Dalam dua minggu terakhir, saya berkesempatan
berbincang dengan tiga tokoh bisnis papan atas yang sempat menjadi orang-orang penting Astra
Internasional. Pertama, Teddy Thohir. Kedua, Teddy Rachmat. Dan ketiga, Benny
Subianto.
Teddy Thohir adalah ayahanda Erick Thohir dan
Garibaldi Thohir, pentolan Grup Mahaka. Dia pemilik TNT Group. Teddy Rachmat,
kita tahu adalah taipan bisnis lewat Grup Triputra. Sementara Benny merajalela
lewat Persada Capital. Ketiganya di masa lalu adalah “kapten-kapten” yang
membangun Astra. Mereka juga “All the
William’s Men”.
Saya menemui mereka bertiga dalam konteks meriset
dan wawancara untuk tulisan tentang Om William Soeryadjaya. Kita tahu semua
legenda yang satu ini. Dia merintis Astra di tahun 1957, hingga akhirnya harus rela
melepas ke pihak lain di tahun 1992 karena membayar kewajiban putra
kesayangannya yang terbelit masalah di Bank Summa.
Ada banyak off
the record yang tak bisa diungkap terkait “The Rise and Fall of William”, terutama terkait kejatuhannya. Publik
masih merasa William jatuh karena dikerjai dan semacamnya yang berkonotasi sebuah
hostile take over. Simpan sejenak hal
itu karena kelak ada penjelasan dari hasil riset saya bersama dua rekan SWA yang akan panjang ini.
Yang tak kalah menarik justru mendengar apa yang
membuat William bisa membangun Astra menjadi kerajaan bisnis yang gigantik dari
sebuah toko kelontong. Ada banyak faktor. Salah satunya adalah ini: dia pandai
menghimpun orang-orang terbaik untuk berada di sekelilingnya. Orang-orang yang bukan
hanya pandai, kredibel, tapi juga berintegritas. Tiga orang di atas adalah
contohnya. Di luar itu, banyak sekali “William’s
men” yang luar biasa.
Tapi, apakah William hanya pandai menghimpun
orang terbaik?
Menyimak tentang kepandaian ini, saya pun
teringat posting seorang teman yang berjudul “Memetik Hikmah dari Petani Jagung”.
Begini kurang lebih isinya:
“James Bender dalam bukunya, “How to Talk Well” [1994], menyebutkan
sebuah cerita tentang seorang petani yang menanam jagung unggulan dan sering
kali memenangkan penghargaan.
Suatu hari, seorang wartawan dari koran lokal melakukan wawancara dan
menggali rahasia kesuksesan petani tersebut.
Wartawan itu menemukan bahwa petani itu membagikan benih jagungnya
kepada para tetangganya. “Bagaimana Anda bisa berbagi benih jagung dengan
tetangga Anda, lalu bersaing dengannya dalam kompetisi yang sama setiap
tahunnya?” tanya wartawan, dengan penuh rasa heran dan takjub.
“Tidakkah Anda mengetahui bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari
jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain.
Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka kualitas jagung saya akan
menurun ketika terjadi serbuk silang. Jika saya ingin menghasilkan jagung
kualitas unggul, saya harus membantu tetangga saya untuk menanam jagung yang
bagus pula,” jawab petani.
Petani ini sangat menyadari hukum keterhubungan dalam kehidupan. Dia
tidak dapat meningkatkan kualitas jagungnya, jika dia tidak membantu
tetangganya untuk melakukan hal yang sama.
Dalam kehidupan, mereka yang ingin menikmati kebaikan, harus memulai
dengan menabur kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Jika Anda ingin
bahagia, Anda harus menabur kebahagiaan untuk orang lain. Jika Anda ingin hidup
dengan kemakmuran, maka Anda harus berusaha meningkatkan taraf hidup
orang-orang di sekitar Anda.
Anda tidak akan mungkin menjadi ketua Tim yang hebat, jika Anda tidak
berhasil meng-upgrade masing-masing anggota Tim Anda. KUALITAS ANDA DITENTUKAN
OLEH ORANG-ORANG DI SEKITAR ANDA.”
Begitu isinya.
Dalam skalanya sendiri, William telah menjadi
petani jagung. Dia bukan sekedar mengumpulkan orang-orang hebat. Dari tuturan
para kaptennya, terungkap bagaimana William menebar benih kepada orang-orang
sekitarnya. Dia menebar kerendahan hati, keuletan, spirit humanism, serta
hal-hal positif lainnya. Menarik mendengar pengakuan salah seorang dari mereka
yang menyatakan bahwa saat itu, karyawan selalu merasa bersedia berkorban untuk
Om William. Mereka bersedia melakukan apa saja. Mereka percaya kerja keras buat
Si Om bukanlah kesia-siaan. Karena memang Om William tahu cara berterima kasih
dan memperlakukan karyawan sebagai manusia. Bukan orang suruhan. Apalagi budak.
Yah, riset dan wawancara tentang William masih
akan panjang. Tapi sedikit cerita ini mengingatkan pentingnya menabur benih
kebaikan ke lingkungan. Sebab itu akan ikut memercik ke diri kita.