Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, June 6, 2009

Menggenjot Agrobisnis, Mengamankan Masa Depan

Sejumlah negara intensif memajukan agrobisnisnya. Beberapa diantaranya bahkan aktif mencari lahan serta medium investasi agrobisnis di mancanegara. Mereka bergerak sebelum terlambat.

Teguh S. Pambudi

Jangan pernah abaikan agrobisnis! Dan rasanya, Indonesia sebagai negara agraris memang harus lebih memperhatikan comparative advantage-nya sebagai negeri dengan tanah yang subur ini sebelum segalanya menjadi terlambat. Apa pasal?

Lima tahun terakhir ini, dunia menjadi saksi makin agresifnya Cina menggarap sektor agrobisnis di Afrika. Triliunan rupiah dikucurkan, ribuan tenaga ahli diterjunkan. Itulah yang dilakukan Negeri Tirai Bambu di Benua Hitam.

Agresifnya Cina makin terasa setelah China-Africa Summit digelar November 2006. Saat itu, di hadapan sejumlah pemerintahan negara di Afrika, Cina setuju membangun 10 pusat agribisnis di benua Afrika, yang tersebar di sejumlah negara. Setelah pertemuan itu, sejumlah pusat agribisnis pun dibangun. Pusat-pusat agribisnis ini fokus pada pemberian bantuan kepada petani lokal lewat bibit serta pelatihan untuk meningkatkan hasil panen dan kualitas lahan.

Mengapa Cina demikian agresif?

Pergerakan Cina ke Benua Hitam tidaklah muncul begitu saja. Sejak tahun 1990-an, untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, pemerintah Cina mendorong warganegaranya, terutama BUMN-nya untuk berinvestasi mengembangkan agrobisnis di mancanegara.

Pemerintah Cina rupanya tak mau kembali mengalami nasib buruk. Kurun 1958-1961, sedikitnya 36 juta orang Cina meninggal lantaran kesulitan pangan. Membaca tanda-tanda jaman, mereka akan mengalami nasib yang sama bila tak mengambil tindakan antisipatif. Tanda-tanda jaman itu adalah: Cina yang menjadi rumah tempat bagi 22% populasi dunia, ternyata hanya 7% lahannya yang bisa ditanami. Seiring laju pembangunan industri, lahan itu bahkan kian menyempit. Menurut Departemen Pertanian Cina, negeri itu kehilangan 8,9 juta hektar antara 1995-2007, digunakan untuk fasilitas industri manufaktur. Tanpa tindakan cepat, malapetaka tinggal sepelembaran batu. Cina butuh food security. Apalagi secara global, pertambahan penduduk terus melaju sementara lahan kian menciut.

Untuk menakar “rakusnya” orang Cina, lihat contoh berikut: konsumsi daging orang Cina hanya sebesar 25 kg pertahun pada 1985. Dua dekade kemudian menjadi 52 kg/tahun, dan ditaksir mencapai 70kg/tahun di 2010. Selain daging, yang melaju cepat adalah konsumsi kentang, kacang kedelai, dan sereal, yang tumbuh 30% pada satu dekade terakhir. Khusus kacang kedelai, Cina adalah importir terbesar di dunia, mencapai US$ 2,6 miliar dari AS. Bagaimana dengan beras? Konsumsi beras justru menurun karena banyak orang Cina kian menyukai diet ala Barat.

Didorong kebijakan berinvestasi di mancanegara, awalnya banyak dana investasi mengalir ke negara-negara terdekat seperti Laos, Burma dan Kamboja. Namun, lantaran ancaman instabilitas politik di negara-negara Indo-China tersebut, pemerintah Cina pun mengalihkan perhatian ke Afrika. Maka mulailah invasi besar ke benua itu.

Investasi pertama Cina di sektor agribisnis Afrika adalah pada tahun 1995 ketika Zhongkan Farm, sebuah perusahaan swasta mengucurkan US$ 220 ribu di proyek peternakan di Zambia. Setelah itu, berduyun-duyun perusahaan Cina terutama BUMN mengikuti jejaknya. Hingga tahun 2007, sedikitnya mereka memiliki 63 proyek agrobisnis di Afrika pada beragam jenis: pertanian, perkebunan hingga peternakan. Lalu, sedikitnya 1.134 pakar agrikultura Cina membantu perkembangan agrobisnis Afrika sementara dana yang dikucurkan sudah melewati Rp 6 triliun.

Kebanyakan investasi berada di bagian selatan Afrika, Mozambique, Tanzania, Malawi dan Angola. Di satu negara, Cina bisa mengucurkan US$ 30 juta untuk menggenjot agrobisnis yang sangat tersebar: pertanian, produksi dan pengolahan ternak, buah-buahan dan sayur-sayuran, serta komoditas lainnya.

Di Mozambique, umpamanya, Cina memordenisasi sektor agrobisnis negeri itu dengan menopang berdirinya Advance Crop Research Institute dan mendirikan sejumlah sekolah pertanian. Lebih dari 100 tenaga ahli didatangkan, termasuk tim dari Hunan Hybrid Rice Institute, lembaga penelitian papan atas di di dunia dalam urusan beras hibrida. Juga dibangun jaringan irigasi dan terusan yang menghubungkan Malawi dengan Mozambique.

Saking bergairahnya Cina, banyak anggapan muncul di media internasional yang mengatakan bahwa Afrika adalah “mangkuk makanan” baru bagi Negeri Tirai Bambu. Dan bagi yang tidak menyukai langkah-langkah itu, mereka mengritik apa yang dilakukan merupakan bentuk kolonialisasi terhadap negara-negara Afrika yang didasarkan pada kepentingan sendiri semata.

Tentu saja menjadi hak setiap negara mengamankan kepentingannya di sektor pangan. Dan pemerintah Cina terbilang berpandangan ke depan. Menyadari tak bisa sepenuhnya bergantung pada investasi di mancanegara, mereka tetap tak melupakan domestik kendati lahan terus menyusut. Mei 2009, Deputi Menteri Pertanian Cina, Niu Dun menyatakan bahwa pemerintahnya juga berupaya memaksimalkan tanah mereka sendiri untuk mempertahankan food self-sufficiency yang pada akhirnya mengantar pada food security. Keputusan ini dibuat karena mereka tak ingin dan tak bisa bergantung pada di negeri seberang. Apalagi Afrika adalah benua yang boleh dikata tidak sestabil Eropa dalam konteks sosial-politik.

Faktanya, sekalipun lahan terus menciut, pemerintah Cina terus menggenjot produk hortikultura, peternakan, serta aquaculture. Dan mereka terbilang sukses. Negeri ini adalah produsen dan eksportir produk aquaculture dengan keuntungan melebihi US$ 10 miliar pada 2007. Lalu, beberapa contoh sukses lain: nilai ekspor jus apel ke AS meningkat dari US$ 1 juta di awal 1990-an menjadi US$ 108 juta di kurun 2002-2004, dan telah menggantikan AS sebagai eksportir jus apel terbesar ke Jepang pada tahun 2006. Untuk sayur-sayuran, Cina juga telah bersaing dengan produk AS menembus pasar Jepang.

Cina sadar agrobisnis adalah salah satu pusaran bisnis masa depan di samping energi. Namun, bukan hanya mereka yang sadar atas hal tersebut. Bukan hanya Cina yang berusaha melebarkan sayap ke mancanegara, mencari lahan-lahan kosong. Negeri Timur-Tengah dan Afrika Utara juga menyadari arti penting agrobisnis. Libya akan mengarap jagung di Ukraina, sementara Arab Saudi sudah menyatakan akan menggelontorkan uang untuk proyek-proyek agrobisnis di mancanegara guna security food sekaligus turut mengontrol harga komoditas di dunia.

Qatar juga tak mau kalah. Negara ini telah menginvestasikan US$ 200 juta di Kamboja untuk membangun infrastruktur buat pertanian. Terang-terangan, pemerintah Qatar mengutarakan ingin mengamankan pasokan pangan di masa mendatang.

Qatar, Arab Saudi, dan negara-negara Timur-Tengah memang rentan terhadap pasokan pangan dan menjadi sasaran mereka yang kuat di agrobisnis. Salah satu negara yang aktif menggarap kawasan ini adalah Brazil. Ekspor Negeri Samba ke negara-negara Arab pada tahun 2008 mencapai US$ 6 miliar, tumbuh 30% dibanding tahun 2007. Saudi Arabia, Mesir, United Arab Emirates, Aljazair dan Maroko. Produk-produk yang dikapalkan ke negeri-negeri itu diantaranya adalah ayam, sapi, gula, jagung, dan kopi.

Di tengah meningkatnya kesadaran atas food security di banyak negara, salah satu yang cukup menonjol memang Brazil. Ia sungguh terus menjelma menjadi pemain penting. Media di AS bahkan menyebutnya “the new food superpower”. Dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, air yang berlimpah, dan lahan yang luas, Brazil tengah menuju apa yang disebut “the next great global breadbasket”. "Brazil dapat menjadi nomor wahid dalam produksi agrikultur. Kami akan melewati AS,” tegas André Nassar, ekonomis di São Paulo.

Para pelaku agrobisnis AS memandang Brazil dengan perasaan campur aduk: cemas, takut, kagum, dan tergoda untuk bekerja sama. Faktanya, banyak dari mereka yang memilih untuk bergandengan tangan. Pelaku-pelaku agrobisnis Negeri Abang Sam mengalir ke lembah-lembah Brazil untuk berinvestasi sebanyak mungkin. Dan mereka menemukan realita betapa luasnya negeri ini. Sementara mereka di AS kadang mengelola lahan 600-800 hektar, sementara para peternak di Brazil mengelola lahan 8000 hektar.

Tak usah jauh-jauh ke Brazil yang agrobisnisnya aktif didorong pemerintah. Negeri tetangga kita, Thailand juga aktif menggenjot sektor agrobisnisnya. Mei lalu, pemerintah Thailand mengumumkan akan menggelar serangkaian agricultural roadshows di Cina belahan utara untuk mengakselerasi ekspor agrobisnis Negeri Gajah Putih. Lima kunjungan digelar di Tianjin, Beijing, Dalian, Shenyang dan Xi'an dari 6-15 Juni 2009. Ekspor ke Cina, kata Menteri Perdagangan Thailand, Porntiva Nakasai sangat menguntungkan. Ekspor agrobisnis (agrikultur, peternakan, dan perikanan) ke Cina mencapai US$ 4,2 miliar kurun Januari-April 2009, turun 23,9% dari US$ 5,5 miliar di periode yang sama tahun 2008.

“China adalah pasar dengan daya beli yang tinggi,” ujar Porntiva. “Kami berharap roadshow yang menampilkan produk agrikultur dan buah-buahan akan mendongkrak penjualan,” tandas wanita ini. Buah-buahan utama yang digenjot adalah mangga dan durian yang memang sangat terkenal (siapa tak tahu durian monthong?). Tahun lalu, total ekspor produk agro Thailand mencapai US$ 177,8 miliar, naik 15,6% dibanding catatan tahun 2007. Khusus Cina, produk yang laris dari Thailand adalah buah-buahan segar dan dikalengkan, serta ikan (beku dan segar).

Seraya menggelar roadshow, pemerintah Thailand juga memfasilitasi salah satu perusahaan papan atas nasionalnya, Charoen Pokphand Group agar bisa melakukan Thai Fruit Festival di Shanghai pada 14 Mei hingga 17 Juni 2009. Festival ini dilakukan Charoen agar masyarakat Cina kian aware atas keragaman buah-buahan Thailand. Dan sejauh ini, festival tersebut sukses. Shanghai Kinghill, operator supermarket Lotus di Cina menjajakan buah-buahan Thailand di 78 outletnya. Seluruh rangkaian promosi ini, menurut Menteri Perdagangan Thailand merupakan upaya mereka yang ingin menjadikan negerinya, ”the kitchen of the world''.

Langkah-langkah pemerintah tersebut memang belum menghasilkan para pemain dari negaranya masing-masing yang sudah sebesar para pemain agrobisnis papan atas dunia seperti Archer Daniels Midland, Cargill, Bunge, Monsanto, Dupont Agriculture and Nutrition, Potash Corporation, serta Mosaic. Namun setidaknya mereka telah menunjukkan betapa pentingnya agrobisnis. Dan Indonesia jelas tak boleh kalah dari mereka. Potensi negeri ini terlalu besar untuk didiamkan.