Tak
mudah melanjutkan bisnis keluarga, keluar dari bayang-bayang pendahulu. Ada
yang sukses, Tapi ada juga yang gagal.
DI TENGAH KERAGUAN
PADA 21 September 2012, di Pinellas Park, Florida, AS, Michael Plummer Jr. berdiri
bangga. Di hadapan sejumlah undangan, dia mengucapkan terima kasih pada
mendiang ayahnya, serta mitra-mitra bisnis yang telah membuat Our Town America
kukuh melewati tahun demi tahun. Pada hari ulang tahun Our Town America yang
ke-40 itu, dengan antusias, Plummer Jr. mengumumkan bahwa perusahaan yang
dipimpinnya kini telah tumbuh di lebih dari 40 lokasi di seluruh AS dan
melayani lebih dari 10 ribu perusahaan. Itulah pencapaian yang sangat mengesankan.
Plummer
Jr. memang pantas bangga. Pupus sudah keraguan bahwa dia tak akan bisa
melanjutkan tongkat estafet sang ayah. Betapa tidak, 4 tahun sebelumnya,
situasi begitu pelik. Peristiwa pada medio Oktober 2008 itu seakan
melemparkannya ke posisi yang teramat sulit. Itu memang menjadi masa-masa yang
tak bisa dilupakan Plummer Jr. Alih-alih tengah asyik mengobati pasien, dia
harus membacakan eulogy pada pemakaman ayahnya, Michael Sr. yang mangkat
karena serangan jantung. Padahal masih lekat dalam ingatannya, beberapa hari
sebelum malaikat maut menjemput sang ayah, dia masih duduk di ruangan ayahnya,
menandatangani cek untuk 30 karyawan perusahaan keluarganya, Our Town America
yang berbasis di Pinellas Park, Florida.
Sebenarnya,
Plummer telah bekerja mendampingi ayahnya selama 9 tahun sebelum peristiwa itu
terjadi. Plummer Sr. mendirikan perusahaan yang membantu orang yang pindah
rumah pada tahun 1972. Mimpinya, pada suatu hari anaknya akan mengambil tampuk
perusahaan. Tapi sang anak tak punya antusiasme untuk Our Town America yang
terus membesar dari tahun ke tahun.
Plummer
Jr. lebih senang sekolah kedokteran dan sempat berkiprah di ketentaraan. Apa
yang dipikirkan sang ayah tak menarik dirinya. Bisnis benar-benar tak menarik
dirinya. Tahun 2000, dia sempat datang membantu Our Town America setelah sang
ayah dapat serangan jantung yang pertama kalinya. Tapi jiwanya melanglang
buana. Di balik mejanya, dia sering berfantasi kembali ke dunia kedokteran.
“Saya duduk di kursi yang sama setiap hari dan berpikir, ‘Semua yang ada di
sini milik ayahku. Ini semua legacy-nya. Saya dikelilingi oleh ini
semua’,” katanya mengenang.
Kematian
ayahnya yang tiba-tiba, sekalipun menyedihkan dan mengejutkan membawa Plummer
Jr. terlibat lebih dalam dengan warisan sang ayah. Tapi saat itu, orang-orang
pun gelisah dan bertanya: apakah dia bisa memenuhi harapan ayahnya?
Sesungguhnya
bisnis keluarga bukan hal yang asing bagi Plummer Jr. Dia telah dididik untuk
mengikuti jejak langkah ayahnya. Dia mulai bekerja di Our Town America di usia
5 tahun. Tugasnya spesifik: memasukkan surat ke dalam amplop. Namun setelah dia
lulus SMA, gagasan lain menyelinap dalam kepalanya. “Setiap orang punya impian.
Saya ingin mengobati orang,” katanya. Di usia 20 tahun, dia pun menolak tawaran
sang ayah untuk bergabung dengan bisnis keluarga, dengan gaji US$ 65 ribu. Dia justru
melangkahkan kaki, mendaftar di Angkatan Darat, membantu di bagian medis. “Ini
hal terbodoh yang kamu lakukan,” Plummer mengingat ucapan sang ayah saat itu.
Tugas
membawa Plummer ke Korea Selatan. Sementara itu sang ayah mengubah nada
bicaranya. Dia bicara tentang kebanggaan atas pencapaian anaknya, termasuk
penolakannya terhadap tawaran uang dan mencari jalannya sendiri. Sampai
kemudian datang musim panas tahun 2000 ketika telepon berdering untuknya
mengabarkan: ayahnya mendapat serangan jantung. Plummer pun balik ke Florida –
tempat istri dan anaknya tinggal – dengan rasa takut sang ayah akan wafat
ketika dia mendarat. Beruntung, sang ayah melewati masa kritis operasi jantung.
Setelah hari-hari itu hubungan mereka jadi membaik.
Plummer
lalu kembali ke Korea. Dia dan ayahnya ngobrol di telepon setiap minggu. Hubungan
ayah-anak ini memang membaik. Kepada Plummer Sr., sang ayah menceritakan bahwa
tenaganya sangat dibutuhkan di perusahaan. Perlahan-lahan, sang anak pun luluh.
Saatnya pulang, pikir Plummer Jr. Dia pun mulai membantu bagian penjualan dan
IT, mengelola database perusahaan. Tapi pekerjaan terbaik adalah saat dia
meluang waktu bersama ayahnya.
Plummer
Sr. adalah legenda di Pinellas Park. Kebaikan hatinya sangat terkenal. Dia
mengguyuri teman dan karyawannya dengan aneka hadiah. Sang anak terkesan dengan
motivasi sang ayah sebagai entrepreneur. Tapi saat itu, Plummer Jr. tak
pernah mempertimbangkan untuk sepenuhnya bekerja di Our Town America. Bahkan
sekalipun telah bekerja setahun, dia lebih merasa perusahaan keluarga itu seperti
sebuah selingan dalam perjalanan tugas ketimbang sebuah destinasi akhir.
Sampai... suatu pagi bulan Oktober 2008, Plummer Jr. menerima telepon dadakan.
Ayahnya dapat serangan jantung kedua. Kali ini sangat fatal. Padahal, malam
sebelum dia meninggal, dia sempat nonton Alice Cooper. Pada saat pemakaman,
Plummer Jr. menyebut atahnya sebagai “lelaki terkuat yang pernah kutahu”.
Beberapa
hari kemudian setelah sang ayah mangkat, godaan mulai datang. Plummer Jr.
menerima telepon dari makelar bisnis yang menanyakan apakah dia tertarik
menjual bisnisnya. Tanpa pikir panjang, sekalipun dalam kondisi yang masih
berkabung, Plummer Jr. seketika menolak tawaran itu.
Namun
setelah itu dia mulai merasa bingung. Segalanya bergerak demikian cepat.
Anggota keluarga, termasuk ibu tirinya, satu sama lain bertempur untuk
kepemilikan dan mengendalikan arah perusahaan. Situasi pun bertambah
memusingkan karena para terwaralaba yang menjadi mitra Our Town America juga mulai
khawatir nasib investasi mereka. Begitupun dengan karyawan yang deg-degan
menanti apa yang akan terjadi kemudian. “Ada begitu banyak pengetahuan yang
hilang begitu Michael Sr. meninggal. Orang sangsi bagaimana kita akan
melewatinya,” ujar Morales, mitra Plummer Sr.
Dengan
jujur, kepada orang-orang dekatnya, Plummer mengaku bingung. Tapi dia kepalang
basah. Perusahaan yang ditinggali ayahnya, segera dia pelajari dengan cepat dan
seksama. Sebenarnya dia bisa saja menjual dan berbagi saham dengan dua adiknya.
Tapi niat itu diurungkannya. Beberapa bulan setelah pemakaman, Plummer Jr.
berpikir banyak tentang ayahnya. Mengubah karir, dia mengatakan pada dirinya,
merupakan hal yang tidak realistik. Dia pun mengambil keputusan besar:
melanjutkan perusahaan dan harapan sang ayah.
Setelah
berada di posisi ayahnya, Plummer Jr. pun segera memainkan peran sebagai pilot.
Dia menggenjot produktivitas, mengeliminasi kelebihan inventory, membuat
perusahaan menjadi lebih efisien. “Dia melakukan pekerjaan hebat dalam
menyolidkan perusahaan,” kata Larry Neal, frachisee Our Town America di
Detroit. Tak heran, pada 21 September 2012 itu, Michael Plummer Jr. pun berdiri
bangga. Dia telah menjawab tantangan serta keraguan yang muncul.
Plummer
Jr. sendiri merasa keputusannya sudah tepat. “Sebenarnya ini bukan sesuatu yang
saya inginkan. Tapi kadang-kadang nasib memilihmu,” katanya berfilosofi.
BERETTA STORY
Lain
Plummer Jr., lain pula Pietro Gussalli Beretta (49 tahun) dan adiknya Franco Gussali
Beretta (47). Ayahnya, Ugo Gusalli Beretta (74), tak terlalu ingin anak-anaknya
meneruskan bisnis keluarga. “Ayah sangat keras untuk dua hal: saya dan Pietro
harus lulus dari universitas dan harus menyelesaikan wajib militer. Tapi kami
tak dipaksa untuk bekerja di sini,” kata Franco, CEO Fabbrica d'Armi Pietro
Beretta. Ini adalah pabrik senjata Italia yang juga pabrikan senjata tertua di
dunia yang masih aktif. Selain senapan, Beretta juga memproduksi pakaian dan
aksesori senapan.
Faktanya
mereka melanjutkan bisnis yang telah dibangun Bartolomeo Beretta sejak tahun
1526. Dan duet ini pun berupaya membuat perusahaan senjata yang bermarkas di
Brescia itu tetap kinclong. Caranya?
Bertahan
pada tradisi dan nilai-nilai keluarga sekalipun usianya telah ratusan tahun.
Ciri yang khas adalah pembagian peran. Pietro mengelola holding company
dan menjadi pemikir strategis buat perusahaannya. Sementara Franco bertugas
mengelola pabrik senjata dan pemasaran, termasuk menjual apparel lewat
butik Beretta Galleries (berettagallery.com).
Bersama sang ayah, mereka masih menjalankan perusahaan dan menjadi pemegang
saham mayoritas. Mereka bertiga bekerja di rumah batu yang menjadi tempat
tinggal keluarga hingga tahun 1984. Rumah di Gardone Val Trompia ini
terhubung dengan pabrik di mana sekitar 1000 orang karyawan yang memroduksi
sekitar 1500 senjata setiap harinya. Kurang dari 1,6 km terletak kantor Beretta
II di mana para master mengukir senapan premium yang dibandrol mulai dari US$
12 ribu (bandingkan dengan senapan massal yang dibandrol US$ 1.800).
Franco mulai bekerja di bisnis keluarga saat masih kuliah. Pamannya, Carlo Beretta
yang saat itu sebagai CEO menjadi mentornya. “Dia mengajariku bukan hanya
soal-soal teknis, tapi juga nilai-nilai bahwa jika keluarga sangat memerhatikan
karyawan, maka karyawan pun akan memperhatikan pemilik,” cerita Franco. Model
kapitalisme paternalistik seperti ini mungkin terasa asing bagi
perusahaan-perusahaan AS. Tapi di Beretta itu sangat terasa. Tak heran, turnover
karyawan sangat kecil yang menunjukkan betapa loyalnya mereka pada perusahaan.
Nilai-nilai
itu kini semakin digelorakan Franco. Maklum, tantangan yang dihadapi sangat
berat. Selama dua hingga tida dekade akhir, sejumlah pembuat senjata telah
dibeli oleh konglomerat atau private equity. Salah satunya, Remington yang
diambil Cerberus Capital Management.
Hingga
kini Beretta masih menjadi perusahaan keluarga. “Apa yang terjadi pada private
equity tidak memengaruhi kami. Bankir-bankir itu membuat deal setiap
harinya. Kami telah membangun perusahaan selama berabad-abad,” ujar Pietro.
Bersama sang ayah, kini keluarga Beretta harus membuat perusahaan keluarga yang
penjualan bersihnya tahun 2009 mencapai Rp 1,7 triliun ini terus bersinar.
Mereka tak ingin Beretta jatuh ke tangan asing.
TRAGISNYA MARCY
Melanjutkan
bisnis keluarga dan keluar dari bayang-bayang orang tua, apalagi leluhur,
memang tantangan yang tidak mudah. Marcy Syms adalah contohnya. CEO dan
Chairman Syms Corp., jaringan ritel pakaian terkemuka di AS ini telah lama membantu
bisnis ayahnya, Seymour Merinsky. Sejak 1983, saat usianya menginjak 32 tahun,
Marcy menemani sang ayah yang akrab disapa Sy Syms mengelola jaringan toko
pakaian ternama di AS itu.
Syms Cor.p didirikan oleh Sy Syms di tahun 1958. Bermarkas di Secaucus, New Jersey, Syms Corp.
adalah salah satu dari toko pakaian diskon pertama di AS. Jaringan ritel ini
terkenal dengan slogan yang pertama kali dilontarkan Sy di tahun 1973, "An educated customer is our
best customer".
Syms Corp diririkan Sy sewaktu Marcy masih berusia 7 tahun. Namun Marcy
mengingat dengan baik bagaimana sang ayah membangun bisnis. Sewaktu Sy membuka
toko pakaian pertamanya di Lower
Manhattan, kebanyakan
pelanggan yang adalah para komuter New Jersey. “Mereka berhenti di depan toko
melihat-lihat apa yang mereka sukai. Dan begitu malam, mereka datang untuk
membelinya,” kenang Marcy.
Wanita energik
ini sangat menghormati ayahnya. Dan Sy sungguh membuat ruang yang besar bagi
putrinya untuk berkembang. Di tahun-tahun pertama bergabung, Marcy ingin
membuka dua toko di hari yang sama di pasar yang baru. Seorang manager yang
lain, seorang laki-laki, menyarankan untuk membuka satu toko saja. “Dengan
bijaknya ayah lalu membuat kompetisi diantara kami. Kalau saya bisa mendapatkan
dua lokasi yang bagus di pasar yang saya inginkan, mereka akan membuat double-grand
opening. Kalau manajer lainnya menemukan lokasi lain yang juga bagus di
pasar yang diinginkannya, mereka akan membuat single grand opening,”
katanya. Lantas apa yang dilakukan Marcy?
“Saya ambil
risiko untuk merencanakan, memromosikan dan mengimplementasikan ide saya.
Hasilnya, bukan hanya saya yang menang, saya juga mencapai tujuan yang saya
inginkan, sekaligus mendapat respek dari top manajemen,” ujar Marcy bangga. Maklum,
sekalipun anak pemilik, respek tidak diraihnya begitu saja. Dia harus berusaha.
Karena itu dia punya prinsip yang ditekannya, terutama kepada anak-anak muda: “You must take risks when
appropriate and follow through with diligent work.”
Merangkak
dari bawah, perlahan-lahan Marcy akhirnya mendapat kepercayaan. Tepat 15 tahun
setelah bergabung, dia akhirnya diangkat menjadi CEO Syms Corp. pada tahun
1998.
Namun
nasib Marcy tak seperti Michael Plummer Jr. atau Beretta bersaudara. Setelah
sempat berjaya, dia harus terempas secara menyakitkan. Kesalahan manajemen dan
persaingan ritel yang ketat membuat Syms Corp. lenyap. Awalnya bermula pada Juni
2009. Marcy yang memang berani ambil risiko mengakuisisi Filene’s
Basement senilai US$ 62,4 juta. Akuisi ini memang membuat Syms tumbuh dengan
tambahan 22 gerai. Dengan akuisisi itu, Syms memiliki 55 gerai di 16 negara
bagian.
Tapi, ketatnya persaingan membuat Sym limbung. Pada 2 November 2011, Syms serta
Filene’s mengajukan perlindungan kebangkrutan. Dengan total aset US$ 236 juta
terdiri dari US$ 97,7 juta dalam bentuk real estate, US$ 65,8 juta
berbentuk merchandise dan US$ 72,5 juta dalam bentuk lainnya, Syms Group
memiliki kewajiban US$ 94 juta.
Setelah 10 bulan melakukan restrukturisasi, Marcy pun harus membuat
keputusan pahit. Pada Oktober 2012, setelah menutup seluruh gerainya, Syms
Group berganti rupa, bersalin nama menjadi Trinity Place Holdings Inc. Perusahaan
baru inilah yang akan mengelola penjualan-penjualan aset yang ada untuk menutup
kewajiban kepada para kreditor dan pemegang saham.
Pahit memang. Tapi bisnis keluarga memang demikian, tak selalu memberikan
rasa manis. Apa yang dialami Marcy merupakan potret yang biasa dalam bisnis
keluarga. George
Stalk dan
Henry Foley, dalam tulisannya, Avoid the Traps That
Can Destroy Family Businesses (Harvard Business Review, Januari-Februari 2012)
menyebutkan bahwa 70% bisnis keluarga mengalami kegagalan atau dijual sebelum
generasi kedua punya peluang mengambil alih. Lalu, hanya 10% yang masih
dimiliki keluarga dan terwariskan hingga ke generasi ketiga. “Di masa
sekarang,” mereka menulis, “memimpin family-owned business menjadi
lebih sulit dari masa-masa sebelumnya.”
Apa yang ditulis Stalk dan Foley benar adanya. Persaingan bisnis makin
kejam. Para private equity dan perusahaan yang lebih besar siap mengambil
alih. Plummer Jr. masih akan diuji. Begitu pun Beretta bersaudara. Adapun Marcy
telah mengecewakan ayahnya. Beruntung, Sy Syms telah mangkat pada November
2009, tak lama setelah Filene’s diakuisisi. Lelaki kelahiran 12 Mei 1926 ini
tak sempat melihat kerajaan bisnisnya tinggal cerita. ***
=======================
Thanks to: Dian Solihati
0 comments:
Post a Comment