Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, March 1, 2016

Sepak Terjang Bisnis Mr. JC

Share this history on :
Dia bukan hanya piawai main kung fu dan acting di layar lebar. Dunia bisnis pun ditekuninya. Pemahaman akan positioning serta diferensiasi menjadi kuncinya menggemukkan pundi-pundi uang.

MERENTANGKAN BISNIS

Beijing, 27 Mei 2015. Dengan senyumnya yang khas, lelaki 61 tahun ini resmi mendirikan sekolah film dan televisi di China. Nama sekolahnya: The Jackie Chan Film and Television Academy. Berlokasi di Wuhan, sekolah ini menawarkan sejumlah studi, mulai dari akting hingga animasi. “Ini (meresmikan sekolah film dan televisi) adalah impian lama saya,” katanya.

Ya, dialah Jackie Chan. Dan peresmian sekolah ini seakan mempertegas posisinya sebagai bukan bintang film biasa. Seperti diungkap Forbes, lelaki kelahiran Hong Kong tahun 1954 ini tak sekedar piawai bermain kung fu dan mencetak film box office, tapi juga memutar pundi-pundi uangnya.

Khusus untuk kemampuan aktingnya, selama 2014 Jackie ditaksir meraup US$ 50 juta, lebih banyak dibanding aktor lain di dunia selain Robert Downey Jr. (US$ 80 juta). Dalam Forbes Celebrity 100, Jackie menempati posisi 38, di belakang Tiger Woods. Forbes juga menaksir kekayaannya mencapai US$ 350 juta. Dan yang menarik, kekayaannya bukan cuma didapat dari honor main film. Di luar sekolah film dan televisi yang baru diresmikannya itu, Jackie mengendalikan sejumlah bisnis yang terentang lebar mulai dari pakaian, restoran, kafe, distribusi Segway, gym, bioskop, sekolah stuntmant, dan coklat serta gandum bergizi tinggi. “Jackie Chan adalah Mickey Mouse-nya budaya China, seorang selebritas yang hadir di mana-mana,” puji Grady Hendrix, co-founder New York Asian Film Festival.

Jackie Chan saat peresmian The Jackie Chan Film and Television Academy

Di jagat film, kiprah lelaki yang juga disebut Chéng Lóng ini tentu bukan hal asing. Film-filmnya mengalir setiap tahun dan kerap laris manis. Filmnya yang terbaru, Dragon Blade yang juga dibintangi Adrien Brody serta John Cusack bahkan sudah meraih sukses besar di China dengan pendapatan kotor US$ 120 juta. Perolehan ini diprediksi akan kian gemuk begitu dirilis di AS dan pasar global.

Ciri khasnya yang dikenal luas yakni tak mau diganti oleh stuntman untuk adegan-adegan berbahaya serta plot film yang memadukan unsur komedi, telah membuat filmnya banyak disukai. Namun, seperti disinggung di atas, Jackie adalah aktor cum pebisnis jempolan. Dia tak cuma jago di depan kamera dengan gayanya yang kocak. Lalu, apa kunci suksesnya dalam berbisnis?

Kuncinya ada pada pengambilan positioning dan diferensiasi. Sadar dirinya punya citra sebagai bintang film yang identik dengan bela diri (sportif) serta hidup sehat, Jackie menjual citra tersebut, yang kemudian diwujudkan dengan umbrella brand “JC”. Inisial namanya ini dimanfaatkan sebagai payung dari portofolio bisnisnya. Dan dia punya keinginan besar dari langkahnya ini. “Dia ingin menjadi total lifestyle branding,” terang Bon Ng, orang yang diminta Jackie mengurusi pengembangan mereknya.

Tapi bukan berarti bisnisnya meluncur mulus begitu saja. Sejatinya, Jackie telah memulainya 20 tahun lalu, tapi saat itu dia belum pandai berbisnis. Bisnisnya berjalan bagai siput. Namun seiring bergulirnya waktu, lambat tapi pasti Jackie tahu cara mengkapitalisasi citra dirinya sebagai sosok yang sportif dan sehat dengan mengekstensikan personal branding-nya. Salah satunya adalah tempat gym “Jackie Chan Signature Club”, hasil kemitraan dengan California Fitness, klub kesehatan dari AS yang beroperasi 24 jam. Lalu, “Jackie’s Kitchen” yang tersebar di Korea Selatan, AS, serta Australia. Resto ini menyajikan sushi, aneka mi dan dim sum.

Kelincahannya dalam berbisnis tak bisa dilepaskan dari kecerdasannya dalam membangun karir di layar lebar. Sebelum terjun total di dunia film, Jackie belajar di sekolah seni bela diri dan akrobat di Hong Kong. Guru-gurunya adalah para master kung fu yang tak kenal belas kasih. “Anda berbuat salah, semua orang kena pukul,” dia mengenang. Ini mendidiknya untuk menghindari kesalahan sekecil apapun.

Begitu terjun ke layar lebar, tantangan besar Jackie dalam membangun karir adalah bagaimana dia membedakan dirinya dari sang legenda, Bruce Lee. Saat ikut main dalam film Bruce Lee, Fist of Fury (1972) dan Enter the Dragon (1973), Jackie bukanlah siapa-siapa. Dalam kedua film itu, dia hanya menjadi stuntmant.

DIFERENSIASI

Kematian Bruce Lee pada 20 Juli 1973 membawa berkah terselubung buat Jackie. Karirnya terbuka, bukan lagi sebagai stuntmant, tapi pemeran utama. Tahun 1976, dia membintangi film berjudul New Fist of Fury. Sayang, film ini jeblok. Penonton tak menyukai gaya Jackie yang diminta sang sutradara memainkan cara bertarung ala Bruce Lee. Rupanya sang sutradara merasa gaya Bruce Lee masih laku dijual.

Terobosan karirnya terjadi saat Jackie membintangi film Snake in the Eagle’s Shadow (1978). Kali ini sang sutradara, Yuen Woo-ping mengijinkannya bermain tanpa pemeran pengganti. Bukan hanya itu, Jackie juga dimintanya menampilkan gaya kung fu yang penuh komedi.

Rupanya ini memberikan angin segar bagi dunia film kung fu yang biasanya serius serta beberapa tahun didominasi gaya Bruce Lee yang kaku. Dan titik terang gaya ini kian terlihat begitu Jackie menjadi pemeran utama Drunken Master (1978) sebagai Wong Fei-hung. Jackie pun menjadi bintang baru selepas era Bruce Lee.

Kelak, kesuksesannya ini melahirkan kalimat yang terkenal darinya. I never wanted to be Bruce Lee. There’s only one Bruce Lee, no second Bruce Lee. I just wanted to be Jackie Chan, I wanted to be me.”

Dewa Mabuk yang mengangkat pamor Jackie

Dari sinilah Jackie terus mengembangkan gayanya sendiri yang berbeda dari sang legenda yang seringkali dibandingkan dengan dirinya. Sementara Bruce Lee dikenal luas karena gerakan yang cepat dan penuh presisi, Jackie justru belajar bagaimana Charlie Chaplin dan komedian AS, Buster Keaton membangun rasa humor. Salah satu yang diambil dari mereka adalah pendekatan slapstick. “Saya ingin setiap orang mengikuti saya. Saya tak ingin mengikuti setiap orang,” kata Jackie menegaskan dirinya yang memahami arti positioning dan diferensiasi.

Dua hal ini (positioning dan diferensiasi) yang makin melambungkan namanya adalah dalam setiap filmnya dia tidak diganti stuntman. Berlompatan diantara gedung menjadi trademark-nya. Tak heran, tulang patah pun menjadi hal yang biasa. Dia bahkan hampir mati saat jatuh dari pohon di Yugoslavia di tahun 1986 saat syuting film Armour of God yang ditulis, dibintangi sekaligus disutradarainya. Ciri lain, tentu saja komedi segar di sela-sela adu jurus kung fu.

Puas berlompatan di layar lebar, naluri bisnisnya terlecut begitu melihat tanah leluhurnya bergerak lebih dinamis. Sewaktu China membuka diri di tahun 1990-an, mulailah Jackie mencari peruntungan di sektor bisnis di negeri itu. Dia meluncurkan kafe dan gymnasium. Dia bahkan meluncurkan Jackie Chan Design yang terakhir punya lebih dari 400 item berbeda mulai dari botol air hingga jam tangan yang semuanya distempel “are designed exclusively by Mr. Jackie Chan”. Oh ya, bila Anda tergelitik ingin melihatnya, bisa mengakses laman ini: jackiechandesign.com.

MEMBACA SITUASI

Tanah China memang menjadi titik awal bisnis lelaki yang murah senyum ini. Dan bisa dikatakan itu tak terlepas dari nasionalismenya. Tak seperti Arnold Schwarzenegger, yang meninggalkan Austria untuk menjadi benar-benar Amerika, Jackie justru selalu melihat ke China. Dia bukan manusia tipikal kacang lupa kulit. Dia bahkan terikat dengan fansnya di Negeri Panda. Bukan hal asing untuk melihatnya wara-wiri ke Hong Kong. “Saya ingin menjadi Robert De Niro atau Dustin Hoffman-nya Asia,” katanya satu waktu. Jackie benar-benar tak ingin tercerabut dari akarnya.

Namun, nasionalisme hanyalah satu sisi. Bisnisnya membesar lantaran pria yang kerap berambut poni ini juga piawai membaca situasi. Mengetahui bisnis di China tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, Jackie pun luwes bermain. Dia dekat dengan kalangan pemerintahan.

Kedekatannya dengan otoritas China membawa hasil. Dia bahkan direkrut untuk menjadi duta Olimpiade Beijing 2008. Melihat peluang bisnis yang besar, Jackie pun memindahkan operasinya dari Hong Kong ke Beijing. Dan begitu tinggal di Beijing, dia tahu pusat industri perfilman China memang benar-benar dikontrol pemerintah.

Untuk menaklukkan itu, dia tahu senjata rahasianya: keanggotaan di Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China. Lembaga negara ini punya pengaruh besar. Diantaranya memberi lampu hijau untuk film-film yang dirilis di China.

Industri film di China adalah bisnis yang menggiurkan. Bisnis ini terus meroket dari tahun ke tahun. Diperkirakan industri ini tumbuh 33% setiap tahunnya selama 5 tahun terakhir, mencetak uang hingga US$ 5 miliar. Tak heran, para pemain Hollywood banyak yang melakukan kerjasama produksi dengan perusahaan-perusahaan China, diantaranya Transformers: Age Of Extinction dan Iron Man 3 yang sukses di pasar.

Kondisi ini jauh terbalik dibanding satu dekade lalu. Tahun 1998, saat Jackie meluncurkan Rush Hour bersama Chris Tucker, film ini menjadi sukses global: meraup US$ 140 juta di AS dan US$ 100 juta di negara lain. Waktu itu, nilai di AS lebih besar daripada negara lain. “Box-office di AS adalah box office di seluruh dunia,” kenang Jackie.

Tapi saat ini angkanya seringkali terbalik. Nilai penjualan di China bias lebih besar dibanding negara lain. Jangan heran, ada sekitar 20 ribu layar bioskop di China, dan diprediksikan akan bertambah setiap tahunnya.

Jackie jelas mengambil keuntungan dari itu. Tahun 2000, dia dan mitranya membangun Jackie Chan Yaolai International Cinema, bioskop dengan 17 layar multiplex di Beijing yang sekarang menjual 50 ribu tiket di hari libur. Dia juga melebarkan layanan J.C. Stunt Team menjadi perusahaan yang memenuhi studio Amerika dengan anggota kru dari China yang punya kemampuan bahasa Inggris yang bagus, mulai dari koordinator stunt hingga asisten sutradara.

Saat peluncuran Jackie Chan Yaolai International Cinema

Kedekatannya dengan pemerintah China kadang mengundang kritik. Tapi Jackie punya pandangan sendiri. “Apakah saya tak boleh dekat dengan Pemerintah China?” katanya balik bertanya. “Kami orang China!... Saya pikir setiap orang harus mencintai negaranya.” Dia lalu mengungkap bahwa dirinya justru ikut membantu perekonomian secara tidak langsung, diantaranya dengan merekomendasikan agar menurunkan pajak impor peralatan film. “Dan mereka (pemerintah China) mendengarkanku,” ujarnya bangga.

Selain punya pandangan sendiri, Jackie tak mau dipusingkan dengan omongan nyinyir ke arahnya. Dia terus meluncurkan bisnis demi bisnis. The Jackie Chan Film and Television Academy bukanlah aksi terakhirnya. Dalam waktu dekat, dia akan segera membuka gerai jaringan kafenya yang bernama Jackie Chan’s Java Coffee di sejumlah kota besar di dunia.

“Sekarang saya bukan hanya seorang aktor. Saya berinvestasi,” katanya. Dia tak mengungkap estimasi pendapatannya untuk tahun 2015. Namun dia mengaku bahagia bisa berspekulasi pada proyek-proyek masa depan.

Jackie jelas paham betul arti sebuah risiko. Di film, dia sudah berulang kali patah tulang lantaran tak menggunakan pemeran pengganti. Di bisnis, dia juga paham arti kemacetan sebuah bisnis. Toh dia enteng saja memandang itu semua. Dia bahkan mengilustrasikan posisinya sebagai investor tak ubahnya seorang pemilik kasino. “Saya mungkin rugi US$ 10 juta. Tapi kalau menang, mungkin meraup US$ 90 juta,” ujarnya kalem. ***



0 comments: