Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, April 6, 2009

Inspirasi dari Kakek Jeno

Share this history on :
Dia jatuh bangun mengembangkan bisnisnya. Prinsipnya yang pro buruh dan orang-orang kurang beruntung mengundang puji dan inspirasi banyak orang.

Teguh S. Pambudi

Pada suatu malam di tahun 1945. Luigino Francesco (Jeno) Paulucci mabuk berat. Dia mengejar seseorang di jalan di Duluth, Minnesota, AS. Tangannya menggenggam pisau. Tak terjadi pembunuhan, memang. Hanya perkelahian. Toh, Jeno ditangkap. Didakwa membahayakan keselamatan orang, dia dibui semalam di hotel prodeo di Duluth.

Sekeluarnya dari penjara, Jeno memutuskan untuk bangkit. Menjadi seseorang yang lebih berarti dengan cara menolong sesama. Dan kini, di usianya yang mendekati 90 tahun, lelaki ini tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Inpirasi lewat bisnis yang dibangunnya, yang kini berada dalam naungan Bellisio Food.

Bagaimana tidak inspiratif. Untuk kalangan pebisnis, Jeno punya ide yang tidak umum tentang buruh. Lelaki ini sangat pro serikat pekerja. Itu dibuktikan dengan rekam jejaknya saat mendirikan aneka usaha. Jeno sangat mendorong berdirinya serikat pekerja di perusahaan miliknya. Yang menarik, dia juga sangat peduli pada orang-orang yang kurang beruntung. Selama menjadi pengusaha, dia ditaksir telah mempekerjakan lebih dari 10 ribu orang dengan catatan yang buat orang lain mungkin mengerikan; krimial, masalah emosi, dan cacat fisik. Banyak narapidana yang ada di penjara, yang diberi tahu untuk menelponnya begitu keluar dari penjara. “Call Paulucci”, adalah kalimat yang terkenal di penjara, terutama di Minnesota.

Bukan cuma mempekerjakan orang-orang bermasalah dan punya keterbatasan fisik, Jeno juga punya prinsip filantropi yang kuat. Baginya, bisnis seharusnya memberikan 5% dari laba sebelum pajak untuk proyek-proyek komunitas. Lalu menurutnya, siapa saja yang meraup US$ 100 ribu per tahun, juga harus menyisihkan sepersekian dari pendapatannya untuk komunitas yang kurang beruntung. Pokoknya, pengusaha dan orang-orang berkocek tebal, nggak boleh pelit.

Dengan kebijakannya tersebut, tak heran, Pada 1972, Jeno pernah dinobatkan sebagai US Employer of the Year oleh Council on Employment of the Handicapped. Dia dinilai memberi hal yang sangat bernilai atas kebijakannya merekrut, melatih, serta mempekerjakan orang-orang mengalami keterbatasan, mantan narapidana dan pecandu yang oleh orang lain mungkin tak akan dipekerjakan.

Dirunut ke belakang, jauh sebelum dia di penjara di tahun 1945, Jeno yang lahir tahun 1918 di Aurora, Minnesota, lahir dan tumbuh dalam situasi yang sulit. Anak Ettore and Michelina Paulucci, yang pada 1912 beremigrasi ke Amerika ini, tumbuh di Hibbing, Minnesota. Ayahnya, bekerja serabutan di pertambangan. Sementara ibunya menjalankan sebuah toko.

Sejak belia, Jeno sudah membanting tulang untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Dia mengambil arang yang tersisa di rel kereta. Dia juga menolong ibunya di toko, menjual anggur. Pada usia 10 tahun, dia menjual buah serta sayur-sayuran ke pasar lokal di Minnesota. Dan pada pada usia 14 tahun, dia bekerja di pabrik roti pada hari Sabtu, dari jam 5 pagi sampai malam. Hari-hari biasa dia sekolah di Hibbing State Junior College.

Ketika PD II meletus, Jeno masuk militer dan bertempur di Pasifik. Di sinilah dia melihat sesuatu yang kelak mengubah hidupnya. Di tengah kecamuknya perang, dia menyakiskan bagaimana pasukan AS amat menyukai masakan Cina. Menurutnya, membuka restoran makanan Cina di Minnesota akan sangat menarik.

Pada 1947, dengan menggunakan resep ibunya untuk menambahkan cita rasa, Jeno memberanikan diri membuat bisnis makanan Cina dalam kalengan. Meminjam US$ 2500 dari teman, dia meluncurkan makan kaleng dengan merek Chun King. Bisnis ini laris manis. Chun King menjadi pemain penting dan memancing perusahaan top saat itu, R.J. Reynolds untuk mencaploknya. Tahun 1967, setelah melewati dua tahun negosiasi, Jeno melepas Chun King ke R.J. Reynolds senilai US$ 63 juta. Tunai. Setelah itu, perusahaan pun berganti nama menjadi R.J. Reynolds Foods Inc.

Dapat uang banyak tak membuat Jeno ongkang-ongkang kaki. Selama di Chun King, dia mengembangkan mesin pembuat egg-roll. Lewat mesin itulah kemudian dia membuat pizza roll, yang kemudian disajikan dalam keadaan beku. Maka berdirilah Jeno's, Inc. dengan jualan utama, frozen pizza. Dan dengan cepat, frozen pizza miliknya menjadi primadona. Jeno sukses mengantisipasi mood konsumen AS. Pada 1972, Jeno’s Inc. menjadi penguasa pasar frozen pizza.

Laiknya Chun King, keberhasilan pizza beku memancing datangnya pesaing-pesaing besar. Pillsbury, Purex, dan Quaker Oats datang menyerbu pasar yang sedang tumbuh ini. Pada awal 1980-an, kinerja Jeno's yang terus digerogoti pesaing akhirnya melempem hingga merugi US$ 16 juta dari total penjualan yang mencapai US$ 170 juta. Pada 1981, Jeno pun menyerah. Dia menutup pabrik di Duluth, memindahkannya ke Ohio. Tapi dia berjanji akan kembali ke Duluth, dan memberi pekerjaan pada karyawan yang di-PHK. Pada 1985, Jeno's resmi dilego ke Pillsbury senilai US$ 150 juta.

Tahun 1990, Jeno menepati janjinya. Di usia 72 tahun, setelah menyelesaikan masa kontrak untuk tidak berkompetisi (non-competition contract) dengan Pillsbury, dia memutuskan untuk come back dalam bisnis. Membenamkan US$ 8 juta dari uangnya sendiri dan tambahan US$ 3,9 juta uang pinjaman, Jeno kembali menekuni bisnis makanan beku. Lahirlah Luigino's, Inc. di Duluth. Dan sesuai janjinya untuk memberi pekerjaan di Duluth, dia menghubungi sejumlah orang yang pernah bekerja dengannya, yang beberapa diantaranya telah masuk masa pensiun. Ada sekitar 29 eks-karyawannya, -- yang kalau umurnya dijumlah mencapai 758 tahun pengalaman kerja untuk Jeno – bersedia bergabung.

Boleh dibilang, mendrikan Luigino’s adalah langkah yang berani. Sebab, bisnis makanan beku sudah sangat jenuh. Beberapa pemain besar malah sudah masuk seperti Healthy Choice milik ConAgra, Weight Watchers dari H.J. Heinz, dan Stouffer's dari NestlĂ©.

Toh Jeno bukan pemain kemarin sore. Menyadari rival-rivalnya punya dana tak terbatas, dia percaya akan bisa bertanding bila sanggup menemukan ceruk dalam produk pasta single-serve dengan harga bersaing. Membuka kembali pabriknya yang lama di Duluth dan mempekerjakan 100 orang, dia segera meluncurkan produk-produk makanan Cina dengan merek Michelina, diambil dari nama ibunya. Dia juga memroduksi saus beku untuk kebutuhan militer.

Di tahun 1990 itu, kakek tua ini kembali berbisnis dengan posisi yang berbeda dibanding dulu saat mendirikan Chun King dan Jeno’s. Luigino’s adalah underdog di depan ConAgra, H.J.Heinz, dan Nestle. Tapi uniknya, come back-nya si kakek ini justru tmengundang para pesaingnya untuk meniru, dan saling mengadu harga.

Setelah berdiri, Luigino's Inc., tumbuh dengan mantap. Perusahaan ini menawarkan lebih dari 200 single-serve makanan Italia, Oriental, Meksiko, juga Swedia, dan Cina. Merek-mereknya segera terkenal, diantarnya Authentico, Budget Gourmet, Homestyle Bowls, Lean Gourmet, Michelina's, Oven Baked Pizzas, Signature, Yu Sing, dan Zap'ems.

Kendati masuk di tengah pasar yang sudah sesak, sejak awal Jeno menggariskan bisnis Luigino’s Inc. berorientasi nasional. Agar bisa menang dalam persaingan, diapun berupaya efisien dan menekan harga jual. Tak ada iklan yang biasanya mengambil 5-10% dari pendapatan. Jeno memanfaatkan reputasi serta jaringannya untuk masuk supermarket. Produknya dibandrol US$ 50-70 sen lebih murah dibanding pesaingnya.

Strategi ini sukses. Tahun pertama kembali ke bisnis, Jeno meraup penjualan US$ 50 juta, yang kemudian mencapai US$ 200 juta di tahun 1992. Dan setelah itu, dia membawa Luigino’s melesat. Pada pertengahan 1990-an, pasar Kanada dimasukinya. Pada 1999, produsen makanan Paradise Kitchen dari Minneapolidia diakuisisi, disusul pembelian The All American Gourment Co., Budget Gourmet serta Budget Gourmet Value Classics milik Heinz Frozen Food pada tahun 2001. Masih belum cukup, Jeno membeli Arden International Kitchens yang berbasis di Lakeville, Minnesota pada 2002.

Bagi sebagian orang, sepak terjangnya mungkin membuat dahi berkernyit; untuk apa berbisnis hingga usia senja?

Ketika Anda menciptakan pekerjaan, Anda adalah seorang pahlawan. Tapi, ketika Anda menutup pabrik, Anda adalah sampah di muka bumi,” ujarnya. Baginya, membangun bisnis adalah pekerjaan mulia. Memang kini dia telah mengundurkan diri sebagai CEO. Namun, prinsip-prinsip di atas, seperti mempekerjakan orang kurang beruntung tetap dimonitornya di Luigino’s yang sejak Februari 2008 menjadi Bellisio Food. Sebagai tambahan, sejak niat berbisnis lagi, Jeno sudah bertekad untuk membawa perusahaannya go public. Sekalipun dia sangat kecanduan berbisnis, dia mengaku tak pernah menjadi orang yang terikat dengan bisnis. Dia selalu siap menjual Bellisio yang mencetak laba operasi US$ 105 jut pada tahun 2006 kapan saja bila dirasa waktunya tepat. Itulah inspirasi dari seorang Jeno. Berbisnis tanpa meninggalkan misi sosial.

0 comments: