Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, January 29, 2012

Sepenggal Cerita dari William's Men


Dalam dua minggu terakhir, saya berkesempatan berbincang dengan tiga tokoh bisnis papan atas yang sempat menjadi orang-orang penting Astra Internasional. Pertama, Teddy Thohir. Kedua, Teddy Rachmat. Dan ketiga, Benny Subianto.

Teddy Thohir adalah ayahanda Erick Thohir dan Garibaldi Thohir, pentolan Grup Mahaka. Dia pemilik TNT Group. Teddy Rachmat, kita tahu adalah taipan bisnis lewat Grup Triputra. Sementara Benny merajalela lewat Persada Capital. Ketiganya di masa lalu adalah “kapten-kapten” yang membangun Astra. Mereka juga “All the William’s Men”.

Saya menemui mereka bertiga dalam konteks meriset dan wawancara untuk tulisan tentang Om William Soeryadjaya. Kita tahu semua legenda yang satu ini. Dia merintis Astra di tahun 1957, hingga akhirnya harus rela melepas ke pihak lain di tahun 1992 karena membayar kewajiban putra kesayangannya yang terbelit masalah di Bank Summa.

Ada banyak off the record yang tak bisa diungkap terkait “The Rise and Fall of William”, terutama terkait kejatuhannya. Publik masih merasa William jatuh karena dikerjai dan semacamnya yang berkonotasi sebuah hostile take over. Simpan sejenak hal itu karena kelak ada penjelasan dari hasil riset saya bersama dua rekan SWA yang akan panjang ini.

Yang tak kalah menarik justru mendengar apa yang membuat William bisa membangun Astra menjadi kerajaan bisnis yang gigantik dari sebuah toko kelontong. Ada banyak faktor. Salah satunya adalah ini: dia pandai menghimpun orang-orang terbaik untuk berada di sekelilingnya. Orang-orang yang bukan hanya pandai, kredibel, tapi juga berintegritas. Tiga orang di atas adalah contohnya. Di luar itu, banyak sekali “William’s men” yang luar biasa.

Tapi, apakah William hanya pandai menghimpun orang terbaik?

Menyimak tentang kepandaian ini, saya pun teringat posting seorang teman yang berjudul “Memetik Hikmah dari Petani Jagung”. Begini kurang lebih isinya:

“James Bender dalam bukunya, “How to Talk Well” [1994], menyebutkan sebuah cerita tentang seorang petani yang menanam jagung unggulan dan sering kali memenangkan penghargaan.
Suatu hari, seorang wartawan dari koran lokal melakukan wawancara dan menggali rahasia kesuksesan petani tersebut.

Wartawan itu menemukan bahwa petani itu membagikan benih jagungnya kepada para tetangganya. “Bagaimana Anda bisa berbagi benih jagung dengan tetangga Anda, lalu bersaing dengannya dalam kompetisi yang sama setiap tahunnya?” tanya wartawan, dengan penuh rasa heran dan takjub.

“Tidakkah Anda mengetahui bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka kualitas jagung saya akan menurun ketika terjadi serbuk silang. Jika saya ingin menghasilkan jagung kualitas unggul, saya harus membantu tetangga saya untuk menanam jagung yang bagus pula,” jawab petani.
Petani ini sangat menyadari hukum keterhubungan dalam kehidupan. Dia tidak dapat meningkatkan kualitas jagungnya, jika dia tidak membantu tetangganya untuk melakukan hal yang sama.

Dalam kehidupan, mereka yang ingin menikmati kebaikan, harus memulai dengan menabur kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Jika Anda ingin bahagia, Anda harus menabur kebahagiaan untuk orang lain. Jika Anda ingin hidup dengan kemakmuran, maka Anda harus berusaha meningkatkan taraf hidup orang-orang di sekitar Anda.

Anda tidak akan mungkin menjadi ketua Tim yang hebat, jika Anda tidak berhasil meng-upgrade masing-masing anggota Tim Anda. KUALITAS ANDA DITENTUKAN OLEH ORANG-ORANG DI SEKITAR ANDA.”

Begitu isinya.

Dalam skalanya sendiri, William telah menjadi petani jagung. Dia bukan sekedar mengumpulkan orang-orang hebat. Dari tuturan para kaptennya, terungkap bagaimana William menebar benih kepada orang-orang sekitarnya. Dia menebar kerendahan hati, keuletan, spirit humanism, serta hal-hal positif lainnya. Menarik mendengar pengakuan salah seorang dari mereka yang menyatakan bahwa saat itu, karyawan selalu merasa bersedia berkorban untuk Om William. Mereka bersedia melakukan apa saja. Mereka percaya kerja keras buat Si Om bukanlah kesia-siaan. Karena memang Om William tahu cara berterima kasih dan memperlakukan karyawan sebagai manusia. Bukan orang suruhan. Apalagi budak.

Yah, riset dan wawancara tentang William masih akan panjang. Tapi sedikit cerita ini mengingatkan pentingnya menabur benih kebaikan ke lingkungan. Sebab itu akan ikut memercik ke diri kita.