Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, April 3, 2009

Tiga Menguak Cokelat

Share this history on :

Kerajaan cokelat keluarga Chuang tak bisa dilepaskan dari sentuhan midas generasi kedua. Siapa saja mereka? Apa nilai-nilai dan budaya perusahaan yang mereka kembangkan?


Teguh S. Pambudi



Beromset Rp 8 triliun dengan sejumlah merek yang berjaya di 17 negara. Itulah bisnis keluarga Chuang. Dengan bendera Petra Foods Limited sebagai holding-nya, skala usaha keluarga ini di bisnis cokelat memang tak bisa dianggap sepele.

Secara garis besar, bisnis cokelat keluarga dari Garut ini dibagi dua: produsen bahan baku cokelat (cocoa ingredient) dan produk-produk konsumer berbasis cokelat seperti cokelat batangan, wafer cokelat, biskuit cokelat, dan meises, yang dilabeli merek.

BusinessWeek pernah menyebut mereka sebagai pemain terbesar ketiga dunia untuk pemasok cocoa ingredients, berada di belakang ADM (Archier Daniels Midland) dan Cargill. “Kalau di Asia, kami yang terbesar,” kata Cynthia P., Sekretaris Korporat Grup Ceres – Operasi Indonesia, yang juga profesional kepercayaan keluarga Chuang. Ceres adalah salah satu anak usaha keluarga ini yang terkenal dengan salah satu produknya, meises.

Di Indonesia, bisnis keluarga Chuang diberi bendera PT General Food Industries yang 90% produknya diekspor. Sementara itu, produk konsumer berbasis cokelat dimasukkan dalam PT Ceres yang 85% produknya dipasarkan ke dalam negeri. Merek-merek utamanya antara lain Ceres, Silver Queen, Cha-cha, Delfi, Selamat, Take-It, Top dan Tulip. Di Indonesia merek-merek itu tak asing. Silver Queen misalnya, dari hasil studi berbagai lembaga riset pemasaran, merupakan pemimpin pasar di segmen cokelat batangan. Demikian pula Top, Cha-Cha, Delfi dan meises Ceres. Ditaksir, keluarga Chuang menguasai 60% pasar cokelat bermerek Indonesia.

Di tangan generasi ke-2, yakni John, Joseph dan William Chuang, omset bisnis keluarga yang mempekerjakan lebih dari 3.000 karyawan ini terus menjulang, tembus Rp 8 triliun. Menariknya, meski terbilang sangat sukses, keluarga Chuang bukan sosok keluarga pengusaha yang beken di Tanah Air. Mereka cenderung low profile.

Lantas, siapa mereka sebenarnya?

John, Joseph dan William. Ketiganya adalah tokoh di balik menjulangnya bisnis cokelat keluarga Chuang lewat bendera Petra Foods Limited. Ketiganya adalah orang-orang yang menguak takdir bagi bisnis cokelat rintisan orang tua.

John Chuang Tiong Choon (60 tahun) adalah anak tertua dari lima bersaudara putra-putri mendiang M.C. Chuang. MBA dari Cranfield Business School ini adalah sosok yang menjadi motor utama sekaligus patron bisnis keluarganya, terlebih setelah M.C. Chuang mangkat di awal 1990-an. Lahir hanya beberapa tahun sebelum sang ayah mulai merintis bisnis cokelat di Garut, John mengantar Petra Foods bertransformasi menjadi pabrikan dan pemasok pemain cocoa ingredients nomor 3 di dunia dengan menjangkau lebih dari 30 negara.

Forbes mencantumkan John serta keluarga Chuang sebagai orang tajir Singapura nomor 31, dengan nilai kekayaan US$ 185 juta. Kemakmuran tersebut dihimpun dalam naungan perusahaan induk, Petra Foods, yang didirikan John pada 1984, yang kemudian terdaftar di bursa Singapura tahun 2004 dan dinobatkan sebagai pendatang bursa terbaik.

Tak mudah mendeskripsikan John serta dua adik lelakinya. Kesamaan dari ketiganya adalah mereka low profile. Jauh dari publikasi dan jepretan kamera wartawan. Mereka bukan CEO selebriti yang wira-wiri keriuhan acara sosialita ataupun media masa. Mereka tipikal para pemimpin bisnis yang digambarkan James Collins dan Jerry Porras dalam bukunya, Built to Last,sebagai orang-orang yang fokus pada pengembangan bisnis. Kesamaan lain adalah seperti diutarakan John yang dikutip Business Times, “Darah saya adalah cokelat. Ketika bangun pagi memikirkan kakao, siang dan malam hari memikirkan kakao dan cokelat.”

Cokelat, cokelat, dan hanya cokelat. Itulah yang mereka pikirkan. “Ketiga orang itu belum ada yang menandingi. Beliau-beliau itu hanya dengan menjilat sedikit saja sudah tahu apakah cokelat itu berkualitas atau tidak. Bahkan, terkadang dengan mencium baunya saja dapat menentukan bagus- tidaknya,” ujar Udja Sudjana, mantan karyawan PT Ceres, menyebut kehebatan tiga bersaudara itu dalam urusan cokelat.

Udja, lelaki separuh baya itu, masih terlihat segar di usianya yang ke-58 tahun. Tiga tahun lalu dia pensiun setelah mengabdi lebih dari 30 tahun. Kemudian, atas permintaan manajemen Ceres, dia dipekerjakan kembali sebagai konsultan mesin, yang kontraknya berakhir Agustus 2008. “Pak John pernah bilang, ‘Kamu, selama masih semangat, jangan berpikir untuk berhenti. Teruslah bergabung bersama.’ Karena itulah, saya bekerja berhati-hati jangan sampai mengecewakan,” kata lelaki yang bertugas memeriksa mesin pabrik Ceres di Filipina yang merupakan pabrik pertama keluarga Chuang di luar negeri.

Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.

Di keluarga Chuang, pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C. Chuang adalah jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal: mati dan mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40 tahun, bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah pensiun. Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values. Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.

Mendiang Chuang senior, di mata Udja, merupakan sosok yang dekat dengan karyawan. Terkadang dia malah lebih dulu menyapa jika bertemu karyawan. “Mereka biasa dirangkul Pak Chuang lalu ditanya apakah sudah berkeluarga dan senang bekerja di Ceres,” Udja menjelaskan. Matanya menerawang sembari mengingat masa lalu ketika dia sendiri pernah dirangkul Chuang senior. “Waktu itu beliau bilang pada saya, ‘Ini pabrik adalah sawah ladang kalian. Cobalah dikelola bersama-sama. Mati-hidup kita adalah dari sini. Betul saya memang yang memilikinya, tapi kalian yang mengelolanya’.”

Bagi sejumlah karyawan, sosok Chuang senior tak bisa dilupakan begitu saja. Itu bisa terlihat bila mengunjungi kantor Ceres di Bandung.

Patung M.C. Chuang terpaku di samping meja resepsionis yang menghadap tangga menuju lantai 2 kantor PT Ceres di Jalan Moh. Toha 94, Bandung. Bersuasana modern minimalis, kantor yang didominasi warna krem dan putih itu berdampingan dengan kantor dan pabrik “saudaranya”, PT General Food Industries, yang memproduksi cocoa ingredients, PT Nirwana Lestari, sang distributor produk. Total, mereka menempati lahan seluas lebih dari 10 hektare. Lahan ini terus diperluas sejak 1970-an ketika Ceres masih hanya pabrik kecil satu lantai.

Di sepanjang ruas Jalan Moh. Toha, hanya mereka yang bergerak di industri makanan. Yang lainnya adalah pabrik tekstil. Melewati kompleks Ceres, akan segera tercium aroma khas terpanggang. Tertiup angin, aroma yang menyengat hidung itu bisa dihirup dari pinggir jalan yang jaraknya puluhan meter dari pabrik. Dari sinilah sebagian produk meises Ceres, Silver Queen dan biskuit Selamat yang manis di lidah itu dibuat. Dari sini pula M.C. Chuang mulai memutar roda bisnisnya.

Dibentuk dari tembaga, patung di samping meja resepsionis yang berwujud setengah badan tanpa lengan itu menampilkan raut wajah orang tua yang sederhana. Inilah patung yang mengapresiasikan penghormatan anggota keluarga pada sang ayah, pendiri dan panutan bisnis yang telah mempekerjakan ribuan orang semasa hayatnya.

Kesederhanaan Chuang senior, menurut beberapa karyawan Ceres, menurun pada anak-anaknya. Penulis sendiri sempat bertemu Joseph di tahun 2005, dalam kesempatan wawancara untuk penulisan buku Advertising that Sells, yang mengupas strategi Dwi Sapta menopang merek-merek lokal menjadi pemimpin pasar lewat iklan-iklannya. Meises Ceres dan “keluarga” biskuit Selamat (Selamat, Briko, Funtime, Any Time) adalah merek milik Ceres dan General Food Industries yang komunikasinya ditangani Dwi Sapta.

Sepanjang pertemuan di Hotel Four Seasons, Jakarta, itu, Joseph lugas menjawab pertanyaan. Mengenakan baju lengan panjang yang digulung hingga siku, di sore hari itu dia tampil sederhana untuk kelas manusia puluhan juta dolar. Bajunya, yang kancing atasnya terbuka, membuatnya seperti bukan juragan kelas dunia. Selalu tersenyum dan tertawa setiap menjawab pertanyaan, dia dekat dengan kesan sersan: serius tapi santai. Dengan nada sopan dan halus, dia yang didampingi Ridwan C. Kidjo, Direktur Penjualan PT Ceres, selalu menolak ketika penulis mengutarakan keinginan meliput bisnis keluarga Chuang yang saat itu menjadi sorotan media-media Singapura. “Liput saja brand-brand kami. Saya sih nggak penting,” kata lelaki bernama Joseph Chuang Tiong Liep ini diiringi tawa berderai. Buat mereka, yang penting adalah the song, not the singer.

Kendati bergaya sederhana, pria 57 tahun ini adalah penikmat seni kelas tinggi. Dia adalah kolektor sekaligus investor lukisan papan atas. Di lantai 2 kantor Ceres, tergantung beberapa lukisan dengan ukiran “Collection of TLC” di bingkainya. TLC adalah akronim Tiong Liep Chuang. “Dia itu berburu sampai ke balai lelang Christie’s. Kalau harganya sudah naik, baru dia lepas, seperti berdagang saja,” kata seorang sumber, sebut saja Donny.

Saking terkenalnya sebagai kolektor lukisan, beberapa balai lelang serta galeri ternama terkadang meminjamkan lukisannya untuk dipajang Joseph. ”Kalau suka, baru dibayar setelah beberapa waktu. Kalau tidak, ya… diambil lagi sama pemilik galeri,” ujar Donny. Joseph sendiri bisa melukis. Namun, itu hanya untuk konsumsi pribadi, dipajang di rumahnya di Jakarta dan Singapura.

Tak seperti abangnya yang mengontrol bisnis dari Singapura dan tengah sibuk membangun pabrik pengolahan kakao di Jerman, Joseph lebih banyak bermarkas di Cibitung. Di Petra Foods, jabatan John adalah CEO Grup, sementara Joseph menjadi Presdir Divisi Branded Consumer mengendalikan operasional bisnis di Indonesia. Dengan posisi itu, Joseph sangat diandalkan sang kakak untuk mengurusi bisnis bermerek (Silver Queen, meises Ceres, dsb.) yang menyasar ke sektor ritel, terutama modern trade yang bernaung di PT Ceres. Dan, Joseph dikenal mitra-mitranya sebagai orang yang luwes dalam melobi untuk mempertahankan sekaligus meluaskan penetrasi produk-produknya.

Pudjianto, Direktur Pengelola PT Sumber Alfaria Trijaya (pengelola Alfamart), melukiskan hal tersebut. “Top ketemu top. Duduk satu meja sambil makan siang. Beberapa kali saya yang ketemu dengan Joseph Chuang. Setahun sekali mesti ketemu saya atau Bu Feny, kadang-kadang Pak Djoko juga,” tuturnya. Djoko Susanto adalah bos Alfa, sementara Feny adalah anaknya yang kini menjabat Presdir PT Sumber Alfaria Trijaya.

“Saya beberapa kali saja bertemu beliau. Sifatnya informal, ya, jadi pas beliau datang ke Bandung, lihat pabriknya, beliau sempatkan ke sini. Ajak makan distributor Bandung, lalu sambil lihat-lihat ke toko-toko pinggir jalan, tanya-tanya ke pedagang bagaimana kondisinya, tanya apa yang kurang dari Ceres. Dia teliti, hal-hal kecil nggakluput, sampai difotoin segala, walau jabatannya sudah bos, ya,” ungkap Hari, Manajer Operasional Sumber Utama Priangan (SUP), distributor Ceres untuk wilayah Kotamadya Bandung.

“Orangnya biasa-biasa saja penampilannya, nggak sok bos atau gimana,” lanjut pria yang telah bekerja di SUP sejak 1983 itu. “Beliau juga nggakotoriter, mau membina dan mendengarkan distributor. Jika ada keberhasilan di satu distributor, ditanyain detail, untuk menjadi pelajaran juga buat yang lain. Sebaliknya kalau ada yang distributor yang kurang berhasil, juga ditanya sampai detail mengapa bisa gagal.”

Hubungan dengan distributor ini betul-betul dijaga oleh Joseph sehingga terjalin kemitraan yang erat. Edward Hilman, Direktur PT Trijaya Makmur Lestari (TML), punya kesan tersendiri. Sebagai distributor Ceres, TML boleh dibilang ikut mengalami pasang-surutnya bisnis keluarga Chuang. Pendiri TML, yakni kakek Edward, sangat percaya bahwa menjadi bagian dari bisnis Ceres tidak hanya bagian dari bisnis, tapi juga bagian dari tradisi. “Banyak sih nawarin ke kami (untuk mendistribusikan produk lain), tapi kami tolak. It's not only about money. Asal kami fokus, pasti akan berhasil,” ujar Edward.

Kakek Edward, yang asli Bandung, adalah rekan Chuang senior. Sewaktu bisnis Ceres masih kecil, M.C. Chuang memercayakan distribusi produk kepada rekan-rekannya sendiri. Kakek Edward dipercaya mengurus distribusi wilayah Bandung. Selain dia, Chuang mengangkat rekannya yang lain untuk memegang distribusi di daerah, antara lain di Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta dan Sulawesi. Mereka ini boleh dibilang distributor eksklusif produk Ceres. Meski tidak ada larangan dari Ceres untuk memasarkan produk lain, tapi secara moral mereka merasa ada keterikatan dengan keluarga Chuang.

Itulah yang terjadi pada Edward. Total produk Ceres yang dijual TML kini mencapai 400-an item. TML termasuk distributor yang berprestasi. Anak perusahaannya di Tasikmalaya pada April 2007 mendapat gelar Distributor Terbaik 2007, sekaligus mendapat Chuang Cupatas prestasinya sebagai distributor berkinerja memuaskan (tumbuh 30% ke atas) selama tiga tahun. ”Saya sedikit-banyak terinspirasi oleh Pak Joseph, terutama semangatnya. Dia selalu katakan, 'Jadilah yang terbaik.' Kami juga ingin jadi yang terbaik di antara distributor karena kesempatan kami sama,” papar Edward.

Joseph memang rajin turun ke bawah, menghubungi para distributor, memompa semangat mereka, dan juga bertemu petinggi gerai modern. Seperti halnya John, dia relatif jarang di Bandung. “Tapi sekali datang ke Ceres, dia seharian di kantor. Dari pagi sampai malam. Pukul 7 pagi sudah datang dengan Land Rover-nya,” ujar seorang sumber tentang Joseph yang kerap menyebut “my man” untuk orang-orang yang dipercayainya, dan menyebut “my friend” untuk mereka yang dianggapnya dekat dengan dirinya.

Lantaran jarang datang dan penampilan mereka yang sederhana, banyak karyawan di Bandung yang tak mengenal John serta Joseph. Mereka, menurut Udja, sering tidak tahu bahwa yang sedang lewat di depan mereka adalah pemilik Ceres. Di samping rapat yang sesekali diadakan di Bandung, ketiga kakak-beradik biasanya berkumpul saat ulang tahun Ceres, 20 Januari.

Operasional di Bandung memang lebih banyak diserahkan ke adik terkecil, William Chuang Tiong Kie (49 tahun). Berperawakan lebih gemuk ketimbang kakak-kakaknya, William menjabat COO Divisi Branded Consumer Foods. Namun, oleh John, dia juga ditugasi mengurus bisnis yang terkait kalangan korporasi.

Seperti abang-abangnya, William yang juga berkacamata adalah orang yang murah senyum. Tawa tak pernah lepas dari bibirnya. Penampilannya pun sederhana, kerap mengenakan kemeja biasa yang dipadupadankan dengan celana pantalon. Seperti Joseph, dia jarang mengenakan jas. Dan seperti kedua kakaknya, dia juga tak suka yang rumit-rumit. Pikiran berbisnisnya sangat praktis. Toh, oleh John, dia yang sering menginspeksi pabrik dari depan hingga belakang ini diminta selalu mengontrol aspek compliance dalam bisnis keluarga Chuang.

Dari ketiganya, John adalah sosok yang paling dihormati dan disegani. Bukan hanya oleh karyawan yang mengenalnya, tapi juga oleh adik-adiknya. “Orangnya lugas,” ujar seorang sumber. Bertemu John, atau meeting dengannya, berarti harus well prepared dan siap untuk hal-hal yang rinci. Namun, ada kesamaan bila meeting atau dijamu ketiga anak M.C. Chuang ini: habiskan yang mereka tawarkan. “Itu menunjukkan kita menyukai makanan mereka. Mereka juga suka kita berlaku seperti itu,” ujar Donny dengan nada serius.

Di luar sejumlah kesamaan, menurut Donny, ketiganya juga memiliki karakter yang khas, yang lebih terkesan sebagai pembagian tugas. Dengan sikapnya yang lugas, John adalah ahli strategi dalam keluarga. Joseph lebih bersikap sebagai motivator dan pemasar. Sementara William lebih sebagai orang yang mengurusi aspek operasional.

Kendati ada pembagian tugas, ada salah satu budaya perusahaan yang menyatukan mereka: window shopping ide-ide bisnis dan pengembangan produk. Dalam setahun, ketiga kakak-beradik ini akan menyebar ke pelbagai penjuru dunia. Sambil piknik, sambil vacancy,mereka mewajibkan pulangnya harus membawa oleh-oleh produk yang inspiratif untuk dibedah tim riset & pengembangan (R & D). Selain dibedah, produk yang mereka beli terkadang juga dijadikan mitra. Inilah yang terjadi ketika John ke Afrika Selatan. Di sana dia menjumpai jus bermerek Ceres. Tanpa berpikir panjang, John mengajukan diri menjadi distributornya. Bila menjumpai jus Ceres di gerai modern di Indonesia, itu adalah produk milik produsen Afrika Selatan yang didistribusikan Nirwana Lestari.

Proses mengeluarkan produk baru banyak bergantung pada ketiga anak M.C. Chuang. Lazimnya, mereka mengadakan rapat dan menggulirkan ide pada tim panel. Tim panel yang juga merangkap sebagai tim R & D mencoba menerjemahkan jenis rasa dan produk yang diminta oleh Chuang bersaudara. Setelah itu, setiap tim R & D membuat resep tertentu. Untuk mengetes kelaikan sebagai produk Ceres, Chuang bersaudaralah yang menjadi tempat terakhir mencicipinya. Mereka yang menentukan sudah sesuai atau belum dengan yang diinginkan.

Udja mengaku tidak heran dengan kemampuan ketiganya dalam citarasa. John dan kedua adiknya yang semuanya menempuh SMA-nya di Singapura kerap diberangkatkan sang ayah untuk memperdalam ilmu tentang cokelat di luar negeri. Mereka sering mengikuti kursus tentang bagaimana menghasilkan citarasa yang baik. “Mereka belajar mengatur komposisi takaran fat content atau lemak dan susu, apakah terlalu manis atau sudah pas. Mereka sangat peka dengan rasa,” ujarnya. Dan tidak mengherankan pula, di kantor Ceres banyak dijumpai aneka produk mancanegara.

Bukan cuma peka rasa. “Jiwa perang mereka itu sangat tinggi. Begitu ada gerakan kompetitor, langsung kumpul. Mereka beli produknya, dianalisis, diuraikan, dan dilihat secara fisik. Strukturnya dibedah,” Donny menjelaskan.

Gabungan ketiga orang inilah yang diyakini menjadi pilar utama kesuksesan bisnis keluarga Chuang di samping nilai-nilai yang dikembangkan sang ayah (kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan). Karakter ketiganya pun tak bisa dilepaskan dari pola asuh yang dikembangkan M.C. Chuang.

Chuang senior tak langsung menarik anak-anaknya untuk menggeluti bisnis keluarga. Agar anak-anaknya punya pengalaman bisnis yang matang, selain menitahkan kursus citarasa, dia pun memberikan keleluasan bekerja di mancanegara. Dan, karier mereka juga cemerlang.

John, misalnya, pada 1979-83 menjadi Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley Development Inc., California. Saat kembali pada 1984, dia mendirikan Petra Foods.

Joseph sempat menjadi Presiden McCoa Inc., Filippines, 1980-83. Dia bergabung dengan PT Perusahaan Industri Ceres pada 1984.

Adapun William, selulus dari California State University Long Beach tahun 1984 sempat menjadi Analis Finansial W. R. Grace (New York), 1984-85. Setelah itu, di usia 26 tahun dia bergabung dengan Ceres sebagai penasihat teknis.

Dengan pengalaman-pengalaman inilah, mereka punya bekal ketika sang ayah memanggil pulang untuk mengurusi bisnis keluarga. Akan tetapi, kabar yang berembus adalah mereka sendiri justru tengah kesulitan melakukan regenerasi. Generasi ketiga Chuang yang kini berusia pertengahan 20 tahunan itu cenderung lebih suka menggeluti sektor lain di luar, antara lain komunikasi dan teknologi informasi. “Generasi ketiga nggak mau gabung, karena nggak mau kotor. Generasi ketiga melihatnya tidak sarat teknologi, tradisional dan tidak menarik,” ungkap Donny.

Itulah sebabnya, pada tiga tahun terakhir keluarga Chuang sempat menarik beberapa profesional dari luar untuk mengelola Ceres dan General Food, termasuk dari Indofood dan Grup Rajawali. Dan tatkala para profesional ini hengkang karena satu dan lain hal, maka Joseph pun terpaksa turun tangan kembali. Lantas, bagaimana masa depan regenerasi di keluarga Chuang?

“Selanjutnya, tampuk kepemimpinan akan diserahkan kepada profesional, pada saatnya nanti. Perkiraan saya, tidak ada regenerasi ke generasi ketiga dari founder. Exit strategy mereka adalah ke konsultasi,” kata seorang mantan konsultan Ceres. Artinya, kakak-beradik Chuang lebih akan memosisikan diri sebagai tempat bertanya bagi para eksekutifnya, tak ubahnya konsultan.

Bagi sebagian orang, ketidakterlibatan generasi penerus dalam bisnis keluarga mungkin sebuah ironi. Akan tetapi, di tengah paradigma bisnis keluarga masa kini yang lebih menonjolkan profesionalisme ketimbang darah biru, hal itu tampaknya bukan sesuatu yang bisa dihindari. Dan rasanya, ketiga Chuang akan menghadapi itu dengan kepala dingin. Maklum, setelah mentransformasi bisnis keluarga Chuang sejak 1984 -- saat John dan Joseph mulai bergabung -- bagi mereka yang terpenting adalah bisnis itu sendiri, bukan para pengelolanya. Dan inilah yang mendorong keluarga Chuang mengalir ke lebih dari 30 negara.

John, Joseph dan William sangat memahami ini.

0 comments: