Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, April 28, 2011

Penderma Kelas Dunia

Konglomerat dunia kian aktif berkiprah di ranah filantropi. Agar berdampak besar, mereka mendirikan yayasan yang dikelola profesional.

Kantor yayasan ini terbilang sederhana. Terletak di Seattle, AS, ia diapit restoran dan kantor pelayanan mobil. Tak ada tanda yang mencolok di depannya. Masuk ke dalam, setelah melapor satpam, akan terpampang peta Afrika dan Asia Selatan, dua area utama gerak lembaga ini.

Sekalipun sederhana, inilah markas besar The Bill & Melinda Gates Foundation (B&MGF). Dan ini bukan yayasan sembarangan. Inilah yayasan pribadi terbesar di muka bumi (mengelola dana sedikitnya US$ 33,5 miliar akhir 2009), juga yang paling transparan. Didirikan Bill Gates dan istrinya, Melinda, tujuan utama lembaga ini adalah mendorong peningkatan kualitas kesehatan, menurunkan angka kemiskinan dan membantu dunia pendidikan.

Berdiri pada 1994, awalnya yayasan ini bernama William H. Gates Foundation dengan dana awal US$ 94 juta. Lembaga ini berdiri karena keprihatinan sang bos Microsoft. "Saya mulai belajar tentang negara miskin dan kesehatan. Saya lihat statistik angkat kematian dan berguman, ‘boy, ini mengerikan’,” katanya.

Baru pada 1999 lembaga ini bersalin nama menjadi B&MGF. Dan terhitung sejak pergantian nama itu, perlu waktu 9 tahun lamanya buat Bill Gates untuk sepenuhnya aktif di dunia filantropi. Tepatnya setelah 31 Juli 2008. Di tanggal itu, Bill resmi tak lagi cawe-cawe mengelola Microsoft dan sepenuhnya meluangkan waktu lebih banyak di B&MGF.

Terjun totalnya Bill tak lepas dari “ancaman” sahabatnya, Warren Buffet. Tahun 2006, Bill mengajak Buffet untuk bergabung. Si investor hebat ini menyatakan mau saja terlibat. Syaratnya: Bill dan Melinda terlibat aktif di yayasan ini. Permintaan lain: B&MGF tetap sebagai yayasan sosial, tidak melenceng ke jalur yang tidak-tidak, politik misalnya. Maka berbasis di Seattle, Washington, yayasan ini dikontrol oleh tiga orang trustees kaliber kakap: Bill, Melinda dan Buffet.

Perhatian para konglomerat AS untuk masalah sosial yang disalurkan lewat yayasan, sudah tak terhitung jumlahnya. Yayasan Ford atau Rockefeller adalah nama lama. Selain B&MGF, yayasan kelas dunia lainnya yang kini berkibar adalah Koch Family Foundation milik keluarga Koch, yang menguasai perusahaan keluarga terbesar di muka bumi, Koch Industries (pendapatan tahunan US$ 110 miliar). Ada juga The Michael & Susan Dell Foundation (TM&SDF). Seperti B&MGF, yayasan ini dibesut pasangan Michael dan Susan Dell, pemiliki raksasa komputer, Dell Inc.

Berdiri pada 1999, TM&SDF memfokuskan diri pada 3 area: pendidikan di wilayah urban, kesehatan anak serta stabilitas ekonomi keluarga. Sedikitnya, US$ 450 juta telah dikucurkan Dell lewat yayasannya ini untuk program pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Yayasan yang berlokasi di Westlake, sekitar 20 mil dari markas Dell Inc. di Round Rock, Texas ini berbeda dengan Dell Foundation yang menjadi medium filantropi Dell Inc. TM&SDF adalah bukti kepedulian Michael Dell. Di sini, mereka punya dana sedikitnya US$ 1,3 miliar yang menjadikannya yayasan ke 42 terbesar di AS ditinjau dari sisi aset. Sementara di Texas, TM&SDF menjadi yayasan nomor 2 terbesar, di belakang Houston Endowment yang mengelola dana US$ 1,5 miliar.

Bila ditelaah, para konglomerat ini tak sekedar mendirikan yayasan, menghimpun dan mengalirkan dana. Mereka mengelola yayasannya secara profesional. B&MGF umpamanya. Sejak April 2006, yayasan ini dibagi dalam 4 divisi: core operation (mengurus internal organisasi), global health program, global development program dan United States program. Jeff Raikes ditahbiskan menjadi CEO. Bill khusus menempatkannya di posisi ini. Sebelumnya, dia adalah mantan Presiden Divisi Bisnis Microsoft. Bersama Cheryl Scott yang menjadi COO-nya, Raikes mengontrol kantor cabang B&MGF di Washington, Delhi, Beijing dan London, juga memimpin lebih dari 850 orang yang melakukan banyak pekerjaan: mulai dari bertemu kalangan pemerintah, menghadiri konferensi, sampai terjun ke lapangan mengontrol ratusan proyek dari vaksin malaria hingga telepon untuk negara berkembang.

Proyek yang digelar B&MGF memang terhitung besar. Sejak 2008, mereka memfokuskan pada sedikitnya 25 area. Malaria, polio, HIV, TBC, diare, pneumonia adalah sedikit isu dari sisi kesehatan. Bill sendiri mendorong yayasannya untuk terus aktif. Dia juga ingin yayasannya menantang dunia berani berpikir besar dan lebih ambisius untuk menyelamatkan mereka yang kesehatannya buruk. Di sektor kesehatan ini, sejumlah inisiatif digelar seperti Global Alliance for Vaccines and Immunisation (Gavi), Global Fund to Fight HIV/Aids, Tuberculosis and Malaria. Untuk sektor kesehatan, B&MGF tak main-main: mengucurkan tak kurang dari US$ 800 juta setiap tahunnya. Nilai ini mendekati anggaran tahunan UNDP (193 negara).

Selain profesionalisme, keterlibatan sang konglomerat memegang peran penting bagi kiprah yayasan. Di B&MGF, keterlibatan total Bill sejak 2008 tak ayal telah membuat yayasan ini menjadi lebih bertenaga dibanding masa-masa sebelumnya. “Keunggulan yayasan ini terletak pada kecepatan dan fleksibilitas. Ketika kami ingin sesuatu, kami bergerak cepat, tidak seperti organisasi birokrasi yang besar,” kata Seth Berkley yang mengepalai AIDS Vaccine Initiative. Bill dinilainya murah hati sehingga awak yayasan bisa melakukan banyak hal. Seperti yang dialaminya, dengan dana besar yang dikucurkan Bill, Seth bisa duduk bersama perusahaan farmasi untuk membuat program vaksinasi bersama. “Gates mengijinkan kami untuk mencari ide-ide baru dan merealisasikannya,” tegasnya lagi.

“Gates menawarkan kisah yang positif. Dia adalah panutan untuk filantropis lain, dan dia yang terbesar,” ujar Michael Edwards, komentator tentang aksi filantropi yang biasanya bersikap sinis terhadap aksi sosial para konglomerat dunia. “Sepertinya mereka (B&MGF) ada di mana-mana. Setiap konferensi, mereka hadir. Para politisi pun ingin dekat untuk dapat publikasi. Setiap orang senang bertemu dengan Gates. Tak ada institusi yang menolak bertemu mereka,” dia menandaskan.

Gates memang sangat terlibat di yayasannya. Bersama Melinda, mereka secara reguler mengunjungi proyek-proyek di mancanegara. Bahkan beberapa bulan sebelumnya, mereka selalu berpikir: tempat mana lagi yang harus dikunjungi.

Hands on approach. Itulah yang dipraktikkan para filantrop kaya ini. "Michael and Susan juga sangat ingin memberikan dampak besar,” ujar Megan Matthews, Direktur Komunikasi TM&SDF. “Mereka sangat terlibat dalam arahan strategi yayasan ini,” dia melanjutkan.

Michael memang terus mendorong perkembangan TM&SDF. Kini, selain berkantor di Texas, yayasan ini juga beroperasi di New Delhi. Di India, mereka membantu microfinancing di Mumbai.

Michael ingin TM&SDF tak kalah aktif dibanding The Dell Foundation. Di yayasan yang terakhir ini, mereka terbilang agresif menggelar program filantropi. Diantaranya, Dell Youth Connect. Ini adalah inisiatif untuk mempromosikan pendidikan berbasis teknologi buat anak-anak muda di bawah 22 tahun. Kegiatan lainnya adalah Dell Team Engagement yang berfokus pada komunitas. Sejumlah program yang digelar lewat bendera ini adalah Dell Matching Gifts, yang menyalurkan donasi dari karyawan untuk organisasi nirlaba dan Dell Team Recognition Program yang menyalurkan kegiatan sosial karyawan untuk komunitas.

Selain profesionalisme dan keterlibatan aktif, yang menunjang kesuksesan yayasan konglomerat kelas kakap ini adalah kemitraan strategis. Di B&MGF, para karyawan berupaya memperbesar dampak kegiatan mereka dengan cara kemitraan. Mereka, contohnya, tidak melakukan riset medis atau distribusi vaksin sendirian. Mereka sering memberikan grants untuk pihak-pihak yang dipandang terbaik di bidang tertentu. Alasannya?

Para pengelola B&MGF menganggap diri mereka sebagai catalytic philanthropists. “Kami tak sekedar mengucurkan uang untuk memberantas malaria. Kami lebih berorientasi pada ilmu dan teknologi, terlibat pada menemukan vaksinnya,” kata Raikes. Di Afrika, mereka bermitra dengan Rockefeller Foundation untuk mengembangkan teknologi pertanian dan revolusi hijau. B&MGF mengucurkan US$ 100 juta sementara mitranya membenamkan US$ 50 juta. Dalam urusan kemitraan, Dell pun demikian. Dell Youth Connect, umpamanya. Yayasan ini bermitra dengan sejumlah lembaga di 9 negara, memfokuskan bagi para pelajar

Melihat persoalan global yang banyak tidak bisa diselesaikan negara, banyak analis menilai kiprah yayasan milik penderma kelas dunia semacam ini akan semakin dibutuhkan. Mengapa demikian?

Kini, orang menyebut dunia paska-PBB: era di mana PBB dipandang sangat lamban dan birokratis dalam mengatasi persoalan-persoalan sosial yang mengglobal. Kehadiran yayasan filantropi konglomerat kelas kakap dengan dukungan dana yang dahsyat diyakini akan banyak mengatasi persoalan dengan cepat, tanpa birokrasi berbelit.

Monday, April 11, 2011

Perempuan Perkasa di Pentas Dunia

Tak banyak wanita menjadi pemimpin bisnis kaliber global. Tapi beberapa sanggup menunjukkan bahwa prestasi tak mengenal gender.

1 April 2011. Perlu 86 tahun bagi Nomura Holdings Inc untuk mengangkat seorang perempuan menjadi wanita pertama yang duduk menjadi eksekutif seniornya. Dialah Junko Nakagawa, wanita pertama yang menjadi CFO di perusahaan sekuritas global tersebut.

Junko mengaku tak ada yang istimewa. Tak ada yang luar biasa hanya karena dia wanita. Menurut wanita 45 tahun ini, pengangkatan dirinya adalah bentuk komitmen perusahaan untuk bergerak maju. Tapi bagi dunia bisnis Jepang tergolong hebat, pengangkatan Junko tetap luar biasa. Tiga bank besar negeri sakura, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc, Sumitomo Mitsui Financial Group Inc. dan Mizuho Financial Group Inc., semuanya tak punya kaum Hawa di jajaran eksekutif puncaknya.

Bergeser ke Negeri Abang Sam. Sudah 21 bulan Ursula Burns mengukuhkan diri sebagai salah seorang dari African American yang menjadi CEO perusahaan Fortune 500. Hebatnya, CEO Xerox Corporation ini memiliki perbedaan yang luar biasa. Dialah satu-satunya wanita kulit hitam yang menjadi CEO perusahaan bergengsi yang masuk Fortune 500.

Burns tumbuh di wilayah Lower East Side of Manhattan. Ibunya adalah orang tua tunggal yang membesarkan 3 orang anak. Dia menanamkan keberanian dan kekuatan pada anak-anaknya. “Saya masih ingat apa yang dikatakannya, ‘Lingkungan tidak mendefinisikan apapun’,” ujar Burns. Mereka sekeluarga tidak datang dari keluarga kaya, tinggal di wilayah biasa-biasa saja, komplek perumahan Baruch House yang diperuntukkan bagi masyarakat bawah. “Ibu juga selalu bilang setiap waktu, ‘Where you are is not who you are’,” katanya.

Mengingat sepak terjang selama ini, Burns mengaku sangat memegang nasihat ini. Dia mengikuti instingnya manakala berbenturan dengan nasehat yang tak disukainya. Ketika seorang gurunya di sekolah SMA mendorongnya mengambil karir di bidang perawatan, dia menolaknya. Dia bergegas ke perpustakaan untuk belajar matematika dan sains, area yang sangat dikuasainya. Dia kemudian mengambil teknologi mekanik Polytechnic Institute of New York setelah lulus dari Columbia University. Semasa di Columbia ini (1980) Burns magang di Xerox yang kemudian menjadi perjalanan panjang karirnya hingga menapak menjadi orang nomor satu. Lebih tepat: wanita kulit hitam pertama di puncak Xerox.

Wanita perkasa lain ada di DuPont Co. Namanya: Ellen Kullman. Wanita berusia 55 tahun ini adalah Chair of the Board dan CEO DuPont. Dia adalah CEO ke 19 selama perjalanan DuPont yang sudah mencapai 208 tahun. Kelahiran Delaware ini meduduki kursi puncak pada 1 Januari 2009.

Seperti halnya Burns, perjalanan karir Ellen juga berliku, menapak dari bawah. Dia memulai karir di DuPont pada tahun 1988 sebagai manajer pemasaran setelah sebelumnya bekerja di General Electric. Karirnya melejit 7 tahun kemudian saat diangkat menjadi direktur bisnis untuk sejumlah produk termasuk White Pigment & Mineral Product. Setelah itu karpet merah seakan dibentangkan untuknya. Dia memegang tulang punggung DuPont yakni DuPont Safety Reseources dan Bio-Based Materials (1999). Sukses mengembang tugas ini, Ellen didapuk menjadi Vice President Safety & Protection (2002), EVP (2006), sebelum akhirnya menduduki kursi puncak.

Di luar nama-nama di atas, masih ada wanita yang berada di posisi puncak, seperti Andrea Jung (CEO Avon), Patricia Woertz (CEO Archer Daniels Midland), Irene Blecker Rosenfeld (CEO Kraft Food) dan Indra Nooyi (Pepsi Co). Memang jumlahnya ada kemajuan. Ambil contoh untuk perusahaan Fortune 500. Tahun 1996, hanya ada seorang wanita yang menjadi CEO perusahaan Fortune 500. Kini, ada 14 orang, yang salah satunya adalah Ursula Burns. Kendati demikian, tetap saja jumlahnya memang tidak seberapa dibanding kaum Adam.

Suka atau tidak, memang ada gap dalam dunia kepemimpinan, khususnya woman leadership. Kaum perempuan belum banyak menempati posisi penting di dunia kepemimpinan, tidak hanya di ranah bisnis, tapi juga bidang lain seperti politik. Itulah sebabnya, ketika ada perempuan perkasa di puncak kepemimpinan, tetap menjadi perhatian, bahkan di AS sekalipun, negeri pengusung kebebasan.

Saking menariknya, McKinsey sempat melakukan wawancara global untuk mencari tahu apa sih kunci sukses kepemimpinan kaum wanita. Mereka geregetan karena kaum Hawa banyak yang memulai bisnis dan karir dengan level intelegensia, pendidikan serta komitmen yang sama dengan kaum pria, tapi dalam perjalanannya mereka kerap tertinggal dibanding kaum Adam.

Studi yang dilakukan McKinsey tahun 2008 ini tetap relevan hingga kini dalam mengupas woman leadership. Bertajuk “Centered Leadership: How Talented Woman Thrive”, studi ini menelurkan model bernama centered leadership. Model ini melihat ada 5 dimensi yang saling terkait yang menentukan kemampuan kepemimpinan. Pertama, meaning: menyangkut tujuan (purpose). Kedua, managing energy; mengetahui dari mana munculnya energi sekaligus mengelolanya. Ketiga, positive framing: memiliki cara pandang positi, termasuk saat menghadapi masa sulit. Keempat, connecting: mengetahui bagaimana menciptakan relasi yang bisa membuatnya tumbuh. Dan kelima, engaging: tahan banting, percaya diri menangkap setiap peluang yang ada, termasuk dengan risikonya, serta mampu berkolaborasi dengan orang lain.

Dengan 5 dimensi tersebut, maka seorang pemimpin jelas membutuhkan kekuatan fisik, intelektual, emosional dan spiritual yang membuatnya bisa mencapai kinerja terbaik serta menginspirasi orang lain. Dan wanita memiliki potensi untuk melakukan itu. Alasannya, beban ganda wanita, mengurus rumah tangga dan karir membuat mereka lebih mampu dalam mengelola naik turunnya emosi. Alasan klasik tapi selalu relevan.

Junko, Burns dan Ellen adalah contoh kaum Hawa yang mampu menjawab tantangan di atas. Burns, misalnya. Dia dikenal sebagai orang yang kritis dan punya cara pandang positif. Tahun 1990, dia diminta VP Marketing & Customer Operations Xerox, Waylon Hicks untuk berpartisipasi dalam sebuah tim khusus. Rupanya ada yang meragukan kemampuannya hanya karena dia wanita. Tanpa ragu, Burns pun “menyalak”. Dia bombardir sang penentang dengan argumentasi yang cerdas.

Waylon terkesan. Burns pun diminta ke ruangannya. Sejurus kemudian, Waylon mengangkat Burns menjadi asisten eksekutif untuknya. ”Sungguh sebuah peluang berguru, bekerja berdampingan dengannya membuatku memahami bagaimana menjalankan bisnis,” kenang Burns. Tak berapa lama, karirnya pun naik. Kepribadian dan kecerdasannya memikat Paul Allaire (kemudian menjadi CEO), untuk menggunakan jasanya, menjadikannya asisten eksekutif.

Kesempatan yang diterima Burns benar-benar sangat besar. Dan dia, dengan menggunakan model centered leadership, mampu mengembangkan dimensi connecting serta engaging. Dia mampu menciptakan relasi yang baik, dan menunjukkan kinerja cemerlang dari peluang yang didapatnya. Salah satu peluang itu, tentu saja adalah pengalaman. “Dekat dengan Paul secara pribadi membuatku bisa merasakan langsung bagaimana aktivitas manajemen papan atas. Saya mendapatkan rasa percaya diri karenanya,” katanya.

Faktanya, Burns memang benar-benar bisa memanfaatkan hal itu. Karirnya menanjak, dari GM, lalu VP divisi faksimili serta corporate strategic services. Tahun 2007, dia disebut oleh CEO Xerox yang juga wanita, Anne Mulcahy sebagai penggantinya.

Mentalitas yang sama juga dimiliki Ellen. Saat diangkat menjadi CEO, tak banyak tentangan diterima Ellen. Ini tak lain karena dia memang mampu menunjukkan rekam jejaknya yang ciamik, menunjukkan kompetensinya mengeksplorasi peluang. Sepanjang karirnya di DuPont, Ellen tak henti menorehkan prestasi. Sebagai contoh, sewaktu menjadi VP Safety & Protection, dia mampu menggenjot penjualan dari US$ 3,5 miliar di tahun 2002 menjadi US$ 5,5 miliar pada 2006.

Ibu tiga anak ini mengungkapkan bahwa personalitasnya yang berani bicara apa adanya sangat membantunya beradaptasi di dunia yang relatif didominasi kaum pria. “Aku tak pernah memandang diriku berbeda dari pria,” katanya tentang cara pandangnya. “Aku pikir itu sangat membantu karena membuat nyaman.”

Pelajaran dari sedikit pemimpin wanita kelas dunia ini tentu saja menarik. Mereka percaya bila menunjukkan karir cemerlang, jalan akan terbuka. Yang penting, mengacu ke model centered leadership: anda harus punya tujuan, mampu mengelola energi, berpikir positif, mampu berkoneksi dan tahan banting. ***