Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, February 25, 2012

Transformasi di Atas Putaran Dolar


Zaman berganti, ilmuwan-entrepreneur pun terus lahir. Tak ingin ketinggalan kereta, kalangan perguruan tinggi, pebisnis dan pemerintah mesti bersinergi.

Scientist-Entrepreneur. Ilmuwan-wirausahawan.

Ini adalah terminologi untuk para ilmuwan yang bertransformasi menjadi pebisnis. Baik dengan mendirikan perusahaan dan memasarkan penelitiannya. Atau menjual paten kepada pebisnis yang kemudian mengomersialkannya.

Fenomena ilmuwan yang bertransformasi menjadi entrepeneur bukanlah hal baru, terutama di negeri Abang Sam. Di sana, sosok legendaris yang paling sering disebut dari jenis manusia ini adalah Thomas Alva Edison. Orang yang sebelumnya dianggap idiot ini bukan hanya seorang ilmuwan andal yang menemukan bola lampu, phonograph, dan mencatatkan 1093 paten, tapi juga seorang pengusaha top. Dari Edison Electric Light Company kini orang mengenal salah satu perusahaan terbesar di muka bumi, General Electric.

Edison adalah contoh seorang ilmuwan yang mengonversi temuannya menjadi aplikasi komersial yang sukses besar. Jauh sebelum dia, sosok yang terkenal adalah Benjamin Franklin. Ben yang dianggap salah seorang Bapak Bangsa AS memang tak pernah menjadi presiden negara itu. Tapi dia bisa dikatakan seorang ilmuwan-entrepreneur pertama di AS.

Sebagai ilmuwan, temuannya sangat beragam, yang menunjukkan minatnya yang sangat luas. Dia membuat oven, penangkal petir, kacamata bifokal, dan harmonika. Sebagai pebisnis, Ben tergolong hebat. Pada usia 24 tahun, dia sudah sukses lewat sejumlah bisnis mulai dari percetakan, koran, dan toko kelontong. Bisnis yang dimilikinya yang dipadukan dengan komersialisasi temuan-temuannya membuat Ben menjadi salah satu orang terkaya di jamannya.

Zaman pun berganti. Dan lembah silikon menjadi saksi semakin banyaknya ilmuwan hebat bertransformasi menjadi entrepreneur jempolan dengan gelimang kekayaan. Bill Hewlett dan David Packard, salah satunya. Mereka mendirikan perusahaan yang top sampai sekarang: Hewlett Packard.

Estafet ini tak berhenti. Salah satu perusahaan yang menjadi saksi gabungan kepiawaian saintis dan jiwa pengusaha adalah Genentech.

Kisah Genentech sangat menarik. Perusahaan ini berdiri pada 1976, berkat kerja sama dan tangan dingin 3 pria. Pertama, Dr Herbert W. Boyer, seorang ahli biokimia. Kedua, Stanley Cohen, ahli genetik. Dan terakhir, Robert A. Swanson, seorang pebisnis.

Awalnya, Boyer dan Cohen berhasil merintis ilmu baru bernama penggabungan DNA (recombinant). Mendengar berita itu, Swanson mengajak mereka bertemu. Ia meminta Boyer dan Cohen mempresentasikan hasil temuannya. Hanya 10 menit presentasi berlangsung. Tapi itu mengubah mereka. Juga bisnis industri kesehatan dunia.

Mereka berkolaborasi. Boyer dan Cohen dibetot menjadi pebisnis. Muncul protein therapeutics. Ini adalah hasil penggandaan genetik yang diolah alami dengan menitikberatkan peran molekul bagi kesehatan manusia. Sayang, pasar belum antusias merespons. Toh mereka tak putus asa. Lahirlah somatostatin, protein bagi manusia dalam bentuk mikroorganisme coli bacteria.

Kini pasar menyambutnya. Mereka pun sukses besar. Setelah itu produk demi produk meluncur. Diantaranya, protopn yang berfungsi memacu hormon pertumbuhan bagi anak-anak yang kekurangan vitamin.

Keilmuwan duet Boyer-Cohen dan insting bisnis Swanson kian hebat. Setelah sukses meluncurkan produk, Genentech main ke hilir. Mereka aktif membuka day-care sebagai pusat obat dan produk farmasi. Genentech pun kian berpengaruh dan menjadi perusahaan besar, terlebih setelah bergandengan dengan Roche Holding Ltd. Dan kian kinclong setelah go public tahun 1999.

Bicara ilmuwan yang jadi entrepreneur jempolan, di belahan Asia juga bermunculan tipikal manusia seperti ini. Satu yang top ada di negeri jiran, Singapura. Namanya: Olivia Lum, CEO Hyflux. Ini perempuan istimewa yang tahun lalu diganjar World Entrepreneur Of The Year 2011 yang digelar Ernst & Young.

Sebelum mendirikan Hyflux, perusahaan distribusi peralatan water treatment, Lum bekerja di GlaxoSmithkline sebagai ahli kimia. Digaji US$ 40 ribu setahun tak membuatnya puas. Yakin menjadi entrepreneur bisa lebih memperbaiki derajat kehidupannya, pada 1989 Lum mengambil keputusan berani: keluar dari GlaxoSmithkline, dan berwirausaha. Lahirlah Hyflux. Bisnis air, dalam hemat Lum adalah bisnis yang prospektif, terlebih Singapura sangat tergantung pada pasokan air dari jiran sebelah, Malaysia.

Untuk mendirikan Hyflux, Lum sungguh berjudi. Selain meninggalkan Glaxo yang selama 3,5 tahun menjadi tempatnya mencari nafkah, dia juga melego aset-aset penting yang telah dibelinya dengan susah payah. Lum menjual mobil dan apartemennya. Dengan uang US$ 12 ribu ia mendirikan Hyflux.

Dengan keahlian kimia yang dikuasainya, Lum membawa Hyflux berlari hingga menjadi perusahaan yang disegani. Hyflux kini menjadi pemasok desalinasi air dengan pendapatan US$ 450 juta yang beroperasi di China, India, Timur Tengah dan Afrika Utara. Tak heran, lulusan National University of Singapore tahun 1986 ini menjadi wanita pertama yang diganjar E&Y sebagai World Entrepreneur Of The Year 2011.

Tapi tentu saja tak semua entrepreneur hebat berangkat dari dunia sains atau pelajar hebat di kampusnya. Beberapa nama besar malah drop out dari sekolahnya. Anda pasti kenal mereka: Bill Gates dan mendiang Steve Jobs.

Laiknya bisnis, peninggalan mereka juga mesti diperlakukan dengan sentuhan bisnis. Diantaranya adalah kemampuan merespons perubahan. Yang tragis tentunya adalah rintisan George Eastman.

Eastman adalah seorang penemu ulung yang disebut-sebut sebagai one of the famous scientist-entrepreneur. Tertarik dengan dunia fotografi, dia mampu membuat kamera yang kemudian diproduksi massal dengan slogan pemasarannya yang legendaris: "You press the button, we do the rest". Di tangannya, Eastman Kodak berkibar sejak 1888. Tapi kita tahu semua, setelah itu, jiwa inovatif Eastman tak ada yang meneruskannya. Kodak gagal beradaptasi dengan serbuan kamera digital sehingga terkapar di sudut persaingan. Januari 2012, Kodak meminta perlindungan kepailitan.

Bicara tentang ilmuwan-entrepreneur, di Indonesia juga lahir sejumlah orang dengan tipe seperti. Yang paling top adalah Dr Boenjamin Setiawan Ph.D, pendiri Kalbe. Dia berada di peringkat 12 orang terkaya 2011 versi Forbes (kekayaan US$ 2 miliar). Yang lain, DR Boedi Mranata. Dialah “Raja Sarang Walet Indonesia”. Lewat PT Adiputra Mranata Jaya, Boedi mengekspor sarang walet ke banyak negara. Dalam daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes, Boedi ada di posisi 140 (US$ 81 juta). Ada juga (alm) Prof. Dr. dr. Indro Handojo SpPK, pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Kedisiplinannya di bidang riset dan jiwa kewirausahannya membawanya sukses membesarkan produk kosmetik La Tulipe.

Atau mendiang Prof. Dr. Sardjito MPH. Guru Besar UGM ini termasuk salah satu guru besar pertama di Indonesia yang berhasil memasarkan produk hasil penelitiannya untuk bisa dinikmati masyarakat secara luas. Salah satunya Calcusol, produk herbal yang berkhasiat menyembuhkan penyakit batu ginjal yang banyak direkomendasikan dokter untuk meluruhkan batu ginjal atau kencing manis. Lalu Calhaid, penghilang nyeri saat haid, dan Calterol (untuk mengurahi lemah darah). Kini, melalui Perusahaan Jamu Tradisional Dr Sardjito, produk-produk temuannya terus eksis, diproduksi di pabriknya di kawasan Jl. Cik Di Tiro 16, Jogjakarta.

Di Indonesia, sejumlah ilmuwan-entrepreneur memang telah bermunculan. Namun,  bisa dikatakan belum terlalu menggembirakan. Di negeri ini, riset dan penelitian masih banyak tersimpan di lemari-lemari beku berdebu, masih jauh dari dampak yang diinginkan: bermanfaat bagi kesejahteran masyarakat luas. Sebut contoh, penelitian-penelitian level doktoral yang jumlahnya terus melonjak dari tahun ke tahun. Banyak  penelitian doktor hanya untuk mengisi filling cabinet, karena hanya mencari ijazah. “Ironisnya, justru 99% penelitian doktor mengarah ke hanya mengisi filling cabinet itu," terang Dr. Drs. Soeprapto Ma’at Apt. MS, dosen FK Unair yang juga penemu resep obat Stimuno.

Pendapat serupa juga dikemukakan Kusmayanto Kadiman, mantan Menristek Kabinet Indonesia Bersatu dan Rektor ITB. Dia melihat masih terbatasnya penelitian aplikatif yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. "Jurang pemisah antara kaum ABG (Academics, Business, Government) masih sangat lebar dan dalam. Masing-masing  dari A, B dan G masih asyik dengan dunianya sendiri bak (maaf) para penderita autis," Kusmayanto menggambarkan.

Bicara tentang jurang antara ABG tersebut, Irwan Hidayat, pemilik dan Presdir PT Sido Muncul menjelaskan mengapa hal itu terjadi. "Belum banyaknya pihak swasta yang memanfaatkan hasil penelitian dari lembaga penelitian karena penelitian kurang memenuhi syarat atau kurang aplikatif untuk  digunakan secara komersial. Atau bisa juga mungkin jenis penelitiannya salah atau terlalu rumit,” ujar Irwan. Tak heran Sido Muncul pun selama ini lebih mengandalkan riset internal untuk menggali khasiat-khasiat herbal.

Kusmayanto serta Irwan tak berlebihan. Dan memang demikian realitasnya. Belum banyak peneliti di Indonesia yang mau serta mampu membangun keterhubungan (linkage) antara temuan risetnya dengan dunia bisnis sehingga temuan risetnya itu memberi efek ganda yang besar, baik secara keilmuan maupun ekonomis.

Indonesia sebagai sebuah negara yang kaya sumber daya alam, tentunya memerlukan banyak ilmuwan-entrepreneur dalam skala yang besar. Persoalannya: bagaimana caranya?

Meminjam pendekatan ABG, kita perlu tiga kaki mereka. Pertama, academics. Dari sisi dunia akademisi, harus ada pergeseran. Pelaku riset tak boleh terus terperangkap dalam academic exercise ketimbang melakukan riset terapan (action research).

Lalu, masih di sisi akademisi, pelajaran entrepreneurship mestinya mulai dikenalkan di kalangan peneliti. Mereka harus tahu bagaimana membuat temuan ilmiah berpeluang menjadi bisnis, kepada siapa harus menyambat untuk mendukung komersialisasi risetnya, serta bagaimana mendekati dan memresentasikannya (selling the ideas).

Ini memang proses yang tak mudah karena umumnya periset di Indonesia hanya tahu bidangnya saja. Mereka kerap begitu jauh teralineasi dengan kalangan pemilik dana (fund investment). Padahal, untuk temuan produk farmasi, misalnya, buat melakukan uji klinis, dibutuhkan dana miliaran rupiah. Bahkan, jangankan untuk uji produk, buat urusan mematenkan temuannya saja masih kesulitan.

Selling the ideas adalah hal penting buat periset yang ingin memasarkan temuannya ke kalangan pemilik modal. Untuk itu kalangan periset juga harus belajar mengetahui apa yang dimaui dunia bisnis.

Perihal keaktifan dunia akademisi, kita boleh melirik apa yang terjadi di AS. Belajar dari Genentech, sekolah-sekolah bisnis kian menangkap pentingnya mengawinkan semangat ilmuwan dan insting bisnis. Ilmuwan bisa menjadi pebisnis dengan sendirinya. Tapi, bisa juga ilmuwan butuh insting para pebisnis seperti di Genentech.

Paradigma yang ingin ditanamkan sekolah-sekolah bisnis tergolong sederhana: bahwa sesungguhnya ilmuwan pun dapat menjadi entrepreneur lewat kolaborasi dengan pebisnis. Mereka ingin menggabungkan dua kubu yang selama ini seakan bersebrangan dengan anekdot klasik tentang bagaimana ilmuwan dan pebisnis menghadapi tembok. Bunyinya begini: kalau ada puluhan tembok yang menghalangi sasaran, seorang ilmuwan akan menghancurkan satu per satu dengan teori yang dikembangkannya sampai akhirnya dia mencapai sasarannya. Dia perlu memutar otak sampai pusing tujuh keliling. Bagaimana dengan pebisnis? Katanya, kalau menghadapi tembok, seorang wirausahawan akan naik ke atas tembok, lalu berpikir bagaimana caranya mencapai sasaran tanpa menghancurkan tembok satu per satu.

Anekdot ini mungkin terlalu menyederhanakan. Tapi banyak universitas di AS percaya satu hal: bahwa scientific ideas dan entrepreneurial ability dapat menjadi satu: scientist-entrepreneur. Orang-orang yang bertransformasi dari ilmuwan semata menjadi ilmuwan cum entrepreneur. Kuncinya adalah diri sendiri atau bantuan pihak lain. Dengan berkolaborasi, maka sains dan bisnis bisa membawa teknologi baru ke pasar.

Wujud dari gagasan itu adalah banyak universitas di AS memiliki apa yang disebut sebagai Kantor Transfer Teknologi (Office of Technology Transfer). Memosisikan diri sebagai “hubs of innovation and technical expertise”, kantor ini adalah lembaga yang melisensikan penelitian universitas kepada pemodal komersial. Di sini, terjadi proses penggabungan penelitian dan komersialisasi menjadi aplikasi yang bisa dilempar ke pasar.

Kantor transfer teknologi memainkan peran vital untuk mematenkan penelitian. Lazimnya, mereka memiliki tiga tahap. Pertama: invention. Di sini para ilmuwan datang membawa temuannya. Bersama Kantor Transfer Teknologi, mereka menggali apa potensi praktikalnya. Jika terlihat menjanjikan, kantor transfer akan mengupayakan patennya. Inilah tahap kedua: the patent. Di sini dikaji kembali secara teknis peluang mematenkan secara penuh dan peluang secara ekonomi. Setelah itu masuk tahap terakhir: the marketplace. Jika semuanya rencana berjalan baik, kantor transfer akan melakukan riset untuk mengidentifikasi perusahaan atau kalangan bisnis yang tertarik. Bila tercapai kesepakatan, maka pihak swasta diperbolehkan menggunakan penemuan dengan sistem royalti yang menguntungkan kedua pihak.

Sejauh ini, sejumlah universitas masih berkutat untuk dapat mengegolkan patentnya yang akan cespleng di pasar. Jika tertarik melihat lebih jauh, salah satunya bisa kunjungi laman berikut milik Universitas Colorado: www.cu.edu/techtransfer.

Perkembangan di AS sangat menarik. Idealnya, pergeseran paradigma dan pelajaran entrepreneurship pada kalangan peneliti saja memang tidak memadai untuk melahirkan banyak ilmuwan-entrepreneur. Kalangan institusi pendidikan atau lembaga riset pun perlu berbenah. Idealnya, pemasaran hasil riset dilakukan oleh lembaga yang menaungi periset, bukan sang periset itu sendiri. Dengan demikian, peneliti bisa lebih fokus pada kegiatan penelitian dengan dukungan infrastruktur dan dana memadai.

Kenyataannya, dapat dikatakan, model ini di Indonesia belum berjalan. Temuan yang sukses umumnya dibesarkan si periset itu sendiri. Di sini, Kusmayanto punya sarang: lembaga penelitian harus melakukan reorganisasi dan restrukturisasi agar bisa profesional sehingga semua penelitian terkelola dengan baik. Sebab, melalui lembaga, daya tawar para peneliti dalam berurusan dengan pemerintah dan industri akan lebih  tinggi. Lembaga penelitian harus memiliki divisi promosi, pemasaran, keuangan dan legal. Begitu katanya.

Sebenarnya di Indonesia bukan sama sekali tidak ada lembaga yang aktif mengembangkan link & match antara dunia riset dan bisnis. Tapi jumlahnya sedikit. ITB dan UGM, tergolong yang berupaya serius melakukannya. UGM memiliki punya Center for Innovation of Medical Equipments and Devices (CIMEDs). Diketuai Dr. Suyitno, lembaga ini sukses melakukan pembuatan implan tulang dan siap dipasarkan massal.

Sementara di ITB, sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Wawan Gunawan A. Kadir, MS, Wakil Rektor ITB Bidang Risetdan Inovasi, sudah ada banyak program untuk komersialisasi riset. Salah satu riset unggulan yang kini ditangani ialah paten soal upgrading coal.  Ini adalah teknologi untuk meningkatkan kalori batubara.

Pihak ITB juga sedang memikirkan bagaimana mengembangkan organisasi untuk mengelola temuan riset. Mereka tengah menyiapkan sistem inovasi yang di dalamnya juga mengatur pembagian rotalti dari sebuah temuan riset yang sukses dikomersialkan.

Namun demikian, kelompok “A” ini, dunia akademisi atau lembaga penelitian juga tak akan sanggup berjalan sendiri. Pihak “B”, kalangan bisnis juga mesti memainkan perannya. Dunia bisnis sebagai pengguna dan pemodal dari temuan penelitian tampaknya juga harus kian progresif dalam mendukung dunia riset di Indonesia agar semakin banyak temuan aplikatif yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu  yang paling memprihatinkan tampak dari kasus penemuan Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut yang digagas T-Files (Nurana Indah Paramita dan Titus Deus, dua alumnus ITB). T-Files berhasil menemukan alat pembangkit tenaga terbarukan dengan skala kecil menengah yang secara mudah dapat diperoleh dan pergunakan masyarakat di pesisir terpencil Nusantara. Sebuah alat pembangkit energi terbarukan yang menggunakan tenaga arus air, baik laut maupun sungai. Mudah dipasang, gampang pula dipergunakan, serta berkualitas.

Sayang, kalangan industri dan pemilik modal di Indonesia masih dingin menyambut temuan itu walaupun sudah mememangi berbagai  kontes riset dunia. Padahal, potensi suksesnya secara bisnis ke depan akan sangat luar biasa seiring makin menipisnya pasokan  energi dari migas. Ini cukup ironis karena di negara-negara maju, kini kalangan private equity sedang berebut untuk mendanai proyek-proyek energi alternatif dan terbarukan.

Bila kalangan akademisi dan bisnis tidak bisa bertemu, seharusnya pemerintah memainkan perannya dengan maksimal. Kusmayanto menyebut, di tengah jurang pemisah antara dunia akademis dengan industri masih menganga lebar, pemerintah justru belum mampu menjadi intermediator. Tak heran kalangan industri sering lebih suka memilih jalan pintas: menggunakan sekaligus membeli proven technology dari mitra atau induk semangnya di luar-negeri.

Selain perlunya memainkan posisi intermediator, pemerintah juga bisa menempuh jalan yang menjadi wilayah kuasanya. Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan peneliti, pemerintah bisa merangsangnya dari arah pemberian insentif. "Insentif pajak (tax incentive atau tax deduction) adalah instrumen pamungkas yang bisa digunakan pemerintah untuk membuat dunia industri  tertarik melakukan komersialisasi dari hasil penelitian,” ujar Kusmayanto. Dalam hal ini, sebenarnya sudah ada upaya pemerintah yaitu melalui UU Iptek No 18/2002 dan PP 35/2007 yang menawarkan insentif. Akan tetapi, realisasinya masih setengah hati, belum ada kesepakatan ataupun harmonisasi antarkementerian dalam implementasi dari UU dan PP.

Jelas ini pekerjaan besar. Namun, melihat potensi teknologi yang dapat dilempar ke pasar, tentunya merupakan peluang bisnis yang besar. Tapi, insting bisnis saja tidaklah memadai. Kerjasama “ABG” sangat diperlukan agar kita tidak ketinggalan. Di AS, terus didorong lahirnya Edison, Hewlet, atau Packard yang baru, yang tak kalah tangguh. Di masa mendatang, setelah Genentech, ditaksir akan muncul perusahaan-perusahaan biotek hebat, termasuk juga yang bermain di wilayah nano teknologi. Indonesia mestinya tak boleh ketinggalan langkah. ***

------------------------------------
Special thanks to Sudarmadi (beberapa paragraph diambil dari pemikirannya), Eka Merdekawati, Gigin W. Utomo, Kristiana Annisa, Radito Wicaksono, Suharyanto, Siti Sumaryati dan Sarah Ratna