Zaman
berganti, ilmuwan-entrepreneur pun terus lahir. Tak ingin ketinggalan kereta, kalangan
perguruan tinggi, pebisnis dan pemerintah mesti bersinergi.
Scientist-Entrepreneur. Ilmuwan-wirausahawan.
Ini adalah terminologi untuk para
ilmuwan yang bertransformasi menjadi pebisnis. Baik dengan mendirikan
perusahaan dan memasarkan penelitiannya. Atau menjual paten kepada pebisnis
yang kemudian mengomersialkannya.
Fenomena ilmuwan yang bertransformasi
menjadi entrepeneur bukanlah hal baru, terutama di negeri Abang Sam. Di sana,
sosok legendaris yang paling sering disebut dari jenis manusia ini adalah
Thomas Alva Edison. Orang yang sebelumnya dianggap
idiot ini bukan hanya seorang ilmuwan andal yang menemukan bola lampu, phonograph, dan mencatatkan 1093 paten, tapi juga seorang
pengusaha top. Dari Edison Electric Light Company kini orang
mengenal salah satu perusahaan terbesar di muka bumi, General Electric.
Edison
adalah contoh seorang ilmuwan yang
mengonversi temuannya menjadi aplikasi komersial yang sukses besar. Jauh sebelum dia, sosok yang terkenal adalah Benjamin Franklin. Ben yang dianggap salah seorang Bapak Bangsa AS
memang tak pernah menjadi presiden negara itu. Tapi dia bisa dikatakan seorang
ilmuwan-entrepreneur pertama di AS.
Sebagai ilmuwan, temuannya sangat beragam, yang
menunjukkan minatnya yang sangat luas. Dia membuat oven, penangkal petir, kacamata bifokal,
dan harmonika. Sebagai pebisnis, Ben tergolong hebat. Pada
usia 24 tahun, dia sudah sukses lewat
sejumlah bisnis mulai dari percetakan,
koran, dan toko
kelontong. Bisnis
yang dimilikinya yang dipadukan dengan komersialisasi temuan-temuannya membuat
Ben menjadi salah satu orang terkaya di jamannya.
Zaman
pun berganti. Dan lembah silikon menjadi
saksi semakin banyaknya ilmuwan hebat bertransformasi
menjadi entrepreneur
jempolan dengan gelimang kekayaan. Bill Hewlett dan David Packard, salah satunya. Mereka mendirikan
perusahaan yang top sampai sekarang: Hewlett Packard.
Estafet ini tak berhenti. Salah satu perusahaan yang menjadi
saksi gabungan kepiawaian saintis dan
jiwa pengusaha adalah Genentech.
Kisah Genentech sangat menarik. Perusahaan ini berdiri pada 1976, berkat kerja sama dan tangan dingin 3 pria. Pertama, Dr
Herbert W. Boyer, seorang ahli biokimia. Kedua, Stanley Cohen, ahli genetik. Dan terakhir, Robert A. Swanson, seorang pebisnis.
Awalnya, Boyer dan Cohen berhasil merintis
ilmu baru bernama penggabungan DNA (recombinant). Mendengar berita itu,
Swanson mengajak mereka bertemu.
Ia meminta Boyer dan Cohen mempresentasikan hasil
temuannya. Hanya 10 menit presentasi berlangsung. Tapi itu
mengubah mereka. Juga bisnis industri kesehatan dunia.
Mereka berkolaborasi. Boyer
dan Cohen dibetot menjadi pebisnis. Muncul protein therapeutics. Ini adalah hasil penggandaan
genetik yang diolah alami dengan menitikberatkan peran molekul bagi kesehatan
manusia. Sayang, pasar belum
antusias merespons. Toh mereka tak putus asa. Lahirlah somatostatin, protein bagi manusia
dalam bentuk mikroorganisme coli bacteria.
Kini pasar menyambutnya. Mereka pun sukses
besar. Setelah itu produk demi produk meluncur. Diantaranya, protopn yang berfungsi memacu hormon pertumbuhan bagi anak-anak yang kekurangan
vitamin.
Keilmuwan duet Boyer-Cohen dan insting bisnis Swanson kian hebat. Setelah sukses meluncurkan
produk, Genentech main ke hilir. Mereka aktif membuka day-care sebagai pusat obat dan produk farmasi. Genentech pun kian berpengaruh dan menjadi perusahaan
besar, terlebih setelah bergandengan dengan Roche Holding
Ltd. Dan kian kinclong setelah go public tahun 1999.
Bicara ilmuwan
yang jadi entrepreneur jempolan, di
belahan Asia juga bermunculan tipikal manusia seperti ini. Satu yang top ada di
negeri jiran, Singapura. Namanya: Olivia Lum, CEO Hyflux. Ini
perempuan istimewa yang tahun lalu diganjar World
Entrepreneur Of The Year 2011 yang digelar Ernst & Young.
Sebelum
mendirikan Hyflux, perusahaan distribusi peralatan water treatment, Lum bekerja di GlaxoSmithkline sebagai ahli kimia.
Digaji US$ 40 ribu setahun tak membuatnya puas. Yakin menjadi entrepreneur bisa lebih memperbaiki
derajat kehidupannya, pada 1989 Lum mengambil keputusan berani: keluar dari
GlaxoSmithkline, dan berwirausaha. Lahirlah Hyflux. Bisnis air, dalam hemat Lum
adalah bisnis yang prospektif, terlebih Singapura sangat tergantung pada
pasokan air dari jiran sebelah, Malaysia.
Untuk mendirikan Hyflux, Lum sungguh berjudi. Selain meninggalkan Glaxo yang selama 3,5 tahun menjadi tempatnya mencari nafkah, dia juga melego aset-aset penting yang telah dibelinya dengan susah payah. Lum menjual mobil dan apartemennya. Dengan uang US$ 12 ribu ia mendirikan Hyflux.
Dengan
keahlian kimia yang dikuasainya, Lum membawa Hyflux berlari hingga menjadi
perusahaan yang disegani. Hyflux kini menjadi pemasok desalinasi
air dengan pendapatan US$ 450 juta yang beroperasi di China, India, Timur
Tengah dan Afrika Utara. Tak heran, lulusan National
University of Singapore tahun 1986 ini menjadi wanita pertama yang
diganjar E&Y sebagai World
Entrepreneur Of The Year 2011.
Tapi
tentu saja tak semua entrepreneur
hebat berangkat dari dunia sains
atau pelajar hebat di kampusnya. Beberapa nama besar malah
drop out dari sekolahnya. Anda pasti
kenal mereka: Bill Gates dan mendiang Steve Jobs.
Laiknya
bisnis, peninggalan mereka juga mesti diperlakukan dengan sentuhan bisnis.
Diantaranya adalah kemampuan merespons perubahan. Yang tragis tentunya adalah rintisan George Eastman.
Eastman adalah seorang penemu ulung yang
disebut-sebut sebagai one of the famous
scientist-entrepreneur. Tertarik dengan dunia fotografi, dia mampu membuat
kamera yang kemudian diproduksi massal dengan slogan pemasarannya yang legendaris:
"You press the
button, we do the rest".
Di tangannya, Eastman Kodak berkibar sejak 1888. Tapi kita tahu semua, setelah
itu, jiwa inovatif Eastman tak ada yang meneruskannya. Kodak gagal beradaptasi
dengan serbuan kamera digital sehingga terkapar di sudut persaingan. Januari
2012, Kodak meminta perlindungan kepailitan.
Bicara tentang ilmuwan-entrepreneur, di
Indonesia juga lahir sejumlah orang dengan tipe seperti. Yang paling top adalah
Dr Boenjamin Setiawan Ph.D, pendiri Kalbe. Dia berada di peringkat 12 orang terkaya 2011 versi Forbes (kekayaan US$ 2 miliar). Yang lain, DR Boedi Mranata. Dialah “Raja Sarang Walet Indonesia”.
Lewat PT Adiputra Mranata Jaya, Boedi mengekspor sarang walet ke banyak negara.
Dalam daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes, Boedi ada di posisi 140 (US$
81 juta). Ada juga (alm) Prof. Dr. dr. Indro Handojo SpPK, pengajar di
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Kedisiplinannya di bidang
riset dan jiwa kewirausahannya membawanya sukses membesarkan produk kosmetik La
Tulipe.
Atau mendiang Prof. Dr. Sardjito MPH. Guru Besar UGM ini
termasuk salah satu guru besar pertama di Indonesia yang berhasil memasarkan
produk hasil penelitiannya untuk bisa dinikmati masyarakat secara luas. Salah
satunya Calcusol, produk herbal yang berkhasiat menyembuhkan penyakit batu
ginjal yang banyak direkomendasikan dokter untuk meluruhkan batu ginjal atau
kencing manis. Lalu Calhaid, penghilang nyeri saat haid, dan Calterol (untuk
mengurahi lemah darah). Kini, melalui Perusahaan Jamu Tradisional Dr Sardjito,
produk-produk temuannya terus eksis, diproduksi di pabriknya di kawasan Jl. Cik
Di Tiro 16, Jogjakarta.
Di Indonesia, sejumlah ilmuwan-entrepreneur memang telah
bermunculan. Namun, bisa dikatakan belum
terlalu menggembirakan. Di negeri ini, riset dan penelitian masih banyak tersimpan
di lemari-lemari beku berdebu, masih jauh dari dampak yang diinginkan:
bermanfaat bagi kesejahteran masyarakat luas. Sebut contoh, penelitian-penelitian
level doktoral yang jumlahnya terus melonjak dari tahun ke tahun. Banyak penelitian doktor hanya untuk mengisi filling cabinet, karena hanya mencari
ijazah. “Ironisnya, justru 99% penelitian doktor mengarah ke hanya mengisi filling cabinet itu," terang Dr.
Drs. Soeprapto Ma’at Apt. MS, dosen FK Unair yang juga penemu resep obat
Stimuno.
Pendapat serupa juga dikemukakan Kusmayanto Kadiman, mantan
Menristek Kabinet Indonesia Bersatu dan Rektor ITB. Dia melihat masih terbatasnya
penelitian aplikatif yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
"Jurang pemisah antara kaum ABG (Academics,
Business, Government) masih sangat lebar dan dalam. Masing-masing dari A, B dan G masih asyik dengan dunianya
sendiri bak (maaf) para penderita
autis," Kusmayanto menggambarkan.
Bicara tentang jurang antara ABG tersebut, Irwan Hidayat,
pemilik dan Presdir PT Sido Muncul menjelaskan mengapa hal itu terjadi. "Belum
banyaknya pihak swasta yang memanfaatkan hasil penelitian dari lembaga
penelitian karena penelitian kurang memenuhi syarat atau kurang aplikatif untuk digunakan secara komersial. Atau bisa juga
mungkin jenis penelitiannya salah atau terlalu rumit,” ujar Irwan. Tak heran
Sido Muncul pun selama ini lebih mengandalkan riset internal untuk menggali
khasiat-khasiat herbal.
Kusmayanto serta Irwan tak berlebihan. Dan memang demikian
realitasnya. Belum banyak peneliti di Indonesia yang mau serta mampu membangun
keterhubungan (linkage) antara temuan
risetnya dengan dunia bisnis sehingga temuan risetnya itu memberi efek ganda
yang besar, baik secara keilmuan maupun ekonomis.
Indonesia sebagai sebuah negara yang kaya sumber daya alam,
tentunya memerlukan banyak ilmuwan-entrepreneur dalam skala yang besar.
Persoalannya: bagaimana caranya?
Meminjam pendekatan ABG, kita perlu tiga kaki mereka. Pertama,
academics. Dari sisi dunia akademisi,
harus ada pergeseran. Pelaku riset tak boleh terus terperangkap dalam academic exercise ketimbang melakukan
riset terapan (action research).
Lalu, masih di sisi akademisi, pelajaran entrepreneurship mestinya mulai dikenalkan di kalangan peneliti. Mereka
harus tahu bagaimana membuat temuan ilmiah berpeluang menjadi bisnis, kepada
siapa harus menyambat untuk mendukung komersialisasi risetnya, serta bagaimana
mendekati dan memresentasikannya (selling
the ideas).
Ini memang proses yang tak mudah karena umumnya periset di
Indonesia hanya tahu bidangnya saja. Mereka kerap begitu jauh teralineasi
dengan kalangan pemilik dana (fund
investment). Padahal, untuk temuan produk farmasi, misalnya, buat melakukan
uji klinis, dibutuhkan dana miliaran rupiah. Bahkan, jangankan untuk uji
produk, buat urusan mematenkan temuannya saja masih kesulitan.
Selling the ideas adalah hal penting buat periset yang
ingin memasarkan temuannya ke kalangan pemilik modal. Untuk itu kalangan
periset juga harus belajar mengetahui apa yang dimaui dunia bisnis.
Perihal keaktifan dunia akademisi, kita boleh melirik apa
yang terjadi di AS. Belajar
dari Genentech, sekolah-sekolah bisnis kian menangkap pentingnya mengawinkan
semangat ilmuwan dan insting bisnis. Ilmuwan bisa menjadi pebisnis dengan
sendirinya. Tapi, bisa juga ilmuwan butuh insting para pebisnis seperti di
Genentech.
Paradigma yang ingin ditanamkan
sekolah-sekolah bisnis tergolong sederhana: bahwa sesungguhnya ilmuwan pun
dapat menjadi entrepreneur lewat
kolaborasi dengan pebisnis. Mereka ingin menggabungkan dua kubu yang selama ini
seakan bersebrangan dengan anekdot klasik tentang bagaimana ilmuwan dan
pebisnis menghadapi tembok. Bunyinya begini: kalau ada puluhan tembok yang menghalangi sasaran, seorang ilmuwan akan
menghancurkan satu per satu dengan teori yang dikembangkannya sampai akhirnya dia
mencapai sasarannya. Dia perlu memutar otak sampai pusing tujuh keliling.
Bagaimana dengan pebisnis? Katanya, kalau menghadapi tembok, seorang wirausahawan
akan naik ke atas tembok, lalu berpikir bagaimana caranya mencapai sasaran tanpa
menghancurkan tembok satu per satu.
Anekdot ini mungkin terlalu menyederhanakan. Tapi banyak
universitas di AS percaya satu hal: bahwa scientific ideas dan entrepreneurial ability dapat menjadi satu: scientist-entrepreneur. Orang-orang yang bertransformasi dari
ilmuwan semata menjadi ilmuwan cum entrepreneur. Kuncinya adalah diri
sendiri atau bantuan pihak lain. Dengan berkolaborasi, maka sains dan bisnis
bisa membawa teknologi baru ke pasar.
Wujud dari gagasan itu adalah banyak
universitas di AS memiliki apa yang disebut sebagai Kantor Transfer Teknologi
(Office of Technology Transfer). Memosisikan diri sebagai “hubs of
innovation and technical expertise”,
kantor
ini adalah lembaga yang melisensikan penelitian universitas kepada pemodal
komersial. Di sini, terjadi proses penggabungan penelitian dan komersialisasi
menjadi aplikasi yang bisa dilempar ke pasar.
Kantor transfer teknologi memainkan
peran vital untuk mematenkan penelitian. Lazimnya, mereka memiliki tiga tahap.
Pertama: invention. Di sini para
ilmuwan datang membawa temuannya. Bersama Kantor Transfer Teknologi, mereka
menggali apa potensi praktikalnya. Jika terlihat menjanjikan, kantor transfer
akan mengupayakan patennya. Inilah tahap kedua: the patent. Di sini dikaji kembali secara teknis peluang mematenkan
secara penuh dan peluang secara ekonomi. Setelah itu masuk tahap terakhir: the marketplace. Jika semuanya rencana
berjalan baik, kantor transfer akan melakukan riset untuk mengidentifikasi
perusahaan atau kalangan bisnis yang tertarik. Bila tercapai kesepakatan, maka
pihak swasta diperbolehkan menggunakan penemuan dengan sistem royalti yang
menguntungkan kedua pihak.
Sejauh ini, sejumlah universitas masih
berkutat untuk dapat mengegolkan patentnya yang akan cespleng di pasar. Jika tertarik melihat lebih jauh, salah satunya
bisa kunjungi laman berikut milik Universitas Colorado: www.cu.edu/techtransfer.
Perkembangan di AS sangat menarik. Idealnya, pergeseran
paradigma dan pelajaran entrepreneurship
pada kalangan peneliti saja memang tidak memadai untuk melahirkan banyak
ilmuwan-entrepreneur. Kalangan institusi pendidikan atau lembaga riset pun
perlu berbenah. Idealnya, pemasaran hasil riset dilakukan oleh lembaga yang
menaungi periset, bukan sang periset itu sendiri. Dengan demikian, peneliti
bisa lebih fokus pada kegiatan penelitian dengan dukungan infrastruktur dan
dana memadai.
Kenyataannya, dapat dikatakan, model ini di Indonesia belum
berjalan. Temuan yang sukses umumnya dibesarkan si periset itu sendiri. Di
sini, Kusmayanto punya sarang: lembaga penelitian harus melakukan reorganisasi
dan restrukturisasi agar bisa profesional sehingga semua penelitian terkelola
dengan baik. Sebab, melalui lembaga, daya tawar para peneliti dalam berurusan
dengan pemerintah dan industri akan lebih
tinggi. Lembaga penelitian harus memiliki divisi promosi, pemasaran,
keuangan dan legal. Begitu katanya.
Sebenarnya di Indonesia bukan sama sekali tidak ada lembaga
yang aktif mengembangkan link & match
antara dunia riset dan bisnis. Tapi jumlahnya sedikit. ITB dan UGM, tergolong yang
berupaya serius melakukannya. UGM memiliki punya Center for Innovation of Medical Equipments and Devices (CIMEDs). Diketuai
Dr. Suyitno, lembaga ini sukses melakukan pembuatan implan tulang dan siap
dipasarkan massal.
Sementara di ITB, sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Wawan
Gunawan A. Kadir, MS, Wakil Rektor ITB Bidang Risetdan Inovasi, sudah ada
banyak program untuk komersialisasi riset. Salah satu riset unggulan yang kini
ditangani ialah paten soal upgrading coal. Ini adalah teknologi untuk meningkatkan kalori
batubara.
Pihak ITB juga sedang memikirkan bagaimana mengembangkan
organisasi untuk mengelola temuan riset. Mereka tengah menyiapkan sistem
inovasi yang di dalamnya juga mengatur pembagian rotalti dari sebuah temuan
riset yang sukses dikomersialkan.
Namun demikian, kelompok “A” ini, dunia akademisi atau
lembaga penelitian juga tak akan sanggup berjalan sendiri. Pihak “B”, kalangan bisnis
juga mesti memainkan perannya. Dunia bisnis sebagai pengguna dan pemodal dari
temuan penelitian tampaknya juga harus kian progresif dalam mendukung dunia
riset di Indonesia agar semakin banyak temuan aplikatif yang berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Salah satu yang paling
memprihatinkan tampak dari kasus penemuan Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut
yang digagas T-Files (Nurana Indah Paramita dan Titus Deus, dua alumnus ITB).
T-Files berhasil menemukan alat pembangkit tenaga terbarukan dengan skala kecil
menengah yang secara mudah dapat diperoleh dan pergunakan masyarakat di pesisir
terpencil Nusantara. Sebuah alat pembangkit energi terbarukan yang menggunakan
tenaga arus air, baik laut maupun sungai. Mudah dipasang, gampang pula
dipergunakan, serta berkualitas.
Sayang, kalangan industri dan pemilik modal di Indonesia
masih dingin menyambut temuan itu walaupun sudah mememangi berbagai kontes riset dunia. Padahal, potensi
suksesnya secara bisnis ke depan akan sangat luar biasa seiring makin
menipisnya pasokan energi dari migas. Ini
cukup ironis karena di negara-negara maju, kini kalangan private equity sedang berebut untuk mendanai proyek-proyek energi
alternatif dan terbarukan.
Bila kalangan akademisi dan bisnis tidak bisa bertemu,
seharusnya pemerintah memainkan perannya dengan maksimal. Kusmayanto menyebut, di
tengah jurang pemisah antara dunia akademis dengan industri masih menganga
lebar, pemerintah justru belum mampu menjadi intermediator. Tak heran kalangan
industri sering lebih suka memilih jalan pintas: menggunakan sekaligus membeli proven technology dari mitra atau induk
semangnya di luar-negeri.
Selain perlunya memainkan posisi intermediator, pemerintah
juga bisa menempuh jalan yang menjadi wilayah kuasanya. Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan
di kalangan peneliti, pemerintah bisa merangsangnya dari arah pemberian
insentif. "Insentif pajak (tax incentive
atau tax deduction) adalah instrumen
pamungkas yang bisa digunakan pemerintah untuk membuat dunia industri tertarik melakukan komersialisasi dari hasil
penelitian,” ujar Kusmayanto. Dalam hal ini, sebenarnya sudah ada upaya pemerintah
yaitu melalui UU Iptek No 18/2002 dan PP 35/2007 yang menawarkan insentif. Akan
tetapi, realisasinya masih setengah hati, belum ada kesepakatan ataupun harmonisasi
antarkementerian dalam implementasi dari UU dan PP.
Jelas ini pekerjaan besar. Namun, melihat
potensi teknologi yang dapat dilempar ke pasar, tentunya merupakan peluang
bisnis yang besar. Tapi, insting bisnis saja tidaklah memadai. Kerjasama “ABG”
sangat diperlukan agar kita tidak ketinggalan. Di AS, terus didorong lahirnya Edison,
Hewlet, atau Packard yang baru, yang tak kalah tangguh. Di masa mendatang,
setelah Genentech, ditaksir akan muncul perusahaan-perusahaan biotek hebat,
termasuk juga yang bermain di wilayah nano teknologi. Indonesia mestinya tak
boleh ketinggalan langkah. ***
------------------------------------
Special thanks
to Sudarmadi (beberapa paragraph diambil dari pemikirannya), Eka Merdekawati, Gigin W. Utomo, Kristiana Annisa,
Radito Wicaksono, Suharyanto, Siti Sumaryati dan Sarah Ratna