Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, March 26, 2013

Singa Belia Bernama Lion Air

Hari ini, saya dapat mention dari rekan muda yang energik, Mas Tommy lewat akunnya @ka2tomi Isinya: Beli 600 pesawat Boeing & Airbus,Lion Air jd 10 besar dunia, yang bisa diakses dari laman ini

Singa Belia Bernama Lion Air
SWA, 19 Agustus 2004

Awalnya, ia mendapat cibiran. Kini ia membalikkan semua anggapan; melesat tinggi bersama Lion, tanpa sekalipun diperkirakannya. Siapa di balik ekspansinya? Apa saja agenda bisnisnya?

Belia nan memesona. Begitulah barangkali ungkapan yang tepat untuk Lion Air dan seorang lelaki bernama Rusdi Kirana. Lihat saja, Lion yang dibesut Rusdi bersama sang kakak, Kusnan Kirana, lewat PT Mentari Lion Airlines, kini melesat bak anak panah. Tinggiiii membubung. Tak percaya, tilik saja fakta-fakta berikut yang direkam SWA selama setahun terakhir.

Armada. Dari aspek ini, maskapai yang baru berusia empat tahun dan mengawali terbang dengan satu unit Boeing 737-200, kini (per Agustus2004) mengoperasikan 24 pesawat, terdiri dari dua Boeing 737-400, 19 MD 82 dan 3 Dash-8. Yang menarik, 8 di antara burung besi tersebut (MD 82) telah dimiliki setelah lunas dicicil dengan harga tiap pesawat sekitar US$ 5 juta.

Ke-24 pesawat tersebut sekarang terbang melayani 40 kota (136 rute). Di dalam negeri, rute ini melintas dari Sabang sampai Merauke. Khusus untuk kawasan timur Indonesia, Rusdi melayaninya lewat sub brand-nya, Wings Air, menggunakan Dash-8.

Kini, dengan 150 flight/hari dan rata-rata seat load factor (SLF/tingkat keterisian pesawat) setiap flight mencapai 80%, 400-500 ribu penumpang bisa diangkutnya dalam sebulan. Dengan raihan seperti itu, tahun lalu, Lion boleh dibilang menyodok di peringkat dua penerbangan domestik. Di 23 bandara, penumpang yang diangkut pesawat berlogo kepala Singa itu mencapai 5,7 juta orang, sementara total penumpang udara di tahun itu mencapai sekitar 35 juta (lihat Pergerakan Pesawat dan Penumpang di 23 bandara tahun 2003). Kinerjanya terus mendekati Garuda yang saat ini mengoperasikan 60 pesawat dengan 200 flight. Bahkan, di Bandara Soekarno-Hatta, selama Januari-Juni 2004, Lion terlihat terus merangsek Garuda.

Itu dari aspek operasional. Pada aspek lain, finansial terutama, Lion terbilang cukup mengilap untuk maskapai yang bermain di industri yang katanya rakus modal tapi pelit laba ini. Berkekuatan 3.000 karyawan, Rusdi mengklaim perusahaannya bukan hanya telah sanggup mencapai titik impas, tapi juga mencetak profit (meski tak diutarakan besarnya). Kelimpahan uang itulah yang ia klaim menjadi salah satu topangan untuk membeli gedung eks-BHS milik penjahat besar Hendra Rahardja di Gajahmada, Jakarta, Juni lalu, senilai Rp 90 miliar, yang digunakannya sebagai kantor pusat. Juga, modal untuk pembagian 120 unit Avanza, terutama buat 110 pilotnya (40% orang asing dari Swedia, Denmark, Argentina dan Belanda) sebagai bonus.

Lion berlimpah uang, juga bisa dilihat dari aktivitasnya yang agresif dalam lima bulan terakhir ini. Selain membeli gedung BHS dan membagi-bagi Avanza, Rusdi juga mengoperasikan hanggar di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, senilai US$ 1 juta, serta membeli simulator pesawat (bekas) senilai US$ 10 juta. Dan last but very important, dari aspek citra. Fakta berbicara, maskapai ini juga tengah berkibar. Buktinya, dalam Indonesian Best Brand Award 2004, maskapai ini dinobatkan sebagai salah satu brand potensial. Artinya, Lion adalah merek yang diperkirakan terus melejit di masa mendatang sekaligus sanggup mengakusisi pelanggan maskapai lain.

Empat tahun lalu, tepatnya 20 Juni 2000, ketika Lion mulai mengepakkan sayap dengan rute Jakarta-Pontianak, perkembangan mutakhir di atas sungguh tak terbayangkan. Tak sedikit malah, terutama pelaku bisnis penerbangan, yang mencibir. "Bisa apa sih Rusdi? Memangnya mengelola industri penerbangan itu segampang menangani biro perjalanan?" begitu kata mereka. Kesimpulannya, mantan calo tiket yang sering tidur di Terminal II Cengkareng berbekal handuk dan sikat gigi ini hanya mampu menerbangkan burung besinya semusim, untuk kemudian "bum!" jatuh terkapar ditelan bumi. Bahkan, nasibnya diperkirakan lebih buruk dibanding sesama pendatang baru seperti Awair dan Indonesian Air yang dikelola para mantan jagoan Garuda, seperti Rudy Setyopurnomo.

Kalau cibiran itu muncul, tidaklah mengherankan. Jangankan orang luar, Rusdi sendiri pun -- yang ketika membesut Lion berangkat sebagai pemilik Lion Tour, bukan orang penerbangan -- tak pernah memperkirakan. "Saya juga bingung bisa begini," kata lelaki berkumis tebal itu seperti berseloroh dan mengejek balik para pencibirnya. Dan kebingungan orang-orang yang dulu meragukannya, boleh jadi, akan kian bertambah manakala rencana-rencana besarnya diuraikan. Rencana besar?

Ya. Ayah tiga anak ini tengah menyiapkan amunisi di sektor operasional sebanyak plus sehebat mungkin. Tahun ini saja -- tepatnya sampai akhir 2004 -- selain berencana menambah MD 82 menjadi 30 buah, suami Iesien ini juga bertekad mengoperasikan dua Boeing 777 atau Boeing 747-400 untuk trayek ke luar negeri, antara lain ke tiga kota di India (Calcutta, Bombay dan Madras). Masih di tahun ini, Rusdi berencana mengembangkan Wings Air agar bisa menggarap rute beberapa kota provinsi seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Batam dan Medan. Untuk Wings Air yang sejauh ini telah menelan investasi US$ 8 juta, ia berencana memperkuatnya dengan 10 pesawat baru.

Gebrakan terbesar akan digelarnya tahun depan. Di tahun 2005, Lion resmi menjadi operator Lanud Halim Perdanakusumah dengan menelan investasi sebesar Rp 100 miliar. Masih di tahun yang sama, Rusdi juga berkemungkinan mengelola Terminal III Bandara Soekarno-Hatta bila deal dengan Angkasa Pura II berjalan mulus. Dan di tahun itu pula, ia berencana menggerakkan pasar modal lewat aksi initial public offering untuk mendanai penambahan sekitar 24 pesawat baru. Bahkan, penambahan pesawat ini akan ditempuh tidak lagi lewat leasing. "Kalau memang ada yang harganya bagus, tidak menutup kemungkinan akan kami beli," kata Rusdi.

Kalau saja semua rencana itu bisa terealisasi, Rusdi tampak bukan hanya bertekad tak ingin terbang semusim, tapi juga membuat banyak orang mengerutkan dahi, bagaimana bisa ia melakukan seperti itu?

Kebingungan seperti itu wajar menyeruak karena paradigma yang selama ini berjalan adalah "sangat sulit mengail untung di dunia penerbangan". Apalagi, mata dan telinga masyarakat Indonesia terlalu kenyang menyaksikan serta mendengar kabar kerugian yang mendera maskapai-maskapai dalam negeri hingga mesti ditolong pemerintah agar tak di-grounded para kreditor. Termasuk, rumor mutakhir bahwa ada beberapa maskapai yang kini benar-benar membutuhkan buyer untuk menyelamatkan nyawanya. Jadi, langkah agresif dan ekspansif Rusdi memang pantas membuat bingung tak hanya pengamat, tapi juga khalayak: bagaimana bisa ia bermain di dunia bisnis yang net margin-nya katanya paling banter 7%-10% tersebut?

Mereka yang tak bisa menerima fakta itu telah memunculkan banyak isu sebagai jawabannya. Isu yang terbilang basi -- karena sering diangkat -- di antaranya bahwa Rusdi di-back up Singapore Airlines untuk menghancurkan penerbangan domestik dengan cara membanderol tarif murah tiket penerbangannya (low fare) yang belakangan memunculkan sebutan low cost carrier bagi Lion. Atau, Rusdi adalah boneka Region Air yang telah bangkrut di Singapura kemudian pindah ke Cina untuk menggunakan 19 pesawat MD 82-nya.

Belakangan, isu yang merebak adalah, bos Lion ini juga telah menggunakan maintenance reserve (ongkos pemeliharaan) pesawatnya guna menambal operasional perusahaannya yang bolong-bolong. Namun, apa pun isunya, intinya satu: perusahaan yang berdiri pada 2 September 1999 dengan investasi awal Rp 80 miliar ini (sedikit di bawah harga gedung BHS) tak mungkin bisa mendanai langkahnya yang begitu cepat itu tanpa backup investor besar, sekalipun Rusdi mengklaim ia bisa melakukan semua itu karena sanggup membuat perusahaan penerbangan yang efisien!

Mana yang benar?

Untuk sampai di posisi sekarang, Rusdi mengaku selain tidak memperkirakan, juga tidak mudah. Ketika ia mengajak beberapa relasinya (para pedagang Glodok) menanamkan modal di bisnis ini, beberapa di antaranya mengerutkan dahi dan tak yakin akan berhasil. Malahan, ia dianggap buang-buang uang dan waktu saja. "Mereka percaya pada saya, karena ketika presentasi, hitung-hitungannya sederhana, dan saya bisa membuktikan bahwa cost yang dijual sama seperti kapal laut atau jalan darat," katanya. Sebagian dari mereka itulah yang secara berjamaah berada di balik akte pendirian PT Mentari Lion Airlines, yang resminya dimiliki Rusdi (45%) dan Kusnan (55%).

Rusdi membantah keras keterlibatan Singapore Airlines, Region Airlines, atau Grup Wings yang dihubung-hubungkan dengan nama Wings Air. "Kalau mereka jadi investor, saya (akan) mulai bisnis ini dari gedung bertingkat ataupun menggunakan pesawat yang mahal," katanya.

Saat merintis bisnis penerbangan, Rusdi memang memulai dari ruko yang disewanya di bilangan Harmoni, Jakarta. Ia pun sempat mencari pesawat Yakovlev (Yak) 42 hingga ke Rusia untuk menambah armadanya di awal operasi, guna merintis jalur Jakarta-Kuala Lumpur. "Kalau ada pun (investor besar), saya tidak takut mengatakannya, karena tidak melanggar undang-undang," ujarnya. Lagi pula, "Kalau saya dibiayai mereka, jumlah pesawat saya sampai hari ini tidak 24, tapi lebih dari 50," imbuhnya. Perihal dipilihnya nama Lion, pria yang lahir 17 Agustus 1963 ini menjelaskan, karena ia dan kakaknya berbintang Leo yang identik dengan kepala singa.

Jadi, betul-betul Lion berkembang tanpa pemodal baru?

Rusdi mengakui bahwa seiring kemampuannya membawa maskapainya terbang tinggi, beberapa investor memang datang untuk menopang langkah ekspansinya. Namun, bukan dengan cara menguasai atau memorak-porandakan komposisi kepemilikan di Mentari Lion Airlines. Untuk pesawat, misalnya, pola leasing amat diandalkannya. Di sini, tiga institusi besar yang menopangnya adalah General Electric Capital Aviation Service, GATX Capital Corporation dan The CIT Group Inc. GE termasuk yang amat percaya pada lelaki ini. Selain berkontribusi pada 75% dari 24 pesawat yang dioperasikan sekarang, lewat GE Capital Aviation Training di Inggris, Rusdi mendapat kredit simulator pesawat yang akan ditempatkan di Halim.

Selain lewat pola tersebut, Rusdi juga menyambat konsorsium bank. Namun, ia membantah bila ada yang mengatakan hal itu untuk menambal operasional Lion yang bolong, atau menutup kewajiban. "Pinjaman dilakukan bukan untuk membayar utang, tapi untuk pengembangan," katanya seraya menyebut contoh dana investasi untuk mengoperasikan Halim. Tanpa pinjaman, ia mengakui, langkah ekspansinya yang begitu cepat akan mengganggu cash flow. "Kalau tidak ada yang mem-back up dana, mana mungkin saya berani (menggelar serangkaian ekspansi di atas)," tambahnya tanpa bersedia merinci siapa saja yang menjadi anggota konsorsium bank yang disambatnya.

Perkara meyakinkan institusi bermodal kuat, menurutnya, bukan lagi persoalan karena ia merasa selama empat tahun telah membangun kredibilitas tersendiri di mata mereka. Bahkan, ia kerap mendapat tawaran untuk menjual sahamnya di Lion, baik dari dalam negeri (perusahaan nasional yang cukup solid dan telah sukses melakukan serangkaian akuisisi) maupun luar negeri (lembaga keuangan). Seakan-akan tak ingin dikatakan membual, ketika berbicara demikian, ia menunjukkan faksimile kepada SWA yang datang dari investment bank kelas kakap di dunia (faks dikirim lewat kantor perwakilan Singapura).
Isinya: tawaran akuisisi saham Lion.

"Kepada mereka semua saya hanya bilang, saya belum perlu uang," katanya. "Saya paling hanya berkenalan dulu untuk bertukar informasi, (karena) mungkin suatu saat akan membutuhkan mereka," tambahnya. Jadi, sampai sekarang, "Saham Lion hanya dimiliki oleh keluarga Kirana (di belakangnya berdiri beberapa pedagang Glodok)," tegasnya lagi seolah-olah sudah lelah diburu pertanyaan seperti ini, sekaligus menjawab isu anyar bahwa telah terjadi deal bawah meja dengan para pemberi leasing yang mengambil saham keluarga Kirana sebagai ganti sewa pesawat yang macet (share swap). Sebagai salah satu indikasi keluarga Kirana mendominasi perusahaan ini, posisi Direktur Keuangan Lion Air dijabat istri Kusnan Kirana, Yunita.

Lantas, bagaimana dengan isu maintenance reserve?

"Ini isu bodoh yang (lagi-lagi) diembuskan orang airlines," katanya. Menurutnya, kalau uang maintenance reserve ia gunakan untuk ekspansi, nanti pada saatnya melakukan overhaul (D-Check), ia tak punya uang sama sekali. Isu terakhir ini belakangan berkembang dan "mencederai" Rusdi karena dari 19 pesawat MD 82-nya, baru satu yang melakukan D-Check. Kegiatan overhaul itu mesti ditempuh setelah pesawat terbang 20 ribu jam. Dalam hitungan, rentetan pesawat Lion akan masuk hanggar
untuk D-Check tahun 2005-06. Dan itu butuh biaya tidak sedikit, "US$ 600-800 ribu per pesawat, dengan waktu pengerjaan sekitar dua bulan," jelas Komsadi, Manajer Account PT GMF Aero Asia, tempat Rusdi memercayakan kegiatan maintenance pesawatnya.

Dengan ekspansi besar yang dilakukannya, orang curiga Rusdi memainkan komponen yang satu ini. Seorang eksekutif perusahaan yang bergerak di leasing pesawat yang tak bersedia menyebut jatidirinya bahkan mencurigai rencana IPO adalah bagian dari rekayasa finansial untuk mendanai biaya overhaul yang totalnya bisa menelan US$ 16 juta. Ia tetap yakin, alumni Fekultas Ekonomi Universitas Pancasila itu tak sanggup mencetak laba besar. "Malah mungkin lehernya telah terjerat," ujarnya.

Bos Lion yang dituding demikian kontan membantah keras. Menurutnya, ia disiplin untuk menyisihkan uang maintenance reserve yang besarnya US$ 40/hari per pesawat. "Kalau untuk D-Check gue tidak pusing, karena sudah dibayar setiap bulan. Emangnya gue bodoh, masukin pesawat untuk D-Check berbarengan," kata Rusdi. Pasalnya, ia akan kehilangan peluang terbang. "Emangnya karyawan gue tidak digaji," ujar lelaki yang selalu bicara elu-gue ini geram.

"Mereka (investor) itu benar-benar percaya dengan saya," ujarnya. "Kalau cash flow Lion bermasalah, tulis gede-gede agar pemerintah mengaudit semua airlines. Dan kalau ada airlines yang rugi atau punya kinerja kurang baik, berani tidak pemerintah menutup perusahaan penerbangan tersebut? Pajak keuntungan juga rutin gue bayar tiap tahun. Kalau gue rugi, kenapa gue bayar pajak?," tambahnya, tetap dengan nada geram.

"Semua isu yang berkembang ini muncul karena orang meremehkan Rusdi," ujar seorang karibnya, sebut saja Fiore, yang mengikuti bagaimana sohibnya itu merintis Lion. Termasuk, mengetahui bagaimana deg-degannya Rusdi ketika mengawali usaha dengan satu pesawat. "Dia dag-dig-dug kalau apa-apa terjadi dengan pesawatnya. Tiap hari dag-dig-dug," katanya. Juga, bagaimana ketika Rusdi shock dan menangis ketika setelah 8 bulan bersusah-payah untuk bisa terbang, akhirnya dipersulit para pesaing di Pontianak (lihat juga pengakuan Rusdi dalam Dari Jakarta-Singapura, Kukendalikan Burung-burung Besiku). Dalam hematnya, Rusdi sanggup membesarkan maskapainya karena selain turun langsung ke lapangan, ia juga sudi bekerja keras (setiap hari nyaris selalu pulang pukul 2 malam di tiga tahun awal operasi agar SLF tetap 80% ke atas), sanggup membangun tim yang solid yang datang dari pelbagai maskapai, juga cerdik dalam menjalankan operasi penerbangan dengan sistem learning by doing.

Setidak-tidaknya, ada lima strategi utama yang menurutnya mesti diakui sebagai kecerdikan Rusdi, dan bagi beberapa kalangan dianggap sebagai ide-ide gila karena penuh kejutan. Pertama, fleet strategy. Setelah mengoperasikan B 737-200 dan Yak 42, Rusdi beralih ke MD 82 dengan alasan kapasitas. Bila pesawat sebelumnya paling banter 110 seat, MD 82 punya 167 yang kemudian dimodifikasi menjadi 152 seat agar nyaman. Dengan demikian, potensi memaksimalkan pendapatan bisa diraih. Inilah cara Rusdi -- yang mengaku tak suka baca buku -- belajar dari dinamika pasar.

Kedua, operation strategy. Untuk menarik penumpang, Rusdi menerapkan strategi low fare (tarif murah). Ini mulai ditempuhnya untuk rute Jakarta-Medan setelah dikeroyok di Pontianak dan jalur Jakarta-Pekanbaru masih tersendat-sendat. Strategi harga murah ini diiringi dengan efisiensi dalam penerbangan (in-flight) berupa layanan no frills (tanpa makanan). Bentuknya, nasi diganti roti yang menghemat sekitar Rp 12 ribu/penumpang karena tak lagi menggunakan alumunium foil.

Khusus strategi low fare yang ditempuh Lion, perjalanannya boleh dibilang learning by doing. Lion masuk dengan konsep tarif murah karena Rusdi melihat terbang ke rute mana pun, kondisinya sudah over supply. Saat itu, tepatnya setelah setahun beroperasi, Rusdi berpikir tak ada jalan lain untuk menerobos pasar dan bersaing dengan pemain lain yang lebih kuat kecuali dengan menurunkan tarif. Maka, ketika Lion masuk Medan dengan banderol Rp 500 ribu, gemparlah kota itu. Sebab, rata-rata maskapai bermain di kisaran Rp 1,2 juta. Bahkan, kapal laut pun di kisaran Rp 600 ribu. "Inilah mulainya Lion menemukan
konsep jual murah," jelas Fiore.

Ketiga, marketing strategy. Dengan slogan We Make People Fly, Rusdi yang mampu menarik orang untuk terbang dengan ongkos yang nyaris setara karcis kereta api dan kapal laut, memberi iming-iming hadiah mobil BMW. Ide ini kian mendongkrak minat orang, terutama mereka yang belum pernah mencicipi kursi pesawat, untuk membeli tiket Lion.

Tak cuma di situ, untuk memancing pelanggan, Rusdi menerapkan cara unik yang belum pernah dilakukan penerbangan lain. Sewaktu membuka rute ke Medan, ia menggelar 500 spanduk di semua lokasi strategis di kota itu. "Itu ide Rusdi," ungkap Rudy Lumingkewas, GM Penjualan & Pemasaran Lion Air. Secara bombastis spanduk yang digelar itu memproklamasikan harga tiket murah yang dijual Lion. Hasilnya, calon penumpang sendiri yang mendesak agen menjual tiket Lion. Bahkan, kemudian jumlah calon penumpang sampai melebihi kursi yang disediakan pesawat.

Keempat, channel distribution strategy. Sebagai orang yang lama bergelut di dunia travel agent, Rusdi tahu celah-celah untuk menggarap biro perjalanan. Di antaranya, dikatakan Fiore, selalu mengutamakan menyediakan tiket Lion buat agen-agen pelesiran yang membutuhkannya. "Rusdi tahu, reputasi biro perjalanan ada pada kemampuannya menyediakan tiket buat penumpang. Jadi, ia sebisa mungkin memuaskan mereka," katanya. Belakangan, Rusdi malah nekat tak menggunakan teknologi Abacus demi penghematan US$ 1/tiket. Sebuah tindakan yang memancing kemarahan Abacus dengan membeberkan bahwa Lion masih punya tunggakan US$ 2,7 juta.

Masih di strategi distribusi, dalam hal penjualan tiket Rusdi bisa mengubah aturan main yang ada. Sebelumnya, di perusahaan penerbangan lain kalau ingin jadi agen selain harus mengajukan proposal, juga harus ada deposit. Rusdi membuat terobosan: untuk tiket Lion tidak harus menyiapkan deposit. "Konsep Lion memang menabrak parameter-parameter penerbangan di Indonesia," ujar Fiore. Ketika awal beroperasi, Rusdi juga mengirim seluruh pramugarinya untuk membelikan tiket ke seluruh travel agent tanpa harus deposit. "Itu terobosan yang dilakukan Lion, dan perusahaan penerbangan yang sudah eksis tidak berani melakukan ini," imuhnya.

Kelima, route strategy. Sewaktu membuka satu rute, jangan bayangkan Rusdi kerap melakukannya dengan pola pikir yang njelimet. Terkadang ia hanya melihat potensi suatu rute dengan melihat trafik telepon SLJJ ke suatu kota. Bila trafiknya cukup tinggi, satu rute bisa dibuka. Ide yang cukup gila! Bukan cuma itu, ia pun amat memperhatikan kultur saat akan menetapkan jam penerbangan. Contohnya di Padang. Rute Padang-Jakarta sengaja dipatok Rusdi berangkat pukul 05.20, karena ia tahu kebanyakan orang Padang taat beragama dan mayoritas pedagang, sehingga ingin berangkat sepagi-paginya dan pulang semalam-malamnya agar bisa efisien. Nyatanya, rute tersebut sukses. Orang-orang Padang banyak yang shalat Subuh di bandara.

Menurut Rusdi, kegagalan beberapa perusahaan airlines adalah karena tidak mendaulatkan dirinya di depan konsumen. "Apa yang bagus untuk perusahaan penerbangan belum tentu bagus untuk penumpang. Rute yang saya buat, bukan karena keinginan saya, tapi disesuaikan dengan keinginan konsumen. Apa yang kami buat selalu mengacu pada kedaulatan konsumen," katanya.

Lewat kelima strategi itulah, Lion mengarungi udara diiringi beragam isu dan persoalan. Dan di luar kelima strategi di atas, menurut Wahyu Hidayat, hal yang tak boleh dilupakan dari seorang Rusdi adalah insting bisnisnya. "Dia berpikirnya pure bisnis. Kalau memang ada untung, digarap, tapi kalau tidak, ditinggalkan," kata Presdir Pelita Air Services yang sebelumnya menjadi komandan Merpati itu.

Khusus insting bisnis ini, di dunia penerbangan nasional kini muncul pertanyaan menarik: mengapa orang-orang yang berangkat dari kalangan pedagang tiket (agen perjalanan) justru terbilang (untuk sementara) tangguh ketimbang mereka yang datang dari dunia penerbangan serta akademisi? Maklum, selain Rusdi, beberapa pemilik biro perjalanan juga mengoperasikan pesawat. Sebut saja, Tommy R. (Selebes Air), Ale Sugiarto (Star Air) dan Yudiawan (pemilik Setia Sarana Tour & Travel yang mengoperasikan Batavia Air).

Belum ada jawaban pasti terhadap pertanyaan menggelitik tersebut. Namun buat Rhenald Kasali, pengamat pemasaran dan manajemen dari Universitas Indonesia, jawabannya: entrepreneurship. Orang-orang yang besar di lapangan, seperti Rusdi, tahu benar bagaimana mengelola pasar. Mereka juga turun langsung mengoperasikan perusahaannya, tidak duduk anteng di belakang meja menghadapi laporan penurunan on time performance (ketepatan waktu) dan anjloknya SLF.

Lupakan sejenak pertanyaan yang bisa menjadi debat kusir tersebut. Kembali ke Rusdi, ada pertanyaan lain saat melihat rencana yang tengah digebernya. Sebetulnya, apa grand design-nya dengan rencana-rencana yang sudah dibuatnya untuk tahun mendatang serta aset yang kini dimilikinya? Seperti apa wajah Lion kelak?

Tahun 2005. Dengan armada bisa mencapai 40 pesawat, Rusdi memiliki dua basis operasional: Halim Perdanakusumah dan Soekarno-Hatta untuk melayani Indonesia. Buat melatih para pilotnya, ia telah memiliki simulator di Halim. Untuk perawatan pesawat, ia yang sudah membuat Lion Maintenance Facility, menanganinya di Bandung. Di sini, ia menempuh outsourcing strategy tersendiri. Pengadaan suku cadang dilakukan lewat kerja sama dengan Scandinavian Air System (Denmark), sedangkan dalam penyediaan teknisi, perbaikan serta pasokan mesin pesawat, Rusdi menggandeng Fiat Avio (Italia).

Penumpang? "Tahun depan kami menargetkan mengangkut 1 juta penumpang/bulan," katanya. Bukan main!

Akankah impian itu terealisasi, mesti ditunggu. Namun, cukup menarik bagaimana ia mengeplot Halim. Menurutnya, beberapa tahun mendatang ia meyakini Bandara Soekarno-Hatta akan over capacity sebagai dampak pertumbuhan operator lain dan pertumbuhan penumpang yang kian pesat. Halim, dalam hematnya, adalah jawaban. "Saya percaya Halim akan lebih baik dari Cengkareng," katanya. Pertimbangannya, dari kawasan Mangga Dua ataupun Jl. Sudirman sebagai pusat bisnis di Jakarta, penumpang lebih dekat ke Halim ketimbang Cengkareng. Apalagi, bila tujuannya ke Surabaya, yang membutuhkan waktu 1 jam 10 menit. Kalau tinggalnya di Jakarta Pusat, akan lebih dekat ke Halim dibanding ke Cengkareng.

Sejauh ini, Rusdi mengungkapkan, pembicaraan dengan otoritas Halim masih berjalan. "Kami sedang melakukan pembicaraan dengan semua pihak agar bisa mengakomodasi semua pihak. Namun, secara prinsip kami sudah mengantongi izin," katanya. Lalu, bila itu terwujud, akankah Lion dipindah ke Halim?

"Itu justru akan menimbulkan masalah, karena pengembangan di Halim ada titik batasnya. Yang jelas, pesawat Lion akan tetap menggunakan dua Bandara (Halim dan Cengkareng). Tinggal mempersiapkan sosialisasi dengan para penumpangnya. Dan kami sudah memiliki caranya," kata Rusdi diplomatis. Yang pasti, ia melanjutkan, dengan dua bandara itu, ia berambisi bisa mencakup seluruh kota di Indonesia, karena potensinya masih besar. Ambisi itu sudah mulai ditopang dengan beberapa jurus sebagai pelengkap lima strategi di atas. Di antaranya, Wings Air akan menyasar segmen di atas pasar yang digarap Lion. "Tapi, itu semua rencana tahun depan sambil melihat perkembangan kondisi bisnis dan perekonomian Indonesia," sergahnya, menyiratkan kehati-hatian.

Rusdi, yang membuat Lion tak ubahnya singa belia yang menggentarkan jagat penerbangan nasional, memang mesti hati-hati. Maklum, tak ada gading yang tak retak. Sejak menggoyang pasar penerbangan dalam negeri, kesuksesan Rusdi tak luput dari tantangan. Setelah sejumlah isu mencederai kehebatannya, kini maskapai-maskapai low cost carrier (LCC) terus menerjang Indonesia. Setelah AirAsia dan Value Air,
Singapore Air kini siap menerkam lewat Tiger Air. Tentu saja, ini memaksa Rusdi ekstra hati-hati karena begitu lengah, ia akan grounded, atau bahkan crash.

Rusdi juga mesti hati-hati karena ia tampaknya punya kecenderungan bertualang. Bukti mutakhir yang cukup pahit adalah gagalnya Peta News, harian yang terbit sejak November 2003, dan terpaksa ditutup setelah menelan biaya tak kurang dari Rp 2,4 miliar. Yang jelas, Rusdi mengaku, tantangan besar yang dihadapi Lion hanya dua: SDM dan infrastruktur. Bagaimana dengan persaingan dengan perusahaan
penerbangan lain? "Saya tidak pernah takut dengan AirAsia, Virgin Blue atau perusahaan penerbangan lain," tandasnya. "Saya dilahirkan dalam kondisi yang begitu berat (dan bisa survive)," tambahnya.

Boleh saja Rusdi begitu yakin. Namun, Hasan M. Soedjono, mantan Direktur Utama Sempati, perlu mengingatkan bahwa di tengah demam LCC dan fakta bahwa orang ingin tiket tetap murah, Rusdi harus sanggup benar-benar mengoperasikan Lion sebagai penerbangan yang bukan cuma low fare dan efisien, tapi sepenuhnya LCC. Karena itu, ia menyarankan agar Lion total mengubah pola bisnisnya. Di antaranya, dalam pemesanan tiket. "Teorinya, dia seharusnya sama sekali sudah tidak memakai
travel agent lagi. Pesanan bisa lewat SMS atau Internet," ujar Hasan. "Itu kalau Lion Air ingin unggul. IT penting, dan sekarang Lion Air masih ketinggalan sekali," sambungnya.

Nasihat ini agaknya perlu diperhatikan, karena sekalipun orang Indonesia belum semuanya melek teknologi informasi, Tony Fernandez, CEO AirAsia, menyatakan bahwa keunggulan perusahaannya sehingga tetap efisien adalah pemesanan tiketnya lewat Internet. Memang, apa yang sukses di tempat lain, belum tentu sukses di sini.

Buat Rusdi sendiri, tantangan ke depan sungguhlah berat. Selain pesaing yang terus mengekor inovasinya, ia juga mesti sanggup membuktikan bahwa bantahannya terhadap isu-isu yang beredar adalah benar adanya. Yang genting, tentu saja ketika pesawat-pesawatnya masuk D-Check. Di sana, arus kas Lion Air akan benar-benar diuji; apakah singa belia ini akan terus mengaum, atau pingsan dihajar rentetan masalah keuangan demi menopang langkah-langkah agresifnya. Yang pasti, banyak pihak kini mengincar Lion. "Setiap hari adalah perang," ujar seorang Dirut maskapai nasional. ***

Sunday, March 24, 2013

Seorang Master Bernama Kevin Rose


Karirnya terbentang: startup employee saat dot-com boom. Lalu host tv kabel. Kemudian mendirikan perusahaan sendiri sebelum menjelma jadi angel investor terkemuka. Kini, dia adalah startup advisor yang siap menancapkan kukunya di mana-mana.

Seorang Hiperaktif
ROBERT Kevin Rose boleh jadi tidaklah setenar Mark Zuckerberg si pembesut Facebook atau duet Larry Page dan Sergey Brinn yang menjadi pebinis besar lewat Google. Namun di kalangan industri Internet, Rose tetaplah figur yang menarik sebagai sosok anak muda inspiratif, lengkap dengan segala kekuatan serta kelemahannya.

Ingatan orang akan Rose muncul pertengahan Juli 2012, sewaktu situs yang dilahirkannya, Digg dibeli Betaworks hanya senilai US$ 500 ribu. Saat itu orang-orang ribut tentang harganya yang begitu murah. Maklum, 6 tahun sebelumnya, orang berbincang tentang harga Digg yang begitu tinggi, yang telah memancing baron media sekelas Rupert Murdoch, politis sekaliber Al Gore, dan sang raksasa, Google datang menawarkan puluhan hingga ratusan juta dollar.

Digg adalah buah karya Rose setelah melewati jalan berliku. Lahir pada 21 Februari, 1977, di Redding, Kalifornia, Rose kecil tumbuh dengan diagnosis menderita attention deficit disorder (ADD) yang membuatnya hiperaktif. Di sekolah dia kurang fokus serta kesulitan bergaul dengan teman sebayanya. “Komputer adalah satu-satunya sahabatku,” dia tertawa mengenang (FastCompany, 15 Januari 2013). Rose pertama kali bersentuhan dengan komputer di usia 8 tahun, menggunakan Commodore 64.

Sejak berkenalan dengan komputer, perlahan-lahan, minatnya pada dunia komputasi pun tumbuh semakin besar. Sementara rekan-rekan sebayanya asyik bermain dan pacaran, Rose anteng mengutak-atik bahasa pemrograman komputer di kamarnya. Dia mulai kenal coding saat menginjak kelas 7.

Kiranya komputer memang membetot minatnya teramat dalam. Tak heran, Rose mengambil jurusan ilmu komputer Universitas of Nevada, Las Vegas. Sembari kuliah, dia bekerja paruh waktu sebagai teknisi di tempat pengujian nuklir Nevada. Lantaran kehidupan di Silicon Valley adalah hal yang diimpikannya, Rose tak menamatkan sekolah. Dia keluar dari sekolah untuk menjadi programmer full time. Lalu menjadi asisten produksi serta presenter televisi kabel TechTV (yang telah dibeli G4, kanal gaya hidup kaum pria), dengan gaji US$ 30 ribu pertahun.

Segera, Rose menjalin koneksi dengan tokoh-tokoh papan atas di Lembah Silikon. Kebanyakan didapatnya lewat acara tv kabel yang digawanginya, The Screen Savers. Lewat acara ini, dia memilah serta memilih berita dan tren teknologi, yang kemudian mengantarnya berkenalan dengan sejumlah tokoh, termasuk co-founder Apple, Steve Wozniak.

Pertemuan dengan Wozniak adalah salah satu titik balik dalam kehidupan Rose. Pertemuan ini membuatnya iri ketika mendengar sang legenda bercerita tahun-tahun awal Apple berdiri. Rasa iri yang mendorongnya untuk berbuat lebih besar daripada yang dikerjakannya sekarang.

Suatu sore, Rose duduk di depan komputernya dan mulai berupaya menggali (dig) berita-berita yang menurutnya menarik, yang belum ada di kanal-kanal berita media besar. Ternyata, proses ini menyulitkan dan makan waktu. Rose pun berpikir: andai dia dapat membuat layanan yang memudahkan orang seperti dirinya yang ingin mencari berita penting tapi tertimbun diantara sederet berita. Dalam benaknya, muncul sebuah ide: melahirkan sebuah situs komunitas yang memungkinkan orang mem-posting dan memeringkat berita atau artikel dari situs berita atau blog. Artikel yang tampil di halaman muka situs komunitas ini akan menjadi berita paling populer pada hari itu.

Tanpa ragu, Rose kemudian mengambil US$ 1000 dari tabungannya. Dia pun menyewa seorang programmer lepas dengan tarif US$ 12 perjam untuk membuat halaman situs yang diinginkannya: dig.com. Namun, saat ingin membeli domain untuk situs yang akan dibangunnya, dia terantuk. Domain ini sudah menjadi milik Disney. Tak putus asa, dia pun menggunakan kata digg. Akan tetapi, situs ini juga sudah dimiliki orang lain. Akhirnya, Rose pun mengucurkan US$ 1200 untuk membeli domain Digg.com. Pada 5 Desember 2004, laman ini resmi meluncur. Rose menyewa server dengan harga US$ 99 per bulan.

Mulanya, Rose tak pernah berpikir muluk-muluk. Dari sisi bisnis, tujuan lahirnya Digg sangatlah sederhana. “Kalau dari sini saya bisa bayar sewa apartemen, minum teh, dan sewa kantor kecil, itu sudah lebih dari yang saya inginkan,” katanya ketika berbincang dengan Reader’s Digest (Agustus, 2009). Namun, siapa nyana, sukses menyapa begitu cepat. Digg menarik ribuan pengunjung dalam sebulan. Kurang dari setahun, trafik mencapai 200 ribu/bulan. Situs ini memang menggebrak. Digg memungkinkan orang memilih mana artikel yang paling penting untuk dibaca orang.

Rose pun menjadi media darling. Sosoknya diidentikkan sebagai anak muda yang melek teknologi. Dia menjadi salah seorang pemimpin dalam gerakan web 2.0. Apalagi setelah pemodal ventura datang memberinya US$ 2,8 juta. Makin berkibarlah dia.

Dari seorang anak yang hiperaktif, pemrogram yang drop-out, karyawan dan presenter, Digg telah membuat Rose melompat ke panggung ketenaran yang sebelumnya dinikmati aktor atau penyanyi. Dan dia mengambil peran itu. Bahkan mulai berani berdiri sejajar dengan para raksasa yang ingin mengambil buah karyanya.

Tahun 2006, Digg adalah properti hot di dunia Internet. BusinessWeek menempatkan wajah baby face Rose di sampul majalah ini dengan menceritakan bagaimana anak muda ini mencetak US$ 60 juta dalam 18 bulan. Tak heran, Rupert Murdoch yang tengah keranjingan bisnis Internet – setahun sebelumnya membeli MySpace senilai US$ 580 juta, yang kemudian diakuinya sebagai blunder besar – datang menawarkan US$ 60 juta. Dia melihat Digg bisa masuk jaringan kerajaan berita miliknya. Lalu, Al Gore juga datang ingin memasukkannya dalam kanal miliknya, Current TV. Terakhir, Google pun mampir menawari US$ 200 juta.


Semua tawaran itu ditolak Rose. Bersama mentor yang belum lama dikenalnya, Adelson yang kemudian menjadi CEO Digg, Rose mendirikan startup lain, Revision3. Di sinilah dia membuat program Diggnation, yang digawanginya bersama Alex Albrecht. Diggnation adalah saluran televisi internet yang mengupas artikel-artikel populer di Digg.

Seperti halnya Digg, Dignation juga sukses besar. Setiap minggunya, 250 ribu pengujung mampir melihat duet Rose dan Albrecht memandu acara.

Sejatinya, Rose tak pernah mempertimbangkan karir di dunia televisi. Namun dia adalah natural talker – bicara teratur, lancar dan matang secara emosional. Dan dalam beberapa bulan kemudian dia pun telah menjadi host terkenal di video Internet. “Kevin selalu punya penciuman yang tajam tentang apa yang hot di dunia Internet,” ujar Daniel Burka, mantan direktur desain Digg.

Sang Arketip
Kesuksesan Digg serta Diggnation membuat Rose kian melambung. Dia menjadi magnet buat anak-anak muda. Mereka ingin sukses seperti Rose. Bagi para entrepreneur seusianya, Rose adalah arketip (orang yang menjadi model) wirausahawan baru. Tak seperti Zuckerberg, yang kuliah di Harvard dan Phillips Exeter, buat mereka, Rose adalah sosok non-jenius yang membumi yang kreativitasnya turut mengubah dunia. Apalagi Rose memunculkan ide bahwa menjadi founder bukan berarti tak mudah dihubungi dan tak asyik diajak ngobrol. Sosoknya telah menginspirasi banyak orang, termasuk CEO Pinterest, Ben Silbermann, yang mengaku terinspirasi oleh Rose untuk mendirikan perusahaan sendiri.

Rose bukanlah orang yang nyaman dengan satu kesuksesan. Di tengah melabungnya Digg, dia dilanda rasa bosan. Dia pun bertualang mendirikan startup lain, atau menjadi investor untuk startup yang dalam intuisinya akan menjadi hot. Di satu sisi, langkah ini menimbulkan kegusaran di internal Digg, terutama dengan Adelson. Mereka berseteru karena Rose mendirikan situs Pownce tanpa mengajaknya. Akhirnya Rose keluar dari Digg pada Maret 2011. Sementara di sisi lain, petualangannya menjadi serial entrepreneur mengangkat reputasinya.

Intuisi Rose memang terkenal tajam dalam membidik calon-calon startup jempolan, sehingga belakangan dia disebut salah seorang master bisnis Internet. Contohnya, Rose bertemu Neil Young, pendiri Ngmoco (Next Generation MObile Company) sewaktu masih menjadi eksekutif di perusahaan game papan atas, Electronic Arts sebelum tercapai deal. Rose tertarik dengan konsep situs pembuat game untuk iOS dan Android ini. Ngmoco berdiri Juli 2008.

Sewaktu tertarik untuk mendukung Square, sang founder-nya, Jack Dorsey baru setuju setelah Rose membuat iklan di YouTube yang di-share ke follower-nya di Twitter. Dalam kasus Fab.com, CEO dan cofounder-nya, Jason Goldberg menyatakan bahwa investornya langsung setuju ketika Rose meminta bergabung. Sebenarnya, pendiri TechCrunch, Michael Arrington juga mengajak untuk bergabung. Namun, sementara Goldberg mengatakan “Tidak” pada Arrington, dia mengucapkan “Ya” pada Rose yang aktif mengirimi surel dengan nada antusias untuk bergabung dengan Fab. “Kevin lebih asyik orangnya,” kata Goldberg.

Salah seorang yang ditemukan Rose adalah Danny Trinh (22 tahun), desainer jejaring sosial yang kini tengah ngetop, Path. "Danny punya indra penglihatan yang hebat untuk melihat apa yang keren,” kata Rose. Trinh sendiri mengaku sangat terinspirasi oleh Rose. Dia pindah ke San Francisco di usia 17 untuk magang di Digg.

Karena besarnya pengaruh Rose, maka tidaklah mengherankan jika sewaktu Digg dibeli dengan harga “murah” pada Juli 2012, mau tak mau orang pun melihat kembali pada pembesutnya itu. Tapi sewaktu Betaworks membeli Digg, Rose sesungguhnya sudah lama meninggalkan situs ini. Maret 2011 dia meninggalkan Digg dan mendirikan inkubator untuk menciptakan aneka aplikasi. Namanya: Milk. Perusahaan ini diisi para pengembang. Sayang, perusahaan ini kurang berkembang.

Kendati di Milk kurang berhasil, reputasi Rose tidaklah berkurang sama sekali. Buktinya, Google Ventures datang mengajaknya bergabung. Sekali lagi, ini tak lepas dari kiprah Rose sebagai investor yang daya endusnya dikagumi.

Setelah bosan dengan Digg, Rose yang pada dasarnya memang hiperaktif, memang terus bergerak, membuat dirinya menjadi investor pada perusahaan yang baru tahap awal. Rekam jejaknya sejauh ini terbilang mengesankan. Rose adalah serial entrepreneur yang berinvestasi di Twitter, Square, Fab, Facebook, Path, dan Zynga – belum terhitung situs lain. Beberapa sudah dijualnya tanpa pemberitaan seperti Chomp yang dibeli Apple senilai US$ 50 juta, OMGPop yang dibeli Zynga US$ 200 juta, serta Ngmoco yang akhirnya dibeli perusahaan game Jepang senilai US$ 400 juta.

Dari 11 investasinya yang telah go public, diakuisisi, atau gagal, Rose meraup 22 kali dari nilai investasinya. Dia masih punya saham di Fab (nilainya kini ditaksir US$ 600 juta), Square (US$ 3,25 miliar). “Kemampuan prediksi Kevin tentang produk yang disukai konsumen sangat hebat,” ujar Tim Ferriss, penulis yang juga sahabat Rose. “Dia seperti berjalan ke meja roulette dan memilih angka kemenangan terus menerus.”

INVESTASI KEVIN ROSE, FastCompany, 15 Januari 2013


Dengan kemampuan seperti itu, pantaslah orang bertanya ketika Rose menerima tawaran perusahaan modal ventura, Google Ventures pada Maret 2012 untuk bergabung sebagai general partner. Orang bertanya: mengapa Rose yang sudah malang melintang sebagai angel investor independen bersedia menjadi partner?

“Saya ingin dikenal sebagai investor yang akurat yang pernah ada. Dalam lima tahun ke depan, saya ingin orang melihat portofolio saya dan mengatakan, ‘Gila, dia benar-benar investor hebat’,” kata Rose. Dengan dukungan dana US$ 300 juta setahun, Rose memang tak perlu pusing mengerjakan tugasnya mencari dan membina startup yang kebanyakan belum proven sama sekali. Dia punya financial security. Sudah begitu, dia pun digaji besar dan dapat deviden. Plus: terhindar dari kerugian bila terjadi kegagalan investasi.

Google Ventures sendiri pastinya punya pertimbangan sendiri sehingga membetot Rose masuk. Bertumbuhnya kelas profesional di kalangan angel investor – yang disebut super angels, yang menopang lusinan bahkan ratusan startup dalam setahun – memantik industri modal ventura menjadi sangat kompetitif. Rose punya kharisma, jaringan, dan satu fakta yang tak bisa ditolak: banyak anak muda dan pengelola startup ingin seperti dirinya. Kelebihan-kelebihan ini tak dimiliki sembarang orang.

Sekarang, tugas yang diemban dari Google Ventures menuntut Rose berkeliling ke banyak tempat, bertemu dengan para founder perusahaan startup yang baru mulai berjalan. Yang menarik, sementara kebanyakan koleganya di Google Ventures bekerja di markas besar perusahaan ini di Mountain View, Rose bergerak antara kafe-kafe San Fransisco dan rumahnya di Potrero Hill. Dalam sehari, dia bisa berpindah-pindah kafe untuk bekerja: rapat dengan para founder yang menjual gagasannya dan membutuhkan dana tunai untuk pengembangan bisnisnya.

“Banyak orang memersepsikan Kevin sebagai pemalas, karena sepertinya dia berada di kafe sepanjang hari,” ujar Daniel Burka, yang turut bergabung di Google Ventures sebagai design partner. “Dia memang berada di kafe sepanjang hari, tapi bersama orang-orang pandai, orang-orang berjiwa wirausahawan. Dia sesungguhnya bekerja keras,” lanjut Burka yang sebelumnya pernah terlibat dalam desain Firefox.

Bekerja dari kafe ke kafe, bertemu startup founder.

Kalaupun ada yang menilai kelemahan Rose yang paling menonjol adalah rasa percaya dirinya yang sangat tinggi. “Dia tidak dikelilingi orang yang lebih tua darinya, yang lebih bijak,” kata salah seorang temannya. “Dia ingin dikelilingi dengan orang-orang yang mengaguminya. Ini saya pikir kelemahan karena tidak mencari orang yang mengatakan ‘tidak’ padanya.”

Rose sendiri tak ambil pusing dengan segala komentar mengenai dirinya. Yang pasti, “Agak aneh, rasanya sekarang. Saya berselancar di Internet sebagai bagian dari pekerjaan,” katanya. Dalam sehari sedikitnya dia menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk mencari produk baru, ide dan perusahaan. “Anda harus punya waktu berpikir tentang ide dan bagaimana caranya ide itu bisa diimplementasikan dalam 12 hingga 18 bulan ke depan,” dia menyambung.

Sejauh ini, atas nama Google, Rose telah mendukung 6 perusahaan, termasuk Rally.org, situs crowd-funding untuk acara sosial. Sekalipun sekarang membuat investasi untuk Google Ventures, dia tak memerlukan persetujuan untuk mencapai persetujuan angka investasi. Rose punya otoritas tinggi untuk memutuskan akan berinvestasi di mana. Inilah juga yang membuatnya senang.

Toh sekalipun pekerjaan di Google Ventures menyenangkan, Rose tak pernah berpikir akan tinggal lama di perusahaan ini. “Saya juga tak akan pindah ke venture capital yang lain,” katanya. Atau, mendirikan perusahaan modal ventura sendiri. Dia memang tak ingin menjadi full-time investor sepanjang hidupnya. Tapi buru-buru dia menyergah, “Kecuali saya punya killer idea.”

Para pengagumnya jelas menanggap apa yang diutakan Rose di atas baru sebatas angan. Maklum, pada dasarnya Rose adalah orang yang sangat aktif. Untuk sementara, mereka menunggu gebrakan apa lagi yang akan dibuat sang master lewat Google Ventures. ***

--------------------------------------
Researched by Armiadi Murdiansah