Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, June 2, 2011

Mencetak para Advocates

Tak perlu dana besar dalam aktivitas WOM. Terlebih di era media sosial seperti saat ini. Terpenting adalah kreativitas yang menimbulkan personal experience yang mengesankan.

Jeff Bezos punya kalimat menarik tentang kekuatan word of mouth (WOM). "Kalau Anda ingin membangun great experience, biarkan pelanggan saling memberitahu satu sama lain,” katanya. Itulah sebabnya, bos Amazon ini sepenuhnya percaya bahwa WOM lebih hebat dibanding iklan televisi yang mahal sekalipun.

Apa yang diyakini Bezos, beberapa bulan lalu mendapat validasi. Studi Loyalty One mencatat bahwa 26% konsumen di AS lebih senang memberi tahu keluarga, teman dan rekan kerja tentang pengalaman buruk mereka saat bersentuhan dengan sebuah produk atau jasa. Mereka ini kemudian dijuluki “Madvocates”, orang yang senang menceritakan hal negatif tentang suatu produk atau jasa. Sebaliknya, studi itu juga mencatat bahwa hanya 31% yang aktif sebagai “Advocate”, mempromosikan kebaikan atau keunggulan sebuah produk dan jasa. Selisih antara madvocate dan advocate itu begitu tipis.

Perusahaan apapun, tentu saja menginginkan sebanyak mungkin advocate ketimbang madvocate. Bagaimanapun, penyampai kabar baik ke konsumen lain akan lebih bermanfaat ketimbang mereka yang menyuarakan warta nan buruk, terlebih menghasut untuk menjauhi suatu produk dan jasa. Itulah sebabnya banyak perusahaan mencoba menciptakan lebih banyak advocates lewat beragam cara: mengundang blogger, membuat laman fans di Facebook, dsb.

WOM kini semakin kerap menjadi andalan. Apalagi bagi perusahaan skala global yang tengah membuka pasar baru di tengah persaingan yang sesak. Contohnya McDonald’s di tanah China. Di negeri ini, Yum! Brands lewat jaringannya, KFC, boleh dibilang adalah jagoannya. Untuk menembus barikade yang ketat, McDonald’s memanfaatkan kekuatan WOM. Maret tahun lalu, McDonald’s membuat gebrakan. Jaringan cepat saji ini mengundang orang-orang yang memiliki kupon diskon chicken wings dari semua restoran di China – termasuk dari KFC – untuk membeli McSpicy Wings di gerai-gerai McD. Hanya dalam waktu 4 minggu, lebih dari 2 juta orang mendatangi gerai McD untuk mendapat McSpicy Wings. Promosi ini mendongkrak penjualan 10% dalam sebulan.

Bukan hanya perusahaan besar yang melakukan WOM untuk mendongkrak penjualannya, perusahaan skala kecil pun demikian. Kasus Gevalia misalnya. Perusahaan kopi yang berasal dari Swedia ini menggunakan metode WOM untuk mendongkrak penjualannya. Lebih tepatnya: menggunakan media sosial untuk menciptakan crowd and conversation (keriuhan dan perbincangan) di masyarakat.

Ceritanya begini: sebagai perusahaan kopi, Gevalia adalah perusahaan yang bersifat direct to consumer. Produknya tidak dijual di rak, hanya melalui direct mail atau print ad. Di tengah pelanggan yang beranjak menua, manajemen merasa perlunya melakukan transformasi. Tahun 2009, situs Gevalia.com dibenahi sebagai landing page. Setelah itu, Kinetic Fin, sebuah agensi periklanan disambat. Tugasnya: menciptakan story tentang Gevalia kepada publik. Facebook dan Twitter pun digunakan. Dibuat laman dan akun untuk para follower.

Ketika media sosial digunakan, tujuan utama Gevalia adalah ingin mengetahui seperti apa sih voice of the customer. Selama ini, sebagai perusahaan direct mail, apa yang menjadi aspirasi konsumen kurang tereksplorasi. Era baru harus dibuat. Perusahaan kopi ini ingin tahu apa yang sesungguhnya diinginkan pelanggan. Ingin tahu posisi mereka di mata konsumen. Lewat media sosial, Gevalia pun mulai mendengar percakapan dari kerumunan khalayak. Isu penting yang dilempar sebagai bahan perbincangan adalah: apa makna kopi bagi Anda?

Insight yang didapat cukup menarik. Konsumen tak menyebut makna kopi yang berasosiasi dengan biji kopi atau bahkan nama besar macam Starbucks. Jawaban mereka: kopi adalah pusat dari kehidupan manusia.

Maka muncullah ide: menciptakan produk kopi yang namanya diserahkan ke konsumen untuk menentukannya. Sebuah story pun dirangkai. Lewat media sosial, dijalinlah cerita mulai dari proses pengolahan kopi hingga cara memilih kopi yang nikmat. Para taster dan blogger pun diundang untuk mencicipi. Mereka diundang dengan harapan akan menceritakan pengalamannya ke masyarakat luas. Langkah berikutnya adalah kompetisi di Facebook. Fans diajak untuk mengusulkan nama bagi kopi yang akan diproduksi. Nama yang paling banyak disukailah yang dipilih.

Sedikitnya 4 ribu nama untuk kopi diusulkan lewat Facebook. Kontes ini menjadi salah satu kontes terpopuler di ranah maya pertengahan 2010. Dari sebuah merek yang sunyi, media sosial telah menolong Gevalia menciptakan keriuhan di masyarakat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Maklum, merek ini tidak tersedia di toko, maka sangat sulit untuk mendengar apa yang diinginkan pelanggan atau apa yang mereka pikir tentang merek.

Cara yang ditempuh Gevalia, menurut Vanessa Davey adalah cara yang ampuh di dunia WOM sekarang ini: menggunakan media sosial dan membuat sebuah cerita. Lewat artikelnya, Use Case Studies to Increase Word of Mouth Marketing (23 Mei 2011), Vanessa menyatakan bahwa untuk meningkatkan WOM, perusahaan bisa menempuh beberapa cara. Salah satunya adalah dengan menciptakan sebuah cerita terkait dengan satu produk atau jasa. Dengan sebuah cerita yang melibatkan pelanggan, maka akan terbentuk personal experience yang mengesankan. “Setiap orang menyukai cerita. Cerita memberikan warna, menggugah emosi, dan tak lekang ditelan waktu,” katanya.

Hal penting dalam membuat WOM yang bisa didapat dari kasus McDonald’s dan Gevalia di atas abhwa setiap merek, sesungguhnya mempunyai advocates yang bila disentuh dengan pendekatan yang tepat, mereka akan menciptakan keriuhan dan perbincangan di publik. Dan pendekatan di sini kerap kali tak memerlukan dana yang besar. Yang penting adalah kreativitas yang seperti disinggung Vanessa: membentuk pengalaman personal yang mengesankan.

Dalam konteks ini JetBlue adalah contoh yang relevan. Pada Maret tahun lalu, dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke-10, maskapai low cost ini melakukan WOM lewat beragam kanal. Salah satunya adalah lewat experience.jetblue.com yang menceritakan pengalaman terbang bersama JetBlue. Komentar terpilih akan mendapat tiket gratis.

Kampanye model begini, ungkap Fiona Morrisson, Direktur Merek dan Iklan JetBlue didesain untuk membuat sebanyak mungkin orang menceritakan maskapai ini. "Kami ingin pelanggan menggunakan kata-kata positifnya untuk membawa cerita mereka tentang JetBlue ke publik,” katanya.

Cara lain yang ditempuh JetBlue adalah menciptakan keriuhan di Manhattan lewat program ulang tahun berhadiah tiket. Di beberapa titik di Manhattan, maskapai ini mengundang siapa saja yang berulang tahun sama dengan JetBlue (8 Maret) untuk menukarnya dengan tiket terbang gratis. Hanya dalam sehari, sekitar 400 orang merubung, membawa kartu identitas, dan tersenyum dengan tiket di tangan.

Masih dalam rangkaian ulang tahun adalah program “US$10 'last minute' flights” yang dijual pada 11-12 Mei. Manajemen burung besi ini mengirim email blast ke frequent flyer berbarengan dengan posting di Facebook serta Twitter yang menceritakan program ini. Hanya dalam waktu singkat, tiket pun ludes terjual.

Banyak orang yang langsung tersentuh dengan program-program yang dijalankan JetBlue. Mereka terkesan dengan kreativitas yang menciptakan engagement dengan konsumen di level yang sangat dalam.

Dengan caranya yang tampak sederhana, seperti juga McD serta Gevalia, JetBlue menunjukkan bahwa jalan menciptakan WOM sangat terbuka lebar. Terlebih di era media social seperti sekarang. Lewat teknologi yang murah meriah, perusahaan bisa memanfaatkan mobile devices yang ada dalam genggaman tangan konsumen sebagai peranti pemasaran yang luar biasa untuk mencetak sebanyak mungkin advocates. Sebaliknya, lewat media sosial pula seorang pelanggan yang kecewa bisa menjadi madvocates dengan mengungkap kejelekan produk atau jasa yang digunakannya. Melihat dua sisi ini, tak ayal, perusahaan harus pandai-pandai mencetak advocates sebanyak mungkin, dan menjinakkan para madvocates agar tidak berkembang semakin liar dan kalau bisa malah mengubahnya menjadi advocates.

Bila situasi terakhir yang dihadapi, Jim Sullivan, mitra di lembaga konsultan Colloquy, memberikan beberapa saran. Pertama: menciptakan trialogue antara merek dengan konsumen, dan antara konsumen dengan konsumen. Kedua: melibatkan konsumen dalam program WOM. Ketiga: bergerak dari pemikiran sekedar “menawarkan insentif” menjadi “menyediakan layanan”. Tentunya yang mengesankan.

Tapi tentu saja cara yang ditawarkan Sullivan adalah jalan terakhir. Sebelum muncul situasi buruk, libatkanlah konsumen dalam program WOM, dan berikan pengalaman tak terlupakan. ***