Dia pemalu dan tak sekharismatis ayahnya. Dia juga diragukan
mampu memimpin kapal induk yang demikian besar. Namun, apakah dia memang
benar-benar lemah?
ENIGMATIK
Di usianya yang menginjak 47 tahun, Lee Jae-yong adalah
salah seorang figur dunia bisnis yang mendapat sorotan luar biasa. Laiknya
bintang panggung, gerak-geriknya di pentas terus diamati. Namun alih-alih
tatapan kekaguman, sorotan publik cenderung negatif. Ada keraguan pada dirinya.
Ya, dia dipertanyakan seputar kemampuannya menjaga sekaligus memperbesar sebuah
imperium bisnis raksasa dari Negeri Ginseng yang sebentar lagi jatuh ke
genggamannya.
Begitulah. Setelah ayahnya, Lee Kun-hee terkena serangan
jantung di tahun 2014, orang memang berpaling pada Jay – begitu Lee Jae-yong memanggil
dirinya –, terlebih setelah 14 Mei 2015 saat Jay didapuk menjadi chairman
dua yayasan milik keluarganya (Samsung Foundation of Culture yang mengurusi Leeum,
museum keluarga pendiri Samsung, dan Samsung Life Public Welfare Foundation, yang
bergerak di bidang kesehatan, terutama perawatan anak-anak dari orang tak mampu).
Posisi ini diyakini menjadi tahap penting untuk benar-benar menggantikan posisi
sang ayah. Di Korea Selatan, yayasan seringkali dilihat sebagai “wajah
keluarga” di masyarakat.
Kalaulah orang menaruh perhatian pada Jay, janganlah heran. Maklum,
Lee adalah bos besar Samsung, raksasa bisnis dari Korsel. Ibarat kapal induk, kelompok
usaha ini memuat 67 bisnis besar yang terentang dari apparel, taman bermain,
mesin cuci, televisi, ponsel, alat berat, hingga jasa keuangan. Lalu, dengan pendapatan
tahunan lebih dari US$ 300 miliar, Samsung merupakan pabrikan elektronik
terbesar di dunia. Artinya, ini memang bisnis yang luar biasa besar sehingga
bila ambruk, menimbulkan ekses yang maha dahsyat. Dalam bahasa kerennya, too
big to fall, termasuk bagi Korsel sendiri. Bagaimana tidak, Samsung menyumbang
17% GDP Negeri Ginseng.
Menimbang besarnya bisnis Samsung, maka wajarlah Jay jadi
sorotan. Persoalannya, lelaki berkacamata ini amat diragukan kemampuannya menakodai
biduk besar tersebut. Dan tatapan publik makin deras mengalir lantaran Samsung
dalam kondisi yang tidak prima. Ya, sudah dua tahun terakhir ini sang raksasa
seperti diserang flu berat. Terutama untuk bisnis smartphone-nya di
bawah bendera Samsung Electronics yang bersama bisnis cip memori menjadi tulang
punggungnya.
Jay, sosok penerus Samsung |
Bisnis ponsel cerdas Samsung memang tengah menurun. Betul
bahwa ponsel cerdasnya masih menguasai pangsa pasar global. Tapi mereka bonyok
dihajar pemain-pemain lain, terutama dari daratan China, khususnya Xiaomi yang
sungguh fenomenal. Pada kuartal 2/2015, Samsung masih memimpin pangsa pasar
dengan menguasai 21,4%. Setelah itu menyusul Apple (13,%), Huawei (8,7%),
Xiaomi (5,6%), dan Lenovo (4,7%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun, sejatinya pangsa
pasar Samsung terus merosot. Di periode yang sama tahun 2014, pangsa pasarnya
24,8%. Turun dibandingkan tahun 2013 sebesar 31,9% dan 2012 (32,2%). Lebih
lengkap, bisa lihat di Tabel Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015.
Repotnya, bukan hanya pangsa pasar yang digerus. Laba
Samsung pun terjun sementara laba pesaing beratnya Apple malah terus merangkak
naik lantaran berkutat di high-end dan begitu juga pemain-pemain China
yang bermain dengan harga lebih murah.
Pada kuartal 2/2015, laba operasi Samsung Electronics hanya
US$ 5,9 miliar dari total pendapatan US$ 41 miliar. Laba ini melorot dibanding
periode yang sama tahun 2014 yang sebesar US$ 6,17 miliar.
Kinerja ini berkebalikan dibanding Apple. Di periode yang
sama 2015, perusahaan peninggalan mendiang Steve Jobs itu mencetak penjualan
US$ 49,6 miliar dan laba US$ 10,7 miliar. Performanya meningkat dibanding
periode 2014 (penjualan US$ 37,4 miliar dan laba US$ 7,7 miliar).
Dengan kondisi itu, tak heran bila Jay jadi pusat perhatian.
Transisi ini memang sungguh kritikal bagi Samsung. Dan sekalipun baru menjadi chairman
dua yayasan keluarga, sejatinya Jay memang tinggal menunggu waktu. Pasalnya,
kendati kondisinya stabil, Lee (73 tahun) tak mampu berkomunikasi sehingga
diperkirakan tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Jay sendiri sebelumnya
berposisi vice chairman Samsung Electronics, diangkat pada tahun 2013
setelah memulai karir pada tahun 1991.
Tabel: Pangsa
Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015
Periode
|
Samsung
|
Apple
|
Huawei
|
Xiaomi
|
Lenovo
|
Lain-lain
|
Q2/2015
|
21,4%
|
13,9%
|
8,7%
|
5,6%
|
4,7%
|
45,7%
|
Q2/2014
|
24,8%
|
11,6%
|
6,7%
|
4,6%
|
8,0%
|
44,3%
|
Q2/2013
|
31,9%
|
12,9%
|
4,3%
|
1,7%
|
5,7%
|
43,6%
|
Q2/2012
|
32,2%
|
16,6%
|
4,1%
|
1,0%
|
5,9%
|
40,2%
|
Sumber: IDC, Agustus 2015
Ada banyak alasan mengapa Jay diragukan. Sewaktu Lee Kun-hee
mengambil posisi ayahnya (Lee Byung-chul) setelah sang pendiri Samsung itu meninggal
di tahun 1987, orang mengenang bagaimana sosoknya. Lee dikenal visioner, tegas,
kharismatis. Tak berapa lama di pucuk korporasi, Lee yang alumnus Waseda
University (Jepang) dan George Washington University (AS) memproklamasikan
tekadnya yang waktu itu tampaknya sulit diraih: mengubah konglomerat kelas
biasa-biasa saja peninggalan sang ayah menjadi raksasa global, seperti halnya
IBM atau General Electric.
Publik menilai visi Lee tak ubahnya orang yang akan akan
mendaki gunung yang tinggi. Namun terbukti, Lee mampu merealisasikannya.
Strateginya: berinvestasi besar pada teknologi. Tapi bukan hanya itu kunci
suksesnya. Dia juga menerapkan gaya manajemen yang kuat. Di tahun 1993,
misalnya, dia tiba-tiba meminta semua manajer seniornya meninggalkan seluruh
pekerjaan untuk terbang ke Frankfurt, di mana dia memberikan pandangannya
tentang bisnis. Selama 3 hari, Lee tak berhenti ngoceh membeberkan apa
saja pandangannya buat Samsung dan apa yang mesti mereka lakukan.
Lee Kun-hee yang kharismatis |
Hingga kini, tak banyak artikel, baik di media lokal ataupun
internasional yang mengulas figur sang bos muda. Tulisan-tulisan di media barat
malah cenderung mengulang-ulang angle yang sama: anak muda yang nada
bicaranya perlahan, yang belum punya prestasi yang pantas untuk dibanggakan.
Ya, Jay memang diragukan. Saking ragunya, pernah satu waktu
50 orang fund managers, analis pasar modal dan pengamat bisnis di Korsel
ditanya tentang 11 generasi penerus para chaebol di Negeri Ginseng.
Hasilnya: Jay berada di peringkat 7 dalam hal leadership ability, dan
posisi terakhir dalam hal legitimasi mewarisi kerajaan orang tuanya. “Yah,
bagaimanapun dia kan lahir dengan sendok perak. Kami sendiri tak tahu apakah
dia mampu menjalankan bisnis karena belum ada rekam jejaknya,” celetuk seorang
eksekutif senior Samsung yang menolak namanya disebutkan.
Pahit, memang. Namun orang memang sering membandingkan ayah serta
anak ini. Dan celakanya, mereka seperti langit dan bumi. Ketika Galaxy S6
meluncur dan gagal di pasar, misalnya, media-media Korsel menyebutnya “ini
ponselnya Lee Jae-yong” karena dianggap dapat sentuhan sang putra makota yang
diberi posisi Vice Chairman Samsung Electronics. Malang, ponsel ini
jeblok di pasar. Aneka review yang didapat seringkali tak bikin bangga. Posisi
ini berkebalikan 180 derajat dibanding prestasi sang ayah, yang meluncurkan
SGH-T100 pada tahun 2002. Inilah produk hebat Samsung yang pertama, yang
menjadi legenda, yang terjual lebih dari 10 juta unit. Media-media Korsel
menyebutnya “ponsel Lee Kun-hee”. Dan sadisnya, mereka membandingkan kesuksesan
itu dengan Galaxy S6.
SGH-T100 yang legendaris |
Tentu saja komparasi ini seakan menggiring pada satu kesimpulan: Jay
tak layak menggantikan ayahnya. Tapi, apakah dia benar-benar serapuh itu?
Sekalipun banyak orang meragukan kapasitas serta kapabilitasnya, sesungguhnya
lelaki ini telah berupaya digembleng sang ayah untuk menjadi pemimpin yang
tangguh. Lee membuat jabatan chief customer officer (CCO) Samsung untuk
anaknya. Ini adalah pekerjaan yang khusus diciptakan untuk anak laki-laki
satu-satunya itu – dua anak lainnya perempuan.
Sebagai CCO Samsung, Jay ditugaskan menjalin hubungan yang tricky
dengan para kompetitor. Diantaranya, dia menjalin hubungan dengan mendiang
Steve Jobs. Juga punya relasi yang baik dengan Tim Cook, penerus Jobs. Hubungan
Jay juga baik dengan para pemilik raksasa bisnis lainnya, Google.
BERMAIN CANTIK
Jay memang bukan orator. Tapi, sekalipun dianggap tak akan mampu
seperti ayahnya yang bisa bicara panjang lebar selama 3 hari kepada para
direksi dan manajer, dia diasumsikan akan mampu berkonsentrasi pada isu-isu
strategis yang dalam beberapa segi, justru itulah masalah yang dianggap lebih
berat dibanding yang dihadapi ayahnya di tahun 1987. Sekarang, dengan karyawan
hampir setengah juta di seluruh dunia, Jay dituntut mampu mengelola secara
seimbang tiga hal berikut: Pertama, antara kompetisi dan kerjasama dengan para
pesaing. Kedua, antara peranti lunak dan peranti keras. Dan ketiga yang lebih
penting lagi, menggabungkan antara akar Samsung di Korea serta kehadirannya di
pentas global.
Mari kita lihat yang pertama. Di industri elektronik dan industri berbasis
teknologi lainnya, kini salah satu skil yang paling penting bagi seorang bos
perusahaan yang bergelut di dalamnya adalah mengelola hubungan yang begitu
kompleks dengan para pesaing. Satu waktu berkompetisi, di lain hari ber-koopetisi,
sementara pada saat lain bekerjasama. Bagi Samsung, Apple bukan hanya rival
paling sengit dalam menjual ponsel cerdas, tapi juga pelanggan terbesar untuk
semikonduktor keluaran Samsung. Sementara itu, ponsel Samsung berjalan di atas
sistem operasi Android milik Google, membuat keduanya menjadi mitra. Namun
Samsung juga terus berinvestasi besar di Tizen, sistem operasi miliknya, yang
disebut-sebut punya kehebatan untuk ponsel yang lebih sederhana. Hubungan yang
rumit dan kompleks.
Adapun pada hal yang kedua, penjualan peranti keras serta peranti
lunak bisa berjalan beriringan. Menjual ponsel cerdas tak bisa dilepaskan
dengan peranti lunak di dalamnya. Pada beberapa hal, penjualan peranti lunak
bahkan bisa sangat menguntungkan dengan layanan online, terlebih di era
komputasi awan seperti sekarang. Apple dengan iTunes-nya telah membuktikan hal
tersebut.
Di dua persoalan ini, Jay disebut-sebut justru mampu bermain cantik. Dengan
Apple, misalnya. Hubungan yang baik, yang sedikit banyak dijembatani Jay telah
menolong kedua perusahaan dari jerat pertengkaran yang lebih hebat atas masalah
paten. Memang, Apple mendapat hampir US$ 1 miliar setelah menyakinkan juri
bahwa ponsel Galaxy mencontek sejumlah aspek dari iPhone. Namun, setidaknya
persoalan tidak melebar ke mana-mana. Jay bahkan hadir saat Steve Jobs dimakamkan
dalam upacara yang dihadiri oleh kalangan terbatas pada 7 Oktober 2011. Sedikit
banyak, ini menunjukkan kedekatan Apple dan Samsung. “Jay itu pemikir
strategis. Dia tahan berjam-jam bertemu klien penting dan mencapai kesepakatan
bisnis,” ujar seorang eksekutif senior Samsung memuji bosnya.
Adapun untuk hal yang kedua, bagi sejumlah pihak, Jay dianggap mampu turut
melakukan keseimbangan. Di bawah Lee, Samsung telah berupaya membangun
kemampuan software internal. Samsung memperkerjakan ribuan programmer. Sementara
itu, Jay cenderung mengakuisisi keahlian. Beberapa waktu lalu, Samsung membeli
dua perusahaan startup: SmartThings yang membuat peranti lunak yang
menghubungkan sejumlah appliances (yang mengatisipasi era internet of
things) dan LoopPay, layanan mobile payment.
Di dua titik ini, Jay dianggap bisa memainkan peran strategis. Hal
yang sama juga diharapkan bisa dimainkannya pada persoalan yang ketiga. Memang,
ini yang paling sulit: tetap mempertahankan akar Korea, dan menjadi sepenuhnya
global. Mengapa sulit?
Kekuatan terbesar Samsung adalah disiplin dan loyalitas yang tertanam
pada karyawannya. Begitu seorang pemimpin menentukan tujuan, karyawan berbaris
untuk mencapainya. Budaya ini mudah mempertahankannya ketika Samsung masih
perusahaan Korsel atau penuh dengan insinyur-insinyur Korea. Sekarang karyawan
datang dari beragam penjuru dunia dengan latar belakang budaya yang sangat
berbeda. Samsung perlu menjadi organisasi yang open-minded, yang
menerima kreativitas dari manapun.
Lantas, apakah Jay bisa menyelesaikan itu?
Hal yang positif, setidaknya, budaya korporasi Korea bukanlah
sekonformis seperti halnya Jepang di mana ketidaksetujuan adalah tabu, ujar
Mark Newman, analis di Sanford C. Bernstein, yang juga mantan karyawan Samsung.
Dan Jay dengan pendidikan Barat-nya dianggap memahami hal ini dengan baik. Duda
dua anak ini sebelumnya belajar sejarah Asia di Seoul National University, lalu
sekolah bisnis di Keio University (Jepang) untuk kemudian mengikuti program
doktroal di Harvard Business School, fokus pada e-commerce. Jay dikenal
sangat fasih berbahasa Inggris dan Jepang.
Yang jelas, sesungguhnya bukan hanya menggabungkan spirit Korea di
tengah perusahaan yang makin mengglobal yang dituntut dari Jay. Bahkan untuk
urusan antara peranti lunak dan peranti keras pun, dia telah dituntut untuk
menciptakan organisasi yang adaptif. Di tengah upaya Samsung menyeimbangkan
antara hardware dan software, diantaranya dengan mengembangkan
Tizen, Jay menghadapi persoalan: kultur Samsung masih didominasi oleh para hardware
engineer. Ini disinyalir akan menyulitkan sewaktu berhadapan dengan Xiaomi
yang mengambil banyak pangsa pasar Samsung di China. Xiaomi disebut-sebut mirip
Apple yang budayanya cenderung kuat di software engineer.
Di tiga titik inilah bos Samsung akan berkutat. Dan Jay dianggap
tidaklah serapuh yang dibayangkan atau diobrolkan orang. Mereka yang mengenal
Jay memang menyebutnya pemalu. Akan tetapi gambaran itu tidak sepenuhnya benar.
Apalagi bila dia diajak bicara tentang proyek-proyek masa depan Samsung. Apa itu?
Untuk menghindari nasib buruk yang banyak menimpa perusahaan
besar, Samsung kini sangat fokus pada inovasi. Contohnya, chip smartphone-nya
disebut-sebut lebih superior dibanding Intel. Untuk menciptakan terobosan,
Samsung Electronics bahkan membelanjakan hampir US$ 14 miliar pada riset dan
pengembangan di tahun 2014. Jauh di atas yang digelontorkan Apple (US$ 6
miliar) di tahun 2014.
Tapi bukan cuma itu yang dilakukan. Jay akan bersemangat begitu
bicara rencana-rencana Samsung menjadi pabrikan buat perusahaan obat, proyek
yang disebut-sebut sebagai “baby-nya”. Memang, di samping tetap
menggenjot bisnis-bisnis yang sudah ada, terutama yang bernaung di bawah
Samsung Electronics, satu mesin pertumbuhan yang tengah dipacu adalah peralatan
medis. Dan Jay menjadi leader untuk rencana besar ini.
Jay sendiri berencana membuat Samsung jadi pemain besar di bidang contract
manufacturer buat obat-obatan bioteknologi. Samsung akan menyediakan
pabrik-pabrik yang ultra-bersih dengan kualitas sangat tinggi. Dengan berkonsentrasi
di sini dan membiarkan perusahaan farmasi mendesain dan memasarkan obat,
Samsung diharapkan akan dominan di industri pembuatan obat seperti halnya di
industri chipmaking.
Apakah rencana ini akan terealisasi, jelas masih ditunggu. Begitu
juga apakah Jay akan sekuat ayahnya dalam merealisasikan keinginannya. Yang
jelas, bila melihat ke tahun 1987 saat Lee menancapkan ambisinya untuk Samsung,
bisa dikatakan rencana Samsung di obat-obatan adalah menjadi bagian dari ambisi
sang putra makota. Keraguan jelas wajar menghinggapi dirinya karena sebagai
orang dalam di Samsung Electronics, ia dianggap belum mampu mengadang laju
Apple dan pemain-pemain China yang trengginas. Tapi, bisnis adalah bicara
angka. Bila aktor dinilai dari aktingnya, Jay kelak akan dinilai dari angka-angka
penjualan dan laba bersih. ***
0 comments:
Post a Comment