Dia bukan hanya piawai main kung fu dan acting di layar
lebar. Dunia bisnis pun ditekuninya. Pemahaman akan positioning serta
diferensiasi menjadi kuncinya menggemukkan pundi-pundi uang.
MERENTANGKAN BISNIS
Beijing, 27 Mei 2015. Dengan senyumnya yang khas, lelaki 61
tahun ini resmi mendirikan sekolah film dan televisi di China. Nama sekolahnya:
The Jackie Chan Film and Television Academy. Berlokasi di Wuhan, sekolah ini
menawarkan sejumlah studi, mulai dari akting hingga animasi. “Ini (meresmikan
sekolah film dan televisi) adalah impian lama saya,” katanya.
Ya, dialah Jackie Chan. Dan peresmian sekolah ini seakan
mempertegas posisinya sebagai bukan bintang film biasa. Seperti diungkap Forbes,
lelaki kelahiran Hong Kong tahun 1954 ini tak sekedar piawai bermain kung fu dan
mencetak film box office, tapi juga memutar pundi-pundi uangnya.
Khusus untuk kemampuan aktingnya, selama 2014 Jackie
ditaksir meraup US$ 50 juta, lebih banyak dibanding aktor lain di dunia selain
Robert Downey Jr. (US$ 80 juta). Dalam Forbes Celebrity 100, Jackie
menempati posisi 38, di belakang Tiger Woods. Forbes juga menaksir
kekayaannya mencapai US$ 350 juta. Dan yang menarik, kekayaannya bukan cuma
didapat dari honor main film. Di luar sekolah film dan televisi yang baru
diresmikannya itu, Jackie mengendalikan sejumlah bisnis yang terentang lebar
mulai dari pakaian, restoran, kafe, distribusi Segway, gym, bioskop, sekolah stuntmant,
dan coklat serta gandum bergizi tinggi. “Jackie Chan adalah Mickey Mouse-nya
budaya China, seorang selebritas yang hadir di mana-mana,” puji Grady Hendrix, co-founder
New York Asian Film Festival.
Jackie Chan saat peresmian The Jackie Chan Film and Television Academy |
Di jagat film, kiprah lelaki yang juga disebut Chéng Lóng ini tentu bukan hal asing. Film-filmnya mengalir setiap
tahun dan kerap laris manis. Filmnya yang terbaru, Dragon Blade
yang juga dibintangi Adrien Brody serta John Cusack bahkan sudah meraih sukses
besar di China dengan pendapatan kotor US$ 120 juta. Perolehan ini diprediksi
akan kian gemuk begitu dirilis di AS dan pasar global.
Ciri khasnya yang dikenal luas yakni tak
mau diganti oleh stuntman untuk adegan-adegan berbahaya serta plot film
yang memadukan unsur komedi, telah membuat filmnya banyak disukai. Namun,
seperti disinggung di atas, Jackie adalah aktor cum pebisnis jempolan.
Dia tak cuma jago di depan kamera dengan gayanya yang kocak. Lalu, apa kunci suksesnya dalam berbisnis?
Kuncinya ada pada pengambilan positioning dan
diferensiasi. Sadar dirinya punya citra sebagai bintang film yang identik dengan
bela diri (sportif) serta hidup sehat, Jackie menjual citra tersebut, yang
kemudian diwujudkan dengan umbrella brand “JC”. Inisial namanya ini
dimanfaatkan sebagai payung dari portofolio bisnisnya. Dan dia punya keinginan
besar dari langkahnya ini. “Dia ingin menjadi total lifestyle branding,”
terang Bon Ng, orang yang diminta Jackie mengurusi pengembangan mereknya.
Tapi bukan berarti bisnisnya meluncur mulus begitu saja.
Sejatinya, Jackie telah memulainya 20 tahun lalu, tapi saat itu dia belum
pandai berbisnis. Bisnisnya berjalan bagai siput. Namun seiring bergulirnya
waktu, lambat tapi pasti Jackie tahu cara mengkapitalisasi citra dirinya sebagai
sosok yang sportif dan sehat dengan mengekstensikan personal branding-nya.
Salah satunya adalah tempat gym “Jackie Chan Signature Club”, hasil kemitraan
dengan California Fitness, klub kesehatan dari AS yang beroperasi 24 jam. Lalu,
“Jackie’s Kitchen” yang tersebar di Korea Selatan, AS, serta Australia. Resto
ini menyajikan sushi, aneka mi dan dim sum.
Kelincahannya dalam berbisnis tak bisa dilepaskan dari
kecerdasannya dalam membangun karir di layar lebar. Sebelum terjun total di
dunia film, Jackie belajar di sekolah seni bela diri dan akrobat di Hong Kong.
Guru-gurunya adalah para master kung fu yang tak kenal belas kasih. “Anda
berbuat salah, semua orang kena pukul,” dia mengenang. Ini mendidiknya untuk
menghindari kesalahan sekecil apapun.
Begitu terjun ke layar lebar, tantangan besar Jackie dalam
membangun karir adalah bagaimana dia membedakan dirinya dari sang legenda,
Bruce Lee. Saat ikut main dalam film Bruce Lee, Fist of Fury (1972) dan Enter
the Dragon (1973), Jackie bukanlah siapa-siapa. Dalam kedua film itu, dia
hanya menjadi stuntmant.
DIFERENSIASI
Kematian Bruce Lee pada 20 Juli 1973 membawa berkah
terselubung buat Jackie. Karirnya terbuka, bukan lagi sebagai stuntmant,
tapi pemeran utama. Tahun 1976, dia membintangi film berjudul New Fist of
Fury. Sayang, film ini jeblok. Penonton tak menyukai gaya Jackie yang
diminta sang sutradara memainkan cara bertarung ala Bruce Lee. Rupanya sang
sutradara merasa gaya Bruce Lee masih laku dijual.
Terobosan karirnya terjadi saat Jackie membintangi film Snake
in the Eagle’s Shadow (1978). Kali ini sang sutradara, Yuen Woo-ping
mengijinkannya bermain tanpa pemeran pengganti. Bukan hanya itu, Jackie juga dimintanya
menampilkan gaya kung fu yang penuh komedi.
Rupanya ini memberikan angin segar bagi dunia film kung fu
yang biasanya serius serta beberapa tahun didominasi gaya Bruce Lee yang kaku.
Dan titik terang gaya ini kian terlihat begitu Jackie menjadi pemeran utama Drunken
Master (1978) sebagai Wong Fei-hung. Jackie pun menjadi bintang baru
selepas era Bruce Lee.
Kelak, kesuksesannya ini melahirkan kalimat yang terkenal
darinya. “I never wanted to be Bruce Lee. There’s only
one Bruce Lee, no second Bruce Lee. I just wanted to be Jackie Chan, I wanted
to be me.”
Dewa Mabuk yang mengangkat pamor Jackie |
Dari sinilah Jackie terus mengembangkan gayanya sendiri
yang berbeda dari sang legenda yang seringkali dibandingkan dengan dirinya.
Sementara Bruce Lee dikenal luas karena gerakan yang cepat dan penuh presisi, Jackie
justru belajar bagaimana Charlie Chaplin dan komedian AS, Buster Keaton
membangun rasa humor. Salah satu yang diambil dari mereka adalah pendekatan slapstick.
“Saya ingin setiap orang mengikuti saya. Saya tak ingin mengikuti setiap
orang,” kata Jackie menegaskan dirinya yang memahami arti positioning
dan diferensiasi.
Dua hal ini (positioning dan diferensiasi) yang makin
melambungkan namanya adalah dalam setiap filmnya dia tidak diganti stuntman.
Berlompatan diantara gedung menjadi trademark-nya. Tak heran, tulang patah pun menjadi
hal yang biasa. Dia bahkan hampir mati saat jatuh dari pohon di Yugoslavia di
tahun 1986 saat syuting film Armour of God yang ditulis, dibintangi sekaligus
disutradarainya. Ciri lain, tentu saja komedi segar di sela-sela adu jurus kung
fu.
Puas berlompatan di layar lebar, naluri bisnisnya terlecut
begitu melihat tanah leluhurnya bergerak lebih dinamis. Sewaktu China membuka
diri di tahun 1990-an, mulailah Jackie mencari peruntungan di sektor bisnis di
negeri itu. Dia meluncurkan kafe dan gymnasium. Dia bahkan meluncurkan Jackie
Chan Design yang terakhir punya lebih dari 400 item berbeda mulai dari botol
air hingga jam tangan yang semuanya distempel “are designed exclusively by
Mr. Jackie Chan”. Oh ya, bila Anda tergelitik ingin melihatnya, bisa
mengakses laman ini: jackiechandesign.com.
MEMBACA SITUASI
Tanah China memang menjadi titik awal bisnis lelaki yang
murah senyum ini. Dan bisa dikatakan itu tak terlepas dari nasionalismenya. Tak
seperti Arnold Schwarzenegger, yang meninggalkan Austria untuk menjadi
benar-benar Amerika, Jackie justru selalu melihat ke China. Dia bukan manusia
tipikal kacang lupa kulit. Dia bahkan terikat dengan fansnya di Negeri Panda. Bukan
hal asing untuk melihatnya wara-wiri ke Hong Kong. “Saya ingin menjadi
Robert De Niro atau Dustin Hoffman-nya Asia,” katanya satu waktu. Jackie benar-benar
tak ingin tercerabut dari akarnya.
Namun, nasionalisme hanyalah satu sisi. Bisnisnya membesar
lantaran pria yang kerap berambut poni ini juga piawai membaca situasi.
Mengetahui bisnis di China tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, Jackie pun
luwes bermain. Dia dekat dengan kalangan pemerintahan.
Kedekatannya dengan otoritas China membawa hasil. Dia
bahkan direkrut untuk menjadi duta Olimpiade Beijing 2008. Melihat peluang
bisnis yang besar, Jackie pun memindahkan operasinya dari Hong Kong ke Beijing.
Dan begitu tinggal di Beijing, dia tahu pusat industri perfilman China memang benar-benar
dikontrol pemerintah.
Untuk menaklukkan itu, dia tahu senjata rahasianya:
keanggotaan di Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China. Lembaga negara ini
punya pengaruh besar. Diantaranya memberi lampu hijau untuk film-film yang
dirilis di China.
Industri film di China adalah bisnis yang menggiurkan.
Bisnis ini terus meroket dari tahun ke tahun. Diperkirakan industri ini tumbuh
33% setiap tahunnya selama 5 tahun terakhir, mencetak uang hingga US$ 5 miliar.
Tak heran, para pemain Hollywood banyak yang melakukan kerjasama produksi
dengan perusahaan-perusahaan China, diantaranya Transformers: Age Of
Extinction dan Iron Man 3 yang sukses di pasar.
Kondisi ini jauh terbalik dibanding satu dekade lalu. Tahun
1998, saat Jackie meluncurkan Rush Hour bersama Chris Tucker, film ini
menjadi sukses global: meraup US$ 140 juta di AS dan US$ 100 juta di negara
lain. Waktu itu, nilai di AS lebih besar daripada negara lain. “Box-office
di AS adalah box office di seluruh dunia,” kenang Jackie.
Tapi saat ini angkanya seringkali terbalik. Nilai penjualan
di China bias lebih besar dibanding negara lain. Jangan heran, ada sekitar 20
ribu layar bioskop di China, dan diprediksikan akan bertambah setiap tahunnya.
Jackie jelas mengambil keuntungan dari itu. Tahun 2000, dia
dan mitranya membangun Jackie Chan Yaolai International Cinema, bioskop dengan
17 layar multiplex di Beijing yang sekarang menjual 50 ribu tiket di hari
libur. Dia juga melebarkan layanan J.C. Stunt Team menjadi perusahaan yang
memenuhi studio Amerika dengan anggota kru dari China yang punya kemampuan bahasa
Inggris yang bagus, mulai dari koordinator stunt hingga asisten
sutradara.
Saat peluncuran Jackie Chan Yaolai International Cinema |
Kedekatannya dengan pemerintah China kadang mengundang
kritik. Tapi Jackie punya pandangan sendiri. “Apakah saya tak boleh dekat
dengan Pemerintah China?” katanya balik bertanya. “Kami orang China!... Saya
pikir setiap orang harus mencintai negaranya.” Dia lalu mengungkap bahwa
dirinya justru ikut membantu perekonomian secara tidak langsung, diantaranya
dengan merekomendasikan agar menurunkan pajak impor peralatan film. “Dan mereka
(pemerintah China) mendengarkanku,” ujarnya bangga.
Selain punya pandangan sendiri, Jackie tak mau dipusingkan
dengan omongan nyinyir ke arahnya. Dia terus meluncurkan bisnis demi bisnis. The
Jackie Chan Film and Television Academy bukanlah aksi terakhirnya. Dalam waktu
dekat, dia akan segera membuka gerai jaringan kafenya yang bernama Jackie
Chan’s Java Coffee di sejumlah kota besar di dunia.
“Sekarang saya bukan hanya seorang aktor. Saya berinvestasi,”
katanya. Dia tak mengungkap estimasi pendapatannya untuk tahun 2015. Namun dia mengaku
bahagia bisa berspekulasi pada proyek-proyek masa depan.
Jackie jelas paham betul arti sebuah risiko. Di film, dia
sudah berulang kali patah tulang lantaran tak menggunakan pemeran pengganti. Di
bisnis, dia juga paham arti kemacetan sebuah bisnis. Toh dia enteng saja
memandang itu semua. Dia bahkan mengilustrasikan posisinya sebagai investor tak
ubahnya seorang pemilik kasino. “Saya mungkin rugi US$ 10 juta. Tapi kalau
menang, mungkin meraup US$ 90 juta,” ujarnya kalem. ***
0 comments:
Post a Comment