Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, March 12, 2016

Belajar dari Game of Thrones

Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Game of Thrones (GoT)?

Saya tak akan membahas sisi filosofisnya, juga pertarungan politik yang penuh intrik memikat. Saya akan melihat dari sisi marketing, khususnya word of mouth.

Mari kita flash back dulu.

MENYIMPAN MISTERI

Adegan Jon Snow yang tergeletak bersimbah darah setelah ditikam lebih dari 10 anak buahnya di malam yang gelap dan dingin masih membayang pada sebagian orang yang menyaksikan episode terakhir film Game of Thrones (GoT) Season 5, Juni tahun lalu. Bagaimana tidak, Jon sang pemimpin Night’s Watch yang sejak awal memancing simpati penonton lantaran memiliki karakter yang baik – berjiwa pemberani dan penolong – ternyata mesti bernasib tragis seperti saudara tirinya, Robb Stark: tewas mengenaskan karena pengkhianatan. Tikaman belati membuatnya rebah.

Jon Snow yang bersimbah darah, menyimpan misteri

Kendati telah lewat beberapa bulan setelah film seri itu usai, tak sedikit yang masih membicarakan serial drama fantasi yang diadaptasi dari novel fantasi "A Song of Ice and Fire" karya George R. R. Martin itu. Tapi tentu saja pembicaraan tertinggi terjadi saat episode terakhir berjudul Mother’s Mercy itu tayang. Terutama di linimasa Twitter. Mereka menyoroti tewasnya Jon. Rasa kecewa, sedih, marah dan terkejut, bercampur aduk. Bagaimanapun, Jon adalah salah satu tokoh favorit para penggemar.

Memang sukar dipungkiri, GoT telah menjadi kesuksesan fenomenal. Saat Mother’s Mercy tayang, di AS penonton melonjak hingga 8,1 juta orang. Itu adalah jumlah pemirsa terbanyak sejak serial ini tayang pertama kali pada 2011. Sebelumnya, penonton terbanyak adalah pada episode terakhir Season 4 (2014) yang meraih 7,14 juta penonton.

Sungguh, kesuksesan ini belum terbayangkan sebelum pembuatan film ini. Ya, sewaktu David Benioff dan D. B. Weiss mengutarakan keinginan mereka pada George R. R. Martin untuk mengadaptasi novelnya buat tayangan televisi, sang novelis sendiri menyatakan keraguannya. Menurutnya, cerita yang ingin diangkat sangatlah kompleks sehingga tidaklah mudah untuk menayangkannya di televisi. Bagaimana tidak kompleks, kisah ini melibatkan 7 keluarga bangsawan dengan simbol-simbolnya sendiri yang unik, 4 agama yang berbeda, juga 14 bahasa. Sangat kolosal. Bagi Martin, tampak agak sulit untuk mengerjakannya.

Namun Benioff dan Weiss bukanlah tipikal penakut. Mereka seperti pemegang prinsip berikut: winners never quit, quitters never win. Mereka percaya semua kompleksitas itu bisa diadaptasi dan dipindahkan ke televisi. Akhirnya Martin pun luluh. Pada 17 April 2011, GoT Season 1 tayang di AS.

Musim pertama ini langsung sukses. GoT mampu menarik 2,2 juta penonton. Setelah itu, sejarah mencatat tayangan ini terus merebut hati pemirsa, bahkan bukan hanya di AS, tapi menjadi sensasi global.

Memang, pembuatan GoT sangatlah mahal. Anggaran tiap episodenya sedikitnya mencapai US$ 6 juta, dan mencapai US$ 60-70 juta setiap season. Yang membuat mahal, selain kostum yang unik, lokasi shooting-nya pun eksotis. Di Eropa mereka mengambil gambar di Irlandia, Malta, Kroasia, dan Islandia, sementara di Afrika mereka mengambil lokasi di Maroko. Lokasi-lokasi yang sungguh memanjakan mata pemirsa. Adapun untuk GoT season 6, kebanyakan mengambil tempat di Irlandia.

Melonjaknya jumlah penonton dari musim ke musim, pada gilirannya juga melahirkan keuntungan bagi produsennya, HBO. Mereka menerima limpahan materi seiring popularitas yang melonjak. Keuntungannya berkali-kali lipat dari biaya produksi setiap season. Tak ayal, GoT menjadi ladang emas yang luar biasa. “Mungkin tak ada tayangan yang paling menguntungkan bagi jaringan televisi melebihi GoT bagi HBO. Memproduksi penuh film ini, lalu menjadi fenomena global setelah satu musim, adalah pertaruhan yang terbayar dengan mengesankan,” tulis majalah Variety.

Keuntungan ini makin berlipat begitu melihat produk turunannya juga dijualbelikan, mulai dari DVD hingga pernak-pernik merchandise. "HBO punya pasar DVD dan produk online yang hebat,” ungkap Jon Lafayette, editor bisnis di Broadcasting & Cable. Di website-nya, HBO menawarkan produk-produk kaos dan replika terkait GoT seharga dari US$ 12-700, termasuk replika tahta besi, Iron Thrones yang menjadi biang sengketa dalam kisah GoT.

Tentu saja ada selalu rahasia di balik kesuksesan sebuah produk. Lantas, apa yang membuat GoT begitu luar biasa?

WOMM YANG HEBAT

Gaya story telling yang menarik, salah satunya. Pertempuran 7 Great Houses (keluarga besar) di benua fiksi Westeros & Essos untuk menduduki tahta besi The Iron Throne di ibukota Westeros yaitu King's Landing memang menjadi pusaran cerita ini. Dalam upaya perebutan itu, digambarkan bagaimana pengkhianatan, peperangan, intrik, hingga cinta terlarang melumuri episode demi episode. Tapi akhir cerita yang menegangkan dari tiap episodelah yang membuat banyak penonton jatuh hati. Sebab, sejak awal penonton disuguhi kejutan demi kejutan di episode pamungkas. Penonton selalu menunggu-nunggu akhir episode dengan satu pertanyaaan: “Who will die next?” Ya, siapa lagi yang akan meregang nyawa?

Itu dari sisi gaya story telling. Akan tetapi, pemasaran yang menarik menjadi salah satu faktor utama yang membuat word of mouth marketing (WoMM) luar biasa sehingga produk ini begitu laris.

Ya, belajar dari GoT, storyline yang hebat kini tak cukup untuk sukses. Perlu strategi pemasaran yang hebat pula, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Itulah yang dilakukan HBO untuk GoT. Sejak merilis season pertama, HBO aktif melakukan kampanye pemasaran untuk melahirkan gelombang WoMM tentang pertempuran memerebutkan Iron Throne. HBO memromosikannya lewat seluruh kanal, mulai dari media cetak, elektronik, dan yang paling massif adalah media sosial.

Media sosial menjadi bagian penting dari kesuksesan kampanye pemasaran GoT. HBO telah melakukan pekerjaan fantastis dalam mengintegrasikan pemirsa dengan kampanye pemasarannya. Seluruh kanal media sosial popular dimanfaatkannya. Di Facebook, umpamanya. Mereka membuat laman Facebook yang mengombinasikan beragam konten untuk menarik para pengunjung datang secara konsisten. Sewaktu Season 5 akan tayang, apa yang di-posting adalah cuplikan filmnya (materi promosi) diiringi real-life media (wawancara di atas karpet merah dan liputan majalah), begitu juga dengan merchandise-nya. Tak ketinggalan, juga menampilkan model user generated content (kebanyakan dalam bentuk cosplay dari para fans) yang mungkin terbilang aktivitas pemasaran paling brilian karena melibatkan para penggemar.

Di ranah Twitter, kontennya juga beragam, dengan menampilkan sejumlah scene. Komentar fans juga di-retweeted. Tak heran saat itu ada lebih dai 2,6 juta follower yang mengikuti akun resmi GoT (sekarang 3,08 juta). Di media ini, HBO memanfaatkan salah satu kekuatan Twitter yakni hastag (tagar) dan piawai memainkannya. Jumlah tagar yang diluncurkan cukup banyak. Diantaranya: #GoTSeason5; #GameofThronesSeason5; #TheWarsToCome; dan #CatchDrogon.

Di Google+ mereka juga bermain. Namun sepertinya kanal ini tidak terlalu menarik pengunjung dan follower. Hal yang sama juga terjadi di Instagram. HBO juga memanfaatkannya kendati tidak terlalu nge-joss. Berbeda dengan di YouTube. Selain di Twitter, di YouTube-lah produk ini begitu digdaya.

Belakangan, HBO menggunakan Vine untuk membangun gelombang WoMM atas film seri ini. Trailer yang ditampilkan lewat Vine membetot minat banyak orang sehingga GoT pun makin “panas” sebelum ditayangkan. Penonton, atau calon penonton dibuat kian penasaran.

Dari apa yang terjadi pada GoT, Vine juga bisa dinyatakan sebagai medium pemasaran yang kuat serta efektif dengan impak yang masif untuk kesuksesan film ini. Layanan Vine membuat orang mudah untuk memfilmkan serta mengedit ringkas untuk kemudian di-share ke beragam platform. Intinya, HBO kreatif dalam mengintegrasikan media sosial ke dalam kampanye pemasarannya.

Menariknya, HBO tak melupakan media cetak untuk menimbulkan hype di jagat pemasaran. Di New York Times, siluet naga peliharaan Daenerys Targaryen membuat pikiran para pembacanya menari-nari tentang salah satu naga kesayangan wanita berambut putih-perak ini. Buktinya, setelah promosi ini muncul, orang terpancing untuk menyebarkannya lewat Reddit, Imgur, Twitter dan Facebook.

Word of mouth generates more word of mouth. Itulah hukum yang terjadi. Dan HBO benar-benar piawai memanfaatkan aset cetak dan digital untuk menimbulkan efek WoMM. Bahkan karena saking ramainya orang membicarakan film ini, yang tak punya TV kabel pun kerap mendengar apa itu Whitewalkers yang dingin, menakutkan, kejam dan mendatangkan horor. Atau tokoh-tokoh lain seperti Daenerys Targaryen si cantic pemilik tiga naga, si kerdil Tyrion Lannister yang cerdik, dan Peter Baelish yang licik. Begitu juga merananya nasib putra-putri Eddard (Ned) Stark: Robb, Jon Snow, Sansa, Arya, Bran dan Rickon Stark.

Bagi pemerhati pemasaran, GoT adalah contoh terintegrasinya pemasaran yang menimbulkan efek WoMM yang hebat. Ke depannya, popularitas film ini diprediksi masih akan terus melejit. Dan sebagai bisnis, produk-produk turunannya pun masih melaju. Maklum, GoT telah melahirkan banyak fans fanatik. Beberapa waktu lalu, sebagian dari mereka bahkan melakukan tur ke beberapa lokasi di Dubrovnik yang digunakan untuk GoT Season 5.

Pada akhir GoT Season 5, ditegaskan GoT Season 6 akan tayang kembali pada tahun mendatang sebagai musim keenamnya. Dan kini, pada 24 April 2016, HBO menyebut film ini akan tayang kembali.

MELANJUTKAN POLA LAMA

Menyambut GoT Season 6, HBO sendiri tampaknya terus memanfaatkan gaya pemasaran ini untuk memunculkan WoMM yang hebat. Dalam beberapa spoiler, di Facebook dan YouTube, sudah dimunculkan sejumlah adegan yang membuat orang semakin tak sabar untuk segera menontonnya.

Melihat dari trailer, jawaban atas misteri Jon Snow tetap berlanjut sekalipun pemerannya, Kid Harrington di Daily Mail mengonfirmasi dia ikut syuting. Anggota keluarga Stark lainnya, dipastikan hadir. Bran bahkan berada bersama musuh paling menakutkan di serial ini, White Walkers. Sementara Sansa Stark lolos dari maut bersama Theon Greyjoy saat loncat dari kastil. Adapun Arya Stark tetap buta.

Sansa Stark dan Theon Greyjoy,selamat setelah meloncat dari kastil

Sansa Stark, tetap buta

Sejauh ini, cara WoM yang seperti edisi sebelumnya juga telah ditempuh oleh HBO. Diantaranya mengeluarkan tagar #GameofThronesSeason6 di Twitter. Begitu pula di laman Facebook. Cuma memang belum terlalu panas. Tapi ini bisa dimengerti. Biasanya, viral itu memanas begitu filmnya tayang. Komentar para penonton yang puas atau kecewa akan segera terlontar menjadi viral.


Jadi, bagaimana dengan Jon Snow?


HBO masih menyimpannya. Tapi kuat dugaan, Jon dimunculkan karena tekanan penggemar. Saat akhir GoT 5, Kid Harrington berujar, "Saya tidak menyangka kematian Jon ada di episode 5. Saat ini saya hanya bisa mengatakan bahwa karakter peranan saya telah mati dan tak akan hidup lagi. Jadi, saya tidak akan kembali di musim berikutnya.” Nah... ini mirip Sherlock Holmes yang dulu dihidupkan lagi oleh Arthur Conan Doyle karena permintaan penggemar.

Menariknya, gambar Jon Snow ini jadi salah satu cover GoT season 6. HBO tampaknya tahu benar, memang ini yang ditunggu-tunggu penggemar GoT. Maklum, orang memang selalu butuh pahlawan...

Poster HBO dengan wajah Jon Snow yang misterius

Well... apapun jalan ceritanya nanti, GoT adalah contoh fenomenal dalam WoMM. Dan terkait film tersebut, tokoh serta pemeran boleh pergi, tapi penonton pastinya terus menanti: who will die next?

Tuesday, March 1, 2016

Sepak Terjang Bisnis Mr. JC

Dia bukan hanya piawai main kung fu dan acting di layar lebar. Dunia bisnis pun ditekuninya. Pemahaman akan positioning serta diferensiasi menjadi kuncinya menggemukkan pundi-pundi uang.

MERENTANGKAN BISNIS

Beijing, 27 Mei 2015. Dengan senyumnya yang khas, lelaki 61 tahun ini resmi mendirikan sekolah film dan televisi di China. Nama sekolahnya: The Jackie Chan Film and Television Academy. Berlokasi di Wuhan, sekolah ini menawarkan sejumlah studi, mulai dari akting hingga animasi. “Ini (meresmikan sekolah film dan televisi) adalah impian lama saya,” katanya.

Ya, dialah Jackie Chan. Dan peresmian sekolah ini seakan mempertegas posisinya sebagai bukan bintang film biasa. Seperti diungkap Forbes, lelaki kelahiran Hong Kong tahun 1954 ini tak sekedar piawai bermain kung fu dan mencetak film box office, tapi juga memutar pundi-pundi uangnya.

Khusus untuk kemampuan aktingnya, selama 2014 Jackie ditaksir meraup US$ 50 juta, lebih banyak dibanding aktor lain di dunia selain Robert Downey Jr. (US$ 80 juta). Dalam Forbes Celebrity 100, Jackie menempati posisi 38, di belakang Tiger Woods. Forbes juga menaksir kekayaannya mencapai US$ 350 juta. Dan yang menarik, kekayaannya bukan cuma didapat dari honor main film. Di luar sekolah film dan televisi yang baru diresmikannya itu, Jackie mengendalikan sejumlah bisnis yang terentang lebar mulai dari pakaian, restoran, kafe, distribusi Segway, gym, bioskop, sekolah stuntmant, dan coklat serta gandum bergizi tinggi. “Jackie Chan adalah Mickey Mouse-nya budaya China, seorang selebritas yang hadir di mana-mana,” puji Grady Hendrix, co-founder New York Asian Film Festival.

Jackie Chan saat peresmian The Jackie Chan Film and Television Academy

Di jagat film, kiprah lelaki yang juga disebut Chéng Lóng ini tentu bukan hal asing. Film-filmnya mengalir setiap tahun dan kerap laris manis. Filmnya yang terbaru, Dragon Blade yang juga dibintangi Adrien Brody serta John Cusack bahkan sudah meraih sukses besar di China dengan pendapatan kotor US$ 120 juta. Perolehan ini diprediksi akan kian gemuk begitu dirilis di AS dan pasar global.

Ciri khasnya yang dikenal luas yakni tak mau diganti oleh stuntman untuk adegan-adegan berbahaya serta plot film yang memadukan unsur komedi, telah membuat filmnya banyak disukai. Namun, seperti disinggung di atas, Jackie adalah aktor cum pebisnis jempolan. Dia tak cuma jago di depan kamera dengan gayanya yang kocak. Lalu, apa kunci suksesnya dalam berbisnis?

Kuncinya ada pada pengambilan positioning dan diferensiasi. Sadar dirinya punya citra sebagai bintang film yang identik dengan bela diri (sportif) serta hidup sehat, Jackie menjual citra tersebut, yang kemudian diwujudkan dengan umbrella brand “JC”. Inisial namanya ini dimanfaatkan sebagai payung dari portofolio bisnisnya. Dan dia punya keinginan besar dari langkahnya ini. “Dia ingin menjadi total lifestyle branding,” terang Bon Ng, orang yang diminta Jackie mengurusi pengembangan mereknya.

Tapi bukan berarti bisnisnya meluncur mulus begitu saja. Sejatinya, Jackie telah memulainya 20 tahun lalu, tapi saat itu dia belum pandai berbisnis. Bisnisnya berjalan bagai siput. Namun seiring bergulirnya waktu, lambat tapi pasti Jackie tahu cara mengkapitalisasi citra dirinya sebagai sosok yang sportif dan sehat dengan mengekstensikan personal branding-nya. Salah satunya adalah tempat gym “Jackie Chan Signature Club”, hasil kemitraan dengan California Fitness, klub kesehatan dari AS yang beroperasi 24 jam. Lalu, “Jackie’s Kitchen” yang tersebar di Korea Selatan, AS, serta Australia. Resto ini menyajikan sushi, aneka mi dan dim sum.

Kelincahannya dalam berbisnis tak bisa dilepaskan dari kecerdasannya dalam membangun karir di layar lebar. Sebelum terjun total di dunia film, Jackie belajar di sekolah seni bela diri dan akrobat di Hong Kong. Guru-gurunya adalah para master kung fu yang tak kenal belas kasih. “Anda berbuat salah, semua orang kena pukul,” dia mengenang. Ini mendidiknya untuk menghindari kesalahan sekecil apapun.

Begitu terjun ke layar lebar, tantangan besar Jackie dalam membangun karir adalah bagaimana dia membedakan dirinya dari sang legenda, Bruce Lee. Saat ikut main dalam film Bruce Lee, Fist of Fury (1972) dan Enter the Dragon (1973), Jackie bukanlah siapa-siapa. Dalam kedua film itu, dia hanya menjadi stuntmant.

DIFERENSIASI

Kematian Bruce Lee pada 20 Juli 1973 membawa berkah terselubung buat Jackie. Karirnya terbuka, bukan lagi sebagai stuntmant, tapi pemeran utama. Tahun 1976, dia membintangi film berjudul New Fist of Fury. Sayang, film ini jeblok. Penonton tak menyukai gaya Jackie yang diminta sang sutradara memainkan cara bertarung ala Bruce Lee. Rupanya sang sutradara merasa gaya Bruce Lee masih laku dijual.

Terobosan karirnya terjadi saat Jackie membintangi film Snake in the Eagle’s Shadow (1978). Kali ini sang sutradara, Yuen Woo-ping mengijinkannya bermain tanpa pemeran pengganti. Bukan hanya itu, Jackie juga dimintanya menampilkan gaya kung fu yang penuh komedi.

Rupanya ini memberikan angin segar bagi dunia film kung fu yang biasanya serius serta beberapa tahun didominasi gaya Bruce Lee yang kaku. Dan titik terang gaya ini kian terlihat begitu Jackie menjadi pemeran utama Drunken Master (1978) sebagai Wong Fei-hung. Jackie pun menjadi bintang baru selepas era Bruce Lee.

Kelak, kesuksesannya ini melahirkan kalimat yang terkenal darinya. I never wanted to be Bruce Lee. There’s only one Bruce Lee, no second Bruce Lee. I just wanted to be Jackie Chan, I wanted to be me.”

Dewa Mabuk yang mengangkat pamor Jackie

Dari sinilah Jackie terus mengembangkan gayanya sendiri yang berbeda dari sang legenda yang seringkali dibandingkan dengan dirinya. Sementara Bruce Lee dikenal luas karena gerakan yang cepat dan penuh presisi, Jackie justru belajar bagaimana Charlie Chaplin dan komedian AS, Buster Keaton membangun rasa humor. Salah satu yang diambil dari mereka adalah pendekatan slapstick. “Saya ingin setiap orang mengikuti saya. Saya tak ingin mengikuti setiap orang,” kata Jackie menegaskan dirinya yang memahami arti positioning dan diferensiasi.

Dua hal ini (positioning dan diferensiasi) yang makin melambungkan namanya adalah dalam setiap filmnya dia tidak diganti stuntman. Berlompatan diantara gedung menjadi trademark-nya. Tak heran, tulang patah pun menjadi hal yang biasa. Dia bahkan hampir mati saat jatuh dari pohon di Yugoslavia di tahun 1986 saat syuting film Armour of God yang ditulis, dibintangi sekaligus disutradarainya. Ciri lain, tentu saja komedi segar di sela-sela adu jurus kung fu.

Puas berlompatan di layar lebar, naluri bisnisnya terlecut begitu melihat tanah leluhurnya bergerak lebih dinamis. Sewaktu China membuka diri di tahun 1990-an, mulailah Jackie mencari peruntungan di sektor bisnis di negeri itu. Dia meluncurkan kafe dan gymnasium. Dia bahkan meluncurkan Jackie Chan Design yang terakhir punya lebih dari 400 item berbeda mulai dari botol air hingga jam tangan yang semuanya distempel “are designed exclusively by Mr. Jackie Chan”. Oh ya, bila Anda tergelitik ingin melihatnya, bisa mengakses laman ini: jackiechandesign.com.

MEMBACA SITUASI

Tanah China memang menjadi titik awal bisnis lelaki yang murah senyum ini. Dan bisa dikatakan itu tak terlepas dari nasionalismenya. Tak seperti Arnold Schwarzenegger, yang meninggalkan Austria untuk menjadi benar-benar Amerika, Jackie justru selalu melihat ke China. Dia bukan manusia tipikal kacang lupa kulit. Dia bahkan terikat dengan fansnya di Negeri Panda. Bukan hal asing untuk melihatnya wara-wiri ke Hong Kong. “Saya ingin menjadi Robert De Niro atau Dustin Hoffman-nya Asia,” katanya satu waktu. Jackie benar-benar tak ingin tercerabut dari akarnya.

Namun, nasionalisme hanyalah satu sisi. Bisnisnya membesar lantaran pria yang kerap berambut poni ini juga piawai membaca situasi. Mengetahui bisnis di China tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, Jackie pun luwes bermain. Dia dekat dengan kalangan pemerintahan.

Kedekatannya dengan otoritas China membawa hasil. Dia bahkan direkrut untuk menjadi duta Olimpiade Beijing 2008. Melihat peluang bisnis yang besar, Jackie pun memindahkan operasinya dari Hong Kong ke Beijing. Dan begitu tinggal di Beijing, dia tahu pusat industri perfilman China memang benar-benar dikontrol pemerintah.

Untuk menaklukkan itu, dia tahu senjata rahasianya: keanggotaan di Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China. Lembaga negara ini punya pengaruh besar. Diantaranya memberi lampu hijau untuk film-film yang dirilis di China.

Industri film di China adalah bisnis yang menggiurkan. Bisnis ini terus meroket dari tahun ke tahun. Diperkirakan industri ini tumbuh 33% setiap tahunnya selama 5 tahun terakhir, mencetak uang hingga US$ 5 miliar. Tak heran, para pemain Hollywood banyak yang melakukan kerjasama produksi dengan perusahaan-perusahaan China, diantaranya Transformers: Age Of Extinction dan Iron Man 3 yang sukses di pasar.

Kondisi ini jauh terbalik dibanding satu dekade lalu. Tahun 1998, saat Jackie meluncurkan Rush Hour bersama Chris Tucker, film ini menjadi sukses global: meraup US$ 140 juta di AS dan US$ 100 juta di negara lain. Waktu itu, nilai di AS lebih besar daripada negara lain. “Box-office di AS adalah box office di seluruh dunia,” kenang Jackie.

Tapi saat ini angkanya seringkali terbalik. Nilai penjualan di China bias lebih besar dibanding negara lain. Jangan heran, ada sekitar 20 ribu layar bioskop di China, dan diprediksikan akan bertambah setiap tahunnya.

Jackie jelas mengambil keuntungan dari itu. Tahun 2000, dia dan mitranya membangun Jackie Chan Yaolai International Cinema, bioskop dengan 17 layar multiplex di Beijing yang sekarang menjual 50 ribu tiket di hari libur. Dia juga melebarkan layanan J.C. Stunt Team menjadi perusahaan yang memenuhi studio Amerika dengan anggota kru dari China yang punya kemampuan bahasa Inggris yang bagus, mulai dari koordinator stunt hingga asisten sutradara.

Saat peluncuran Jackie Chan Yaolai International Cinema

Kedekatannya dengan pemerintah China kadang mengundang kritik. Tapi Jackie punya pandangan sendiri. “Apakah saya tak boleh dekat dengan Pemerintah China?” katanya balik bertanya. “Kami orang China!... Saya pikir setiap orang harus mencintai negaranya.” Dia lalu mengungkap bahwa dirinya justru ikut membantu perekonomian secara tidak langsung, diantaranya dengan merekomendasikan agar menurunkan pajak impor peralatan film. “Dan mereka (pemerintah China) mendengarkanku,” ujarnya bangga.

Selain punya pandangan sendiri, Jackie tak mau dipusingkan dengan omongan nyinyir ke arahnya. Dia terus meluncurkan bisnis demi bisnis. The Jackie Chan Film and Television Academy bukanlah aksi terakhirnya. Dalam waktu dekat, dia akan segera membuka gerai jaringan kafenya yang bernama Jackie Chan’s Java Coffee di sejumlah kota besar di dunia.

“Sekarang saya bukan hanya seorang aktor. Saya berinvestasi,” katanya. Dia tak mengungkap estimasi pendapatannya untuk tahun 2015. Namun dia mengaku bahagia bisa berspekulasi pada proyek-proyek masa depan.

Jackie jelas paham betul arti sebuah risiko. Di film, dia sudah berulang kali patah tulang lantaran tak menggunakan pemeran pengganti. Di bisnis, dia juga paham arti kemacetan sebuah bisnis. Toh dia enteng saja memandang itu semua. Dia bahkan mengilustrasikan posisinya sebagai investor tak ubahnya seorang pemilik kasino. “Saya mungkin rugi US$ 10 juta. Tapi kalau menang, mungkin meraup US$ 90 juta,” ujarnya kalem. ***



Putra Makota yang Diragukan

Dia pemalu dan tak sekharismatis ayahnya. Dia juga diragukan mampu memimpin kapal induk yang demikian besar. Namun, apakah dia memang benar-benar lemah?

ENIGMATIK

Di usianya yang menginjak 47 tahun, Lee Jae-yong adalah salah seorang figur dunia bisnis yang mendapat sorotan luar biasa. Laiknya bintang panggung, gerak-geriknya di pentas terus diamati. Namun alih-alih tatapan kekaguman, sorotan publik cenderung negatif. Ada keraguan pada dirinya. Ya, dia dipertanyakan seputar kemampuannya menjaga sekaligus memperbesar sebuah imperium bisnis raksasa dari Negeri Ginseng yang sebentar lagi jatuh ke genggamannya.

Begitulah. Setelah ayahnya, Lee Kun-hee terkena serangan jantung di tahun 2014, orang memang berpaling pada Jay – begitu Lee Jae-yong memanggil dirinya –, terlebih setelah 14 Mei 2015 saat Jay didapuk menjadi chairman dua yayasan milik keluarganya (Samsung Foundation of Culture yang mengurusi Leeum, museum keluarga pendiri Samsung, dan Samsung Life Public Welfare Foundation, yang bergerak di bidang kesehatan, terutama perawatan anak-anak dari orang tak mampu). Posisi ini diyakini menjadi tahap penting untuk benar-benar menggantikan posisi sang ayah. Di Korea Selatan, yayasan seringkali dilihat sebagai “wajah keluarga” di masyarakat.

Kalaulah orang menaruh perhatian pada Jay, janganlah heran. Maklum, Lee adalah bos besar Samsung, raksasa bisnis dari Korsel. Ibarat kapal induk, kelompok usaha ini memuat 67 bisnis besar yang terentang dari apparel, taman bermain, mesin cuci, televisi, ponsel, alat berat, hingga jasa keuangan. Lalu, dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 300 miliar, Samsung merupakan pabrikan elektronik terbesar di dunia. Artinya, ini memang bisnis yang luar biasa besar sehingga bila ambruk, menimbulkan ekses yang maha dahsyat. Dalam bahasa kerennya, too big to fall, termasuk bagi Korsel sendiri. Bagaimana tidak, Samsung menyumbang 17% GDP Negeri Ginseng.

Menimbang besarnya bisnis Samsung, maka wajarlah Jay jadi sorotan. Persoalannya, lelaki berkacamata ini amat diragukan kemampuannya menakodai biduk besar tersebut. Dan tatapan publik makin deras mengalir lantaran Samsung dalam kondisi yang tidak prima. Ya, sudah dua tahun terakhir ini sang raksasa seperti diserang flu berat. Terutama untuk bisnis smartphone-nya di bawah bendera Samsung Electronics yang bersama bisnis cip memori menjadi tulang punggungnya.

Jay, sosok penerus Samsung

Bisnis ponsel cerdas Samsung memang tengah menurun. Betul bahwa ponsel cerdasnya masih menguasai pangsa pasar global. Tapi mereka bonyok dihajar pemain-pemain lain, terutama dari daratan China, khususnya Xiaomi yang sungguh fenomenal. Pada kuartal 2/2015, Samsung masih memimpin pangsa pasar dengan menguasai 21,4%. Setelah itu menyusul Apple (13,%), Huawei (8,7%), Xiaomi (5,6%), dan Lenovo (4,7%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun, sejatinya pangsa pasar Samsung terus merosot. Di periode yang sama tahun 2014, pangsa pasarnya 24,8%. Turun dibandingkan tahun 2013 sebesar 31,9% dan 2012 (32,2%). Lebih lengkap, bisa lihat di Tabel Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015.

Repotnya, bukan hanya pangsa pasar yang digerus. Laba Samsung pun terjun sementara laba pesaing beratnya Apple malah terus merangkak naik lantaran berkutat di high-end dan begitu juga pemain-pemain China yang bermain dengan harga lebih murah.

Pada kuartal 2/2015, laba operasi Samsung Electronics hanya US$ 5,9 miliar dari total pendapatan US$ 41 miliar. Laba ini melorot dibanding periode yang sama tahun 2014 yang sebesar US$ 6,17 miliar.

Kinerja ini berkebalikan dibanding Apple. Di periode yang sama 2015, perusahaan peninggalan mendiang Steve Jobs itu mencetak penjualan US$ 49,6 miliar dan laba US$ 10,7 miliar. Performanya meningkat dibanding periode 2014 (penjualan US$ 37,4 miliar dan laba US$ 7,7 miliar).

Dengan kondisi itu, tak heran bila Jay jadi pusat perhatian. Transisi ini memang sungguh kritikal bagi Samsung. Dan sekalipun baru menjadi chairman dua yayasan keluarga, sejatinya Jay memang tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kendati kondisinya stabil, Lee (73 tahun) tak mampu berkomunikasi sehingga diperkirakan tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Jay sendiri sebelumnya berposisi vice chairman Samsung Electronics, diangkat pada tahun 2013 setelah memulai karir pada tahun 1991.


Tabel: Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015

Periode
Samsung
Apple
Huawei
Xiaomi
Lenovo
Lain-lain
Q2/2015
21,4%
13,9%
8,7%
5,6%
4,7%
45,7%
Q2/2014
24,8%
11,6%
6,7%
4,6%
8,0%
44,3%
Q2/2013
31,9%
12,9%
4,3%
1,7%
5,7%
43,6%
Q2/2012
32,2%
16,6%
4,1%
1,0%
5,9%
40,2%
Sumber: IDC, Agustus 2015


ALASAN KERAGUAN

Ada banyak alasan mengapa Jay diragukan. Sewaktu Lee Kun-hee mengambil posisi ayahnya (Lee Byung-chul) setelah sang pendiri Samsung itu meninggal di tahun 1987, orang mengenang bagaimana sosoknya. Lee dikenal visioner, tegas, kharismatis. Tak berapa lama di pucuk korporasi, Lee yang alumnus Waseda University (Jepang) dan George Washington University (AS) memproklamasikan tekadnya yang waktu itu tampaknya sulit diraih: mengubah konglomerat kelas biasa-biasa saja peninggalan sang ayah menjadi raksasa global, seperti halnya IBM atau General Electric.

Publik menilai visi Lee tak ubahnya orang yang akan akan mendaki gunung yang tinggi. Namun terbukti, Lee mampu merealisasikannya. Strateginya: berinvestasi besar pada teknologi. Tapi bukan hanya itu kunci suksesnya. Dia juga menerapkan gaya manajemen yang kuat. Di tahun 1993, misalnya, dia tiba-tiba meminta semua manajer seniornya meninggalkan seluruh pekerjaan untuk terbang ke Frankfurt, di mana dia memberikan pandangannya tentang bisnis. Selama 3 hari, Lee tak berhenti ngoceh membeberkan apa saja pandangannya buat Samsung dan apa yang mesti mereka lakukan.

Lee Kun-hee yang kharismatis

Hingga kini, tak banyak artikel, baik di media lokal ataupun internasional yang mengulas figur sang bos muda. Tulisan-tulisan di media barat malah cenderung mengulang-ulang angle yang sama: anak muda yang nada bicaranya perlahan, yang belum punya prestasi yang pantas untuk dibanggakan.

Ya, Jay memang diragukan. Saking ragunya, pernah satu waktu 50 orang fund managers, analis pasar modal dan pengamat bisnis di Korsel ditanya tentang 11 generasi penerus para chaebol di Negeri Ginseng. Hasilnya: Jay berada di peringkat 7 dalam hal leadership ability, dan posisi terakhir dalam hal legitimasi mewarisi kerajaan orang tuanya. “Yah, bagaimanapun dia kan lahir dengan sendok perak. Kami sendiri tak tahu apakah dia mampu menjalankan bisnis karena belum ada rekam jejaknya,” celetuk seorang eksekutif senior Samsung yang menolak namanya disebutkan.

Pahit, memang. Namun orang memang sering membandingkan ayah serta anak ini. Dan celakanya, mereka seperti langit dan bumi. Ketika Galaxy S6 meluncur dan gagal di pasar, misalnya, media-media Korsel menyebutnya “ini ponselnya Lee Jae-yong” karena dianggap dapat sentuhan sang putra makota yang diberi posisi Vice Chairman Samsung Electronics. Malang, ponsel ini jeblok di pasar. Aneka review yang didapat seringkali tak bikin bangga. Posisi ini berkebalikan 180 derajat dibanding prestasi sang ayah, yang meluncurkan SGH-T100 pada tahun 2002. Inilah produk hebat Samsung yang pertama, yang menjadi legenda, yang terjual lebih dari 10 juta unit. Media-media Korsel menyebutnya “ponsel Lee Kun-hee”. Dan sadisnya, mereka membandingkan kesuksesan itu dengan Galaxy S6.

SGH-T100 yang legendaris


Tentu saja komparasi ini seakan menggiring pada satu kesimpulan: Jay tak layak menggantikan ayahnya. Tapi, apakah dia benar-benar serapuh itu?

Sekalipun banyak orang meragukan kapasitas serta kapabilitasnya, sesungguhnya lelaki ini telah berupaya digembleng sang ayah untuk menjadi pemimpin yang tangguh. Lee membuat jabatan chief customer officer (CCO) Samsung untuk anaknya. Ini adalah pekerjaan yang khusus diciptakan untuk anak laki-laki satu-satunya itu – dua anak lainnya perempuan.

Sebagai CCO Samsung, Jay ditugaskan menjalin hubungan yang tricky dengan para kompetitor. Diantaranya, dia menjalin hubungan dengan mendiang Steve Jobs. Juga punya relasi yang baik dengan Tim Cook, penerus Jobs. Hubungan Jay juga baik dengan para pemilik raksasa bisnis lainnya, Google.

BERMAIN CANTIK

Jay memang bukan orator. Tapi, sekalipun dianggap tak akan mampu seperti ayahnya yang bisa bicara panjang lebar selama 3 hari kepada para direksi dan manajer, dia diasumsikan akan mampu berkonsentrasi pada isu-isu strategis yang dalam beberapa segi, justru itulah masalah yang dianggap lebih berat dibanding yang dihadapi ayahnya di tahun 1987. Sekarang, dengan karyawan hampir setengah juta di seluruh dunia, Jay dituntut mampu mengelola secara seimbang tiga hal berikut: Pertama, antara kompetisi dan kerjasama dengan para pesaing. Kedua, antara peranti lunak dan peranti keras. Dan ketiga yang lebih penting lagi, menggabungkan antara akar Samsung di Korea serta kehadirannya di pentas global.

Mari kita lihat yang pertama. Di industri elektronik dan industri berbasis teknologi lainnya, kini salah satu skil yang paling penting bagi seorang bos perusahaan yang bergelut di dalamnya adalah mengelola hubungan yang begitu kompleks dengan para pesaing. Satu waktu berkompetisi, di lain hari ber-koopetisi, sementara pada saat lain bekerjasama. Bagi Samsung, Apple bukan hanya rival paling sengit dalam menjual ponsel cerdas, tapi juga pelanggan terbesar untuk semikonduktor keluaran Samsung. Sementara itu, ponsel Samsung berjalan di atas sistem operasi Android milik Google, membuat keduanya menjadi mitra. Namun Samsung juga terus berinvestasi besar di Tizen, sistem operasi miliknya, yang disebut-sebut punya kehebatan untuk ponsel yang lebih sederhana. Hubungan yang rumit dan kompleks.

Adapun pada hal yang kedua, penjualan peranti keras serta peranti lunak bisa berjalan beriringan. Menjual ponsel cerdas tak bisa dilepaskan dengan peranti lunak di dalamnya. Pada beberapa hal, penjualan peranti lunak bahkan bisa sangat menguntungkan dengan layanan online, terlebih di era komputasi awan seperti sekarang. Apple dengan iTunes-nya telah membuktikan hal tersebut.

Di dua persoalan ini, Jay disebut-sebut justru mampu bermain cantik. Dengan Apple, misalnya. Hubungan yang baik, yang sedikit banyak dijembatani Jay telah menolong kedua perusahaan dari jerat pertengkaran yang lebih hebat atas masalah paten. Memang, Apple mendapat hampir US$ 1 miliar setelah menyakinkan juri bahwa ponsel Galaxy mencontek sejumlah aspek dari iPhone. Namun, setidaknya persoalan tidak melebar ke mana-mana. Jay bahkan hadir saat Steve Jobs dimakamkan dalam upacara yang dihadiri oleh kalangan terbatas pada 7 Oktober 2011. Sedikit banyak, ini menunjukkan kedekatan Apple dan Samsung. “Jay itu pemikir strategis. Dia tahan berjam-jam bertemu klien penting dan mencapai kesepakatan bisnis,” ujar seorang eksekutif senior Samsung memuji bosnya.

Adapun untuk hal yang kedua, bagi sejumlah pihak, Jay dianggap mampu turut melakukan keseimbangan. Di bawah Lee, Samsung telah berupaya membangun kemampuan software internal. Samsung memperkerjakan ribuan programmer. Sementara itu, Jay cenderung mengakuisisi keahlian. Beberapa waktu lalu, Samsung membeli dua perusahaan startup: SmartThings yang membuat peranti lunak yang menghubungkan sejumlah appliances (yang mengatisipasi era internet of things) dan LoopPay, layanan mobile payment.

Di dua titik ini, Jay dianggap bisa memainkan peran strategis. Hal yang sama juga diharapkan bisa dimainkannya pada persoalan yang ketiga. Memang, ini yang paling sulit: tetap mempertahankan akar Korea, dan menjadi sepenuhnya global. Mengapa sulit?

Kekuatan terbesar Samsung adalah disiplin dan loyalitas yang tertanam pada karyawannya. Begitu seorang pemimpin menentukan tujuan, karyawan berbaris untuk mencapainya. Budaya ini mudah mempertahankannya ketika Samsung masih perusahaan Korsel atau penuh dengan insinyur-insinyur Korea. Sekarang karyawan datang dari beragam penjuru dunia dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Samsung perlu menjadi organisasi yang open-minded, yang menerima kreativitas dari manapun.

Lantas, apakah Jay bisa menyelesaikan itu?

Hal yang positif, setidaknya, budaya korporasi Korea bukanlah sekonformis seperti halnya Jepang di mana ketidaksetujuan adalah tabu, ujar Mark Newman, analis di Sanford C. Bernstein, yang juga mantan karyawan Samsung. Dan Jay dengan pendidikan Barat-nya dianggap memahami hal ini dengan baik. Duda dua anak ini sebelumnya belajar sejarah Asia di Seoul National University, lalu sekolah bisnis di Keio University (Jepang) untuk kemudian mengikuti program doktroal di Harvard Business School, fokus pada e-commerce. Jay dikenal sangat fasih berbahasa Inggris dan Jepang.

Yang jelas, sesungguhnya bukan hanya menggabungkan spirit Korea di tengah perusahaan yang makin mengglobal yang dituntut dari Jay. Bahkan untuk urusan antara peranti lunak dan peranti keras pun, dia telah dituntut untuk menciptakan organisasi yang adaptif. Di tengah upaya Samsung menyeimbangkan antara hardware dan software, diantaranya dengan mengembangkan Tizen, Jay menghadapi persoalan: kultur Samsung masih didominasi oleh para hardware engineer. Ini disinyalir akan menyulitkan sewaktu berhadapan dengan Xiaomi yang mengambil banyak pangsa pasar Samsung di China. Xiaomi disebut-sebut mirip Apple yang budayanya cenderung kuat di software engineer.

Di tiga titik inilah bos Samsung akan berkutat. Dan Jay dianggap tidaklah serapuh yang dibayangkan atau diobrolkan orang. Mereka yang mengenal Jay memang menyebutnya pemalu. Akan tetapi gambaran itu tidak sepenuhnya benar. Apalagi bila dia diajak bicara tentang proyek-proyek masa depan Samsung. Apa itu?

Untuk menghindari nasib buruk yang banyak menimpa perusahaan besar, Samsung kini sangat fokus pada inovasi. Contohnya, chip smartphone-nya disebut-sebut lebih superior dibanding Intel. Untuk menciptakan terobosan, Samsung Electronics bahkan membelanjakan hampir US$ 14 miliar pada riset dan pengembangan di tahun 2014. Jauh di atas yang digelontorkan Apple (US$ 6 miliar) di tahun 2014.

Tapi bukan cuma itu yang dilakukan. Jay akan bersemangat begitu bicara rencana-rencana Samsung menjadi pabrikan buat perusahaan obat, proyek yang disebut-sebut sebagai “baby-nya”. Memang, di samping tetap menggenjot bisnis-bisnis yang sudah ada, terutama yang bernaung di bawah Samsung Electronics, satu mesin pertumbuhan yang tengah dipacu adalah peralatan medis. Dan Jay menjadi leader untuk rencana besar ini.

Jay sendiri berencana membuat Samsung jadi pemain besar di bidang contract manufacturer buat obat-obatan bioteknologi. Samsung akan menyediakan pabrik-pabrik yang ultra-bersih dengan kualitas sangat tinggi. Dengan berkonsentrasi di sini dan membiarkan perusahaan farmasi mendesain dan memasarkan obat, Samsung diharapkan akan dominan di industri pembuatan obat seperti halnya di industri chipmaking.

Apakah rencana ini akan terealisasi, jelas masih ditunggu. Begitu juga apakah Jay akan sekuat ayahnya dalam merealisasikan keinginannya. Yang jelas, bila melihat ke tahun 1987 saat Lee menancapkan ambisinya untuk Samsung, bisa dikatakan rencana Samsung di obat-obatan adalah menjadi bagian dari ambisi sang putra makota. Keraguan jelas wajar menghinggapi dirinya karena sebagai orang dalam di Samsung Electronics, ia dianggap belum mampu mengadang laju Apple dan pemain-pemain China yang trengginas. Tapi, bisnis adalah bicara angka. Bila aktor dinilai dari aktingnya, Jay kelak akan dinilai dari angka-angka penjualan dan laba bersih. ***