Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, March 31, 2011

Indahnya Kekalahan

Jangan mundur dari satu kekalahan. Jangan takut disebut pecundang. David West membuktikannya: Hershey adalah pemenang perang coklat.

Putaran nasib di gelanggang bisnis memang seringkali sukar ditebak. Fakta terbaru terjadi pada Hershey Co., raksasa coklat dan permen dari AS. Masih lekat dalam ingatan publik peristiwa Januari 2010. Saat itu, setelah melewati proses berliku, Hershey takluk di hadapan Kraft Food Inc. dalam perburuan mengambil Cadbury Plc., perusahaan coklat dari Inggris yang legendaris. Mengucurkan US$ 19,5 miliar, Kraft sukses mengoleksi Cadbury dalam portofolio bisnisnya.

Kemenangan Kraft di meja negosiasi, tak ayal telah menimbulkan spekulasi dan menguatkan skeptisisme seputar masa depan Hershey. Para analis serta investor global menyebut bahwa diantara para raksasa perusahaan confectionary dunia, Hershey kini adalah yang paling memble, plus madesu: masa depan suram. Bahkan tak sedikit yang agak sarkastis: Hershey adalah pecundang!

Cibiran itu seakan mengulangi sindiran 2 tahun sebelumnya. Pada 19 Juni 2008, Wall Street Journal menulis tajam: Can Hershey Survive Candy Wars?. Tulisan ini menyoroti nasib Hershey setelah Mars, produsen M&Ms yang jadi pesaing beratnya sukses mengakuisisi Wm. Wrigley Jr, pembuat Juicy Fruit dan Doublemint senilai US$ 23 miliar.

Dibayangi aksi terbaru Kraft, para analis pun menyebut bahwa mendung benar-benar menggantung di atas Hershey. Setelah terpukul langkah Mars, Hershey dianggap akan semakin lemah seiring akuisisi Kraft.

“Hershey punya masalah besar”. Demikian suara yang muncul setelah Kraft merengkuh Cadbury. Tak cukup dengan sindiran, suara-suara yang mendesak untuk segera mengganti pemimpin Hershey, David J. West pun nyaring terdengar. David dianggap bukan CEO yang hebat karena tidak berhasil menunjukkan langkah besar dan signifikan bagi kemajuan perusahaan yang dipimpinnya.

Yang dianggap langkah besar adalah jika Hershey bisa mengambil Cadbury. Perusahaan yang bermarkas di Pennsylvania itu dianggap terlalu berkutat di pasar AS. Dengan mengambil jagoan dari Inggris, Hershey yang berdiri pada 1984 itu dipandang akan meluaskan cengkraman globalnya sehingga menambah amunisi untuk bertarung menghadapi kompetitornya. Dengan akuisisi, Hershey diyakini akan menggenjot bisnisnya di luar AS yang sejauh ini hanya menyumbang 14% dari total pendapatan.

Perluasan skala internasional, bagi para analis adalah sesuatu yang mendesak. Semula, dengan potensi mengambil Cadbury, harapan itu digantungkan. Akuisisi Cadbury diasumsikan akan menjadi amunisi hebat untuk mendongkrak pendapatan Hershey. “Setiap orang mengatakan, Hershey harus melakukan ini, atau mereka akan mati,” ujar seorang eksekutif Hershey yang terlibat dalam deal gagal ini. Nyatanya Kraft yang merengkuh Cadbury. Tapi, apakah benar-benar Hershey jadi pecundang?

Cerita itu kini berbalik arah. Dalam bisnis, pemeo “win the war not the battle” juga berlaku. Terkadang, menjadi pecundang di satu medan pertempuran, membuat sebuah perusahaan lebih nyaman untuk memenangkan perang yang sesungguhnya. Seperti sejumlah kompetisi yang diikuti, ketika perhatian sudah tidak dicurahkan ke sebuah kejuaraan – karena kalah –, maka perhatian bisa dialihkan ke tempat lain.

Itulah yang terjadi pada Hershey. Alih-alih mundur, West mengambil langkah strategis. Kekalahan di medan Cadbury justru menguntungkannya karena dia dapat fokus membenahi perusahaan. Dia agresif mengonsolidasikan pabrik-pabrik yang sudah dijalankannya. Dari 17 pabrik, dipangkasnya menjadi 11 pabrik. Langkah ini menghemat sampai US$ 185 juta setiap tahunnya. West menargetkan akan bisa menambah jumlah penghematan hingga US$ 100 juta pada tahun 2012 lewat efisiensi ini.

West tipikal pemimpin bisnis yang tak mau terjebak romantika. Menjadi CEO pada Desember 2007, dia memodernisasi pabrik-pabrik Hershey, menelan dana hinga lebih dari US$ 200 juta. Bila harus mengurangi karyawan, itu pun akan dilakukannya. Tahun lalu dia memangkas 600 karyawan dari pabrik yang penuh sejarah, 19 E Chocolate Avenue. Berdiri pada 1905, pabrik ini mewarnai perjalanan Hershey. Inilah pabrik pertama yang dimiliki sang pendiri, Milton Hershey. Di sini juga lahir sejumlah produk legendaris, seperti coklat Kisses. West mengubahnya, memodernisasinya agar bisa semakin kompetitif. Adapun pemangkasan karyawan yang dilakukannya di sini adalah pengurangan dari total 5% karyawan.

Melihat sepak terjangnya, West seakan mewarisi semangat sang pendiri, Milton Hershey. Lahir di Pennsylvania, Milton awalnya diarahkan untuk berkutat di dunia percetakan. Merasa tak tertarik, dia bekerja di pabrik permen.

Tahun 1876, setelah mereguk 4 tahun pengalaman bekerja di pabrik permen, Milton mendirikan toko M.S. Hershey, Wholesale and Retail Confectioner. Malang, toko ini hanya berdiri 6 tahun. Milton jadi karyawan lagi di toko permen, di Colorado. Tak lama, dia kembali membuka toko sendiri. Dan gagal lagi, gagal lagi.

Namun Milton tak mengenal kata menyerah. Tahun 1883, dia mendirikan perusahaan permen caramel, Lancaster Caramel Company. Sepuluh tahun kemudian, dia menjualnya dan mendirikan pabrik permen coklat yang dianggapnya lebih prospektif. Jatuh bangun, akhirnya berdirilah 19 E Chocolate Avenue, sebuah pabrik yang mampu memroduksi permen coklat massal, yang satu abad kemudian dibenahi West.

Fasilitas produksi adalah sisi hulu yang terus dibenahi West. Dia bisa fokus bekerja karena tak disibukkan dengan urusan konsolidasi akuisisi – seandainya jadi membeli Cadbury. Di sisi hilir, West menggenjot kanal-kanal distribusi serta brand activation untuk menghela penjualan merek-merek topnya seperti Reese’s, Kit Kat, Twizzlers dan tentu saja Kisses. Anggaran iklan terus dinaikkannya hingga mendekati US$ 400 juta.

Hasilnya sungguh menggembirakan. Pabrik yang efisien, produk yang berkualitas dan pemasaran yang aktif berdampak positif. Penjualan Hershey terus naik 10% dalam 3 tahun terakhir. Marjin kotornya juga naik 7%. Di lantai bursa, investor pun mengapresiasi: harga saham Hershey naik 47% sejak kekalahan Hershey di meja perundingan Cadbury. Dari pecundang, Hershey kini jadi pemenang.

Situasi terbalik justru terjadi pada Kraft. Penjualan Cadbury tak kunjung membaik, terutama di negara-negara berkembang yang diasumsikan semula akan moncer. Saham Kraft hanya naik 8% sejak memenangkan deal Cadbury. “Janji Kraft Telah Meleleh”, adalah judul di salah satu harian untuk menyindir Kraft yang dianggap belum mampu mengonsolidasikan dan mengintegrasikan seluruh bisnisnya, terutama Cadbury.

Namun, manajemen Kraft bukan hanya dipusingkan dengan performa Cadbury. Mereka juga masih menghadapi UK Takeover Panel, komite Inggris yang mengurusi akuisisi. Salah satu yang tengah disorot adalah langkah Kraft untuk menutup Somerdale, pabrik legendaris Cadbury. Sebelumnya, Kraft menjanjikan tak akan menutup pabrik ini.

Dari orang yang dituding biang masalah dan harus disingkirkan, West kini duduk nyaman. Keberhasilannya meningkatkan performa perusahaan, diganjar dengan penambahan kompensasi. Tahun ini, kompensasainya naik 16% menjadi US$ 7,4 juta. Itu di luar gaji resminya sebagai CEO.

Pertanyaannya kini: apa yang bisa dipelajari dari kasus Hershey?

Banyak hal bisa dipelajari dari kasus Hershey ini. Namun para analis yang dulu menyerang West kini mengakui bahwa bukan big deal yang akan menentukan laju perusahaan, tapi operational excellence. Hershey memang tak bisa mengambil Cadbury. Akan tetapi, dengan sistem operasinya yang hebat, mulai dari pabrik hingga pemasarannya, terbukti penjualannya terus meningkat sehingga investor pun menghargainya.

Bagi West, kekalahan di medan Cadbury telah menjadi titik balik untuk kemenangan yang manis.