Sekerat scotch membuka pintu mulut yang tertutup. Tapi sebuah telepon membungkam karya eksklusif yang siap tersaji.
NO PICTURE = HOAX
Di jaman social media seperti sekarang, kita mengenal istilah
berikut: no picture = hoax. Akhirnya, saking kreatifnya, bahkan aneka picture pun
diedit sehingga alih-alih fakta, yang muncul justru hoax. Paradoks
Foto memang telah lama jadi kekuatan sendiri. Bahkan ada istilah:
One Picture Worth Ten Thousand Words. Frase yang lahir 10 Maret 1927 lewat
sebuah iklan ini menunjukkan pentingnya foto, bahkan kadang melebihi kekuatan
kata-kata.
Bukti kekuatan foto melebihi kata-kata adalah foto-foto
kematian Einstein. Ya, 18 April 1955, atau 61 tahun yang lalu, Einstein meninggal dunia. Tentu saja ini
bukan dalam rangka memperingati kematian sang jenius. Tapi mengingatkan tentang
bagaimana foto bicara. Dan bagaimana proses di baliknya.
Proses ini terjadi ketika fotografer LIFE, Ralph Morse
menerima telepon dari editornya yang memberi kabar penting. Pagi itu, Einstein
gagal jantung di usianya yang ke-75.
Mendapat kabar demikian, Morse segera mengambil kameranya. Dia
mengendari mobilnya sepanjang 90 mil dari rumahnya di New Jersey ke Princeton. Einstein
mangkat di Princeton Hospital.
Morse mengenang situasi saat dia datang. “Wartawan, fotografer,
dan orang-orang yang ingin tahu ada di sana. Karena itu saya segera pergi ke kantor
Einstein di Institute for Advanced Studies. Di tengah jalan, saya membeli
sekerat scotch. Saya tahu orang mungkin akan enggan bicara, tapi kebanyakan
orang senang menerima sebotol minuman ketimbang uang sebagai ganti kebaikan
hati mereka,” katanya.
Morse kelahiran Manhattan 1917. Dia salah satu fotografer
andalan LIFE. Sambil membawa scotch, dia pun masuk ke kantor Einstein. Minuman yang
dibawanya, dia berikan ke superintenden kantor Einstein. Dia pun bisa masuk ke
kantor sang jenius. Dia pun mendapat kesempatan memotret raung kerja Einstein,
termasuk meja kerjanya yang berantakan.
Hari beranjak sore sewaktu Morse mendengar kabar tubuh Einstein dipindahkan dari
rumah sakit ke rumah duka di Princeton. Peti jenazah yang berisi jenazah paska
otopsi hanya akan mampir selama 1-2 jam di rumah duka.
Mendengar berita itu, Morse pun segera berjalan lagi ke
rumah sakit. Dia melihat dua orang membawa peti mayat. Kameranya pun segera bekerja.
Morse tahu, penguburan Einstein akan segera berlangsung. Berharap mendapat posisi yang tepat di acara penguburan, dia pun bergerak ke Princeton Cemetery. “Saya pergi ke pemakaman untuk mencoba menemukan di mana Eistein akan dikebumikan,” kenang Morse. Toh keraguan menyergapnya. “Pasti ada dua lusin tanah sedang digali hari itu! Saya melihat sekelompok pria sedang menggali tanah. Saya pun menawarkan sebotol scotch, bertanya apakah mereka tahu tentang informasi penguburan Einstein. Salah seorang dari mereka bilang, ‘Dia dikremasikan sekitar 20 menit lalu di Trenton.’ Maka saya beri sisa scotch yang ada, masuk mobil, cabut ke Trenton dan ke krematorium sebelum teman serta keluarga Einstein datang,” katanya. Trenton adalah ibu kota New Jersey.
Morse tahu, penguburan Einstein akan segera berlangsung. Berharap mendapat posisi yang tepat di acara penguburan, dia pun bergerak ke Princeton Cemetery. “Saya pergi ke pemakaman untuk mencoba menemukan di mana Eistein akan dikebumikan,” kenang Morse. Toh keraguan menyergapnya. “Pasti ada dua lusin tanah sedang digali hari itu! Saya melihat sekelompok pria sedang menggali tanah. Saya pun menawarkan sebotol scotch, bertanya apakah mereka tahu tentang informasi penguburan Einstein. Salah seorang dari mereka bilang, ‘Dia dikremasikan sekitar 20 menit lalu di Trenton.’ Maka saya beri sisa scotch yang ada, masuk mobil, cabut ke Trenton dan ke krematorium sebelum teman serta keluarga Einstein datang,” katanya. Trenton adalah ibu kota New Jersey.
Di krematorim itu, dia adalah satu-satunya forografer. Betapa
senangnya dia karena hanya dia yang mengabadikan momen penting itu. “Ini berita
besar,” katanya. Setelah mendapat banyak foto ekslusif, Morse pun pergi ke Manhattan, ke kantor LIFE. Hatinya berbunga-bunga. Proses kematian seorang jenius sudah ada dalam kameranya. Termasuk dokter yang mengautopsi tubuh Einstein berikut otaknya.
TELEPON YANG MEMBUYARKAN SEMUANYA
Di kantor LIFE, Ed Thompson menyambutnya. Ed adalah managing
editor LIFE, seorang jurnalis kawakan. “Ralph, aku dengar kau punya foto ekslusif
yang hebat,” kata Ed.
“Yeah. Memang,” jawab Morse.
“Well, tapi kita tak akan menurunkannya,” jawab Ed.
Lemaslah Morse. Ed kemudian bercerita bahwa Hans, putra
Einstein telah menelponnya, meminta untuk tidak menurunkan foto-foto kematian
Einstein. Alasannya, demi privasi keluarga Einstein.
“Anda tak bisa menjalankan sebuah majalah tanpa editor yang
membuat keputusan. Ed telah mengambil keputusan. Maka saya berpikir, ya
sudahlah... Saya kemudian bergerak untuk meliput tugas yang baru. Saya tak
berpikir foto-foto itu akan terbit. Dan saya melupakannya,” kata Morse.
Belakangan Morse baru menyadari. Dia telah bertemu Hans. Dan
putra Einstein itu sempat bertanya dari mana dia berasal. Pertanyaan ini tak
disangka telah membawa konsekuensi bagi karyanya.
60 tahun kemudian, majalah LIFE baru menghadirkan beberapa
foto di hari kematian sang legenda itu. Morse sendiri berumur panjang. Dia mangkat 7 Desember 2014.
Kisah foto Einstein adalah salah satu kisah jurnalisme yang menarik. Kegigihan dan kecerdikan Morse berada di balik foto-foto kematian ikon abad 20 ini. ***
Kisah foto Einstein adalah salah satu kisah jurnalisme yang menarik. Kegigihan dan kecerdikan Morse berada di balik foto-foto kematian ikon abad 20 ini. ***
0 comments:
Post a Comment