Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, March 1, 2016

Putra Makota yang Diragukan

Share this history on :
Dia pemalu dan tak sekharismatis ayahnya. Dia juga diragukan mampu memimpin kapal induk yang demikian besar. Namun, apakah dia memang benar-benar lemah?

ENIGMATIK

Di usianya yang menginjak 47 tahun, Lee Jae-yong adalah salah seorang figur dunia bisnis yang mendapat sorotan luar biasa. Laiknya bintang panggung, gerak-geriknya di pentas terus diamati. Namun alih-alih tatapan kekaguman, sorotan publik cenderung negatif. Ada keraguan pada dirinya. Ya, dia dipertanyakan seputar kemampuannya menjaga sekaligus memperbesar sebuah imperium bisnis raksasa dari Negeri Ginseng yang sebentar lagi jatuh ke genggamannya.

Begitulah. Setelah ayahnya, Lee Kun-hee terkena serangan jantung di tahun 2014, orang memang berpaling pada Jay – begitu Lee Jae-yong memanggil dirinya –, terlebih setelah 14 Mei 2015 saat Jay didapuk menjadi chairman dua yayasan milik keluarganya (Samsung Foundation of Culture yang mengurusi Leeum, museum keluarga pendiri Samsung, dan Samsung Life Public Welfare Foundation, yang bergerak di bidang kesehatan, terutama perawatan anak-anak dari orang tak mampu). Posisi ini diyakini menjadi tahap penting untuk benar-benar menggantikan posisi sang ayah. Di Korea Selatan, yayasan seringkali dilihat sebagai “wajah keluarga” di masyarakat.

Kalaulah orang menaruh perhatian pada Jay, janganlah heran. Maklum, Lee adalah bos besar Samsung, raksasa bisnis dari Korsel. Ibarat kapal induk, kelompok usaha ini memuat 67 bisnis besar yang terentang dari apparel, taman bermain, mesin cuci, televisi, ponsel, alat berat, hingga jasa keuangan. Lalu, dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 300 miliar, Samsung merupakan pabrikan elektronik terbesar di dunia. Artinya, ini memang bisnis yang luar biasa besar sehingga bila ambruk, menimbulkan ekses yang maha dahsyat. Dalam bahasa kerennya, too big to fall, termasuk bagi Korsel sendiri. Bagaimana tidak, Samsung menyumbang 17% GDP Negeri Ginseng.

Menimbang besarnya bisnis Samsung, maka wajarlah Jay jadi sorotan. Persoalannya, lelaki berkacamata ini amat diragukan kemampuannya menakodai biduk besar tersebut. Dan tatapan publik makin deras mengalir lantaran Samsung dalam kondisi yang tidak prima. Ya, sudah dua tahun terakhir ini sang raksasa seperti diserang flu berat. Terutama untuk bisnis smartphone-nya di bawah bendera Samsung Electronics yang bersama bisnis cip memori menjadi tulang punggungnya.

Jay, sosok penerus Samsung

Bisnis ponsel cerdas Samsung memang tengah menurun. Betul bahwa ponsel cerdasnya masih menguasai pangsa pasar global. Tapi mereka bonyok dihajar pemain-pemain lain, terutama dari daratan China, khususnya Xiaomi yang sungguh fenomenal. Pada kuartal 2/2015, Samsung masih memimpin pangsa pasar dengan menguasai 21,4%. Setelah itu menyusul Apple (13,%), Huawei (8,7%), Xiaomi (5,6%), dan Lenovo (4,7%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun, sejatinya pangsa pasar Samsung terus merosot. Di periode yang sama tahun 2014, pangsa pasarnya 24,8%. Turun dibandingkan tahun 2013 sebesar 31,9% dan 2012 (32,2%). Lebih lengkap, bisa lihat di Tabel Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015.

Repotnya, bukan hanya pangsa pasar yang digerus. Laba Samsung pun terjun sementara laba pesaing beratnya Apple malah terus merangkak naik lantaran berkutat di high-end dan begitu juga pemain-pemain China yang bermain dengan harga lebih murah.

Pada kuartal 2/2015, laba operasi Samsung Electronics hanya US$ 5,9 miliar dari total pendapatan US$ 41 miliar. Laba ini melorot dibanding periode yang sama tahun 2014 yang sebesar US$ 6,17 miliar.

Kinerja ini berkebalikan dibanding Apple. Di periode yang sama 2015, perusahaan peninggalan mendiang Steve Jobs itu mencetak penjualan US$ 49,6 miliar dan laba US$ 10,7 miliar. Performanya meningkat dibanding periode 2014 (penjualan US$ 37,4 miliar dan laba US$ 7,7 miliar).

Dengan kondisi itu, tak heran bila Jay jadi pusat perhatian. Transisi ini memang sungguh kritikal bagi Samsung. Dan sekalipun baru menjadi chairman dua yayasan keluarga, sejatinya Jay memang tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kendati kondisinya stabil, Lee (73 tahun) tak mampu berkomunikasi sehingga diperkirakan tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Jay sendiri sebelumnya berposisi vice chairman Samsung Electronics, diangkat pada tahun 2013 setelah memulai karir pada tahun 1991.


Tabel: Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015

Periode
Samsung
Apple
Huawei
Xiaomi
Lenovo
Lain-lain
Q2/2015
21,4%
13,9%
8,7%
5,6%
4,7%
45,7%
Q2/2014
24,8%
11,6%
6,7%
4,6%
8,0%
44,3%
Q2/2013
31,9%
12,9%
4,3%
1,7%
5,7%
43,6%
Q2/2012
32,2%
16,6%
4,1%
1,0%
5,9%
40,2%
Sumber: IDC, Agustus 2015


ALASAN KERAGUAN

Ada banyak alasan mengapa Jay diragukan. Sewaktu Lee Kun-hee mengambil posisi ayahnya (Lee Byung-chul) setelah sang pendiri Samsung itu meninggal di tahun 1987, orang mengenang bagaimana sosoknya. Lee dikenal visioner, tegas, kharismatis. Tak berapa lama di pucuk korporasi, Lee yang alumnus Waseda University (Jepang) dan George Washington University (AS) memproklamasikan tekadnya yang waktu itu tampaknya sulit diraih: mengubah konglomerat kelas biasa-biasa saja peninggalan sang ayah menjadi raksasa global, seperti halnya IBM atau General Electric.

Publik menilai visi Lee tak ubahnya orang yang akan akan mendaki gunung yang tinggi. Namun terbukti, Lee mampu merealisasikannya. Strateginya: berinvestasi besar pada teknologi. Tapi bukan hanya itu kunci suksesnya. Dia juga menerapkan gaya manajemen yang kuat. Di tahun 1993, misalnya, dia tiba-tiba meminta semua manajer seniornya meninggalkan seluruh pekerjaan untuk terbang ke Frankfurt, di mana dia memberikan pandangannya tentang bisnis. Selama 3 hari, Lee tak berhenti ngoceh membeberkan apa saja pandangannya buat Samsung dan apa yang mesti mereka lakukan.

Lee Kun-hee yang kharismatis

Hingga kini, tak banyak artikel, baik di media lokal ataupun internasional yang mengulas figur sang bos muda. Tulisan-tulisan di media barat malah cenderung mengulang-ulang angle yang sama: anak muda yang nada bicaranya perlahan, yang belum punya prestasi yang pantas untuk dibanggakan.

Ya, Jay memang diragukan. Saking ragunya, pernah satu waktu 50 orang fund managers, analis pasar modal dan pengamat bisnis di Korsel ditanya tentang 11 generasi penerus para chaebol di Negeri Ginseng. Hasilnya: Jay berada di peringkat 7 dalam hal leadership ability, dan posisi terakhir dalam hal legitimasi mewarisi kerajaan orang tuanya. “Yah, bagaimanapun dia kan lahir dengan sendok perak. Kami sendiri tak tahu apakah dia mampu menjalankan bisnis karena belum ada rekam jejaknya,” celetuk seorang eksekutif senior Samsung yang menolak namanya disebutkan.

Pahit, memang. Namun orang memang sering membandingkan ayah serta anak ini. Dan celakanya, mereka seperti langit dan bumi. Ketika Galaxy S6 meluncur dan gagal di pasar, misalnya, media-media Korsel menyebutnya “ini ponselnya Lee Jae-yong” karena dianggap dapat sentuhan sang putra makota yang diberi posisi Vice Chairman Samsung Electronics. Malang, ponsel ini jeblok di pasar. Aneka review yang didapat seringkali tak bikin bangga. Posisi ini berkebalikan 180 derajat dibanding prestasi sang ayah, yang meluncurkan SGH-T100 pada tahun 2002. Inilah produk hebat Samsung yang pertama, yang menjadi legenda, yang terjual lebih dari 10 juta unit. Media-media Korsel menyebutnya “ponsel Lee Kun-hee”. Dan sadisnya, mereka membandingkan kesuksesan itu dengan Galaxy S6.

SGH-T100 yang legendaris


Tentu saja komparasi ini seakan menggiring pada satu kesimpulan: Jay tak layak menggantikan ayahnya. Tapi, apakah dia benar-benar serapuh itu?

Sekalipun banyak orang meragukan kapasitas serta kapabilitasnya, sesungguhnya lelaki ini telah berupaya digembleng sang ayah untuk menjadi pemimpin yang tangguh. Lee membuat jabatan chief customer officer (CCO) Samsung untuk anaknya. Ini adalah pekerjaan yang khusus diciptakan untuk anak laki-laki satu-satunya itu – dua anak lainnya perempuan.

Sebagai CCO Samsung, Jay ditugaskan menjalin hubungan yang tricky dengan para kompetitor. Diantaranya, dia menjalin hubungan dengan mendiang Steve Jobs. Juga punya relasi yang baik dengan Tim Cook, penerus Jobs. Hubungan Jay juga baik dengan para pemilik raksasa bisnis lainnya, Google.

BERMAIN CANTIK

Jay memang bukan orator. Tapi, sekalipun dianggap tak akan mampu seperti ayahnya yang bisa bicara panjang lebar selama 3 hari kepada para direksi dan manajer, dia diasumsikan akan mampu berkonsentrasi pada isu-isu strategis yang dalam beberapa segi, justru itulah masalah yang dianggap lebih berat dibanding yang dihadapi ayahnya di tahun 1987. Sekarang, dengan karyawan hampir setengah juta di seluruh dunia, Jay dituntut mampu mengelola secara seimbang tiga hal berikut: Pertama, antara kompetisi dan kerjasama dengan para pesaing. Kedua, antara peranti lunak dan peranti keras. Dan ketiga yang lebih penting lagi, menggabungkan antara akar Samsung di Korea serta kehadirannya di pentas global.

Mari kita lihat yang pertama. Di industri elektronik dan industri berbasis teknologi lainnya, kini salah satu skil yang paling penting bagi seorang bos perusahaan yang bergelut di dalamnya adalah mengelola hubungan yang begitu kompleks dengan para pesaing. Satu waktu berkompetisi, di lain hari ber-koopetisi, sementara pada saat lain bekerjasama. Bagi Samsung, Apple bukan hanya rival paling sengit dalam menjual ponsel cerdas, tapi juga pelanggan terbesar untuk semikonduktor keluaran Samsung. Sementara itu, ponsel Samsung berjalan di atas sistem operasi Android milik Google, membuat keduanya menjadi mitra. Namun Samsung juga terus berinvestasi besar di Tizen, sistem operasi miliknya, yang disebut-sebut punya kehebatan untuk ponsel yang lebih sederhana. Hubungan yang rumit dan kompleks.

Adapun pada hal yang kedua, penjualan peranti keras serta peranti lunak bisa berjalan beriringan. Menjual ponsel cerdas tak bisa dilepaskan dengan peranti lunak di dalamnya. Pada beberapa hal, penjualan peranti lunak bahkan bisa sangat menguntungkan dengan layanan online, terlebih di era komputasi awan seperti sekarang. Apple dengan iTunes-nya telah membuktikan hal tersebut.

Di dua persoalan ini, Jay disebut-sebut justru mampu bermain cantik. Dengan Apple, misalnya. Hubungan yang baik, yang sedikit banyak dijembatani Jay telah menolong kedua perusahaan dari jerat pertengkaran yang lebih hebat atas masalah paten. Memang, Apple mendapat hampir US$ 1 miliar setelah menyakinkan juri bahwa ponsel Galaxy mencontek sejumlah aspek dari iPhone. Namun, setidaknya persoalan tidak melebar ke mana-mana. Jay bahkan hadir saat Steve Jobs dimakamkan dalam upacara yang dihadiri oleh kalangan terbatas pada 7 Oktober 2011. Sedikit banyak, ini menunjukkan kedekatan Apple dan Samsung. “Jay itu pemikir strategis. Dia tahan berjam-jam bertemu klien penting dan mencapai kesepakatan bisnis,” ujar seorang eksekutif senior Samsung memuji bosnya.

Adapun untuk hal yang kedua, bagi sejumlah pihak, Jay dianggap mampu turut melakukan keseimbangan. Di bawah Lee, Samsung telah berupaya membangun kemampuan software internal. Samsung memperkerjakan ribuan programmer. Sementara itu, Jay cenderung mengakuisisi keahlian. Beberapa waktu lalu, Samsung membeli dua perusahaan startup: SmartThings yang membuat peranti lunak yang menghubungkan sejumlah appliances (yang mengatisipasi era internet of things) dan LoopPay, layanan mobile payment.

Di dua titik ini, Jay dianggap bisa memainkan peran strategis. Hal yang sama juga diharapkan bisa dimainkannya pada persoalan yang ketiga. Memang, ini yang paling sulit: tetap mempertahankan akar Korea, dan menjadi sepenuhnya global. Mengapa sulit?

Kekuatan terbesar Samsung adalah disiplin dan loyalitas yang tertanam pada karyawannya. Begitu seorang pemimpin menentukan tujuan, karyawan berbaris untuk mencapainya. Budaya ini mudah mempertahankannya ketika Samsung masih perusahaan Korsel atau penuh dengan insinyur-insinyur Korea. Sekarang karyawan datang dari beragam penjuru dunia dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Samsung perlu menjadi organisasi yang open-minded, yang menerima kreativitas dari manapun.

Lantas, apakah Jay bisa menyelesaikan itu?

Hal yang positif, setidaknya, budaya korporasi Korea bukanlah sekonformis seperti halnya Jepang di mana ketidaksetujuan adalah tabu, ujar Mark Newman, analis di Sanford C. Bernstein, yang juga mantan karyawan Samsung. Dan Jay dengan pendidikan Barat-nya dianggap memahami hal ini dengan baik. Duda dua anak ini sebelumnya belajar sejarah Asia di Seoul National University, lalu sekolah bisnis di Keio University (Jepang) untuk kemudian mengikuti program doktroal di Harvard Business School, fokus pada e-commerce. Jay dikenal sangat fasih berbahasa Inggris dan Jepang.

Yang jelas, sesungguhnya bukan hanya menggabungkan spirit Korea di tengah perusahaan yang makin mengglobal yang dituntut dari Jay. Bahkan untuk urusan antara peranti lunak dan peranti keras pun, dia telah dituntut untuk menciptakan organisasi yang adaptif. Di tengah upaya Samsung menyeimbangkan antara hardware dan software, diantaranya dengan mengembangkan Tizen, Jay menghadapi persoalan: kultur Samsung masih didominasi oleh para hardware engineer. Ini disinyalir akan menyulitkan sewaktu berhadapan dengan Xiaomi yang mengambil banyak pangsa pasar Samsung di China. Xiaomi disebut-sebut mirip Apple yang budayanya cenderung kuat di software engineer.

Di tiga titik inilah bos Samsung akan berkutat. Dan Jay dianggap tidaklah serapuh yang dibayangkan atau diobrolkan orang. Mereka yang mengenal Jay memang menyebutnya pemalu. Akan tetapi gambaran itu tidak sepenuhnya benar. Apalagi bila dia diajak bicara tentang proyek-proyek masa depan Samsung. Apa itu?

Untuk menghindari nasib buruk yang banyak menimpa perusahaan besar, Samsung kini sangat fokus pada inovasi. Contohnya, chip smartphone-nya disebut-sebut lebih superior dibanding Intel. Untuk menciptakan terobosan, Samsung Electronics bahkan membelanjakan hampir US$ 14 miliar pada riset dan pengembangan di tahun 2014. Jauh di atas yang digelontorkan Apple (US$ 6 miliar) di tahun 2014.

Tapi bukan cuma itu yang dilakukan. Jay akan bersemangat begitu bicara rencana-rencana Samsung menjadi pabrikan buat perusahaan obat, proyek yang disebut-sebut sebagai “baby-nya”. Memang, di samping tetap menggenjot bisnis-bisnis yang sudah ada, terutama yang bernaung di bawah Samsung Electronics, satu mesin pertumbuhan yang tengah dipacu adalah peralatan medis. Dan Jay menjadi leader untuk rencana besar ini.

Jay sendiri berencana membuat Samsung jadi pemain besar di bidang contract manufacturer buat obat-obatan bioteknologi. Samsung akan menyediakan pabrik-pabrik yang ultra-bersih dengan kualitas sangat tinggi. Dengan berkonsentrasi di sini dan membiarkan perusahaan farmasi mendesain dan memasarkan obat, Samsung diharapkan akan dominan di industri pembuatan obat seperti halnya di industri chipmaking.

Apakah rencana ini akan terealisasi, jelas masih ditunggu. Begitu juga apakah Jay akan sekuat ayahnya dalam merealisasikan keinginannya. Yang jelas, bila melihat ke tahun 1987 saat Lee menancapkan ambisinya untuk Samsung, bisa dikatakan rencana Samsung di obat-obatan adalah menjadi bagian dari ambisi sang putra makota. Keraguan jelas wajar menghinggapi dirinya karena sebagai orang dalam di Samsung Electronics, ia dianggap belum mampu mengadang laju Apple dan pemain-pemain China yang trengginas. Tapi, bisnis adalah bicara angka. Bila aktor dinilai dari aktingnya, Jay kelak akan dinilai dari angka-angka penjualan dan laba bersih. ***

0 comments: