Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, July 14, 2016

SEPENGGAL NASIHAT DARI DOKTER BOEN

Menjadi tamu lelaki ini sangat menyenangkan. Banyak dapat pelajaran hidup, termasuk inspirasi untuk terus belajar, berpikir, berinovasi, semangat, dan optimistis meniti kehidupan.
dr. Boen. Begitu Boenyamin Setiawan akrab disapa. Tampilan lelaki kelahiran Tegal 23 September 1933 ini selalu sederhana meski Forbes menyebutnya sebagai dokter terkaya Indonesia lewat kerajaan bisnis yang didirikannya 50 tahun lalu, Kalbe.
"Media lagi susah, ya?" dia bertanya penuh selidik setelah bicara sejumlah hal, terutama tentang obsesinya memajukan riset di Indonesia, khususnya dalam hal stemcell. Perkara terakhir ini tampak membuatnya begitu terpesona. Bicaranya akan begitu bersemangat bila menyentuh hal ini.
Ditanya demikian, saya hanya mengangguk, lalu bercerita tentang disrupsi besar-besaran di media cetak gara-gara media digital. Tentang hal ini, rasanya tak ada yang mesti ditutup-tutupi.
"You punya media harus berubah. Kalau gak berubah, saya rasa 10 tahun lagi media you tutup," katanya dengan mimik serius dan logat Tegalnya yang masih kental.
Saya hanya nyengir kuda mendengarnya. "Media harus terus berinovasi," katanya lagi di tengah senyum saya yang masih kecut.
Inovasi memang menjadi urat nadinya, bahkan menjadi DNA-nya. Soal ini, tak ada yang meragukan dr. Boen. Promag, Kalpanax, Cerebrofort, adalah segelintir dari barisan produk legendaris yang lahir dari tangan dinginnya.
Setelah ke sana ke mari, termasuk menunjukkan data betapa hebatnya China dalam urusan riset dunia kesehatan, dr. Boen akhirnya menjawab pertanyaanku yang sepele tapi penting: "Dok, apa sih resepnya tetap enerjik di usia sekarang?"
"Rahasianya? 5 B, dilawan 10 B."
"Apa itu 5 B?" tanyaku.


"Ini penyakit degeneratif. B pertama, BUDEG. B kedua, BLAWUR, kemampuan mata sudah berkurang. B ketiga, BESER. Keempatnya, BINGUNG. B kelimanya, BABLAS. Berangkat. Mati, ha...ha..ha..," katanya tertawa lepas.
"Ngelawannya bagaimana sekarang?" dia melanjutkan. "Ada 10 B. Nomer satu, begini, kematian nggak bisa dihilangkan, semua orang akan mati. Tapi bisa diperlambat. Ya matinya diperlambat. Nomer satu, musti BANYAK makan sayur, buah, ikan. B kedua apa? Musti BEKERJA terus jangan pensiun. Kalau you mulai pensiun, mundurnya cepet sekali. Jadi, bekerja terus. Ketiga, jangan lupa BELAJAR. Ya, supaya otaknya terus tuh. Belajar sekarang gampang sekali. Pakai internet. Saya setiap malam di belakang internet, cari data-data.
Nomer empat, musti tetep BEROLAHRAGA. Jangan berhenti berolahraga. Yang kelima, musti tetep BERISTIRAHAT yang cukup. Yang keenam mesti tetep BERSYUKUR. Nomer tujuh musti tetep BERDOA dan BERIBADAH. Ke delapan, BERTOBAT. Nomer sembilannya, BERBAGI. Musti dibagi-bagiin aja. Terakhir, nomer 10 musti BERGEMBIRA. Gembira itu penting sekali. Ngilangin stress. Ha...ha...ha..," katanya.
Selama dia bicara tentang 10 B itu, semuanya diucapkan di luar kepala. Tampak itu memang sudah dipraktikkannya.
"He...he.. Nah itu resepnya," katanya sambil tertawa.
Ah, 10 B ini sepertinya gampang untuk dilakoni. Sayang saya lupa nanya bagaimana caranya tetap kaya di usia tua, he2...

Sunday, April 24, 2016

Parwati Surjaudaja: Katalisator yang Energik

Beban yang diembannya ditunaikannya dengan baik. Posisinya sebagai pemimpin dijalankannya sebagai katalisator. Kekuatannya terletak pada detail dan passion.


PAGI YANG PRODUKTIF

Pagi hari adalah masa paling produktif bagi wanita energik ini. Setelah bangun jam 05.00, dia langsung berolahraga. Usai mengolah fisik selama satu jam lamanya, dia pun bergegas ke kantor. Kebetulan, karena rumahnya dekat, biasanya lantai yang dingin di OCBC NISP Tower, Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta Selatan itu sudah dijejaknya pada jam 6.30. Jarang sekali dia datang setelah arloji di tangan menunjukkan angka 07.00. Begitu selalu rutinitas yang dijalaninya

Parwati Surjaudaja. Demikian wanita berambut pendek yang gesit ini. Memimpin bank beraset di atas Rp 100 triliun dan karyawan 7000 orang tentu tidaklah mudah. Datang pagi setelah menjaga kebugaran menjadi modal awalnya untuk mengemban tugas yang tak mudah.

Ya, bukan tanpa maksud dia rutin datang pagi. Dia sengaja tiba lebih awal untuk mengecek email berikut dokumen lain yang masuk, sekaligus memastikan apa yang akan dilakukannya hari itu. “The most productive time pagi-pagi sebenarnya, karena belum banyak yang datang,” ujarnya ringan. Aneka rapat baru dimulainya pada jam 8 pagi. Lewat jam itu, dia seperti pelari marathon: berpindah dari satu rapat ke rapat lain.

Tapi tentu saja datang pagi bukan modal segalanya untuk mengelola bank yang dipimpinnya sejak 2008 itu. Terlebih persaingan di industri perbankan nasional sangatlah ketat. Diperlukan pemimpin yang piawai dalam menyusun strategi, mengokestrasi inovasi yang kontinyu, dan memimpin armada agar mampu memenangkan pertempuran.

Menyadari hal itu, Parwati berupaya selalu menjadi penggerak atau pendorong bagi timnya agar menjadi winning team. Untuk itu, dia pun harus lebih mendisiplinkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Datang lebih awal cuma satu contoh kedisiplinan, bahkan bentuk dari profesionalisme yang merupakan budaya kerja OCBC NISP. Sejak tahun 2012, bank ini memiliki tiga values: Professionalism, Integrity, dan Customer Focus.

Kantor Pusat OCBC NISP di Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta

Kedisplinan datang pagi juga menjadi wujud dari prinsip yang selalu dipegangnya teguh: walk the talk atau always do as you say. “Apapun yang dikatakan dan dilakukan harus sama. Dengan seperti itu, akhirnya apa yang ingin kita capai atau ingin kita drive, pasti tercapai. Kalau kita cuma ngomong tapi tidak sesuai dengan kelakuan kita sendiri, akan sulit,” jelasnya.

Bukan hanya kedisiplinan untuk sesuai kata serta perbuatan, saat akan mengarahkan anggota timnya pun dia berusaha mendisiplinkan untuk selalu bertanya kepada dirinya terlebih dahulu. Dia akan men-challenge serta mengonfirmasi pada dirinya sendiri: apakah target yang ditetapkannya, baik jangka pendek maupun panjang sudah benar; apakah arah strategi untuk mencapainya sudah tepat; dan apakah seluruh asumsinya valid.

Mengapa harus meyakini terlebih dahulu?

MEYAKINI VISI

“The very essence of leadership is that you have to have a vision. It’s got to be a vision you articulate clearly and forcefully on every occasion. You can’t blow an uncertain trumpet.” Begitu kata Theodore Hesburgh, mantan Presiden Universitas Notre Dame.

Seorang pemimpin bukan hanya punya visi, tapi juga meyakini bahwa visi itu bisa terartikulasi dengan kekuatan pasukan yang ada. Dengan menggunakan kacamata four roles of leadership, Parwati menyadari perannya sebagai perintis tak ubahnya sang pembuka jalan. Dengan bertanya pada diri sendiri, dia melihat kondisi secara helicopter view. Dia mengkaji bagaimana posisi OCBC NISP dalam industri perbankan serta para pesaing. Ditelaahnya apa yang menjadi masalah, tantangan berikut peluangnya.

Selama berbincang dengan SWA, Parwati bertutur dengan penuh keteraturan di tengah semangat yang besar. Wanita yang selalu melangkah gegas dan gesit ini, tampak memikirkan setiap kata yang terlontar dengan cermat. Sore itu, di tengah langit Jakarta yang cerah, dia mengenakan baju bermotif etnik berwarna gelap dan celana hitam dengan model lurus. Senyumnya tak henti mengembang di wajahnya yang tampak belum banyak berkerut di usia 50-an. Terlebih bila bicara akan ke mana di ingin membawa OCBC NISP, dia akan penuh semangat bercerita.

Berterus terang, dia ingin menjadikan OCBC NISP masuk 10 besar bank dengan pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan. Caranya?

“Dilihat dari tatanan OCBC NISP, dari tatanan di dalam, segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lebih cocok buat kami,” imbuhnya. Faktanya, segmen mikro memang sangat menggiurkan. Parwati sendiri mengamati dengan seksama bagaimana BRI dan Danamon bermain di sini, dan menjadi pemain yang dominan.

Memang sektor UMKM terbilang tahan banting. Sementara kredit sektor lain mampet, sejumlah bank menjadikan kredit ke UMKM sebagai tumpuan usaha yang terbukti mampu menyelamatkan kantung mereka. BRI contohnya. Tahun lalu, bank ini membukukan pertumbuhan kredit UMKM sebanyak 16,8%, sementara di tahun 2014 tumbuh 16%.

Lantaran hal itu, Parwati pun mendorong perusahaannya konsisten, bahkan masuk lebih dalam ke pasar UMKM, yang nota bene merupakan segmen tradisional NISP saat awal beroperasi di Bandung. Salah satu yang kini digenjot habis adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) UKM OCBC NISP. Ini adalah produk pinjaman yang dikhususkan untuk pelaku usaha kecil dengan suku bunga 11- 12,25% per tahun. Nasabah bisa memilih antara KMK (kredit modal kerja) atau kredit investasi.

Tapi Parwati juga tak melupakan segmen korporasi besar. Apalagi dia mengetahui bahwa kekuatan tradisional OCBC adalah sektor korporat. “Segmen UMKM dan korporat ini jadi kekuatan, setelah melihat kekuatan-kekuatan sumber daya di dalam,” tuturnya.

Bicara sumber daya, Parwati sangat memperhatikannya. Sebab, bagaimanapun, kesuksesan seorang CEO akan bergantung pada bagaimana kekuatan serta keberhasilan anggota timnya hingga di level paling bawah.

Agar mereka bisa berhasil, dia menyadari perannya yang kemudian dibutuhkan adalah menyelaraskan antara apa yang menjadi visinya dengan sumber daya yang ada. khususnya, dari sisi manusia.

Parwati, selalu men-challenge diri


DETAIL 

Di atas disinggung bagaimana Parwati terus men-challenge dirinya terhadap visi serta strategi buat perusahaan. Untuk urusan menyelaraskan, maka setelah meyakini seluruh visi serta strateginya itu adalah yang terbaik bagi perusahaan, barulah dia mengajak direksi duduk meminta masukan agar semuanya makin tajam, menarik, dan on the track.

Rama P. Kusumaputra, Managing Director OCBC NISP melihat justru di sanalah kekuatan Parwati. Baginya, CEO-nya itu sungguh kuat dalam men-set strategi jangka panjang dan detail. “Ibu Parwati memiliki latar pernah menjadi konsultan, dia jadi sangat detil,” katanya. Sebelum bergabung di perusahaan keluarga, Parwati memang sempat menjadi Konsultan Senior di SGV Utomo/ Arthur Andersen (1987-1990).

Menurut Rama, ada beberapa leader yang dikenalnya sangat bagus dalam strategi jangka panjang, tapi kurang detail, lalu diserahkan ke orang lain. “Ibu Parwati juga memiliki passion yang tinggi di pekerjaannya, sudah terbiasa mengawal sesuatu dari A sampai Z. Dalam menjalankan strategi jangka panjang, dialah yang memimpin, meyakinkan semua pihak bahkan semua level. Turun ke kota-kota untuk memimpin perubahan,” paparnya.

Kendati terbilang detail, bukan berarti dalam eksekusinya jatuh dalam micromanagement. Dalam konteks ini, ibu empat anak yang beranjak dewasa itu percaya pentingnya empowerment yang terkontrol dengan baik. Dan sebagai pemimpin, katanya, dia mesti memperhatikan mulai dari kesiapan tim, kompetensi serta kebutuhannya, untuk kemudian menilai lewat indikator-indikator kunci. Dari keseluruh proses ini, dia melanjutkan, yang terpenting baginya sebagai pemimpin adalah mendengar serta menerima kritik yang membangun.

Empowerment ini penting, apalagi menghadapi generasi kerja sekarang, Gen Y dan milenial. Kita harus menyadari, bahwa kita sebagai leader tidak selalu benar. Dunia berubah cepat sekali. Kalau semua tersentralisasi dan kuasa di bawah kita, bisa dipastikan akan terlambat. Karena kita tidak pernah tahu persis di lapangan seperti apa,” jelasnya. Berhubungan dengan dua generasi ini memang membuatnya memberi penekanan khusus. Maklum, saat ini, 70% dari 7000 karyawan adalah Gen Y.

Dengan tatapan yang ramah, Parwati menjelaskan bahwa proses empowering ini terus diperbaikinya dari waktu ke waktu. Sewindu lalu, keputusan kredit sebesar apapun ada di ruangannya. Kini itu tidak terjadi lagi. Kantor cabang punya kewenangan besar sehingga bisa memutuskan perihal kredit dalam nilai yang tinggi. “Sejak pertengahan tahun kami melakukan perubahan. Sebelumnya semua di kantor pusat, kini kami dorong empowerment ini hingga ke ujung. Jadi, kepala cabang menjadi CEO bagi masing-masing kantornya. (Tapi) Soal empowerment ini kami belum sempurna, kami terus memperbaiki diri,” ujarnya.

Selain kewenangan kredit, yang juga didorongnya adalah inisiatif untuk menggali consumer insight. Temukan insight, temukan insight, temukan insight. Itu selalu pesannya. Pesan lainnya: ciptakan rasa nyaman dalam diri nasabah! “Kami ingin hubungan dengan nasabah adalah partnership. Jadi, (bersifat) jangka panjang. Artinya dalam berbisnis kita harus win-win,” dia menegaskan.

Sebelum empowerment yang sekarang diterapkannya, menurutnya orang cenderung pasif: kalau tidak ditanya, tidak memberikan masukan. Lebih-lebih lagi, sewaktu ada pinjaman bermasalah, mereka tidak mau ikut bertanggung jawab. “Dengan empowerment sekarang, bisnis lebih cepat memberikan pelayanan, mengambil keputusan juga cepat, nasabah lebih senang, orang kami juga jadi lebih senang karena dipercaya, jika ada masalah dia berani mengambil tanggung jawab,” Parwati menjelaskan.

Model pemberdayaan yang ditempuh Parwati boleh jadi tak terlepas dari gemblengan yang diterima dirinya, yang diberdayakan sang ayah, Karmaka Surjaudaja untuk mengambil tampuk pimpinan perusahaan di saat-saat yang penting di tahun 2008. Kebetulan, pada tahun-tahun itu, kesehatan Karmaka juga sedang terganggu.

Sedikit ke belakang, Parwati memang berada di titik yang penting dalam perjalanan perusahaan. Bila mengilas balik, perjalanan NISP terentang panjang. Saat awal dikibarkan, sang pendiri, Lim Khe Tjie yang juga mertua Karmaka menamakan perusahaannya NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank. Tahun 1960-an, di tangan Karmaka yang diserahi tampuk perusahaan, NISP tumbuh menjadi bank yang solid dan prudent. Wujud kehebatan itu adalah tahun 1997. Tanpa bantuan pemerintah, bank kebanggaan warga Bandung ini sukses melewati krisis keuangan Asia dan tumbangnya perbankan di Indonesia.

Reputasi ini memancing sejumlah institusi internasional untuk “menikahi” NISP. Di tengah gelombang restrukturisasi perbankan nasional yang melahirkan raksasa-raksasa hasil merger antarbank, akhirnya NISP menerima lamaran OCBC pada 2004.

Parwati dipercaya memimpin perusahaan di masa penting ini pada 2008 kala perusahaan bersalin nama menjadi OCBC NISP. Dan berikutnya, di tahun 2011, dia memimpin merger lanjutan antara OCBC NISP dengan OCBC Indonesia.

Wanita ini mengingat momen merger itu dengan baik seakan peristiwa itu baru saja berlalu di pelupuk matanya. Menurutnya saat itu banyak karyawan sempat ragu dengan langkah merger ini. Alasaannya: tak sedikit merger bank yang berujung kegagalan. “Bahkan ada karyawan yang bilang ke saya sambil menangis. Karena trauma, (mereka) mempertanyakan langkah saya mengapa harus mengambil keputusan merger. Jadi dia pindah dari bank sebelumnya karena bank itu merger. Saat itu saya berpikir betapa mengerikan merger itu,” kenangnya.

Toh sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Parwati tetap harus jalan. Dan dia mampu meyakinkan karyawan bahwa merger akan membuat mereka jauh lebih baik. Dia juga sanggup merapikan proses merger sekaligus menekan “rasa sakit” akibat merger semaksimal mungkin. “Waktu itu kami berhasil membuat proses merger tidak bertahun-tahun, tapi hanya dalam waktu tiga bulan,” kata anak keempat dari lima bersaudara ini.

Jadi, Parwati berhasil mewujudkan merger dengan mulus tanpa riak besar hanya dalam waktu hitungan bulan. Kuncinya?

Menurutnya, kuncinya terletak pada manusia. 80 persen waktu dalam proses merger ini adalah bagaimana membuat orang bisa menyatu dengan baik. Faktor sukses lainnya adalah karena bisnis masing-masing tidak bertabrakan, malah punya kekuatan yang saling melengkapi: NISP di ritel, sementara OCBC di korporat.

Keberhasilan ini tentu saja menambah percaya diri Parwati sebagai pemimpin perusahaan. Maklum, memimpin perusahaan hasil merger bukan hanya memadukan kekuatan bank lokal serta bank asing, tapi juga menyelaraskan seluruh strategi yang dibuat agar bank hasil merger ini bisa tumbuh mengesankan di tengah persangat industri yang tambah ketat dari waktu ke waktu, yang berbeda dengan dekade 1990-an, apalagi saat bank ini berdiri.

4 April 2016, OCBC NISP berulang tahun yang ke-75. Parwati tak bisa menutupi rasa bangganya sebagai generasi ketiga yang mampu membesarkan perusahaan keluarganya (sekalipun sahamnya telah minoritas). Menurutnya, tak banyak bank di Indonesia yang sudah melewati 5 dasawarsa. Selain OCBC NISP, ada BRI dan Bank HS yang usianya lebih dari 70 tahun. Selebihnya berusia lebih muda.

Dia pun senang karena dari sisi governance, OCBC NISP solid. Begitu juga dari sisi kinerja keuangan. Soal performa, aset pada Desember 2008 di posisi Rp 39 triliun. Tahun 2015 mencapai Rp 120 triliun. Sementara itu laba bersih terus menanjak. Saat menjadi CEO, laba bersih di posisi Rp 350 miliar (2008), tahun 2015 di posisi Rp 1,5 triliun. Adapun tahun 2014, laba bersih tercatat Rp 1,3 triliun.

Pendapatan berbasis bunga masih menjadi motor performa ini. Pendapatan bunga bersih tercatat naik 18% dari Rp 3,74 triliun (2014) menjadi Rp 4,42 triliun (2015). Ini merupakan buah dari agresivitas pengucurkan kredit. Penyaluran kredit tumbuh 26% menjadi Rp 85,88 triliun.

KATALISATOR

Tentu saja ini membanggakan di tengah kondisi perekonomian global dan nasional yang tengah mengkeret. Toh bicara pencapaian kinerja ini tak lantas membuatnya langsung bertepuk dada. Dia sepertinya memahami pandangan John Maxwell yang mengatakan “A good leader is a person who takes a little more than his share of the blame and a little less than his share of the credit.”

Karena itu pula, saat diberi tahu dirinya menjadi The Best CEO 2016, dia pun hanya tersenyum ringan. “CEO (itu) hanya sebagai katalisator. Yang pasti ini bukan pencapaian pribadi,” katanya. Bukan tanpa alasan dia menyatakan demikian. Baginya team work-lah yang membuatnya berhasil. Yang pasti, benghargaan ini seakan menjadi kado buat ulang tahun perusahaan yang dirintis kakeknya itu.

Dia sendiri lebih fokus untuk membawa perusahaannya ini melesat lebih tinggi, cepat dan solid. Banyak target yang telah dipatok bersama. Dan itu membutuhkan sentuhannya selaku pemegang komando tertinggi.

Waktu yang beranjak petang membuatnya siap-siap untuk menyelesaikan pekerjaan dan pulang ke rumah. Seperti saat ke kantor, alumnus Master of Business Administration, Accounting, San Francisco State University, California ini juga selalu berusaha tepat waktu tiba di kediamannya. Sesampainya di rumah pada jam 19.00, dia akan bersalin peran: bila di kantor menjadi ibu bagi karyawan, di rumah dia menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Keluarga sangatlah penting baginya. Sekalipun terhitung pekerja keras, Parwati tetap meluangkan waktu buat keluarga. Terutama saat libur. Sewaktu libur tiba, mereka pun akan menikmatinya bersama. “Saya hobi traveling. Biasanya bersama anak-anak sambil mengajarkan mereka tentang banyak hal. Biasanya setahun saya punya jadwal (berlibur),” kata perempuan yang juga menggemari kuliner ini. Kecuali Kalimantan, hampir semua provinsi di Indonesia sudah dirambahinya untuk jalan-jalan. Tapi menjejak Tanah Borneo itu sepertinya hanya soal waktu. Kini dia masih berkonsentrasi untuk membuat perusahaannya makin berkibar.

Yang jelas, menyadari keterbatasan diri di tengah bisnis yang dinamis, Parwati tak mau seperti roda yang berhenti berputar. “Sebagai CEO, harus terus belajar, tidak boleh berhenti,” dia memungkas pembicaraan. Dan satu kalimat bahasa Sunda terlontar dari bibirnya begitu SWA mengucapkan “hatur nuhun” serta pamit undur. “Sawangsulna,” ujarnya sambil tak lupa memberikan senyum. ***

Sunday, April 17, 2016

Sekerat Scotch dan Foto Kematian Einstein


Sekerat scotch membuka pintu mulut yang tertutup. Tapi sebuah telepon membungkam karya eksklusif yang siap tersaji.


NO PICTURE = HOAX

Di jaman social media seperti sekarang, kita mengenal istilah berikut: no picture = hoax. Akhirnya, saking kreatifnya, bahkan aneka picture pun diedit sehingga alih-alih fakta, yang muncul justru hoax. Paradoks

Foto memang telah lama jadi kekuatan sendiri. Bahkan ada istilah: One Picture Worth Ten Thousand Words. Frase yang lahir 10 Maret 1927 lewat sebuah iklan ini menunjukkan pentingnya foto, bahkan kadang melebihi kekuatan kata-kata.

Bukti kekuatan foto melebihi kata-kata adalah foto-foto kematian Einstein. Ya, 18 April 1955, atau 61 tahun yang lalu, Einstein meninggal dunia. Tentu saja ini bukan dalam rangka memperingati kematian sang jenius. Tapi mengingatkan tentang bagaimana foto bicara. Dan bagaimana proses di baliknya.

Proses ini terjadi ketika fotografer LIFE, Ralph Morse menerima telepon dari editornya yang memberi kabar penting. Pagi itu, Einstein gagal jantung di usianya yang ke-75.

Mendapat kabar demikian, Morse segera mengambil kameranya. Dia mengendari mobilnya sepanjang 90 mil dari rumahnya di New Jersey ke Princeton. Einstein mangkat di Princeton Hospital.

Morse mengenang situasi saat dia datang. “Wartawan, fotografer, dan orang-orang yang ingin tahu ada di sana. Karena itu saya segera pergi ke kantor Einstein di Institute for Advanced Studies. Di tengah jalan, saya membeli sekerat scotch. Saya tahu orang mungkin akan enggan bicara, tapi kebanyakan orang senang menerima sebotol minuman ketimbang uang sebagai ganti kebaikan hati mereka,” katanya.

Morse kelahiran Manhattan 1917. Dia salah satu fotografer andalan LIFE. Sambil membawa scotch, dia pun masuk ke kantor Einstein. Minuman yang dibawanya, dia berikan ke superintenden kantor Einstein. Dia pun bisa masuk ke kantor sang jenius. Dia pun mendapat kesempatan memotret raung kerja Einstein, termasuk meja kerjanya yang berantakan.






Hari beranjak sore sewaktu Morse mendengar kabar tubuh Einstein dipindahkan dari rumah sakit ke rumah duka di Princeton. Peti jenazah yang berisi jenazah paska otopsi hanya akan mampir selama 1-2 jam di rumah duka.

Mendengar berita itu, Morse pun segera berjalan lagi ke rumah sakit. Dia melihat dua orang membawa peti mayat. Kameranya pun segera bekerja.

Morse tahu, penguburan Einstein akan segera berlangsung. Berharap mendapat posisi yang tepat di acara penguburan, dia pun bergerak ke Princeton Cemetery. “Saya pergi ke pemakaman untuk mencoba menemukan di mana Eistein akan dikebumikan,” kenang Morse. Toh keraguan menyergapnya. “Pasti ada dua lusin tanah sedang digali hari itu! Saya melihat sekelompok pria sedang menggali tanah. Saya pun menawarkan sebotol scotch, bertanya apakah mereka tahu tentang informasi penguburan Einstein. Salah seorang dari mereka bilang, ‘Dia dikremasikan sekitar 20 menit lalu di Trenton.’ Maka saya beri sisa scotch yang ada, masuk mobil, cabut ke Trenton dan ke krematorium sebelum teman serta keluarga Einstein datang,” katanya. Trenton adalah ibu kota New Jersey.




Di krematorim itu, dia adalah satu-satunya forografer. Betapa senangnya dia karena hanya dia yang mengabadikan momen penting itu. “Ini berita besar,” katanya. Setelah mendapat banyak foto ekslusif, Morse  pun pergi ke Manhattan, ke kantor LIFE. Hatinya berbunga-bunga. Proses kematian seorang jenius sudah ada dalam kameranya. Termasuk dokter yang mengautopsi tubuh Einstein berikut otaknya.


TELEPON YANG MEMBUYARKAN SEMUANYA

Di kantor LIFE, Ed Thompson menyambutnya. Ed adalah managing editor LIFE, seorang jurnalis kawakan. “Ralph, aku dengar kau punya foto ekslusif yang hebat,” kata Ed.
“Yeah. Memang,” jawab Morse.
Well, tapi kita tak akan menurunkannya,” jawab Ed.

Lemaslah Morse. Ed kemudian bercerita bahwa Hans, putra Einstein telah menelponnya, meminta untuk tidak menurunkan foto-foto kematian Einstein. Alasannya, demi privasi keluarga Einstein.

“Anda tak bisa menjalankan sebuah majalah tanpa editor yang membuat keputusan. Ed telah mengambil keputusan. Maka saya berpikir, ya sudahlah... Saya kemudian bergerak untuk meliput tugas yang baru. Saya tak berpikir foto-foto itu akan terbit. Dan saya melupakannya,” kata Morse.

Belakangan Morse baru menyadari. Dia telah bertemu Hans. Dan putra Einstein itu sempat bertanya dari mana dia berasal. Pertanyaan ini tak disangka telah membawa konsekuensi bagi karyanya.

60 tahun kemudian, majalah LIFE baru menghadirkan beberapa foto di hari kematian sang legenda itu. Morse sendiri berumur panjang. Dia mangkat 7 Desember 2014.

Kisah foto Einstein adalah salah satu kisah jurnalisme yang menarik. Kegigihan dan kecerdikan Morse berada di balik foto-foto kematian ikon abad 20 ini. *** 

Sunday, April 10, 2016

Perempuan Hebat di Balik YouTube

Keseimbangan antara rumah tangga serta karir menjadi perhatiannya. Dan dia membuktikan bahwa peran sebagai ibu serta eksekutif puncak bisa berjalan beriringan.

KEPERCAYAAN LARRY 

Tak banyak orang, apalagi wanita yang bisa masuk lingkaran dalam Larry Page yang disebut tim “L”. Namun itu tak berlaku buat Susan Wojcicki. Dia adalah perempuan pilihan yang sangat dipercaya sang pendiri Google tersebut.

Tentu ada alasan mengapa perempuan 47 tahun ini begitu istimewa. Dan kita bisa paham bila mengetahui bagaimana perusahaan raksasa ini pada awal berdirinya yang begitu sederhana.

Tahun 1998, saat merintis Google, Larry dan Sergey Brin memulainya dari sebuah garasi di Menlo Park. Mereka membayar sewa sebesar US$ 1.700 sebulan kepada sang pemilik. Dialah Susan yang tinggal bersama suaminya, Dennis Troper. Saat itu perutnya tengah buncit, hamil 4 bulan anak yang kedua. Mereka menyewakan garasi untuk menambah biaya membayar hipotek rumah.

Perempuan berambut sebahu ini mengenang masa-masa indah di garasi itu. “Di larut malam, kami bersama-sama makan pizza. Larry dan Sergey bercerita tentang teknologi mereka yang bisa mengubah dunia.” Ujung-ujungnya, Susan diajak anak-anak Stanford itu untuk bergabung ke Google. Dan tak lama kemudian, dia pun menjadi karyawan ke-16. Pekerjaan di Intel ditinggalkannya. Dia bekerja di garasi rumahnya sendiri bersama anak-anak muda yang percaya teknologi mereka sangat revolusioner. Posisi yang dipegangnya adalah manajer pemasaran yang menjadikannya menjadi manajer pemasaran pertama Google. Belakangan, suaminya, Dennis Troper juga bergabung menjadi Googler (karyawan Google).

Sejarah kemudian mencatat, pilihan itu tidak keliru. Sekarang, siapa tak kenal Google, raksasa teknologi yang sangat perkasa. Dan Susan adalah orang kepercayaan Larry serta Sergey dengan posisi mentereng, CEO YouTube.


Inilah garasi milik Susan yang menjadi awal kelahiran Google

INISIATOR AKUISISI YOUTUBE

Bukan karena semata pertemanan serta sejarah yang membuatnya menduduki kursi bergengsi tersebut. Banyak prestasi yang telah dicetak kelahiran California ini. Perempuan inilah yang banyak terlibat dalam banyak proyek strategis Google. Dia memimpin produk iklan dan analytic termasuk AdWords dan AdSense yang kemudian menjadi sumber pendapatan kedua terbesar bagi Google.

Salah satu prestasi terbesarnya adalah buah dari intuisi bisnisnya. Tahun 2006, begitu melihat YouTube yang waktu itu masih start-up kecil memiliki potensi sangat besar, dia segera mengusulkan direksi Google untuk mencaploknya. Dan Susan yang waktu itu menjabat Senior VP Advertising & Commerce sukses memimpin proses akuisisi senilai US$ 1,65 miliar ini. Setahun berikutnya, dia pun dipercaya memimpin akuisisi DoubleClick (US$ 3,1 miliar) yang juga diusulkannya.

Di Google, sangatlah krusial untuk mendapat kepercayaan dari para pendiri. “Jika Anda tak punya itu, atau Anda kehilangan kepercayaan mereka (Larry dan Sergey), akibatnya fatal. Tapi begitu Anda dipercaya, Larry akan memanggilmu sekaligus memberikan rantai kepercayaan yang panjang. Orang-orang seperti Susan, Salar Kamanger (eks CEO YouTube) dan Marissa Mayer (kemudian jadi CEO Yahoo), mendapat rantai yang sangat panjang itu. Dan saya kira Susan selalu bisa mempertahankannya,” ujar mantan eksekutif Google.

Lantaran performanya yang meyakinkan sebagai otak strategi iklan Google, Susan disebut-sebut sebagai "the most important person in advertising". Belakangan, pengakuan lebih bergengsi datang ketika dia masuk 100 orang berpengaruh majalah TIME tahun 2015.

Lagi, ini adalah buah dari kejeliannya sebagai pemasar. Dan memang dia berbakat di area ini. Sebelum di Google, alumnus Harvard College ini bekerja di bagian pemasaran Intel di Santa Clara, Califonia, setelah menjadi konsultan manajemen Bain & Company serta R.B. Webber & Company. Di Google, sejak awal dia ikut mendesain program viral marketing yang kelak menjadi Google doodles pertama (logo-logo Google yang dimodifikasi sedemikian rupa yang ditampilkan pada saat ada peringatan atau event tertentu pada setiap negara yang men-support mereka). Susan juga terlibat dalam Google Images dan Google Books.

Kecerdikaannya membangun pipa bisnis iklan bagi Google sangat diakui. Dominasi search enginge Google juga mendapat sentuhannya. Dialah yang bertanggung jawab untuk pemasaran layanan mesin pencari, dengan nilai anggaran pemasaran yang minim. Bagaimana dia melakukan itu?

Dia mulai dengan kemitraan dengan universitas dan melibatkan mereka, termasuk di Google search bar di website mereka. Dari sinilah kemudian semua berjalan hebat.

Sederet prestasinya inilah yang akhirnya membuat dewan direksi Google tak ragu untuk memindahkannya dari posisi penasehat untuk divisi iklan dan perdagangan (berkontribusi 90% pendapatan Google) menjadi CEO YouTube pada Februari 2014. Tugasnya adalah memastikan laba YouTube tidak tergerus para pesaing.

Susan Wojcicki

Ini adalah tugas yang tak mudah. YouTube, platform video online terbesar di dunia, terus dihantam para pesaingnya. Ia mungkin kisah sukses terbesar di panggung video online. Dengan pengunjung 1 miliar sebulan, nilainya ditaksir US$ 20 miliar. Tahun 2014, pendapatannya mencapai US$ 4 miliar, naik 33% dari tahun 2013.

Namun ia kini bukan lagi pemain utama. Ruang yang dulu didominasinya kini ditempati banyak pesaing yang lincah. Facebook punya 8 miliar views perhari. Snapcat mengklaim mengatungi US$ 100 juta. Sementara itu, pemain-pemain baru seperti Vessel, Go90, Watchable, dan Vimeo, semuanya makin lapar dengan konten. Yang membuat persaingan tambah memanas adalah YouTubers sekarang tak selalu menjadi YouTubers sejati. Sekarang orang bisa memasang konten video di Facebook, Twitter dan Snapchat.

Ini jelas tantangan berat buat Susan. Akan tetapi, publik tak semata melihat kinerja bisnisnya. Mengapa?


MOM OF GOGGLE

Yang menarik perhatian publik adalah sosok Susan yang tak berubah, baik sebagai ibu, wanita karir, maupun eksekutif puncak. Dia tetap sosok yang lantang menyuarakan keseimbangan hidup antara peran sebagai ibu, istri dan karyawan sebuah perusahaan. Opininya yang ditulis beberapa waktu lalu di Wall Street Journal menegaskan hal tersebut. Dia kembali menegaskan tentang pentingnya paid maternity leave. Dia meyakini bahwa perusahaan-perusahaan AS bisa berkembang jika mendukung family benefit yang kian diperluas seperti paid maternity leave. “Karena kaum Ibu punya banyak waktu untuk membentuk ikatan dengan anaknya, dan begitu kembali ke kantornya, mereka merasa percaya diri dan siap,” ungkapnya. Kebijakan ini, dia melanjutkan, sangat terbukti di Google. Setelah kebijakan paid maternity leave diberlakukan pada tahun 2007, tingkat kaum perempuan yang keluar dari Google turun 50%. Ini menguntungkan perusahaan karena bisa menahan keahlian serta pengalaman yang ada pada diri perempuan-perempuan yang melahirkan itu.

Jangan heran dan kaget bila suara keras semacam itu terlontar darinya. Susan memang eksekutif papan atas yang menekankan pentingnya keseimbangan antara keluarga serta karir. Dan itu telah tercermin sejak lama. Bahkan dari hal yang tampak sepele. Apa itu?

Tugas pertama yang ditugaskan Larry adalah mencari kantor buat Google begitu mereka memutuskan akan keluar dari garasi. Dan Susan menemukan tempat di Mountain View dengan satu alasan kunci: ada dapurnya!

Bagi orang lain, itu mungkin sepele. Namun buatnya, ini hal penting. Dan kelak, buat Google, ini adalah bibit untuk lahirnya sebuah perusahaan yang ramah terhadap pekerjanya, terutama kaum ibu. Ya, Google adalah tempat kerja yang ramah untuk working parents. Di sini, kaum ibu punya tempat parkir khusus, punya hak 18 bulan paid parental leave, lalu ruang menyusui, juga ruang laundry. Tak heran, berkali-kali Google mendapat apresiasi sebagai tempat bekerja yang paling nyaman.

Susan berempati besar pada perempuan hamil. Maklum, seperti disinggung di atas, saat masuk Google, dia sedang hamil 4 bulan. Dan karena dia bisa membuktikan bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tak menghambat karirnya, dia pun sangat aktif mendorong work life balance. Dia sepenuhnya percaya bahwa punya anak membuatnya justru lebih baik dalam pekerjaannya. Sebaliknya, pekerjaannya membuat dirinya jadi ibu yang lebih baik. “Menjadi ibu dan wanita karir membuat saya mendapatkan perspektif penting, baik sebagai ibu maupun di tempat kerja,” katanya.

Ucapan ini jelas bukan isapan jempol. Banyak orang berasumsi istri Dennis Troper ini akan keluar dari karir begitu melahirkan anak kedua. Nyatanya dia meniti karir hingga puncak. Bahkan, satu demi satu anaknya lahir hingga berjumlah 5 orang!

“Saya bergabung Google ketika hamil anak kedua. Jadi, anakku sudah terasosiasi dengan Google. Kemudian saya bekerja dengan tim menciptakan AdSense setelah cuti melahirkan. Anakku yang ketiga berasosiasi dengan YouTube. Sementara yang keempat dengan DoubleClick,” katanya. Tak heran, dia sering menyebut dirinya “Mom of Google”. Oh ya, karena bergabung saat hamil, dialah karyawan Google pertama yang punya anak. Dan setelah itu, dia mendesain in-house daycare center sebagai dedikasi buat kaum ibu bekerja.

Sebagai CEO wanita di industri teknologi yang didominasi kaum Adam, tak ayal, kesuksesan karir sebaga ibu dan perempuan bekerja telah membuatnya menjadi figur yang unik. Ibu 5 orang anak ini adalah orang yang mematahkan anggapan bahwa seorang perempuan tak bisa menyeimbangkan aspek parenthood dan menjadi eksekutif puncak.

Susan bersama suami


KESEIMBANGAN PERAN

Tentu saja ini menuntut kedisplinan tingkat tinggi. Di tengah kesibukannya, Susan tetap menyediakan waktu untuk keluarga. Saat jam 06.00-09.00 pagi, dedikasinya dicurahkan untuk keluarga. Dan dia berusaha berada di rumah antara 18.00-21.00. Fokus menjadi kuncinya.

Tapi Susan jelas bukan malaikat. Awalnya tidaklah mudah untuk menerapkan itu. Dia mengakui mengecek email setelah kelima anaknya tidur, atau mengetik SMS dengan anak-anaknya saat di tempat kerja. Karena itu hal yang sulit, akhirnya dia memutuskan akan lebih baik untuk tetap memisahkah kehidupan pekerjaan dan rumah. “Di pagi hari, saya fokus menyiapkan anak pergi sekolah. Ini adalah proyek besar. Tapi begitu mereka pergi, saya pun berangkat kerja. Dan begitu saya di tempat kerja, saya fokus dengan pekerjaan,” katanya.

Bertahun-tahun menjalani kehidupan seperti itu, akhirnya Susan sepenuhnya percaya kehidupan di rumah yang baik sangat penting bagi kesuksesan di tempat kerja. Karena itulah dia pun ingin semua orang tua bisa mengurus anaknya seraya tetap bersinar di tempat kerja. “Saya sangat terbuka dengan tim tentang jam kerja saya sehingga mereka bisa melakukan hal yang sama, merasa oke untuk pulang ke rumah dan menikmati makan malam bersama keluarganya,” katanya.

Yang pasti, “Menjadi ibu memberikan perasaan yang mendalam tentang tujuan hidup, lebih banyak rasa sayang, dan kemampuan yang lebih baik untuk memprioritaskan dan mewujudkan sesuatu secara lebih efisien.”

“Kalau Susan ngomong (tentang karir dan keluarga), orang akan mendengarkan,” komentar Jennifer Owens, editorial director majalah Working Mother. Jennifer juga menceritakan bahwa kehadiran Susan di dunia teknologi menjadikannya contoh yang baik. “Karena dia menggunakan mantel seorang ibu bekerja yang bangga pada dirinya, sehingga kaum perempuan bisa melihat peluang mereka untuk maju,” ujarnya.

Kini lewat 2 tahun memimpin YouTube, sikapnya di Google yang menekankan keseimbangan peran sebagai orang tua dan karyawan, tak berbeda. “Di YouTube, ada peluang buat saya untuk menolong wanita lain,” katanya.

Seperti disinggung sebelumnya, tantangan berat kini dihadapi YouTube. Selama tahun 2015, orang menyebut masa-masa yang sibuk di YouTube. Sejauh ini, sebagai leader, Susan sudah berupaya meluncurkan sejumlah strategi agar situs ini tetap berkibar. Diantaranya, mengelola artis YouTube dan fans dalam komunitas YouTube. Dia juga mendorong agar para kreator membuat konten 3-D buat YouTube. Pendek kata, segala hal kreatif diluncurkan agar YouTube tetap menjadi market leader.

Hasilnya, orang-orang di dunia memang masih lebih banyak menonton video online di YouTube ketimbang situs lain. Akan tetapi, kenyataan ini tetap mengundang skeptisisme. “Munculnya video di beragam platform membuat kita tak tahu apa yang akan terjadi kemudian,” ungkap Brad Hunstable, CEO Ustream memberi catatan. Itu artinya, tantangan berat sungguh menghadang YouTube.

Menariknya, di tengah tantangan berat ini, Susan tetaplah eksekutif yang ingin keseimbangan. Di YouTube, dia juga aktif mendorong timnya untuk menyeimbangkan antara rumah tangga dan karir. Bagaimanapun kerasnya tantangan yang tengah dihadapi YouTube, dia tetap ingin karyawannya, terutama kaum ibu, agar bisa mengurus anak dan suami dengan baik. Pulang lebih cepat agar bisa makan malam dengan keluarga, bukanlah barang mewah di YouTube. Kuncinya, adalah menjalankan motto berikut: work smart, get things done, no-nonse, and move fast.

Sikap ini yang hingga sekarang mengundang pujian orang. Kepeduliannya pada kaumnya inilah yang membuatnya tampak kian hebat. ***

Saturday, March 12, 2016

Belajar dari Game of Thrones

Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Game of Thrones (GoT)?

Saya tak akan membahas sisi filosofisnya, juga pertarungan politik yang penuh intrik memikat. Saya akan melihat dari sisi marketing, khususnya word of mouth.

Mari kita flash back dulu.

MENYIMPAN MISTERI

Adegan Jon Snow yang tergeletak bersimbah darah setelah ditikam lebih dari 10 anak buahnya di malam yang gelap dan dingin masih membayang pada sebagian orang yang menyaksikan episode terakhir film Game of Thrones (GoT) Season 5, Juni tahun lalu. Bagaimana tidak, Jon sang pemimpin Night’s Watch yang sejak awal memancing simpati penonton lantaran memiliki karakter yang baik – berjiwa pemberani dan penolong – ternyata mesti bernasib tragis seperti saudara tirinya, Robb Stark: tewas mengenaskan karena pengkhianatan. Tikaman belati membuatnya rebah.

Jon Snow yang bersimbah darah, menyimpan misteri

Kendati telah lewat beberapa bulan setelah film seri itu usai, tak sedikit yang masih membicarakan serial drama fantasi yang diadaptasi dari novel fantasi "A Song of Ice and Fire" karya George R. R. Martin itu. Tapi tentu saja pembicaraan tertinggi terjadi saat episode terakhir berjudul Mother’s Mercy itu tayang. Terutama di linimasa Twitter. Mereka menyoroti tewasnya Jon. Rasa kecewa, sedih, marah dan terkejut, bercampur aduk. Bagaimanapun, Jon adalah salah satu tokoh favorit para penggemar.

Memang sukar dipungkiri, GoT telah menjadi kesuksesan fenomenal. Saat Mother’s Mercy tayang, di AS penonton melonjak hingga 8,1 juta orang. Itu adalah jumlah pemirsa terbanyak sejak serial ini tayang pertama kali pada 2011. Sebelumnya, penonton terbanyak adalah pada episode terakhir Season 4 (2014) yang meraih 7,14 juta penonton.

Sungguh, kesuksesan ini belum terbayangkan sebelum pembuatan film ini. Ya, sewaktu David Benioff dan D. B. Weiss mengutarakan keinginan mereka pada George R. R. Martin untuk mengadaptasi novelnya buat tayangan televisi, sang novelis sendiri menyatakan keraguannya. Menurutnya, cerita yang ingin diangkat sangatlah kompleks sehingga tidaklah mudah untuk menayangkannya di televisi. Bagaimana tidak kompleks, kisah ini melibatkan 7 keluarga bangsawan dengan simbol-simbolnya sendiri yang unik, 4 agama yang berbeda, juga 14 bahasa. Sangat kolosal. Bagi Martin, tampak agak sulit untuk mengerjakannya.

Namun Benioff dan Weiss bukanlah tipikal penakut. Mereka seperti pemegang prinsip berikut: winners never quit, quitters never win. Mereka percaya semua kompleksitas itu bisa diadaptasi dan dipindahkan ke televisi. Akhirnya Martin pun luluh. Pada 17 April 2011, GoT Season 1 tayang di AS.

Musim pertama ini langsung sukses. GoT mampu menarik 2,2 juta penonton. Setelah itu, sejarah mencatat tayangan ini terus merebut hati pemirsa, bahkan bukan hanya di AS, tapi menjadi sensasi global.

Memang, pembuatan GoT sangatlah mahal. Anggaran tiap episodenya sedikitnya mencapai US$ 6 juta, dan mencapai US$ 60-70 juta setiap season. Yang membuat mahal, selain kostum yang unik, lokasi shooting-nya pun eksotis. Di Eropa mereka mengambil gambar di Irlandia, Malta, Kroasia, dan Islandia, sementara di Afrika mereka mengambil lokasi di Maroko. Lokasi-lokasi yang sungguh memanjakan mata pemirsa. Adapun untuk GoT season 6, kebanyakan mengambil tempat di Irlandia.

Melonjaknya jumlah penonton dari musim ke musim, pada gilirannya juga melahirkan keuntungan bagi produsennya, HBO. Mereka menerima limpahan materi seiring popularitas yang melonjak. Keuntungannya berkali-kali lipat dari biaya produksi setiap season. Tak ayal, GoT menjadi ladang emas yang luar biasa. “Mungkin tak ada tayangan yang paling menguntungkan bagi jaringan televisi melebihi GoT bagi HBO. Memproduksi penuh film ini, lalu menjadi fenomena global setelah satu musim, adalah pertaruhan yang terbayar dengan mengesankan,” tulis majalah Variety.

Keuntungan ini makin berlipat begitu melihat produk turunannya juga dijualbelikan, mulai dari DVD hingga pernak-pernik merchandise. "HBO punya pasar DVD dan produk online yang hebat,” ungkap Jon Lafayette, editor bisnis di Broadcasting & Cable. Di website-nya, HBO menawarkan produk-produk kaos dan replika terkait GoT seharga dari US$ 12-700, termasuk replika tahta besi, Iron Thrones yang menjadi biang sengketa dalam kisah GoT.

Tentu saja ada selalu rahasia di balik kesuksesan sebuah produk. Lantas, apa yang membuat GoT begitu luar biasa?

WOMM YANG HEBAT

Gaya story telling yang menarik, salah satunya. Pertempuran 7 Great Houses (keluarga besar) di benua fiksi Westeros & Essos untuk menduduki tahta besi The Iron Throne di ibukota Westeros yaitu King's Landing memang menjadi pusaran cerita ini. Dalam upaya perebutan itu, digambarkan bagaimana pengkhianatan, peperangan, intrik, hingga cinta terlarang melumuri episode demi episode. Tapi akhir cerita yang menegangkan dari tiap episodelah yang membuat banyak penonton jatuh hati. Sebab, sejak awal penonton disuguhi kejutan demi kejutan di episode pamungkas. Penonton selalu menunggu-nunggu akhir episode dengan satu pertanyaaan: “Who will die next?” Ya, siapa lagi yang akan meregang nyawa?

Itu dari sisi gaya story telling. Akan tetapi, pemasaran yang menarik menjadi salah satu faktor utama yang membuat word of mouth marketing (WoMM) luar biasa sehingga produk ini begitu laris.

Ya, belajar dari GoT, storyline yang hebat kini tak cukup untuk sukses. Perlu strategi pemasaran yang hebat pula, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Itulah yang dilakukan HBO untuk GoT. Sejak merilis season pertama, HBO aktif melakukan kampanye pemasaran untuk melahirkan gelombang WoMM tentang pertempuran memerebutkan Iron Throne. HBO memromosikannya lewat seluruh kanal, mulai dari media cetak, elektronik, dan yang paling massif adalah media sosial.

Media sosial menjadi bagian penting dari kesuksesan kampanye pemasaran GoT. HBO telah melakukan pekerjaan fantastis dalam mengintegrasikan pemirsa dengan kampanye pemasarannya. Seluruh kanal media sosial popular dimanfaatkannya. Di Facebook, umpamanya. Mereka membuat laman Facebook yang mengombinasikan beragam konten untuk menarik para pengunjung datang secara konsisten. Sewaktu Season 5 akan tayang, apa yang di-posting adalah cuplikan filmnya (materi promosi) diiringi real-life media (wawancara di atas karpet merah dan liputan majalah), begitu juga dengan merchandise-nya. Tak ketinggalan, juga menampilkan model user generated content (kebanyakan dalam bentuk cosplay dari para fans) yang mungkin terbilang aktivitas pemasaran paling brilian karena melibatkan para penggemar.

Di ranah Twitter, kontennya juga beragam, dengan menampilkan sejumlah scene. Komentar fans juga di-retweeted. Tak heran saat itu ada lebih dai 2,6 juta follower yang mengikuti akun resmi GoT (sekarang 3,08 juta). Di media ini, HBO memanfaatkan salah satu kekuatan Twitter yakni hastag (tagar) dan piawai memainkannya. Jumlah tagar yang diluncurkan cukup banyak. Diantaranya: #GoTSeason5; #GameofThronesSeason5; #TheWarsToCome; dan #CatchDrogon.

Di Google+ mereka juga bermain. Namun sepertinya kanal ini tidak terlalu menarik pengunjung dan follower. Hal yang sama juga terjadi di Instagram. HBO juga memanfaatkannya kendati tidak terlalu nge-joss. Berbeda dengan di YouTube. Selain di Twitter, di YouTube-lah produk ini begitu digdaya.

Belakangan, HBO menggunakan Vine untuk membangun gelombang WoMM atas film seri ini. Trailer yang ditampilkan lewat Vine membetot minat banyak orang sehingga GoT pun makin “panas” sebelum ditayangkan. Penonton, atau calon penonton dibuat kian penasaran.

Dari apa yang terjadi pada GoT, Vine juga bisa dinyatakan sebagai medium pemasaran yang kuat serta efektif dengan impak yang masif untuk kesuksesan film ini. Layanan Vine membuat orang mudah untuk memfilmkan serta mengedit ringkas untuk kemudian di-share ke beragam platform. Intinya, HBO kreatif dalam mengintegrasikan media sosial ke dalam kampanye pemasarannya.

Menariknya, HBO tak melupakan media cetak untuk menimbulkan hype di jagat pemasaran. Di New York Times, siluet naga peliharaan Daenerys Targaryen membuat pikiran para pembacanya menari-nari tentang salah satu naga kesayangan wanita berambut putih-perak ini. Buktinya, setelah promosi ini muncul, orang terpancing untuk menyebarkannya lewat Reddit, Imgur, Twitter dan Facebook.

Word of mouth generates more word of mouth. Itulah hukum yang terjadi. Dan HBO benar-benar piawai memanfaatkan aset cetak dan digital untuk menimbulkan efek WoMM. Bahkan karena saking ramainya orang membicarakan film ini, yang tak punya TV kabel pun kerap mendengar apa itu Whitewalkers yang dingin, menakutkan, kejam dan mendatangkan horor. Atau tokoh-tokoh lain seperti Daenerys Targaryen si cantic pemilik tiga naga, si kerdil Tyrion Lannister yang cerdik, dan Peter Baelish yang licik. Begitu juga merananya nasib putra-putri Eddard (Ned) Stark: Robb, Jon Snow, Sansa, Arya, Bran dan Rickon Stark.

Bagi pemerhati pemasaran, GoT adalah contoh terintegrasinya pemasaran yang menimbulkan efek WoMM yang hebat. Ke depannya, popularitas film ini diprediksi masih akan terus melejit. Dan sebagai bisnis, produk-produk turunannya pun masih melaju. Maklum, GoT telah melahirkan banyak fans fanatik. Beberapa waktu lalu, sebagian dari mereka bahkan melakukan tur ke beberapa lokasi di Dubrovnik yang digunakan untuk GoT Season 5.

Pada akhir GoT Season 5, ditegaskan GoT Season 6 akan tayang kembali pada tahun mendatang sebagai musim keenamnya. Dan kini, pada 24 April 2016, HBO menyebut film ini akan tayang kembali.

MELANJUTKAN POLA LAMA

Menyambut GoT Season 6, HBO sendiri tampaknya terus memanfaatkan gaya pemasaran ini untuk memunculkan WoMM yang hebat. Dalam beberapa spoiler, di Facebook dan YouTube, sudah dimunculkan sejumlah adegan yang membuat orang semakin tak sabar untuk segera menontonnya.

Melihat dari trailer, jawaban atas misteri Jon Snow tetap berlanjut sekalipun pemerannya, Kid Harrington di Daily Mail mengonfirmasi dia ikut syuting. Anggota keluarga Stark lainnya, dipastikan hadir. Bran bahkan berada bersama musuh paling menakutkan di serial ini, White Walkers. Sementara Sansa Stark lolos dari maut bersama Theon Greyjoy saat loncat dari kastil. Adapun Arya Stark tetap buta.

Sansa Stark dan Theon Greyjoy,selamat setelah meloncat dari kastil

Sansa Stark, tetap buta

Sejauh ini, cara WoM yang seperti edisi sebelumnya juga telah ditempuh oleh HBO. Diantaranya mengeluarkan tagar #GameofThronesSeason6 di Twitter. Begitu pula di laman Facebook. Cuma memang belum terlalu panas. Tapi ini bisa dimengerti. Biasanya, viral itu memanas begitu filmnya tayang. Komentar para penonton yang puas atau kecewa akan segera terlontar menjadi viral.


Jadi, bagaimana dengan Jon Snow?


HBO masih menyimpannya. Tapi kuat dugaan, Jon dimunculkan karena tekanan penggemar. Saat akhir GoT 5, Kid Harrington berujar, "Saya tidak menyangka kematian Jon ada di episode 5. Saat ini saya hanya bisa mengatakan bahwa karakter peranan saya telah mati dan tak akan hidup lagi. Jadi, saya tidak akan kembali di musim berikutnya.” Nah... ini mirip Sherlock Holmes yang dulu dihidupkan lagi oleh Arthur Conan Doyle karena permintaan penggemar.

Menariknya, gambar Jon Snow ini jadi salah satu cover GoT season 6. HBO tampaknya tahu benar, memang ini yang ditunggu-tunggu penggemar GoT. Maklum, orang memang selalu butuh pahlawan...

Poster HBO dengan wajah Jon Snow yang misterius

Well... apapun jalan ceritanya nanti, GoT adalah contoh fenomenal dalam WoMM. Dan terkait film tersebut, tokoh serta pemeran boleh pergi, tapi penonton pastinya terus menanti: who will die next?

Tuesday, March 1, 2016

Sepak Terjang Bisnis Mr. JC

Dia bukan hanya piawai main kung fu dan acting di layar lebar. Dunia bisnis pun ditekuninya. Pemahaman akan positioning serta diferensiasi menjadi kuncinya menggemukkan pundi-pundi uang.

MERENTANGKAN BISNIS

Beijing, 27 Mei 2015. Dengan senyumnya yang khas, lelaki 61 tahun ini resmi mendirikan sekolah film dan televisi di China. Nama sekolahnya: The Jackie Chan Film and Television Academy. Berlokasi di Wuhan, sekolah ini menawarkan sejumlah studi, mulai dari akting hingga animasi. “Ini (meresmikan sekolah film dan televisi) adalah impian lama saya,” katanya.

Ya, dialah Jackie Chan. Dan peresmian sekolah ini seakan mempertegas posisinya sebagai bukan bintang film biasa. Seperti diungkap Forbes, lelaki kelahiran Hong Kong tahun 1954 ini tak sekedar piawai bermain kung fu dan mencetak film box office, tapi juga memutar pundi-pundi uangnya.

Khusus untuk kemampuan aktingnya, selama 2014 Jackie ditaksir meraup US$ 50 juta, lebih banyak dibanding aktor lain di dunia selain Robert Downey Jr. (US$ 80 juta). Dalam Forbes Celebrity 100, Jackie menempati posisi 38, di belakang Tiger Woods. Forbes juga menaksir kekayaannya mencapai US$ 350 juta. Dan yang menarik, kekayaannya bukan cuma didapat dari honor main film. Di luar sekolah film dan televisi yang baru diresmikannya itu, Jackie mengendalikan sejumlah bisnis yang terentang lebar mulai dari pakaian, restoran, kafe, distribusi Segway, gym, bioskop, sekolah stuntmant, dan coklat serta gandum bergizi tinggi. “Jackie Chan adalah Mickey Mouse-nya budaya China, seorang selebritas yang hadir di mana-mana,” puji Grady Hendrix, co-founder New York Asian Film Festival.

Jackie Chan saat peresmian The Jackie Chan Film and Television Academy

Di jagat film, kiprah lelaki yang juga disebut Chéng Lóng ini tentu bukan hal asing. Film-filmnya mengalir setiap tahun dan kerap laris manis. Filmnya yang terbaru, Dragon Blade yang juga dibintangi Adrien Brody serta John Cusack bahkan sudah meraih sukses besar di China dengan pendapatan kotor US$ 120 juta. Perolehan ini diprediksi akan kian gemuk begitu dirilis di AS dan pasar global.

Ciri khasnya yang dikenal luas yakni tak mau diganti oleh stuntman untuk adegan-adegan berbahaya serta plot film yang memadukan unsur komedi, telah membuat filmnya banyak disukai. Namun, seperti disinggung di atas, Jackie adalah aktor cum pebisnis jempolan. Dia tak cuma jago di depan kamera dengan gayanya yang kocak. Lalu, apa kunci suksesnya dalam berbisnis?

Kuncinya ada pada pengambilan positioning dan diferensiasi. Sadar dirinya punya citra sebagai bintang film yang identik dengan bela diri (sportif) serta hidup sehat, Jackie menjual citra tersebut, yang kemudian diwujudkan dengan umbrella brand “JC”. Inisial namanya ini dimanfaatkan sebagai payung dari portofolio bisnisnya. Dan dia punya keinginan besar dari langkahnya ini. “Dia ingin menjadi total lifestyle branding,” terang Bon Ng, orang yang diminta Jackie mengurusi pengembangan mereknya.

Tapi bukan berarti bisnisnya meluncur mulus begitu saja. Sejatinya, Jackie telah memulainya 20 tahun lalu, tapi saat itu dia belum pandai berbisnis. Bisnisnya berjalan bagai siput. Namun seiring bergulirnya waktu, lambat tapi pasti Jackie tahu cara mengkapitalisasi citra dirinya sebagai sosok yang sportif dan sehat dengan mengekstensikan personal branding-nya. Salah satunya adalah tempat gym “Jackie Chan Signature Club”, hasil kemitraan dengan California Fitness, klub kesehatan dari AS yang beroperasi 24 jam. Lalu, “Jackie’s Kitchen” yang tersebar di Korea Selatan, AS, serta Australia. Resto ini menyajikan sushi, aneka mi dan dim sum.

Kelincahannya dalam berbisnis tak bisa dilepaskan dari kecerdasannya dalam membangun karir di layar lebar. Sebelum terjun total di dunia film, Jackie belajar di sekolah seni bela diri dan akrobat di Hong Kong. Guru-gurunya adalah para master kung fu yang tak kenal belas kasih. “Anda berbuat salah, semua orang kena pukul,” dia mengenang. Ini mendidiknya untuk menghindari kesalahan sekecil apapun.

Begitu terjun ke layar lebar, tantangan besar Jackie dalam membangun karir adalah bagaimana dia membedakan dirinya dari sang legenda, Bruce Lee. Saat ikut main dalam film Bruce Lee, Fist of Fury (1972) dan Enter the Dragon (1973), Jackie bukanlah siapa-siapa. Dalam kedua film itu, dia hanya menjadi stuntmant.

DIFERENSIASI

Kematian Bruce Lee pada 20 Juli 1973 membawa berkah terselubung buat Jackie. Karirnya terbuka, bukan lagi sebagai stuntmant, tapi pemeran utama. Tahun 1976, dia membintangi film berjudul New Fist of Fury. Sayang, film ini jeblok. Penonton tak menyukai gaya Jackie yang diminta sang sutradara memainkan cara bertarung ala Bruce Lee. Rupanya sang sutradara merasa gaya Bruce Lee masih laku dijual.

Terobosan karirnya terjadi saat Jackie membintangi film Snake in the Eagle’s Shadow (1978). Kali ini sang sutradara, Yuen Woo-ping mengijinkannya bermain tanpa pemeran pengganti. Bukan hanya itu, Jackie juga dimintanya menampilkan gaya kung fu yang penuh komedi.

Rupanya ini memberikan angin segar bagi dunia film kung fu yang biasanya serius serta beberapa tahun didominasi gaya Bruce Lee yang kaku. Dan titik terang gaya ini kian terlihat begitu Jackie menjadi pemeran utama Drunken Master (1978) sebagai Wong Fei-hung. Jackie pun menjadi bintang baru selepas era Bruce Lee.

Kelak, kesuksesannya ini melahirkan kalimat yang terkenal darinya. I never wanted to be Bruce Lee. There’s only one Bruce Lee, no second Bruce Lee. I just wanted to be Jackie Chan, I wanted to be me.”

Dewa Mabuk yang mengangkat pamor Jackie

Dari sinilah Jackie terus mengembangkan gayanya sendiri yang berbeda dari sang legenda yang seringkali dibandingkan dengan dirinya. Sementara Bruce Lee dikenal luas karena gerakan yang cepat dan penuh presisi, Jackie justru belajar bagaimana Charlie Chaplin dan komedian AS, Buster Keaton membangun rasa humor. Salah satu yang diambil dari mereka adalah pendekatan slapstick. “Saya ingin setiap orang mengikuti saya. Saya tak ingin mengikuti setiap orang,” kata Jackie menegaskan dirinya yang memahami arti positioning dan diferensiasi.

Dua hal ini (positioning dan diferensiasi) yang makin melambungkan namanya adalah dalam setiap filmnya dia tidak diganti stuntman. Berlompatan diantara gedung menjadi trademark-nya. Tak heran, tulang patah pun menjadi hal yang biasa. Dia bahkan hampir mati saat jatuh dari pohon di Yugoslavia di tahun 1986 saat syuting film Armour of God yang ditulis, dibintangi sekaligus disutradarainya. Ciri lain, tentu saja komedi segar di sela-sela adu jurus kung fu.

Puas berlompatan di layar lebar, naluri bisnisnya terlecut begitu melihat tanah leluhurnya bergerak lebih dinamis. Sewaktu China membuka diri di tahun 1990-an, mulailah Jackie mencari peruntungan di sektor bisnis di negeri itu. Dia meluncurkan kafe dan gymnasium. Dia bahkan meluncurkan Jackie Chan Design yang terakhir punya lebih dari 400 item berbeda mulai dari botol air hingga jam tangan yang semuanya distempel “are designed exclusively by Mr. Jackie Chan”. Oh ya, bila Anda tergelitik ingin melihatnya, bisa mengakses laman ini: jackiechandesign.com.

MEMBACA SITUASI

Tanah China memang menjadi titik awal bisnis lelaki yang murah senyum ini. Dan bisa dikatakan itu tak terlepas dari nasionalismenya. Tak seperti Arnold Schwarzenegger, yang meninggalkan Austria untuk menjadi benar-benar Amerika, Jackie justru selalu melihat ke China. Dia bukan manusia tipikal kacang lupa kulit. Dia bahkan terikat dengan fansnya di Negeri Panda. Bukan hal asing untuk melihatnya wara-wiri ke Hong Kong. “Saya ingin menjadi Robert De Niro atau Dustin Hoffman-nya Asia,” katanya satu waktu. Jackie benar-benar tak ingin tercerabut dari akarnya.

Namun, nasionalisme hanyalah satu sisi. Bisnisnya membesar lantaran pria yang kerap berambut poni ini juga piawai membaca situasi. Mengetahui bisnis di China tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, Jackie pun luwes bermain. Dia dekat dengan kalangan pemerintahan.

Kedekatannya dengan otoritas China membawa hasil. Dia bahkan direkrut untuk menjadi duta Olimpiade Beijing 2008. Melihat peluang bisnis yang besar, Jackie pun memindahkan operasinya dari Hong Kong ke Beijing. Dan begitu tinggal di Beijing, dia tahu pusat industri perfilman China memang benar-benar dikontrol pemerintah.

Untuk menaklukkan itu, dia tahu senjata rahasianya: keanggotaan di Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China. Lembaga negara ini punya pengaruh besar. Diantaranya memberi lampu hijau untuk film-film yang dirilis di China.

Industri film di China adalah bisnis yang menggiurkan. Bisnis ini terus meroket dari tahun ke tahun. Diperkirakan industri ini tumbuh 33% setiap tahunnya selama 5 tahun terakhir, mencetak uang hingga US$ 5 miliar. Tak heran, para pemain Hollywood banyak yang melakukan kerjasama produksi dengan perusahaan-perusahaan China, diantaranya Transformers: Age Of Extinction dan Iron Man 3 yang sukses di pasar.

Kondisi ini jauh terbalik dibanding satu dekade lalu. Tahun 1998, saat Jackie meluncurkan Rush Hour bersama Chris Tucker, film ini menjadi sukses global: meraup US$ 140 juta di AS dan US$ 100 juta di negara lain. Waktu itu, nilai di AS lebih besar daripada negara lain. “Box-office di AS adalah box office di seluruh dunia,” kenang Jackie.

Tapi saat ini angkanya seringkali terbalik. Nilai penjualan di China bias lebih besar dibanding negara lain. Jangan heran, ada sekitar 20 ribu layar bioskop di China, dan diprediksikan akan bertambah setiap tahunnya.

Jackie jelas mengambil keuntungan dari itu. Tahun 2000, dia dan mitranya membangun Jackie Chan Yaolai International Cinema, bioskop dengan 17 layar multiplex di Beijing yang sekarang menjual 50 ribu tiket di hari libur. Dia juga melebarkan layanan J.C. Stunt Team menjadi perusahaan yang memenuhi studio Amerika dengan anggota kru dari China yang punya kemampuan bahasa Inggris yang bagus, mulai dari koordinator stunt hingga asisten sutradara.

Saat peluncuran Jackie Chan Yaolai International Cinema

Kedekatannya dengan pemerintah China kadang mengundang kritik. Tapi Jackie punya pandangan sendiri. “Apakah saya tak boleh dekat dengan Pemerintah China?” katanya balik bertanya. “Kami orang China!... Saya pikir setiap orang harus mencintai negaranya.” Dia lalu mengungkap bahwa dirinya justru ikut membantu perekonomian secara tidak langsung, diantaranya dengan merekomendasikan agar menurunkan pajak impor peralatan film. “Dan mereka (pemerintah China) mendengarkanku,” ujarnya bangga.

Selain punya pandangan sendiri, Jackie tak mau dipusingkan dengan omongan nyinyir ke arahnya. Dia terus meluncurkan bisnis demi bisnis. The Jackie Chan Film and Television Academy bukanlah aksi terakhirnya. Dalam waktu dekat, dia akan segera membuka gerai jaringan kafenya yang bernama Jackie Chan’s Java Coffee di sejumlah kota besar di dunia.

“Sekarang saya bukan hanya seorang aktor. Saya berinvestasi,” katanya. Dia tak mengungkap estimasi pendapatannya untuk tahun 2015. Namun dia mengaku bahagia bisa berspekulasi pada proyek-proyek masa depan.

Jackie jelas paham betul arti sebuah risiko. Di film, dia sudah berulang kali patah tulang lantaran tak menggunakan pemeran pengganti. Di bisnis, dia juga paham arti kemacetan sebuah bisnis. Toh dia enteng saja memandang itu semua. Dia bahkan mengilustrasikan posisinya sebagai investor tak ubahnya seorang pemilik kasino. “Saya mungkin rugi US$ 10 juta. Tapi kalau menang, mungkin meraup US$ 90 juta,” ujarnya kalem. ***



Putra Makota yang Diragukan

Dia pemalu dan tak sekharismatis ayahnya. Dia juga diragukan mampu memimpin kapal induk yang demikian besar. Namun, apakah dia memang benar-benar lemah?

ENIGMATIK

Di usianya yang menginjak 47 tahun, Lee Jae-yong adalah salah seorang figur dunia bisnis yang mendapat sorotan luar biasa. Laiknya bintang panggung, gerak-geriknya di pentas terus diamati. Namun alih-alih tatapan kekaguman, sorotan publik cenderung negatif. Ada keraguan pada dirinya. Ya, dia dipertanyakan seputar kemampuannya menjaga sekaligus memperbesar sebuah imperium bisnis raksasa dari Negeri Ginseng yang sebentar lagi jatuh ke genggamannya.

Begitulah. Setelah ayahnya, Lee Kun-hee terkena serangan jantung di tahun 2014, orang memang berpaling pada Jay – begitu Lee Jae-yong memanggil dirinya –, terlebih setelah 14 Mei 2015 saat Jay didapuk menjadi chairman dua yayasan milik keluarganya (Samsung Foundation of Culture yang mengurusi Leeum, museum keluarga pendiri Samsung, dan Samsung Life Public Welfare Foundation, yang bergerak di bidang kesehatan, terutama perawatan anak-anak dari orang tak mampu). Posisi ini diyakini menjadi tahap penting untuk benar-benar menggantikan posisi sang ayah. Di Korea Selatan, yayasan seringkali dilihat sebagai “wajah keluarga” di masyarakat.

Kalaulah orang menaruh perhatian pada Jay, janganlah heran. Maklum, Lee adalah bos besar Samsung, raksasa bisnis dari Korsel. Ibarat kapal induk, kelompok usaha ini memuat 67 bisnis besar yang terentang dari apparel, taman bermain, mesin cuci, televisi, ponsel, alat berat, hingga jasa keuangan. Lalu, dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 300 miliar, Samsung merupakan pabrikan elektronik terbesar di dunia. Artinya, ini memang bisnis yang luar biasa besar sehingga bila ambruk, menimbulkan ekses yang maha dahsyat. Dalam bahasa kerennya, too big to fall, termasuk bagi Korsel sendiri. Bagaimana tidak, Samsung menyumbang 17% GDP Negeri Ginseng.

Menimbang besarnya bisnis Samsung, maka wajarlah Jay jadi sorotan. Persoalannya, lelaki berkacamata ini amat diragukan kemampuannya menakodai biduk besar tersebut. Dan tatapan publik makin deras mengalir lantaran Samsung dalam kondisi yang tidak prima. Ya, sudah dua tahun terakhir ini sang raksasa seperti diserang flu berat. Terutama untuk bisnis smartphone-nya di bawah bendera Samsung Electronics yang bersama bisnis cip memori menjadi tulang punggungnya.

Jay, sosok penerus Samsung

Bisnis ponsel cerdas Samsung memang tengah menurun. Betul bahwa ponsel cerdasnya masih menguasai pangsa pasar global. Tapi mereka bonyok dihajar pemain-pemain lain, terutama dari daratan China, khususnya Xiaomi yang sungguh fenomenal. Pada kuartal 2/2015, Samsung masih memimpin pangsa pasar dengan menguasai 21,4%. Setelah itu menyusul Apple (13,%), Huawei (8,7%), Xiaomi (5,6%), dan Lenovo (4,7%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun, sejatinya pangsa pasar Samsung terus merosot. Di periode yang sama tahun 2014, pangsa pasarnya 24,8%. Turun dibandingkan tahun 2013 sebesar 31,9% dan 2012 (32,2%). Lebih lengkap, bisa lihat di Tabel Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015.

Repotnya, bukan hanya pangsa pasar yang digerus. Laba Samsung pun terjun sementara laba pesaing beratnya Apple malah terus merangkak naik lantaran berkutat di high-end dan begitu juga pemain-pemain China yang bermain dengan harga lebih murah.

Pada kuartal 2/2015, laba operasi Samsung Electronics hanya US$ 5,9 miliar dari total pendapatan US$ 41 miliar. Laba ini melorot dibanding periode yang sama tahun 2014 yang sebesar US$ 6,17 miliar.

Kinerja ini berkebalikan dibanding Apple. Di periode yang sama 2015, perusahaan peninggalan mendiang Steve Jobs itu mencetak penjualan US$ 49,6 miliar dan laba US$ 10,7 miliar. Performanya meningkat dibanding periode 2014 (penjualan US$ 37,4 miliar dan laba US$ 7,7 miliar).

Dengan kondisi itu, tak heran bila Jay jadi pusat perhatian. Transisi ini memang sungguh kritikal bagi Samsung. Dan sekalipun baru menjadi chairman dua yayasan keluarga, sejatinya Jay memang tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kendati kondisinya stabil, Lee (73 tahun) tak mampu berkomunikasi sehingga diperkirakan tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Jay sendiri sebelumnya berposisi vice chairman Samsung Electronics, diangkat pada tahun 2013 setelah memulai karir pada tahun 1991.


Tabel: Pangsa Pasar Smartphone Global Kuartal 2/2015

Periode
Samsung
Apple
Huawei
Xiaomi
Lenovo
Lain-lain
Q2/2015
21,4%
13,9%
8,7%
5,6%
4,7%
45,7%
Q2/2014
24,8%
11,6%
6,7%
4,6%
8,0%
44,3%
Q2/2013
31,9%
12,9%
4,3%
1,7%
5,7%
43,6%
Q2/2012
32,2%
16,6%
4,1%
1,0%
5,9%
40,2%
Sumber: IDC, Agustus 2015


ALASAN KERAGUAN

Ada banyak alasan mengapa Jay diragukan. Sewaktu Lee Kun-hee mengambil posisi ayahnya (Lee Byung-chul) setelah sang pendiri Samsung itu meninggal di tahun 1987, orang mengenang bagaimana sosoknya. Lee dikenal visioner, tegas, kharismatis. Tak berapa lama di pucuk korporasi, Lee yang alumnus Waseda University (Jepang) dan George Washington University (AS) memproklamasikan tekadnya yang waktu itu tampaknya sulit diraih: mengubah konglomerat kelas biasa-biasa saja peninggalan sang ayah menjadi raksasa global, seperti halnya IBM atau General Electric.

Publik menilai visi Lee tak ubahnya orang yang akan akan mendaki gunung yang tinggi. Namun terbukti, Lee mampu merealisasikannya. Strateginya: berinvestasi besar pada teknologi. Tapi bukan hanya itu kunci suksesnya. Dia juga menerapkan gaya manajemen yang kuat. Di tahun 1993, misalnya, dia tiba-tiba meminta semua manajer seniornya meninggalkan seluruh pekerjaan untuk terbang ke Frankfurt, di mana dia memberikan pandangannya tentang bisnis. Selama 3 hari, Lee tak berhenti ngoceh membeberkan apa saja pandangannya buat Samsung dan apa yang mesti mereka lakukan.

Lee Kun-hee yang kharismatis

Hingga kini, tak banyak artikel, baik di media lokal ataupun internasional yang mengulas figur sang bos muda. Tulisan-tulisan di media barat malah cenderung mengulang-ulang angle yang sama: anak muda yang nada bicaranya perlahan, yang belum punya prestasi yang pantas untuk dibanggakan.

Ya, Jay memang diragukan. Saking ragunya, pernah satu waktu 50 orang fund managers, analis pasar modal dan pengamat bisnis di Korsel ditanya tentang 11 generasi penerus para chaebol di Negeri Ginseng. Hasilnya: Jay berada di peringkat 7 dalam hal leadership ability, dan posisi terakhir dalam hal legitimasi mewarisi kerajaan orang tuanya. “Yah, bagaimanapun dia kan lahir dengan sendok perak. Kami sendiri tak tahu apakah dia mampu menjalankan bisnis karena belum ada rekam jejaknya,” celetuk seorang eksekutif senior Samsung yang menolak namanya disebutkan.

Pahit, memang. Namun orang memang sering membandingkan ayah serta anak ini. Dan celakanya, mereka seperti langit dan bumi. Ketika Galaxy S6 meluncur dan gagal di pasar, misalnya, media-media Korsel menyebutnya “ini ponselnya Lee Jae-yong” karena dianggap dapat sentuhan sang putra makota yang diberi posisi Vice Chairman Samsung Electronics. Malang, ponsel ini jeblok di pasar. Aneka review yang didapat seringkali tak bikin bangga. Posisi ini berkebalikan 180 derajat dibanding prestasi sang ayah, yang meluncurkan SGH-T100 pada tahun 2002. Inilah produk hebat Samsung yang pertama, yang menjadi legenda, yang terjual lebih dari 10 juta unit. Media-media Korsel menyebutnya “ponsel Lee Kun-hee”. Dan sadisnya, mereka membandingkan kesuksesan itu dengan Galaxy S6.

SGH-T100 yang legendaris


Tentu saja komparasi ini seakan menggiring pada satu kesimpulan: Jay tak layak menggantikan ayahnya. Tapi, apakah dia benar-benar serapuh itu?

Sekalipun banyak orang meragukan kapasitas serta kapabilitasnya, sesungguhnya lelaki ini telah berupaya digembleng sang ayah untuk menjadi pemimpin yang tangguh. Lee membuat jabatan chief customer officer (CCO) Samsung untuk anaknya. Ini adalah pekerjaan yang khusus diciptakan untuk anak laki-laki satu-satunya itu – dua anak lainnya perempuan.

Sebagai CCO Samsung, Jay ditugaskan menjalin hubungan yang tricky dengan para kompetitor. Diantaranya, dia menjalin hubungan dengan mendiang Steve Jobs. Juga punya relasi yang baik dengan Tim Cook, penerus Jobs. Hubungan Jay juga baik dengan para pemilik raksasa bisnis lainnya, Google.

BERMAIN CANTIK

Jay memang bukan orator. Tapi, sekalipun dianggap tak akan mampu seperti ayahnya yang bisa bicara panjang lebar selama 3 hari kepada para direksi dan manajer, dia diasumsikan akan mampu berkonsentrasi pada isu-isu strategis yang dalam beberapa segi, justru itulah masalah yang dianggap lebih berat dibanding yang dihadapi ayahnya di tahun 1987. Sekarang, dengan karyawan hampir setengah juta di seluruh dunia, Jay dituntut mampu mengelola secara seimbang tiga hal berikut: Pertama, antara kompetisi dan kerjasama dengan para pesaing. Kedua, antara peranti lunak dan peranti keras. Dan ketiga yang lebih penting lagi, menggabungkan antara akar Samsung di Korea serta kehadirannya di pentas global.

Mari kita lihat yang pertama. Di industri elektronik dan industri berbasis teknologi lainnya, kini salah satu skil yang paling penting bagi seorang bos perusahaan yang bergelut di dalamnya adalah mengelola hubungan yang begitu kompleks dengan para pesaing. Satu waktu berkompetisi, di lain hari ber-koopetisi, sementara pada saat lain bekerjasama. Bagi Samsung, Apple bukan hanya rival paling sengit dalam menjual ponsel cerdas, tapi juga pelanggan terbesar untuk semikonduktor keluaran Samsung. Sementara itu, ponsel Samsung berjalan di atas sistem operasi Android milik Google, membuat keduanya menjadi mitra. Namun Samsung juga terus berinvestasi besar di Tizen, sistem operasi miliknya, yang disebut-sebut punya kehebatan untuk ponsel yang lebih sederhana. Hubungan yang rumit dan kompleks.

Adapun pada hal yang kedua, penjualan peranti keras serta peranti lunak bisa berjalan beriringan. Menjual ponsel cerdas tak bisa dilepaskan dengan peranti lunak di dalamnya. Pada beberapa hal, penjualan peranti lunak bahkan bisa sangat menguntungkan dengan layanan online, terlebih di era komputasi awan seperti sekarang. Apple dengan iTunes-nya telah membuktikan hal tersebut.

Di dua persoalan ini, Jay disebut-sebut justru mampu bermain cantik. Dengan Apple, misalnya. Hubungan yang baik, yang sedikit banyak dijembatani Jay telah menolong kedua perusahaan dari jerat pertengkaran yang lebih hebat atas masalah paten. Memang, Apple mendapat hampir US$ 1 miliar setelah menyakinkan juri bahwa ponsel Galaxy mencontek sejumlah aspek dari iPhone. Namun, setidaknya persoalan tidak melebar ke mana-mana. Jay bahkan hadir saat Steve Jobs dimakamkan dalam upacara yang dihadiri oleh kalangan terbatas pada 7 Oktober 2011. Sedikit banyak, ini menunjukkan kedekatan Apple dan Samsung. “Jay itu pemikir strategis. Dia tahan berjam-jam bertemu klien penting dan mencapai kesepakatan bisnis,” ujar seorang eksekutif senior Samsung memuji bosnya.

Adapun untuk hal yang kedua, bagi sejumlah pihak, Jay dianggap mampu turut melakukan keseimbangan. Di bawah Lee, Samsung telah berupaya membangun kemampuan software internal. Samsung memperkerjakan ribuan programmer. Sementara itu, Jay cenderung mengakuisisi keahlian. Beberapa waktu lalu, Samsung membeli dua perusahaan startup: SmartThings yang membuat peranti lunak yang menghubungkan sejumlah appliances (yang mengatisipasi era internet of things) dan LoopPay, layanan mobile payment.

Di dua titik ini, Jay dianggap bisa memainkan peran strategis. Hal yang sama juga diharapkan bisa dimainkannya pada persoalan yang ketiga. Memang, ini yang paling sulit: tetap mempertahankan akar Korea, dan menjadi sepenuhnya global. Mengapa sulit?

Kekuatan terbesar Samsung adalah disiplin dan loyalitas yang tertanam pada karyawannya. Begitu seorang pemimpin menentukan tujuan, karyawan berbaris untuk mencapainya. Budaya ini mudah mempertahankannya ketika Samsung masih perusahaan Korsel atau penuh dengan insinyur-insinyur Korea. Sekarang karyawan datang dari beragam penjuru dunia dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Samsung perlu menjadi organisasi yang open-minded, yang menerima kreativitas dari manapun.

Lantas, apakah Jay bisa menyelesaikan itu?

Hal yang positif, setidaknya, budaya korporasi Korea bukanlah sekonformis seperti halnya Jepang di mana ketidaksetujuan adalah tabu, ujar Mark Newman, analis di Sanford C. Bernstein, yang juga mantan karyawan Samsung. Dan Jay dengan pendidikan Barat-nya dianggap memahami hal ini dengan baik. Duda dua anak ini sebelumnya belajar sejarah Asia di Seoul National University, lalu sekolah bisnis di Keio University (Jepang) untuk kemudian mengikuti program doktroal di Harvard Business School, fokus pada e-commerce. Jay dikenal sangat fasih berbahasa Inggris dan Jepang.

Yang jelas, sesungguhnya bukan hanya menggabungkan spirit Korea di tengah perusahaan yang makin mengglobal yang dituntut dari Jay. Bahkan untuk urusan antara peranti lunak dan peranti keras pun, dia telah dituntut untuk menciptakan organisasi yang adaptif. Di tengah upaya Samsung menyeimbangkan antara hardware dan software, diantaranya dengan mengembangkan Tizen, Jay menghadapi persoalan: kultur Samsung masih didominasi oleh para hardware engineer. Ini disinyalir akan menyulitkan sewaktu berhadapan dengan Xiaomi yang mengambil banyak pangsa pasar Samsung di China. Xiaomi disebut-sebut mirip Apple yang budayanya cenderung kuat di software engineer.

Di tiga titik inilah bos Samsung akan berkutat. Dan Jay dianggap tidaklah serapuh yang dibayangkan atau diobrolkan orang. Mereka yang mengenal Jay memang menyebutnya pemalu. Akan tetapi gambaran itu tidak sepenuhnya benar. Apalagi bila dia diajak bicara tentang proyek-proyek masa depan Samsung. Apa itu?

Untuk menghindari nasib buruk yang banyak menimpa perusahaan besar, Samsung kini sangat fokus pada inovasi. Contohnya, chip smartphone-nya disebut-sebut lebih superior dibanding Intel. Untuk menciptakan terobosan, Samsung Electronics bahkan membelanjakan hampir US$ 14 miliar pada riset dan pengembangan di tahun 2014. Jauh di atas yang digelontorkan Apple (US$ 6 miliar) di tahun 2014.

Tapi bukan cuma itu yang dilakukan. Jay akan bersemangat begitu bicara rencana-rencana Samsung menjadi pabrikan buat perusahaan obat, proyek yang disebut-sebut sebagai “baby-nya”. Memang, di samping tetap menggenjot bisnis-bisnis yang sudah ada, terutama yang bernaung di bawah Samsung Electronics, satu mesin pertumbuhan yang tengah dipacu adalah peralatan medis. Dan Jay menjadi leader untuk rencana besar ini.

Jay sendiri berencana membuat Samsung jadi pemain besar di bidang contract manufacturer buat obat-obatan bioteknologi. Samsung akan menyediakan pabrik-pabrik yang ultra-bersih dengan kualitas sangat tinggi. Dengan berkonsentrasi di sini dan membiarkan perusahaan farmasi mendesain dan memasarkan obat, Samsung diharapkan akan dominan di industri pembuatan obat seperti halnya di industri chipmaking.

Apakah rencana ini akan terealisasi, jelas masih ditunggu. Begitu juga apakah Jay akan sekuat ayahnya dalam merealisasikan keinginannya. Yang jelas, bila melihat ke tahun 1987 saat Lee menancapkan ambisinya untuk Samsung, bisa dikatakan rencana Samsung di obat-obatan adalah menjadi bagian dari ambisi sang putra makota. Keraguan jelas wajar menghinggapi dirinya karena sebagai orang dalam di Samsung Electronics, ia dianggap belum mampu mengadang laju Apple dan pemain-pemain China yang trengginas. Tapi, bisnis adalah bicara angka. Bila aktor dinilai dari aktingnya, Jay kelak akan dinilai dari angka-angka penjualan dan laba bersih. ***