Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, January 29, 2011

Melaju di Jalur Super Cepat

Crocs, Apple dan Groupon tumbuh luar biasa. Apa yang bisa dipelajari dari mereka?

Crocs. Siapa tak kenal merek ini? Saat resmi masuk ke Indonesia, antrian orang sampai mengular karena ingin mencicipi sepatu-sendal bolong-bolong itu. Di mana-mana, khsusnya di Jakarta, seakan dilanda demam Crocs. Sampai-sampai, banyak orang yang mengenakan di setiap keadaan, bahkan pergi ke pesta pun bersama produk berlogo buaya itu. Padahal, ketika diciptakan, Crocs dimaksudkan untuk digunakan di pantai, agar kaki tak kena pasir. Yah, itulah life style.

Bicara perusahaan hypergrowth, Crocs adalah perusahaan yang patut dicontoh pelaku bisnis. Perusahaan ini melejit cepat bak kejora, tapi mampu mempertahankan dalam orbit kejayaan. Apa kuncinya?

Mari kita lihat lebih dekat. Kisah ini mungkin sudah diketahui, tapi tetap menarik. Crocs hadir tahun 2002. Ketika itu, industri alas kaki di negeri Abang Sam tumbuh antara 1,5-3% pertahun. Dengan nilai industri sebesar US$ 49,3 miliar (penjualan pertahun), porsi industri ini adalah 60% alas kaki fashion dan 40% jenis atletik. Dalam segmen alas kaki fesyen, kategori sepatu mencapai 55%, sandal 25%, sisanya 20%2.

Saat itu, kompetisi bisa dikatakan sangat ketat, bahkan berdarah-darah. Pasar AS banyak didominasi produk impor, dengan sedikit pabrikan lokal yang memproduksi di dalam negeri. Di tahun 2002, penetrasi impor untuk semua produk alas kaki bahkan mencapai 98%. Saat hadir, bisnis sepatu sedang red ocean.

Dalam situasi seperti itu, para pemain banyak bertarung dengan cara klasik: melakukan diferensiasi produk dari sisi kualitas, jaringan distribusi ritel yang ekslusif, dan customer service.

Mereka juga mendesain, memasarkan, serta memproduksi barang berdasarkan target demografis: produk dibuat spesifik untuk kaum wanita, laki-laki atau anak-anak. Bahan bakunya, terutama adalah kulit – yang menyedot 50% dari biaya produksi –, dan kebanyakan diproduksi di Asia dengan sistem kontrak. Adapun promosi dilakukan jor-joran, membangun merek lewat iklan dengan biaya gede-gedean. Alhasil, semua yang memerlukan ongkos besar itu dikompensasi dengan bandrol harga yang mahal. Sayang, tekstur produk para pemain ini relatif sama: tradisional.

Crocs menantang semua kemapanan itu dengan terobosan yang unik. Setidaknya, ada tiga hal yang membuatnya melambung cepat: style, colour dan fun.

Crocs Inc. menciptakan produk sepatu kasual, yang jenisnya setengah sepatu, setengah sendal. Tampil fun, dan penuh imajinasi, produknya hadir dengan warna-warna cerah, menggabungkan emosional dan fungsional.

Bahan yang digunakan juga sangat berbeda, disebut Croslite – dari resin plastik– untuk menciptakan produk unik dengan lubang-lubang. Sekalipun terlihat lucu, lubang-lubang ini orisinal. Fungsinya juga ciamik: membuat lebih nyaman karena kaki jadi lebih “bernafas”. Croslite juga membuat sepatu menjadi lebih ringan, antiselip, mudah dibersihkan, dan antiair.

Diferensiasi ini jelas sangat mempengaruhi biaya produksi. Sebab, dibandingkan bahan tradisional yang digunakan para pemain sebelumnya, yakni kulit, Croslite tidak mahal, tahan lama, dan tak memerlukan banyak tenaga kerja untuk memproduksi. Dengan demikian, selain bisa diproduksi lebih cepat karena tidak memerlukan tangan-tangan untuk menjahit, bandrol harga Crocs jadi lebih terjangkau.

Crocs juga unggul dari sisi size. Produk ini muncul tanpa mempertimbangkan aspek demografis yang menggayuti pabrikan lain. Tak seperti pembuat sepatu tradisional yang harus membuat gaya baru setiap musim, pada awalnya Crocs hanya punya dua tipe, yang dikhususkan untuk menarik semua segmen; wanita, pria maupun anak-anak. Ia tidak memfokuskan pada segmen tertentu, tak pada umur, gender, maupun kelas sosial tertentu. Semua dibidiknya sama.

Tak cukup dengan itu semua, untuk menegaskan kehadiannya di pasar, aktivitas pemasaran dan promosinya juga dibuat semenarik mungkin, berbeda dengan para pemain lain. Crocs menggunakan creative merchandising berupa out-of-box vertical displays dan menggenjot aktivitas word-of-mouth marketing untuk membangun gaung serta momentum. Sejumlah selebriti macam Al Pacino, Jack Nicholson, Faith Hill dibayar untuk mengenakan produknya.

Hasilnya, dengan produk yang unik, cerah, untuk semua usia, tanpa belanja banyak iklan, bum... meledaklah ia di pasar. Hanya 5 tahun berdiri (2007), pertumbuhannya sudah luar biasa. Dengan rentangan pemasaran yang mengglobal, penjualannya mencapai US$ 847 juta dan laba US$ 168 juta.

Memanfaatkan momentum adalah kunci bagi perusahaan yang sanggup melakukan hypergrowth. Namun, kepemimpinan dalam aspek lain menjadi kunci buat Crocs, mulai dari cost leadership, dan terutama pada aspek inovasi serta pemasaran. Kunci ini menjadikan Crocs bukan perusahaan yang bak meteor: bersinar, tapi kemudian redup dan jatuh berkeping-keping.

Menyebut perusahaan yang hypergrowth, tentunya tak sahih bila tidak menyebut Apple. September 2010, perusahaan yang identik dengan Steve Jobs ini mencetak laba sebesar US$ 6 miliar dari pendapatan US$ 26,4 miliar. Apple bahkan mengungguli Goldman Sachs yang mencetak laba US$ 2,39 miliar dan pendapatan US$ 8,64 miliar. Secara total, Apple ditaksir akan mencetak laba US$ 17,63 miliar dan pendapatan US$ 76,28 miliar di tahun 2010.

Bahasan tentang apa kunci pertumbuhan Apple yang luar biasa tak pernah habis-habisnya. Namun, tak ada yang menyangkal bahwa tahun 2001 adalah titik balik buat perusahaan ini. Setelah penjualan produk-produk Macintosh kurang cemerlang dan pangsa pasarnya merosot, Jobs mengambil keputusan penting: membuka sebanyak mungkin toko-toko ritel yang menampilkan seluruh rangkaian produk mulai dari komputer, peranti lunak, hingga periferal lainnya. Sebelumnya, Macintosh terpusat di jaringan Sears dan CompUSA.

Keputusan ini membawa efek yang dramatis bagi pertumbuhan perusahaan. Ketika itu, awalnya banyak orang berpikir Jobs agak gila dengan memutuskan hubungan kemitraan dengan riteler lama seperti Sears, untuk kemudian membangun toko-toko baru. Namun, strategi ini terbukti tepat untuk menyerbu pasar semakin masif. Dalam dua tahun awal, Peter Oppenheimer, eksekutif Apple, menaksir setiap toko Apple sanggup membetot 9000 orang untuk mampir setiap harinya.

Cara ini kemudian ditiru banyak pemain seperti Archos, TomTom, dan Hewlett-Packard. Mereka mengucurkan banyak uang untuk membangun tokonya sendiri. Seperti halnya Apple, mereka ingin memiliki kontrol yang lebih baik atas apa yang disebut customer retail experience. Namun, waktu membuktikan, Apple sanggup mempertahankan pertumbuhannya yang luar biasa. Kuncinya?

Dari sisi toko (store), Jobs konsisten membangun gerai yang selain lokasinya berkelas, desainnya juga unik. Ini memang seperti keinginannya, “Saya ingin ada pengalaman belanja yang luar biasa untuk produk-produk Apple,” katanya.

Tapi, tentu saja keseluruhan pertumbuhan Apple berfokus pada Jobs serta tim kreatifnya yang demikian inovatif melahirkan produk-produk yang mengubah lanskap permainan. Apple memang bukan yang pertama untuk banyak produk yang kemudian mengguncang pasar. iPod adalah produk yang menyusul MP3 player lain. iPhone menyusul produk-produk telepon seluler yang membanjir. iTunes menyusul toko-toko online. Sementara iPad hadir setelah perusahaan lain telah merintis komputer tablet.

Jobs mengajarkan tak perlu menjadi yang pertama untuk mencetak hypergrowth. Inovasi yang memberi nilai tambah adalah pelajaran klasik yang dicontohkan dengan baik oleh Jobs. Dan inilah yang konsisten dipertahankannya sehingga kinerja Apple, seperti disinggung di atas, bahkan telah melewati pemain yang lebih senior macam Goldman Sachs.

Banyak pemain yang tumbuh luar biasa, kemudian seperti meteor. Crocs adalah contoh pemain baru yang kemudian melesat cepat. Apple, setelah sempat stagnasi, kemudian mencetak titik balik untuk melaju di jalur hypergrowth. Kini, pemain yang tengah disorot terkait pertumbuhannya yang cepat adalah Groupon.

Groupon adalah situs yang tengah ngetop. Berawal di Chicago, dibangun Andrew Mason, ini adalah situs yang menghubungkan sejumlah konsumen dengan penyedia layanan atau merchants, terutama restoran. Groupon mengumpulkan peminat dalam jumlah tertentu atas restoran yang sama. Bila telah ditemukan mereka yang berminat, Groupon akan menegosiasikan dengan pihak restoran tersebut. Setelah tercapai kesepakatan, maka restoran akan memberikan diskon kepada Groupon. Nah, kupon inilah yang kemudian dijual. Mereka yang tertarik pada restoran itu, bisa mendaftar dan membeli kupon tersebut di situs Groupon.

Model bisnis ini disebut menjadi kunci pertumbuhan Groupon. Tilik saja data berikut: diluncurkan pada tahun 2008 di Chicago, kota-kota yang digarap kian melebar, ke Boston, New York dan Toronto. Setelah itu perkembangannya tak tertahankan lagi. Kini telah lebih dari 150 kota yang dilayani, dan menyebar bukan hanya di AS dan Kanada, tapi juga ke Amerika Latin (Brazil, Cili), Eropa (Jerman, Italia, Portugal, Spanyol), dan Asia (Jepang), dengan lebih dari 35 juta pengguna terdaftar. Hebatnya, penetrasi yang terbilang fantastis ini diiringi kinerja yang luar biasa. Pendapatannya ditaksir mencapai US$ 500 juta pada tahun lalu, dan akan tembus US$ 1 miliar tahun ini.

Performa yang hebat ini tak ayal telah menarik banyak pihak untuk mengucurkan modal. Pertengahan Januari, sejumlah investor, termasuk Fidelity Investment telah membenamkan US$ 1 miliar ke Groupon sebagai dana untuk ekspansi agar pertumbuhannya semakin pesat lagi.

Banyak pihak menaksir Groupon akan seperti Crocs, terus melesat. Namun banyak juga yang meragukan karena model bisnisnya dianggap mudah ditiru pemain lain. Mana prediksi yang tepat, tentunya masih ditunggu. Belajar dari Crocs serta Apple, banyak faktor yang harus dimiliki oleh Groupon agar tetap di jalur hypergrowth. Inovasi-inovasinya masih ditunggu di tengah rentannya peniruan model bisnis kupon online ini.

Sunday, January 23, 2011

Ambisi dari Minato Mirai

Tanggal 20-26 November, aku beruntung bisa mengunjungi Tanah Nobunaga, Taiko, Musashi, Kurosawa, dan sederet nama besar lain, termasuk para pebisnisnya seperti Matsushita, Toyoda, Honda. Ya, Jepang kujejak. Dan inilah oleh-oleh yang kugores, yang sudah dimuat di SWA, Januari 2011.

YOKOHAMA penghujung November 2010.

Gedung itu hanya sepelembaran batu dari tiga buah lapangan sepakbola milik salah satu klub ternama Jepang, Yokohama Marinos. Dari bawah gedung, kita bisa menyaksikan para pemain berlatih shooting, menyundul serta strategi off-side. Sementara dari atas gedung setinggi 20 lantai itu, kita bisa menyaksikan kompleks latihan sebuah klub sepakbola dalam blok-blok yang teratur; lapangan, tempat menonton, hingga tempat parkir.

Inilah gedung Fuji Xerox R&D Square. Berdiri di atas lahan 14.600 m2, gedung ini menampung 4500 orang karyawan. Tinggi menjulang dan didominasi warna biru langit, dalam aktivitas Fuji Xerox, gedung yang baru resmi digunakan April 2010 ini memainkan peran yang penting. Inilah salah satu puzzle yang menjadi titik pijak bagi Tadahito Yamamoto untuk mendorong perkembangan Fuji Xerox ke tingkat yang lebih tinggi.

Yamamoto adalah lelaki tipikal Jepang yang datang dari era paska Perang Dunia II. Beralis tebal, berwajah keras, dengan tinggi 169 cm. Kini di tangannyalah Fuji Xerox menggantungkan harapan setelah sempat merosot paska krisis global akibat subprime mortgage.

Ya, tiga tahun terakhir, Fuji Xerox memang agak lesu. Tahun 2007, pendapatannya mencapai 1,2 triliun Yen. Tahun berikutnya turun ke 1,08 triliun Yen. Tahun 2009 kian merosot ke titik 943 miliar Yen.

Tentu saja ini kurang menyenangkan bagi perusahaan yang berdiri pada 20 Februari 1962. Tapi itu tampaknya sudah berlalu. “Pendapatan kami tumbuh 8,3%, laba meningkat dua kali lipat,” kata Yamamoto, Presiden dan Representative Director Fuji Xerox ini. Dan saat dijumpai di November yang dingin itu dia pun lantang mengutarakan ambisinya: mendongkrak pertumbuhan lebih besar lagi. Adapun area pertumbuhan yang dikejar adalah wilayah di luar Jepang, terutama area Asia-Pasifik. Bisnis di luar Jepang, sekarang mencapai 40% dari total pendapatan Fuji Xerox. “Tapi saya ingin menggenjot hingga 50% di tahun 2013,” katanya.

Pasar Jepang memang sudah jenuh sehingga perusahaan yang bermarkas di Tokyo ini mengalihkan perhatiannya pada wilayah yang pertumbuhannya melaju cepat. Cina adalah salah satu wilayah yang dibidik. Dan kini, sekitar 80% dari manufaktur Fuji Xerox sudah dijalankan di Negeri Panda itu. Semakin dekat dengan pasar Cina, akan semakin baik. Lantas, apa amunisi yang disiapkan untuk menggarap pasar?

Untuk menggarap pasar-pasar tersebut sekaligus menopang ambisi Yamamoto, Fuji Xerox sangat serius. Dari sisi manufaktur, misalnya, mereka telah mendirikan Fuji Xerox Manufacturing dan Fuji Xerox Advanced Technology di awal 2010. Fasilitas manufaktur serta pengembangan juga telah dikonsolidasikan. Dan tentu saja gedung R&D Square.

Dibangun di distrik Minato Mirai, Yokohama, posisi R&D Square sangat strategis. Dari sisi lokasi, pemilihan Yokohama sudah melalui pertimbangan yang matang. “Lokasinya dekat Bandara Haneda yang di masa mendatang akan menjadi pintu gerbang Asia,” kata Yamamoto.

Dari sisi teknologi, R&D Square juga sangatlah canggih dan berwawasan lingkungan. Di gedung ini, begitu kita meninggalkan ruangan, lampu akan mati. AC akan menyesuaikan dengan berapa banyak orang dalam ruangan. Air hujan dimanfaatkan maksimal. Semuanya untuk menghemat konsumsi energi.

Kecanggihan tersebut tak terlepas dari strategi bisnis yang dikembangkan. Orang mungkin mengenal Fuji Xerox sebagai perusahaan printer dan office document. Itu tidaklah keliru. Tapi juga tidak sepenuhnya benar. Selain office printer, bisnis perusahaan ini terdiversifikasi, diantaranya adalah: global services, production services, dan office product.

Tadahito memaparkan bahwa era persepsi lama tentang perusahaannya sudah dimasukkan ke laci. Fuji Xerox telah mengubah model bisnisnya dari “menjual printer” ke “layanan dan solusi”. “We are not a mere copier company anymore,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih. Tujuan Fuji Xerox, lanjutnya, adalah menjadi mitra terbaik pelanggan dalam penyelesaian masalah yang mereka dihadapi. “Jadi, kami menyediakan jasa dan solusi ketimbang menjual perangkat keras,” timpal Yukaku Abe dari bagian Solutions Group.

R&D Square dibangun dalam konteks itu: menjadi mitra solusi untuk persoalan yang dihadapi konsumen. Agar memahami pelanggan, di gedung ini terdapat apa yang disebut zona Open Collaboration Laboratory. Di dalamnya ada lima ruang. Salah satunya adalah Collaboration Zone. Di ruangan ini, orang-orang Fuji Xerox, bersama para pelanggan akan melakukan value creation, mengidentifikasi apa saja yang bisa dilakukan bersama demi kepentingan pelanggan.

Selain itu, ada 4 zona lain yang tak kalah penting. Pertama, Open Innovation Laboratoy, di sini digali isu dari beragam perspektif lewat proses yang terbuka. Kedua, Technology Innovation Zone, tempat presentasi teknologi inovatif untuk menyelesaikan isu-isu baru. Ketiga, Incubation Zone. Di sini tempat diskusi dan review dengan pelanggan untuk menginkubasi gagasan, menyelesaikan persoalan yang ada. Dan keempat, Seminar Space, tempat seminar dan workshop antara karyawan dengan mitra dan pelanggan.

Secara keseluruhan, jelas Yasuaki Onishi, Corporate VP untuk Research & Technology Group, R&D Square merupakan tempat untuk proses value creation antara orang-orang Fuji Xerox dengan pelanggan dan mitra. Di gedung inilah diharapkan akan tercipta kolaborasi untuk menemukan produk yang bisa memenuhi kebutuhan pelanggan. “Setelah itu, hasil gagasan akan masuk ke Ebina Center di Kanagawa untuk proses manufaktur,” jelasnya.

Pertanyaannya kini: solusi apa yang akan digeber habis oleh Yamamoto?

Yamamoto mengungkap bahwa perusahaannya masih akan bermain di docu solution. Bagaimanapun, dokumen masih tetap menjadi aktivitas korporat yang utama. Bahkan 80% perusahaan yang diriset Fuji Xerox mengakui bahwa manajemen dokumen merupakan hal vital dalam utilisasi pengetahuan serta informasi. Efektivitas pengelolaan dokumen merupakan isu penting dalam perusahaan.

Fuji Xerox juga menggenjot pasar digital printing yang akan bernilai hingga 18 triliun Yen di tahun 2013. Ada sejumlah faktor yang menurutnya akan mendorong pasar ini kian berkembang. Pertama, meningkatnya permintaan perusahaan untuk efisiensi. Kedua, meningkatnya permintaan personalisasi dalam hal pencetakan, yang memenuhi selera individu, terutama di kalangan ritel. Misalnya, mencetak di medium non-kertas seperti kaca atau metal.

Tidak seperti offset printing, digital printing memiliki banyak keunggulan. Diantaranya: tak memerlukan plate, dan bisa mencetak material untuk “siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam bentuk apapun”. Digital printing memungkinkan layanan pencetakan yang tak bisa dilakukan offset printing seperti customer database untuk memproduksi personalized direct mail. Besarnya pasar digital printing, bisa dilihat di tabel.

Pasar Digital Printing 2013

Aktivitas

Nilai (triliun Yen)

Sales promotion material

6,3

Signage

3,5

Photo

2,5

Label-packages

1,5

Bill-form printing

3,7

Publishing-magazine-newspaper

0,6

Sumber: Fuji Xerox

Guna menyergap pasar tersebut, Fuji Xerox memiliki kekuatan yang luar biasa. Bersama perusahaan mitranya, Xerox Corporation, gabungan jaringan keduanya mencakup 160 negara dengan 89 ribu tenaga profesional yang bekerja secara kolaboratif. Kemudian, khusus untuk amunisi di digital printing, Fuji Xerox memiliki 5 Epicenter (executive print innovation center) yakni di Jepang, Shanghai, Singapura, dan Sydney.

Namun, solusi dokumen dan cetak digital hanyalah bagian dan produk yang dilempar ke pasar. Dengan cerdik, Fuji Xerox memainkan isu pemanasan global. Perusahaan ini menawarkan produk yang akan mengurangi emisi karbon, terutama yang diproduksi di perusahaan, misalnya di kantor. Kok bisa?

Isu ini mungkin masih diabaikan di sejumlah negara. Namun di Jepang, ini cukup menyita perhatian. Di Negeri Matahari Terbit ini, kepedulian terhadap emisi karbon di kantor sangat menyedot perhatian. Dan dari riset yang dilakukan di Jepang, ternyata penyumbang terbesar emisi karbon di kantor-kantor adalah mesin penyejuk udara, lampu dan peralatan elektronik (60%), sementara mesin fotokopi dan printer cuma 1,5%.

Fuji Xerox berupaya membantu upaya perusahaan dalam mengurangi emisi. Yamamoto bahkan punya target yang ambisius: ikut mengurangi emisi karbon hingga 7 juta ton per tahun hingga 2020. Caranya?

Solusi yang ditawarkan Fuji Xerox adalah menciptakan work space yang lebih ramah lingkungan sehingga gaya bekerja (work style) menjadi hemat konsumsi energi. Dengan peralatan yang diproduksinya, Fuji Xerox dapat melakukan desain ulang ruang kerja, terutama dalam urusan dokumentasi digital. Peralatan komunikasi atau server-server yang membuat sempit ruangan, bisa dirampingkan. Salah satu produk yang ditawarkan adalah model vending machine. Produk ini akan mengeliminasi konsumsi power yang berlebihan.

Dalam mendesain ulang ruang kerja, komponen utama yang ditata Fuji Xerox adalah menggabungkan dan menghilangkan server. Fuji Xerox memiliki Energy Managed Office Service. Di sini, mereka akan melakukan beberapa langkah: (1) menaksir kondisi yang ada di kantor perusahaan; (2) memvisualisasikan konsumsi energi dan menganalisis bagaimana seluruh peralatan digunakan; (3) merencanakan untuk mengurangi konsumsi energi; dan (4) mengimplementasikan peralatan untuk menekan konsumsi energi.

Dalam urusan ini, Fuji Xerox telah memraktikkannya. Di Minato Mirai, di gedung R&D, telah digunakan sistem yang disebut EneEye untuk memonitor penggunaan energi, mulai dari AC, lampu, gas di dapur. EneEye juga dapat memvisualisasikan konsumsi energi di tiap lantai untuk kemudian diambil tindakan agar konsumsi energi bisa ditekan. Itulah sebabnya gedung ini sangat krusial, selain tempat kolaborasi dengan pelanggan dan mitra, juga tempat percontohan penerapan produk-produk Fuji Xerox yang bisa dilihat langsung oleh pelanggan dalam urusan menghemat konsumsi energi.

Di luar aspek di atas, Yamamoto juga mengungkap bahwa dalam upaya membidik pasar Asia-Pasifik, dia akan memfokuskan pada perusahaan skala small medium business (SMB). “Potensinya besar dan banyak peluang untuk menggarapnya,” katanya. Di sektor ini, produk yang dimainkan adalah docu solution, terutama mesin-mesin cetak yang bisa mendorong efisiensi serta produktivitas perusahaan.

Salah satu andalan yang baru saja diluncurkan adalah keluarga printer DocuPrint A4 LED (Light-Emitting Diode) seper: DocuPrint CP105 b / CP205 / CP205 w / CM205 b (full color) dan DocuPrint P105 b / P205 b / M105 b / M105 ab / M205 b (monochrome). Produk ini menyasar para SMB.

Dengan rangkaian produk itu, Fuji Xerox bisa dikatakan telah memiliki produk yang lengkap untuk pasar menengah-bawah. Mengacu pada riset yang dilakukan internal, Fuji Xerox mencatat bahwa pasar printer global akan tumbuh 7% setiap tahun, dan pada tahun 2014 akan mencapai 36 juta unit printer (di tahun 2010 hanya 28 juta unit).

Dengan amunisi yang lengkap di segala lini itulah Yamamoto mengungkap keyakinannya bahwa Fuji Xerox akan semakin solid. Dia percaya masa-masa sulit yang dialami selepas krisis global akan berganti keceriaan di tahun-tahun mendatang.

Wednesday, January 12, 2011

Ekonomi BlackBerry

Tifatul Sembiring membuat “ulah” lagi. Dia mengultimatum RIM terkait konten porno. Ancamnya: akses BalckBerry akan dicabut bila sampai tanggal 17 Januari 2011, RIM tak mengindahkan permintaan RI.

Seingatku, ini adalah ancaman yang kesekian dari Tiffy. Sebelumnya, permintaan untuk membuat service center telah diluluskan RIM.

Buatku, harusnya pemerintah meminta lebih banyak. Terutama: memproduksi BB di Indonesia. Sekarang, BB yang digunakan di Indonesia kebanyakan diproduksi di China. Lainnya di sejumlah negara, seperti Turki dan Hungaria.

Nilai ekonomi bila permintaan itu diajukan sangatlah banyak. Dari sisi kandungan keras (hardware content), maka akan banyak pemasok dari Tanah Air yang bisa terlibat. Tenaga kerja lokal, jadinya punya kesempatan banyak untuk berkontribusi. Kemudian, dari sisi kandungan lunak (software content), pemerintah juga seharusnya bisa menekan BB untuk membuka akses seluas-luasnya kepada para pengembang peranti lunak lokal agar semakin diberi kesempatan bekerjasama memasok produknya ke pasar aplikasi BB.

Ini memang isu sensitif. Tapi, saya pikir, pemerintah perlu menggunakan hardpower-nya. Dan itu bukan tabu. China menggunakannya dalam kasus Google, demi menguntungkan Baidu, situs pencari lokal yang butuh ruang berkembang. Cara model begini bukan haram, termasuk di era WTO dan globalisasi. Proteksionisme juga dipraktikkan AS dan negara maju demi melindungi industrinya.

Ekonomi BB sangatlah besar. Dengan 2,5 juta pengguna BB di Indonesia, katakanlah mereka mengeluarkan Rp 100 ribu/bulan, maka ada putaran uang Rp 25 miliar/bulan. Itu angka konservatif. Faktanya, bisa lebih karena penggunaan data sangatlah besar.

Bila permintaan pemerintah mengarah pada pemindahan produksi dan akses ke pengembang software lokal, maka nilai ekonominya, pasti lebih besar lagi.

Tentu saja pembatasan akses porno adalah penting. Tapi untuk mengakses hal seperti ini tak mesti lewat BB. Seharusnya, ada kepentingan lain yang lebih besar, yang bisa diperjuangkan ketimbang menghambat situs porno. Di Glodok, dan emper jalan, DVD porno merajalela. Tifatul pasti tahu ini. Smile with tongue out