Berkolaborasi dengan
konsumen makin banyak dilakukan perusahaan besar. Bukan hanya produk baru, konten
pemasaran pun digarap bersama.
BERHENTILAH bekerja terlalu keras untuk menciptakan produk. Biarkan
pelanggan yang melakukannya.
Slogan ini tak berlaku bagi mendiang Steve Jobs. Baginya, perusahaanlah
yang semestinya memikirkan apa yang terbaik buat pelanggannya. Bukan
sebaliknya: pelanggan yang berpikir apa produk yang terbaik buat mereka.
Jobs ada benarnya. Dan dia memang benar bila merujuk pada laris manisnya
produk-produk Apple. Namun, slogan di atas kini semakin nyaring diteriakkan. Sejumlah
perusahaan besar kini aktif melakukannya. Menggelar customer co-creation
bersama komunitas pelanggannya. Beberapa diantaranya yang juga aktif melakukan adalah
Coca-Cola, Target dan ModCloth. Mereka melibatkan komunitas pelanggan dalam
proses produksi dan pemasaran melalui pola customer co-creation.
ModCloth, misalnya. Perusahaan apparel yang berbasis di San Fransisco ini
adalah ahlinya dalam urusan menciptakan apa yang disebut user-generated content. Dalam situs
korporatnya, komunitas pelanggan ModCloth sangat menyenangi seksi "Be the Buyer",
ketika mereka dikasih kesempatan memberikan suara untuk desain favoritnya.
Sewaktu sebuah produk menerima banyak suara, ModCloth akan segera
memajangnya di toko-toko dengan asumsi itulah produk yang disenangi pelanggan.
Para pelanggan juga bisa memberi nama untuk desain baru, serta mendapat poin
bila mereferensikannya ke orang lain. Setiap bulan bahkan ada ajang “Blogger
of the Moment” untuk mereka yang mengulas sebuah desain produk. Bila
ulasannya menarik, nama sang blogger ditabalkan menjadi nama produk yang selanjutnya
bisa dibeli oleh para follower-nya di toko.
Masih tak cukup dengan itu, ModCloth juga punya acara “Make the Cut”.
Di sini, komunitas pelanggan bisa mengirim sketsa buatannya masing-masing untuk
dilombakan. ModCloth lalu mengambil 7 desain terbaik untuk dinobatkan sebagai
pemenangnya. Sudah lebih dari 1900 desain meluncur masuk. Desain itu kemudian
ditempatkan di ModCloth
Facebook page. Pada laman inilah dilakukan voting untuk memilih
yang terbaik. Ribuan komentar pun masuk menunjukkan tingginya respons konsumen.
Berkembangnya media sosial, seperti Facebook telah mendorong komunitas
konsumen semakin diperhitungkan sebagai mitra dalam co-creation. Di
tempat lain, perusahaan minuman Vitamin Water juga terhitung aktif menggunakan komunitas
konsumennya di Facebook dalam proses penciptaan produk baru. Komunitas konsumen
diundang Vitamin Water untuk memilih cita rasa produk yang akan diluncurkan,
mendesain kemasannya, sampai memberikan nama untuk produk baru. Caranya tak
jauh beda dengan ModCloth: dihelat sebuah kontes di mana komunitas fans memasukkan
ide-ide mereka, dan memberikan suara terhadap ide orang lain. Suara terbanyak
dan terfavorit menjadi pemenangnya. Agar fans makin tertarik, Vitamin Water
bahkan memberi iming-iming menarik: konsumen atau penggemar yang usulan namanya
diterima hingga masuk final, diganjar US$ 5000. Lumayan, khan?
Hal serupa
ditawarkan perusahaan minuman berkarbonasi, Mountain Dew. Mereka merekrut fans
dan follower-nya di Facebook dan Twitter untuk berpartisipasi dalam
kampanye "DEWmocracy 2". Mereka dikirimi peranti tes cita rasa dan
diminta membuat video yang berisikan bagaimana aksi mereka menawarkan 7 cita
rasa berbeda untuk minuman berkarbonasi. Dari seluruh video yang masuk, dipilih
cita rasa terbaik.
Menurut pakar
pemasaran yang banyak mengakaji co-creation, Matthew S. O'Hern dan Aric Rindfleisch,
kini gairah untuk melakukan customer co-creation semakin berkembang. Customer
co-creation bagi kedua pengajar pemasaran di Wisconsin School of
Business ini adalah "aktivitas pengembangan produk baru di mana konsumen,
baik secara individu maupun komunitas secara aktif berkontribusi dan terlibat menyeleksi
sejumlah elemen penciptaan produk baru". Adapun tujuannya adalah di
samping menghasilkan produk baru, juga memunculkan customer engagement
yang luar biasa.
Poin terakhir (customer engagement) ini benar adanya. Salah satu
yang merasakannya adalah Starbucks. Microsite-nya, My Starbucks Idea laris manis.
Situs ini sebenarnya punya agenda sederhana: memunculkan diskusi di kalangan
komunitas pelanggan untuk membicarakan bagaimana caranya supaya Starbucks bisa
berkembang. Namun dari yang sederhana ini lahir banyak ide-ide produk baru.
Ditaksir sudah lebih dari 98 ribu ide yang masuk di microsite ini yang 100
diantaranya sudah dieksekusi menjadi produk-produk yang tersaji di gerai-gerai
Stabucks. Dan lebih dari itu, situs ini memunculkan para loyalis Starbucks yang
luar biasa. Melihat kesuksesan itu, BMW pun mengikuti jejaknya. Pabrikan mobil ini punya minisite yang
memungkinkan komunitas pengguna berkontribusi dalam proyek yang tengah
berjalan.
Raksasa minuma, Coca-Cola juga tak mau
ketinggalan. Mereka bahkan mempunyai Facebook fan page yang dirintis
oleh dua orang konsumen fanatiknya, untuk mengampanyekan “Share a Coke”
di Australia. Kampanye ini mendorong konsumen menciptakan gambar untuk album
Facebook-nya, membagi coke virtual, sekaligus mendapat kaleng Coca-Cola
dengan nama temannya
“Kami gunakan kekuatan seperti itu untuk mengingatkan orang-orang tentang
siapa saja teman atau saudaranya yang mungkin sudah kehilangan kontak,” ujar Lucie Austin, direktur
pemasaran Coca-Cola Pasifik Selatan. “Kami buat nama mereka di botol Coca-Cola
sehingga konsumen akan senang menemukan nama teman dan anggota keluarganya
tertera di sana, dan lalu menikmati Coke bareng-bareng,” dia menambahkan.
Fakta yang menarik,
Coca-Cola bukan hanya mewadahi penciptaan produk baru yang terjadi lewat pola co-creation
ini. Untuk urusan pemasaran pun hal tersebut dilakukannya. Raksasa minuman coke
ini menggunakan
pola co-creation untuk ide-ide
pemasaran baru. Caranya: komunitas online diundang memunculkan
sejumlah ide periklanan. Mereka diminta membuat film, materi cetak,
ilustrasi, hingga animasi, sesuai brief yang
diberikan.
Ini
dilakukan karena Coca-Cola merasa kebingungan dengan positioning-nya. Menurut
Leonardo O'Grady, Direktur Regional Coca-Cola wilayah Pasifik, pihaknya menggunakan
pola ini
karena jumlah komunitasnya yang besar. “Awalnya
hanya di Asia yang dilibatkan. Namun akhirnya juga melibatkan komunitas online
di Amerika Latin dan Amerika Utara,” katanya. Artinya, yang dilibatkan adalah komunitas global. Ketimbang produk baru, O'Grady mengungkap Coca-Cola berupaya
mendapatkan apa yang disebut content marketing. Dan
responsnya terhitung bagus. “Sekitar
3600 respons yang masuk. Benar-benar di luar dugaan kami,” kata O’Grady.
Bagi Coca-Cola sendiri, cara ini ditempuh untuk membantu menjernihkan positioning
Coke yang dirasa manajemen belum begitu jelas. Respons yang masuk, ungkap
O’Grady, tentunya tidak semua digunakan. “Tapi ini sangat menguntungkan buat
kami. Sebab, sekalipun kami tidak mendapatkan konten yang dapat kami gunakan,
kami bisa melihat perspektif baru dari brief yang kami berikan. Dan perspektif
itu jelas bisa membantu kami mengembangkan ide-ide baru,” katanya.
Untuk mengambil ide terbaik dan memilihnya sebagai pemenang, Coca-Cola
tidak mengerjakannya sendiri. “Kami undang para direktur kreatif dan kepala
pemasaran dari beberapa perusahaan besar seperti Diageo dan Nokia untuk
membantu mengevaluasi respons yang masuk,” ungkap O’Grady. Setelah itu, karya
pemenang terpilih dites kembali menggunakan skor yang khusus digunakan untuk
melihat kemungkinan iklan tersebut digunakan secara global.
Dalam tulisannya, When
Co-Creation Becomes The Beating Heart Of Marketing, Companies Win (29
November 2012), Ekaterina Walter mengungkapkan bahwa di dunia pemasaran dan
periklanan, situasinya sudah berubah drastis. Internet serta media sosial
membuat komunitas pelanggan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal yang dulu
tak bisa dilakoni, seperti melakukan riset, membandingkan dan mengkaji
antarmerek, sekaligus mem-broadcast-kannya ke seluruh penjuru bumi.
Tentu ini merupakan tantangan hebat bagi perusahaan yang selama ini mengontrol
mereknya sendiri. Dan apa yang dilakukan sejumlah merek di atas, menurut
Ekaterina, menunjukkan makin banyaknya perusahaan yang memahami kekuatan co-creation
antara produk/merek dengan komunitas konsumennya.
Secara teknologi, pekerjaan co-creation itu sendiri kini tampaknya
semakin mudah dilakukan. Di samping media sosial yang mampu mewadahi conversation
antara produsen dan konsumen, sejumlah peranti lunak pun sudah tersedia. Salah
satunya adalah Bazaarvoice. Peranti lunak ini menolong perusahaan menciptakan komunitas
konsumen di situs sebuah merek. Bazaarvoice bahkan bisa membantu menganalisis
sejauh mana interaksi yang ada bisa mempengaruhi keputusan konsumen melakukan
pembelian.
Pada akhirnya, fenomena co-creation sering disebut sebagai sebuah
keniscayaan. Dan mengacu pada pandangan mantan CEO P&G, AG Lafley, bos
perusahaan pada masa kini adalah konsumen beserta komunitasnya. Siapa yang bisa
“connect and develop”, melakukan kontak dan mengembangkan ide secara
bersama-sama, dialah yang berpotensi unggul di pasar.
=====================
Thanks to: Adinda
Khalil (researcher)