaran pun hal tersebut dilakukannya. Raksasa minuman coke ini menggunakan pola co-creation untuk ide-ide pemasaran baru. Caranya: komunitas online diundang memunculkan sejumlah ide periklanan. Mereka diminta membuat film, materi cetak, ilustrasi, hingga animasi, sesuai brief yang diberikan.

Ini dilakukan karena Coca-Cola merasa kebingungan dengan positioning-nya. Menurut Leonardo O'Grady, Direktur Regional Coca-Cola wilayah Pasifik, pihaknya menggunakan pola ini karena jumlah komunitasnya yang besar. Awalnya hanya di Asia yang dilibatkan. Namun akhirnya juga melibatkan komunitas online di Amerika Latin dan Amerika Utara,” katanya. Artinya, yang dilibatkan adalah komunitas global. Ketimbang produk baru, O'Grady mengungkap Coca-Cola berupaya mendapatkan apa yang disebut content marketing. Dan responsnya terhitung bagus. “Sekitar 3600 respons yang masuk. Benar-benar di luar dugaan kami,” kata O’Grady.

Bagi Coca-Cola sendiri, cara ini ditempuh untuk membantu menjernihkan positioning Coke yang dirasa manajemen belum begitu jelas. Respons yang masuk, ungkap O’Grady, tentunya tidak semua digunakan. “Tapi ini sangat menguntungkan buat kami. Sebab, sekalipun kami tidak mendapatkan konten yang dapat kami gunakan, kami bisa melihat perspektif baru dari brief yang kami berikan. Dan perspektif itu jelas bisa membantu kami mengembangkan ide-ide baru,” katanya.

Untuk mengambil ide terbaik dan memilihnya sebagai pemenang, Coca-Cola tidak mengerjakannya sendiri. “Kami undang para direktur kreatif dan kepala pemasaran dari beberapa perusahaan besar seperti Diageo dan Nokia untuk membantu mengevaluasi respons yang masuk,” ungkap O’Grady. Setelah itu, karya pemenang terpilih dites kembali menggunakan skor yang khusus digunakan untuk melihat kemungkinan iklan tersebut digunakan secara global.

Dalam tulisannya, When Co-Creation Becomes The Beating Heart Of Marketing, Companies Win (29 November 2012), Ekaterina Walter mengungkapkan bahwa di dunia pemasaran dan periklanan, situasinya sudah berubah drastis. Internet serta media sosial membuat komunitas pelanggan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal yang dulu tak bisa dilakoni, seperti melakukan riset, membandingkan dan mengkaji antarmerek, sekaligus mem-broadcast-kannya ke seluruh penjuru bumi. Tentu ini merupakan tantangan hebat bagi perusahaan yang selama ini mengontrol mereknya sendiri. Dan apa yang dilakukan sejumlah merek di atas, menurut Ekaterina, menunjukkan makin banyaknya perusahaan yang memahami kekuatan co-creation antara produk/merek dengan komunitas konsumennya.

Secara teknologi, pekerjaan co-creation itu sendiri kini tampaknya semakin mudah dilakukan. Di samping media sosial yang mampu mewadahi conversation antara produsen dan konsumen, sejumlah peranti lunak pun sudah tersedia. Salah satunya adalah Bazaarvoice. Peranti lunak ini menolong perusahaan menciptakan komunitas konsumen di situs sebuah merek. Bazaarvoice bahkan bisa membantu menganalisis sejauh mana interaksi yang ada bisa mempengaruhi keputusan konsumen melakukan pembelian.

Pada akhirnya, fenomena co-creation sering disebut sebagai sebuah keniscayaan. Dan mengacu pada pandangan mantan CEO P&G, AG Lafley, bos perusahaan pada masa kini adalah konsumen beserta komunitasnya. Siapa yang bisa “connect and develop”, melakukan kontak dan mengembangkan ide secara bersama-sama, dialah yang berpotensi unggul di pasar.

=====================
Thanks to: Adinda Khalil (researcher)