Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, August 15, 2009

Bezos dan Revolusi Pasca-Guttenberg


Meski tak gegap gempita, kelahirannya memicu revolusi baru. Inilah produk digital yang diyakini membuat buku serta artefak cetak lainnya cepat atau lambat akan ke museum.

Teguh S. Pambudi

Sebagian kalangan menyebutnya “iPod of reading”. Dengan layar 9,7 inch, resolusi 1200 x 824 pixel, keyboard QWERTY di bagian bawah, dan 4 GB kapasitas penyimpanan yang bisa menampung hingga 3500 non-illustrated e-books, alat ini memang sungguh istimewa. Penggunanya bisa mengunduh buku, membaca surat kabar, majalah, blog, dan mengakses Internet. Hebatnya, semuanya dilakukan wirelessly dan tanpa terkoneksi ke komputer.

Kindle. Itulah namanya. Puja-puji kini mengalir deras untuknya. Orang terus membelinya. Dan sebagian pengamat meyakini sebuah revolusi budaya telah lahir tanpa gemuruh. Bahkan di Newsweek, Jacob Weisberg, editor-in-chief the Slate Group mengulas dengan setumpuk sanjung. “Jeff Bezos telah membuat mesin yang menandai sebuah revolusi budaya. Buku cetak, artefak yang paling paling penting dalam peradaban manusia, kini menyusul surat kabar dan majalah yang telah berada di sebuah jalan yang usang,“ katanya. Setahun terakhir, surat kabar dan majalah cetak memang deras bertumbangan. Economist bahkan meramal pada 2040, surat kabar serta majalah cetak tamat riwayatnya. Buah karya Guttenberg hanya tinggal cerita.

Jeff Bezos yang dimaksud Weisberg tentu saja sang pendiri, pemilik sekaligus CEO Amazon, ritel online terbesar di jagat raya. Kindle adalah software sekaligus hardware yang dikembangkan Bezos lewat anak usahanya, Lab126. Kindle pertama kali diluncurkan pada 19 November 2007, disusul Kindle 2 pada 23 Februari 2009. Teranyar, pada 10 Juni 2009, dirilis Kindle DX yang dipatok US$ 489 perbuah. Lebih mahal US$ 130 dibanding produk sebelumnya, produk terbaru ini dilengkapi accelerometer, yang secara otomatis bisa memutar halaman menjadi orientasi landscape atau portrait. Alat terbaru ini memiliki layar lebih besar ketimbang pendahulunya, mendukung format PDF, dan terasa lebih pas untuk membaca surat kabar, majalah dan isi buku teks.

Membaca buku, surat kabar dan majalah memang menjadi fitur utama yang ditawarkan Kindle. Siapapun yang memilikinya, dapat mengunduh isi dari situs Amazon serta sejumlah content providers yang menjadi mitra Amazon untuk kemudian membacanya. Pengguna juga dapat mengunduh di Kindle Store, yang sedikitnya menyediakan 300 ribu judul per Juli 2009. Harga buku yang ditawarkan bervariasi, tapi lebih murah dari versi cetak. Buku terbitan baru dan bestsellers dari New York Times di kisaran US$ 10. Novel On Beauty karya Zadie Smith, misalnya, dibandrol US$ 10,20 untuk edisi cetak, dan US$ 9,99 bagi yang ingin mengunduhnya.

Untuk membaca surat kabar, tarif langganannya antara US$ 5,99 hingga US$ 14,99 per bulan, sementara majalah antara US$ 1,25 - US$ 3,49 per bulan. Surat kabar yang ditawarkan adalah The New York Times, Wall Street Journal, dan Washington Post, adapun majalah yang tersedia diantaranya TIME, Atlantic Monthly, dan Forbes. Semuanya terkirim wirelessly. Surat kabar internasional juga tersedia seperti Le Monde, Frankfurter Allgemeine, dan The Irish Times. Kemudian, sedikitnya ada 5000 blog ternama yang membahas bisnis, teknologi, olahraga, hiburan, dan politik, diantaranya BoingBoing, Slashdot, TechCrunch, Bill Simmons, The Onion, Michelle Malkin, dan The Huffington Post. Bagi yang ingin terhubung dan terus up-date dengan blog yang dipilih, seseorang tinggal membayar US$ 0,99-US$ 1,99 perbulan.

Dengan fitur seperti itu, maka Kindle jelas membantah anggapan yang menilainya sebagai e-book reader. Bahkan dalam versinya yang pertama, produk ini sudah didedikasikan untuk membaca narasi dalam aneka bentuk yang panjang (long-form). Bukan sekedar e-book. Tapi, apapun anggapan yang beredar, satu pelajaran yang sangat penting dari produk ini adalah: keinginan para pemilik Kindle untuk membeli content secara harian menunjukkan bahwa "the business is news, not paper". "Saya tak ingin terlalu menyederhanakan apa yang terjadi di media. Tapi buat saya sangat sulit untuk percaya bahwa orang masih membaca surat kabar dalam bentuk cetak pada 10 tahun mendatang," kata Bezos.

Lelaki berkepala plontos itu sudah lama merancang produk yang kemudian dilabelinya Kindle. Sejak tahun 2000, lewat Amazon dia telah menawarkan beragam e-book untuk bisa dibaca di komputer. Hasilnya? Jauh dari harapan. “Tak banyak orang membeli e-book,” katanya. Waktu itu pergeseran ke halaman digital belum terjadi. Mengapa? “Karena buku masih sangat bagus,” jawabnya lagi.

Tak berputus asa, Bezos menarik para teknisi, termasuk Gregg Zehr – yang sebelumnya bekerja untuk Palm dan Apple –, dengan tugas mendesain software serta hardware untuk menghasilkan produk yang diidamkannya: mampu mengunduh buku, dan membaca surat kabar serta majalah.

Keputusan menarik para teknisi ini sangat diperlukan karena model bisnis yang akan dilakoni memerlukan seperangkat kompetensi baru. Sebagai pelaku ritel, Bezos sudah membuktikan kapasitasnya lewat Amazon yang telah menjadi hipermarket maya dengan kemampuan menjual aneka barang mulai dari buku hingga elektronik. Tapi sebagai manufaktur yang memproduksi sesuatu (create a thing), Bezos tak berpengalaman. Ada gap antara dunia ritel dan dunia manufaktur yang memproduksi sebuah benda. Gap yang mesti diisi para teknisi.

Selanjutnya, maka lahirlah Kindle. Namun Kindle versi pertama (sering disebut Kindle 1) tak memiliki banyak keistimewaan. Halaman bergerak perlahan diiringi layar yang kurang jernih. “Hal pertama untuk dicatat adalah layarnya tidak seperti membuat kita membaca kertas beneran,” kritik Joseph Weisenthal yang menulis di paidContent.org. “Tidak terang dan memantul jika ada cahaya yang langsung menyinarinya,” lanjutnya.

Banyak ulasan yang mengritiknya habis-habisan. Beruntung, Kindle 1 diapresiasi sang ratu talk show, Oprah Wifrey yang justru menyatakan bahwa dia terobsesi dengan alat ini. “It’s absolutely my new favorite, favorite thing in the world. It’s life-changing for me,” katanya. Bezos pun selamat.

Saat Kindle 1 meluncur, sebetulnya sudah ada produk yang mendahuluinya, Sony Reader. Begitu mengetahui kritik mengalir deras ke arah Kindle 1, Sony segera menggenjot produknya. Tapi malang, lantaran produknya tidak jauh lebih berkualitas, upaya raksasa Jepang itu menemui batu karang. Sebelum Natal 2007, meski diiringi kritikan di sana-sini, Kindle laris manis.

Meluncur lebih dulu dibanding Kindle, Sony Reader yang dibandrol US$ 279 memiliki kelemahan mendasar: menyaratkan penggunanya menghubungkan alat itu ke komputer saat ingin mengunduh buku. Wireless connectivity yang diberikan Amazon untuk para pemilik Kindle, membuat Sony Reader yang sebetulnya pioner langsung terlihat ketinggalan jaman, tampak menjadi produk usang.

Toh kemenangan atas Sony tak membuat Bezos berpuas diri. Apalagi kritik terhadap Kindle 1 membuat matanya terbuka betapa produknya masih menyimpan banyak persoalan. Lantaran itulah dia memacu inovasi-inovasi baru yang kemudian diwujudkan lewat Kindle 2 dan Kindle DX yang lebih berkualitas.

Dan faktanya, pasar mengapresiasi revolusi pasca Guttenberg ini dengan baik. Citigroup melaporkan penjualan Kindle telah tembus 500 ribu unit. Saking suksesnya, Barclays Capital memprediksi nilai penjualan produk ini mencapai US$ 3,7 miliar pada tahun 2012 dan memberi laba bersih sedikitnya US$ 840 juta. Nilai itu berarti hampir 20% dari total penjualan dan laba Amazon saat ini. Dengan kinerja yang ada, tak mengherankan bila Bezos menulis kepada para pemegang sahamnya dengan nada penuh kebanggaan: “Kindle sales have exceeded our most optimistic expectations.”

Pasar bukan hanya mengapresiasi dengan baik. Kindle bahkan telah melahirkan banyak orang yang kesengsem dengannya sehingga mengatakan “I love my Kindle”, dan menuliskannya di situs Amazon. “If I dropped my Kindle down a sewer, I would buy another one immediately,” ujar pemilik yang lain. Kepada mereka dan para pengguna Kindle, Bezos selalu menyapa begitu produk ini dihidupkan. “Kindle is an entirely new type of device, and we’re excited to have you as an early customer!

Banyak kalangan melihat Bezos berada pada posisi yang tepat untuk meraup sukses dari penjualan alat yang spektakuler ini. Sebab, sebagai hipermarket online terbesar, khususnya yang menjual buku, dia memiliki keunggulan dibanding Sony yang sekedar menjual produk elektronik. Lewat Kindle, Bezos telah mengikat para pengunjung dan pembeli buku di Amazon dalam satu wadah.

Namun, lazimnya bisnis, kesuksesan selalu mengundang perusahaan lain menirukan langkah serupa. Kesuksesan Kinde bukan hanya memicu Sony memperbaiki produknya, tapi juga melahirkan pemain-pemain baru. Yang akan segera terjun adalah penerbit Hearst, Hewlett-Packard, demikian juga Apple yang dikabarkan tertarik memasuki pasar sejenis. Dan bila mereka benar-benar merealisasikannya, maka sayonara pantas untuk diucapkan pada buah karya Guttenberg.

Sementara menunggu itu terjadi, masyarakat dunia layak berharap semoga Kindle yang kini baru bisa dinikmati sebatas di AS, akan segera melebarkan pasarnya ke seluruh penjuru bumi.