Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, April 6, 2009

Pembuktian Kaisar Es Krim

Share this history on :
Dia disindir, diragukan, dan berada di bawah bayang-bayang dewa fesyen. Toh, dia berhasil sehingga kini dipuja dan dipuji. Apa saja prinsip manajemen yang diterapkannya?

Teguh S. Pambudi

Ketika PPR (Pinault-Printemps-Redoute) menunjuk Robert Polet sebagai CEO Gucci Group pada April 2004, sontak muncul reaksi negatif dari kalangan internal industri fesyen. Skeptisisme serta sindiran tentang telah terjadinya sesuatu yang konyol mendarat ke kantor para petinggi PPR. Maklum, Polet yang menggantikan Domenico De Sole, datang dari luar industri fesyen. Tepatnya, dia adalah presiden divisi es krim dan makanan beku Unilever. "Bisakah kaisar es krim bertahan di tengah sorot lampu dunia fesyen?” menjadi lead artikel tentang dirinya di New York Times. Bahkan The New Yorker ikut-ikutan mengritisi dengan menampilkan karikatur tentang orang yang mengapit tas Gucci seperti membawa kudapan.

Melihat situasi saat itu sangatlah wajar Polet disindir habis-habisan. Siapa yang tak kenal duet Tom Ford dan Domenico De Sole? Selama kurun 1993-2004, pamor Grup Gucci berada di tangan keduanya, terutama Tom, seorang desainer yang fenomenal yang karya-karyanya banyak ditunggu khalayak. Sebagai kepala kreatif Gucci dia mengontrol mulai dari produk, iklan, hingga interior gerai. Saking powerful-nya, gaji Tom bahkan melebihi De Sole. Dia dibayar US$150 juta/tahun sementara CEO-nya, De Sole hanya US$ 75 juta/tahun.

Tom dan De Sole juga telah menghasilkan kinerja cemerlang. Mereka mentransformasi Gucci menjadi korporasi multimiliar dolar setelah nyaris kolaps. Penjualan Gucci yang meningkat dari US$ 250 juta di tahun 1993 mereka dongkrak menjadi US$ 3,2 miliar pada 2003, membuat perusahaan ini menjadi pemain ketiga terbesar di dunia setelah LVMH dan Compagnie Financiere Richemont SA, pemilik Cartier. Para pesaing telak-telak berupaya meniru strategi Tom dan De Sole, membetot desainer-desainer top untuk membenahi label masing-masing. Duet di Gucci ini membuat industri fesyen berkembang.

Namun, bulan madu harus segera berakhir. Ketika PPR membenamkan US$ 8 miliar untuk mengakuisisi Gucci pada 2003, masalah pun segera menyapa Tom dan De Sole. PPR sendiri diundang para pemegang saham untuk membeli Gucci yang akan diakuisisi paksa oleh Bernard Arnault dari LVMH. Pertempuran pengambilalihan ini sangat seru. Dan ketika berakhir, giliran sang pembeli yang mulai merasa khawatir dengan perusahaan yang telah diakuisisinya. “Gucci itu organisasi yang aneh, dengan begitu banyak sentralisasi,” ujar Serge Weinberg, CEO PPR. “Balancing power antara desainer dan manager, betul-betul keliru,” katanya merujuk pada begitu berkuasanya Tom Ford. François-Henri Pinault menambahkan, "De Sole kerjanya bagus di Gucci. Tapi dia tak berpengalaman menjalankan perusahaan dengan beragam merek,” kata pendiri PPR itu tegas.

Sewaktu PPR mengakuisisi, performa Gucci memang tak sepenuhnya bagus. Beberapa merek seperti Bottega Veneta, Balenciaga, Boucheron, dan Yves Saint Laurent -- yang nota-bene merupakan merek-merek yang dibeli Tom dan De Sole --, kinerjanya sedang melempem, Yves Saint Laurent bahkan berdarah-darah.

Namun, yang membuat Tom dan De Sole akhirnya tak disodori kontrak untuk melanjutkan karier di Gucci adalah lantaran mereka enggan menerima gaya para pemilik PPR. Keduanya tak ingin Henri Pinault mengutak-atik otonomi mereka. Padahal, justru itulah yang diinginkan investor; memangkas dominasi Tom dan De Sole.

Polet direkrut lewat cara tersendiri. “Ketika pertama kali headhunter mengontak saya, dia bilang begini, 'Kalau saya sebut Gucci, apa yang Anda pikirkan?'. Saya pun bilang, 'Wow.' Dan perasaan itu sampai sekarang masih ada.” kenang Polet.

November 2003. Di Amsterdam, Polet bertemu Beatrice Ballini dari Russell Reynolds, headhunter yang ditugaskan Henri Pinault mencari CEO Gucci. Kata pertama yang terlontar dari Polet adalah, “Saya itu seorang Gipsy modern.” Tentu saja ini kiasan, kendati faktanya dia memang orang yang berpindah-pindah. Lahir di Kuala Lumpur, Malaysia, Polet menempuh pendidikannya di Inggris dan Belanda (studi administrasi bisnis di Nijenrode). Setelah mendapat MBA-nya di University of Oregon, AS, dia kemudian dikirim Unilever ke Belgia dan Malaysia. Kelak, dia dirotasi ke 11 negara selama berkarir di Unilever.

Fakta dari “Gipsy” modern ini sangat sesuai dengan keinginan Ballini. Dari pesanan yang diterimanya, bos-bos PPR memang tengah mencari seseorang dengan pengalaman internasional. Dan di atas segalanya; dengan rekam jejak mampu mengelola beragam merek.

Di Unilever, Polet terbiasa mengelola banyak merek. Anak seorang penjabat di perusahaan perdagangan di Belanda ini, pertama kali berurusan bisnis saat usia 7 tahun ketika membeli pencil, mematahkannya menjadi dua bagian, meruncingkannya, dan kemudian mejualnya ke temannya dengan harga dua kali lipat dibanding saat membeli. Dia bergabung dengan Unilever pada 1978 dengan rentang pengalaman terbanyak di bidang pemasaran. Salah satu kepiawaiannya mengelola merek adalah tatkala menjadi Chairman Unilever Malaysia di tahun 1990. Polet yang ketika itu berusia 35 tahun, memangkas jumlah merek dari 32 menjadi 14. Kemudian, dia fokus ke bisnis es krim dengan melahirkan merek populer macam Magnum.

Pengalaman kerja Polet sangat mengesankan pemilik PPR. Henri Pinault memang meminta dewan direksi Gucci memasukkan eksekutif dari perusahaan consumer goods, bukan hanya dari industri fesyen, dalam daftar buruan sebagai calon pengganti De Sole. Dan Polet yang disodorkan Ballini, merupakan pilihan tepat.

Bagi Polet sendiri, sebetulnya tawaran memimpin Gucci terasa agak ”merendahkan”. Bagaimana tidak, divisi es krim Unilever, nilai bisnisnya mencapai US$ 11 miliar: dua kali Grup Gucci. Dan di tangan Polet, marjin operasi divisi ini naik 3% ke 15%. Toh, tawaran Henri Pinault disambarnya. Dia merasa setelah 26 tahun berkarir di Unilever, sekaranglah saatnya mencari tantangan baru. Dan kelak, keputusan itu memang betul-betul menjadi sebuah tantangan.

Memimpin Gucci di tengah bayang-bayang apa yang disebut ”Tom-Dom show” -- untuk menunjukkan betapa dominannya Tom Ford dan Domenico De Sole --, Polet diuji sejak awal. Setelah dia masuk, banyak eksekutif Gucci yang hengkang mengikuti jejak Tom dan De Sole. Beberapa diantaraya keluar karena merasa direndahkan ketika sang bos baru membawa konsultan manajemen terlibat dalam perusahaan. Beberapa juga keluar karena rencana Polet untuk Gucci, seperti menambahkan lebih banyak logo pada merchandise, dianggap akan merusak label Gucci, sekaligus membuat produk dijauhi kalangan elit.

Sejak mengendalikan Gucci, Polet memang mengubah gaya manajemen. Sebagai pendatang baru di industri fesyen, dia mengangkat konsultan untuk membantunya. Langkah ini sangat mengejutkan karena ini merupakan sesuatu yang tak pernah dilakukan Gucci sebelumnya. Bain & Co. yang diundang Polet, akhirnya membuat eksekutif Gucci terpecah karena mereka tak terbiasa menerima nasihat dari pihak luar. Apa sebenarnya nasihat Bain & Co.?

Dalam salah satu laporannya, konsultan ini memaparkan bahwa model bisnis Gucci sangat ketinggalan jaman. Rencana desain Gucci yang memerlukan waktu 8 bulan sejak desain, produksi, sampai pengiriman, terbilang amat lama. Para konsultan dari Bain menyarankan Polet harus bisa melawan para pesaing yang lebih murah dan lincah dalam mengirim produk ke toko-toko sekaligus mengantisipasi datangnya sebuah musim busana. Bain mencatat Zara, pemain fesyen dari Spanyol, sanggup mengubah 75% merchandise-nya setiap 3 atau 4 minggu. Gucci? Perusahaan ini mengubah kumpulan koleksinya hanya 5 kali setiap tahun. Hasilnya jelas-jelas memiriskan: sementara pelanggan Zara mengunjungi toko 17 kali dalam setahun, pelanggan Gucci hanya datang ke butik 4 kali setahun.

Banyak yang tak suka nasihat ini, dan kemudian memilih hengkang. Namun, Polet jalan terus. Dia bahkan menerapkan sejumlah prinsip yang terasa radikal bagi perusahaan yang didirikan Guccio Gucci di Florence, Italia pada 1921 ini. Prinsip itu adalah, pertama, make the brand, not the talent, the star. Pada akhir 1990-an, Tom Ford adalah bintang. Dia mengotaki turnaround Gucci dan membuatnya menjadi merek utama dalam daftar para selebriti serta orang-orang kaya. Setelah menjadi CEO Gucci, Polet mengatakan bahwa yang terpenting adalah mengutamakan produk, bukan personalitas di baliknya. Maka untuk menghapus dominasi ala Tom, dia mengangkat tiga desainer Gucci yang namanya tak terkenal untuk mengurusi kreatif. Lalu, dia mengangkat manajer bisnis untuk setiap merek.Tak ada lagi era ketika seseorang mengontrol semua merek. "Kerja desainer adalah mengabdi pada merek,” katanya.

Grup Gucci punya merek-merek top. Jumlahnya juga tidak sedikit. Diantaranya; Gucci, Yves Saint Laurent, Sergio Rossi, Boucheron, Roger & Gallet, Bottega Veneta, Bédat & Co, Alexander McQueen, Stella McCartney dan Balenciaga. Pada masa sebelumnya, Tom memang mengontrol semua itu. Dengan cara baru, kata Polet, akan membuat produk bukan cuma terlihat oke, tapi juga punya strategi merchandising yang bagus karena tidak bergantung pada kreativitas satu orang.

Itu yang pertama. Prinsip kedua, don't micromanage. Tak seperti pendahulunya, Polet tak mengontrol semua keputusan para desainernya. Dia hanya mengontrol dalam hal mencari pemimpin yang tepat, menetapkan rencana bisnis dalam tiga tahun mendatang, dan membuat aturan main untuk semuanya. “Setelah itu, saya tinggal bilang, 'Kerjakan',” katanya.

Cara ini menghancurkan kultur “Tom & Dom show”. Polet mendorong otoritas ke setiap merek di grup, memberi keleluasan bagi setiap direktur bisnis untuk mengelolanya. Agar maksimal, dia pun membuat apa yang disebutnya sistem "freedom within a framework". Ini adalah sesuatu yang tak lazim dalam perusahaan fesyen. “Dengan Domenico De Sole, jika Anda punya masalah, Anda akan pergi menghadapnya, dan dia akan membereskannya, bahkan cuma lewat telpon pun bisa. Dengan Polet, ceritanya lain. Anda harus pecahkan sendiri masalahnya,” ujar seorang eksekutif Gucci.

Adapun prinsip ketiga, know your customer. Gaya ini sedikit banyak mirip dengan konsep pengelolaan merek di Unilever. “Sebenarnya saya melihat lebih banyak kesamaan dibanding perbedaan antara pekerjaan lama dan baru,” kata Polet. Melakukan polling, terutama. Di Gucci, hal ini dipandang tidak penting karena Tom Ford adalah dewa. Dia menciptakan tren yang akan diikuti konsumen. Karena itu polling untuk mengetahui selera konsumen tidaklah perlu.

Sikap ini bersebrangan dengan Polet. Dia berpikir tak ada alasan mengapa rumah fesyen enggan meminjam praktik bisnis dari industri lain. Maka dia pun menekankan para desainernya untuk terus mendeteksi apa yang diinginkan konsumen lewat riset serta focus group discussion. Alhasil, Polet melebarkan Gucci ke produk-produk seperti scarf sutra. "Seluruh organisasi harus fokus melihat ke luar, termasuk pada konsumennya. Kita perlu tahu bagaimana dan kapan mereka menginginkan sesuatu,” katanya.

Dulu, sikap ini sangat dijauhi. “Tentu saja Anda harus tahu pasar. Namun, di industri produk mewah, Anda harus menjadi inovatornya,” ucap De Sole. “Kami punya ide sendiri tentang apa yang kami inginkan,” ujarnya pada satu kesempatan. Polet mengritik sikap ini. Apa yang diperlukan Gucci, tegasnya, adalah bagaimana para desainer mengelola kreativitasnya. Dan dia meyakini hal itu bisa ditempuh lewat jalan memahami kesukaan pelanggan. “Ini bukanlah kreativitas untuk kreativitas semata,” ujarnya.

Gaya manajemen di atas, didapat Polet dari pengalamannya. Di Unilever, dia belajar banyak tentang otonomi, terutama tatkala diminta mengelola Unilever Malaysia. Dia ingat bagaimana sulitnya situasi saat itu: pendapatan yang stagnan, laba yang sedikit, dan dewan direksi yang tak berfungsi di mana orang Cina, Melayu, dan Jerman tak bicara dengan bahasa bisnis yang sama. Polet juga tidak takut untuk memperkenalkan ide-ide baru di jagat fesyen. Sebab baginya kreativitas ada di mana saja. Seperti halnya di bisnis es krim. Di sini, dia memperkenalkan coklat dan es krim vanila dalam mangkuk kecil. Untuk urusan kreativitas, Polet sangat menekankan para pembantu dekat dan para desainer Gucci untuk belajar dari Zara, raksasa fesyen yang memukul butik-butik mewah yang lamban bergerak.

Bisnis luxury-goods, setelah konsolidasi konglomerat industri ini selama 1990-an, memang berada dalam masa sulit. Perusahaan yang membandrol harga murah dengan jadwal produksi cepat, seperti Zara, terus menggerogoti para pemain mapan macam LVMH Moet Hennessy Louis Vuitton SA, Prada Group NV dan Gucci. Model bisnis ala Zara yang cepat dan efisien, mengubah aturan main serta gaya hidup konsumen. Sekarang banyak perempuan dengan bangganya memadu-padankan celana Armani seharga US$ 1000 dengan jaket Zara yang cuma dibandrol US$ US$ 89.

Polet menginginkan awak Gucci melihat realitas ini dengan cerdas. Dan setelah 3,5 tahun memimpin, harapannya itu pun tercapai. Sikapnya yang memberikan kewenangan untuk orang-orang dibawahnya, melahirkan dukungan berikut pujian. “Saya memang tak suka kalau seseorang memberi tahu tentang apa yang mesti saya lakukan,” ujar Patrizio Di Marco, yang mengelola Bottega Veneta. “Ini adalah persoalan kepercayaan,” kata Valérie Hermann, mantan eksekutif Dior yang direkrut untuk mengelola Yves Saint Laurent pada tahun 2005.

Kewenangan dari Polet mereka manfaatkan untuk berkreasi dan menjual produk sebagus mungkin. Bottega Veneta bahkan kini menjadi cerita hebat di Gucci; dari rugi US$ 10 juta menjadi laba operasi US$ 80 juta dalam 2 tahun terakhir. Yves Saint Laurent memang belum mencetak laba. Namun di bawah Valérie dan Stefano Pilati, kinerjanya terus membaik. Valérie memuji Polet sebagai direktur yang baik. Satu contoh yang dipuji adalah ide Polet untuk penggunaan Internet. Yves Saint Laurent meluncurkan situs e-commerce pada Oktober tahun lalu, yang diserbu pengunjung. Bahkan Boucheron juga telah menjadi merek yang sehat setelah masuk jalur online.

Secara total, Polet kini membuat Gucci menjadi grup dengan portofolio merek yang kuat -- hanya Yves Saint-Laurent yang masih merugi. Marjin operasi Gucci meningkat dari 10% di tahun 2003, menjadi 16% di tahun 2006, dan diharapkan menjadi 18% pada 2007. Tahun lalu, laba naik 44% menjadi US$ 741 juta. Hasil ini jelas mengejutkan banyak orang. Henri Pinault bahkan tak bisa menutupi rasa senang lantaran perkembangan yang ada melebihi harapannya. “Polet telah melakukan hal yang luar biasa hebat,” ujar Chairman PPR ini.

Pujian itu sungguh bukan basa-basi. Orang luar pun mengakuinya. Buktinya Polet dinobatkan Fortune sebagai European Businessman of The Year 2007. Toh, dia tak mau menyombongkan diri. Dia ingat bagaimana saat awal memimpin Gucci. “Setelah 3,5 minggu jadi CEO Gucci, saya bilang ke istri saya. 'Saya nggak bisa lagi berlibur bersamamu'. Setelah itu saya mengepak barang, terbang ke banyak negara, mengunjungi 168 toko Gucci. Saya bicara dengan 2500 dari 11 ribu karyawan Gucci. Saya kunjungi 100 toko kompetitor. Dari situlah saya punya peluang menemukan kembali Gucci, budayanya, orang-orangnya, mengetahui kompetisi, dan aturan main di dalamnya. Barulah setelah itu saya kembali ke kantor dengan pengetahuan dan cara pandang yang sangat baik,” katanya. Itulah resep Polet sebelum menjalankan prinsip-prinsipnya di Gucci, yang membuatnya mampu membuktikan betapa kaisar es krim juga bisa menjadi salah seorang kaisar fesyen.

0 comments: