Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, March 5, 2013

Menjawab Tantangan Keluarga

Share this history on :


Tak mudah melanjutkan bisnis keluarga, keluar dari bayang-bayang pendahulu. Ada yang sukses, Tapi ada juga yang gagal.




DI TENGAH KERAGUAN
PADA 21 September 2012, di Pinellas Park, Florida, AS, Michael Plummer Jr. berdiri bangga. Di hadapan sejumlah undangan, dia mengucapkan terima kasih pada mendiang ayahnya, serta mitra-mitra bisnis yang telah membuat Our Town America kukuh melewati tahun demi tahun. Pada hari ulang tahun Our Town America yang ke-40 itu, dengan antusias, Plummer Jr. mengumumkan bahwa perusahaan yang dipimpinnya kini telah tumbuh di lebih dari 40 lokasi di seluruh AS dan melayani lebih dari 10 ribu perusahaan. Itulah pencapaian yang sangat mengesankan.

Plummer Jr. memang pantas bangga. Pupus sudah keraguan bahwa dia tak akan bisa melanjutkan tongkat estafet sang ayah. Betapa tidak, 4 tahun sebelumnya, situasi begitu pelik. Peristiwa pada medio Oktober 2008 itu seakan melemparkannya ke posisi yang teramat sulit. Itu memang menjadi masa-masa yang tak bisa dilupakan Plummer Jr. Alih-alih tengah asyik mengobati pasien, dia harus membacakan eulogy pada pemakaman ayahnya, Michael Sr. yang mangkat karena serangan jantung. Padahal masih lekat dalam ingatannya, beberapa hari sebelum malaikat maut menjemput sang ayah, dia masih duduk di ruangan ayahnya, menandatangani cek untuk 30 karyawan perusahaan keluarganya, Our Town America yang berbasis di Pinellas Park, Florida.

Sebenarnya, Plummer telah bekerja mendampingi ayahnya selama 9 tahun sebelum peristiwa itu terjadi. Plummer Sr. mendirikan perusahaan yang membantu orang yang pindah rumah pada tahun 1972. Mimpinya, pada suatu hari anaknya akan mengambil tampuk perusahaan. Tapi sang anak tak punya antusiasme untuk Our Town America yang terus membesar dari tahun ke tahun.

Plummer Jr. lebih senang sekolah kedokteran dan sempat berkiprah di ketentaraan. Apa yang dipikirkan sang ayah tak menarik dirinya. Bisnis benar-benar tak menarik dirinya. Tahun 2000, dia sempat datang membantu Our Town America setelah sang ayah dapat serangan jantung yang pertama kalinya. Tapi jiwanya melanglang buana. Di balik mejanya, dia sering berfantasi kembali ke dunia kedokteran. “Saya duduk di kursi yang sama setiap hari dan berpikir, ‘Semua yang ada di sini milik ayahku. Ini semua legacy-nya. Saya dikelilingi oleh ini semua’,” katanya mengenang.

Kematian ayahnya yang tiba-tiba, sekalipun menyedihkan dan mengejutkan membawa Plummer Jr. terlibat lebih dalam dengan warisan sang ayah. Tapi saat itu, orang-orang pun gelisah dan bertanya: apakah dia bisa memenuhi harapan ayahnya?

Sesungguhnya bisnis keluarga bukan hal yang asing bagi Plummer Jr. Dia telah dididik untuk mengikuti jejak langkah ayahnya. Dia mulai bekerja di Our Town America di usia 5 tahun. Tugasnya spesifik: memasukkan surat ke dalam amplop. Namun setelah dia lulus SMA, gagasan lain menyelinap dalam kepalanya. “Setiap orang punya impian. Saya ingin mengobati orang,” katanya. Di usia 20 tahun, dia pun menolak tawaran sang ayah untuk bergabung dengan bisnis keluarga, dengan gaji US$ 65 ribu. Dia justru melangkahkan kaki, mendaftar di Angkatan Darat, membantu di bagian medis. “Ini hal terbodoh yang kamu lakukan,” Plummer mengingat ucapan sang ayah saat itu.

Tugas membawa Plummer ke Korea Selatan. Sementara itu sang ayah mengubah nada bicaranya. Dia bicara tentang kebanggaan atas pencapaian anaknya, termasuk penolakannya terhadap tawaran uang dan mencari jalannya sendiri. Sampai kemudian datang musim panas tahun 2000 ketika telepon berdering untuknya mengabarkan: ayahnya mendapat serangan jantung. Plummer pun balik ke Florida – tempat istri dan anaknya tinggal – dengan rasa takut sang ayah akan wafat ketika dia mendarat. Beruntung, sang ayah melewati masa kritis operasi jantung. Setelah hari-hari itu hubungan mereka jadi membaik.
           
Plummer lalu kembali ke Korea. Dia dan ayahnya ngobrol di telepon setiap minggu. Hubungan ayah-anak ini memang membaik. Kepada Plummer Sr., sang ayah menceritakan bahwa tenaganya sangat dibutuhkan di perusahaan. Perlahan-lahan, sang anak pun luluh. Saatnya pulang, pikir Plummer Jr. Dia pun mulai membantu bagian penjualan dan IT, mengelola database perusahaan. Tapi pekerjaan terbaik adalah saat dia meluang waktu bersama ayahnya.




Plummer Sr. adalah legenda di Pinellas Park. Kebaikan hatinya sangat terkenal. Dia mengguyuri teman dan karyawannya dengan aneka hadiah. Sang anak terkesan dengan motivasi sang ayah sebagai entrepreneur. Tapi saat itu, Plummer Jr. tak pernah mempertimbangkan untuk sepenuhnya bekerja di Our Town America. Bahkan sekalipun telah bekerja setahun, dia lebih merasa perusahaan keluarga itu seperti sebuah selingan dalam perjalanan tugas ketimbang sebuah destinasi akhir. Sampai... suatu pagi bulan Oktober 2008, Plummer Jr. menerima telepon dadakan. Ayahnya dapat serangan jantung kedua. Kali ini sangat fatal. Padahal, malam sebelum dia meninggal, dia sempat nonton Alice Cooper. Pada saat pemakaman, Plummer Jr. menyebut atahnya sebagai “lelaki terkuat yang pernah kutahu”.

Beberapa hari kemudian setelah sang ayah mangkat, godaan mulai datang. Plummer Jr. menerima telepon dari makelar bisnis yang menanyakan apakah dia tertarik menjual bisnisnya. Tanpa pikir panjang, sekalipun dalam kondisi yang masih berkabung, Plummer Jr. seketika menolak tawaran itu.

Namun setelah itu dia mulai merasa bingung. Segalanya bergerak demikian cepat. Anggota keluarga, termasuk ibu tirinya, satu sama lain bertempur untuk kepemilikan dan mengendalikan arah perusahaan. Situasi pun bertambah memusingkan karena para terwaralaba yang menjadi mitra Our Town America juga mulai khawatir nasib investasi mereka. Begitupun dengan karyawan yang deg-degan menanti apa yang akan terjadi kemudian. “Ada begitu banyak pengetahuan yang hilang begitu Michael Sr. meninggal. Orang sangsi bagaimana kita akan melewatinya,” ujar Morales, mitra Plummer Sr.

Dengan jujur, kepada orang-orang dekatnya, Plummer mengaku bingung. Tapi dia kepalang basah. Perusahaan yang ditinggali ayahnya, segera dia pelajari dengan cepat dan seksama. Sebenarnya dia bisa saja menjual dan berbagi saham dengan dua adiknya. Tapi niat itu diurungkannya. Beberapa bulan setelah pemakaman, Plummer Jr. berpikir banyak tentang ayahnya. Mengubah karir, dia mengatakan pada dirinya, merupakan hal yang tidak realistik. Dia pun mengambil keputusan besar: melanjutkan perusahaan dan harapan sang ayah.

Setelah berada di posisi ayahnya, Plummer Jr. pun segera memainkan peran sebagai pilot. Dia menggenjot produktivitas, mengeliminasi kelebihan inventory, membuat perusahaan menjadi lebih efisien. “Dia melakukan pekerjaan hebat dalam menyolidkan perusahaan,” kata Larry Neal, frachisee Our Town America di Detroit. Tak heran, pada 21 September 2012 itu, Michael Plummer Jr. pun berdiri bangga. Dia telah menjawab tantangan serta keraguan yang muncul.

Plummer Jr. sendiri merasa keputusannya sudah tepat. “Sebenarnya ini bukan sesuatu yang saya inginkan. Tapi kadang-kadang nasib memilihmu,” katanya berfilosofi.


BERETTA STORY
Lain Plummer Jr., lain pula Pietro Gussalli Beretta (49 tahun) dan adiknya Franco Gussali Beretta (47). Ayahnya, Ugo Gusalli Beretta (74), tak terlalu ingin anak-anaknya meneruskan bisnis keluarga. “Ayah sangat keras untuk dua hal: saya dan Pietro harus lulus dari universitas dan harus menyelesaikan wajib militer. Tapi kami tak dipaksa untuk bekerja di sini,” kata Franco, CEO Fabbrica d'Armi Pietro Beretta. Ini adalah pabrik senjata Italia yang juga pabrikan senjata tertua di dunia yang masih aktif. Selain senapan, Beretta juga memproduksi pakaian dan aksesori senapan.

Faktanya mereka melanjutkan bisnis yang telah dibangun Bartolomeo Beretta sejak tahun 1526. Dan duet ini pun berupaya membuat perusahaan senjata yang bermarkas di Brescia itu tetap kinclong. Caranya?

Bertahan pada tradisi dan nilai-nilai keluarga sekalipun usianya telah ratusan tahun. Ciri yang khas adalah pembagian peran. Pietro mengelola holding company dan menjadi pemikir strategis buat perusahaannya. Sementara Franco bertugas mengelola pabrik senjata dan pemasaran, termasuk menjual apparel lewat butik Beretta Galleries (berettagallery.com).

Bersama sang ayah, mereka masih menjalankan perusahaan dan menjadi pemegang saham mayoritas. Mereka bertiga bekerja di rumah batu yang menjadi tempat tinggal keluarga hingga tahun 1984. Rumah di Gardone Val Trompia ini terhubung dengan pabrik di mana sekitar 1000 orang karyawan yang memroduksi sekitar 1500 senjata setiap harinya. Kurang dari 1,6 km terletak kantor Beretta II di mana para master mengukir senapan premium yang dibandrol mulai dari US$ 12 ribu (bandingkan dengan senapan massal yang dibandrol US$ 1.800).

Franco mulai bekerja di bisnis keluarga saat masih kuliah. Pamannya, Carlo Beretta yang saat itu sebagai CEO menjadi mentornya. “Dia mengajariku bukan hanya soal-soal teknis, tapi juga nilai-nilai bahwa jika keluarga sangat memerhatikan karyawan, maka karyawan pun akan memperhatikan pemilik,” cerita Franco. Model kapitalisme paternalistik seperti ini mungkin terasa asing bagi perusahaan-perusahaan AS. Tapi di Beretta itu sangat terasa. Tak heran, turnover karyawan sangat kecil yang menunjukkan betapa loyalnya mereka pada perusahaan.




Nilai-nilai itu kini semakin digelorakan Franco. Maklum, tantangan yang dihadapi sangat berat. Selama dua hingga tida dekade akhir, sejumlah pembuat senjata telah dibeli oleh konglomerat atau private equity. Salah satunya, Remington yang diambil Cerberus Capital Management.

Hingga kini Beretta masih menjadi perusahaan keluarga. “Apa yang terjadi pada private equity tidak memengaruhi kami. Bankir-bankir itu membuat deal setiap harinya. Kami telah membangun perusahaan selama berabad-abad,” ujar Pietro. Bersama sang ayah, kini keluarga Beretta harus membuat perusahaan keluarga yang penjualan bersihnya tahun 2009 mencapai Rp 1,7 triliun ini terus bersinar. Mereka tak ingin Beretta jatuh ke tangan asing.


TRAGISNYA MARCY
Melanjutkan bisnis keluarga dan keluar dari bayang-bayang orang tua, apalagi leluhur, memang tantangan yang tidak mudah. Marcy Syms adalah contohnya. CEO dan Chairman Syms Corp., jaringan ritel pakaian terkemuka di AS ini telah lama membantu bisnis ayahnya, Seymour Merinsky. Sejak 1983, saat usianya menginjak 32 tahun, Marcy menemani sang ayah yang akrab disapa Sy Syms mengelola jaringan toko pakaian ternama di AS itu.

Syms Cor.p didirikan oleh Sy Syms di tahun 1958. Bermarkas di Secaucus, New Jersey, Syms Corp. adalah salah satu dari toko pakaian diskon pertama di AS. Jaringan ritel ini terkenal dengan slogan yang pertama kali dilontarkan Sy di tahun 1973, "An educated customer is our best customer".

Syms Corp diririkan Sy sewaktu Marcy masih berusia 7 tahun. Namun Marcy mengingat dengan baik bagaimana sang ayah membangun bisnis. Sewaktu Sy membuka toko pakaian pertamanya di Lower Manhattan, kebanyakan pelanggan yang adalah para komuter New Jersey. “Mereka berhenti di depan toko melihat-lihat apa yang mereka sukai. Dan begitu malam, mereka datang untuk membelinya,” kenang Marcy.

Wanita energik ini sangat menghormati ayahnya. Dan Sy sungguh membuat ruang yang besar bagi putrinya untuk berkembang. Di tahun-tahun pertama bergabung, Marcy ingin membuka dua toko di hari yang sama di pasar yang baru. Seorang manager yang lain, seorang laki-laki, menyarankan untuk membuka satu toko saja. “Dengan bijaknya ayah lalu membuat kompetisi diantara kami. Kalau saya bisa mendapatkan dua lokasi yang bagus di pasar yang saya inginkan, mereka akan membuat double-grand opening. Kalau manajer lainnya menemukan lokasi lain yang juga bagus di pasar yang diinginkannya, mereka akan membuat single grand opening,” katanya. Lantas apa yang dilakukan Marcy?

“Saya ambil risiko untuk merencanakan, memromosikan dan mengimplementasikan ide saya. Hasilnya, bukan hanya saya yang menang, saya juga mencapai tujuan yang saya inginkan, sekaligus mendapat respek dari top manajemen,” ujar Marcy bangga. Maklum, sekalipun anak pemilik, respek tidak diraihnya begitu saja. Dia harus berusaha. Karena itu dia punya prinsip yang ditekannya, terutama kepada anak-anak muda: “You must take risks when appropriate and follow through with diligent work.”



Merangkak dari bawah, perlahan-lahan Marcy akhirnya mendapat kepercayaan. Tepat 15 tahun setelah bergabung, dia akhirnya diangkat menjadi CEO Syms Corp. pada tahun 1998.

Namun nasib Marcy tak seperti Michael Plummer Jr. atau Beretta bersaudara. Setelah sempat berjaya, dia harus terempas secara menyakitkan. Kesalahan manajemen dan persaingan ritel yang ketat membuat Syms Corp. lenyap. Awalnya bermula pada Juni 2009. Marcy yang memang berani ambil risiko mengakuisisi Filene’s Basement senilai US$ 62,4 juta. Akuisi ini memang membuat Syms tumbuh dengan tambahan 22 gerai. Dengan akuisisi itu, Syms memiliki 55 gerai di 16 negara bagian.

Tapi, ketatnya persaingan membuat Sym limbung. Pada 2 November 2011, Syms serta Filene’s mengajukan perlindungan kebangkrutan. Dengan total aset US$ 236 juta terdiri dari US$ 97,7 juta dalam bentuk real estate, US$ 65,8 juta berbentuk merchandise dan US$ 72,5 juta dalam bentuk lainnya, Syms Group memiliki kewajiban US$ 94 juta.

Setelah 10 bulan melakukan restrukturisasi, Marcy pun harus membuat keputusan pahit. Pada Oktober 2012, setelah menutup seluruh gerainya, Syms Group berganti rupa, bersalin nama menjadi Trinity Place Holdings Inc. Perusahaan baru inilah yang akan mengelola penjualan-penjualan aset yang ada untuk menutup kewajiban kepada para kreditor dan pemegang saham.

Pahit memang. Tapi bisnis keluarga memang demikian, tak selalu memberikan rasa manis. Apa yang dialami Marcy merupakan potret yang biasa dalam bisnis keluarga. George Stalk dan Henry Foley, dalam tulisannya, Avoid the Traps That Can Destroy Family Businesses (Harvard Business Review, Januari-Februari 2012) menyebutkan bahwa 70% bisnis keluarga mengalami kegagalan atau dijual sebelum generasi kedua punya peluang mengambil alih. Lalu, hanya 10% yang masih dimiliki keluarga dan terwariskan hingga ke generasi ketiga. “Di masa sekarang,” mereka menulis, “memimpin family-owned business menjadi lebih sulit dari masa-masa sebelumnya.”

Apa yang ditulis Stalk dan Foley benar adanya. Persaingan bisnis makin kejam. Para private equity dan perusahaan yang lebih besar siap mengambil alih. Plummer Jr. masih akan diuji. Begitu pun Beretta bersaudara. Adapun Marcy telah mengecewakan ayahnya. Beruntung, Sy Syms telah mangkat pada November 2009, tak lama setelah Filene’s diakuisisi. Lelaki kelahiran 12 Mei 1926 ini tak sempat melihat kerajaan bisnisnya tinggal cerita. ***

=======================
Thanks to: Dian Solihati

0 comments: