Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, September 9, 2013

Rahasia Kehebatan Si Raja Kaca

Produknya menjadi bintang industri telepon seluler. Dengan kian berkembangnya teknologi layar sentuh, mereka pun akan kian dibutuhkan. Tapi kecemerlangan itu tak bisa terjadi tanpa tiga rahasia yang dibangun lebih dari satu abad.


KULTUR INOVASI 
Amory Houghton pastinya tidak akan pernah tahu bagaimana digdayanya kelak perusahaan kaca yang dibelinya di kota Corning, New York tahun 1851. Kini siapa yang tak mengenal Gorilla Glass sebagai kaca premium yang digunakan terutama oleh industri smartphone. Produk keluaran Corning Inc. ini menjadi jaminan kaca ponsel yang anti gores dan tak mudah pecah. Tercatat, sedikitnya 1 miliar hand held devices telah menggunakannya. Dan akan semakin banyak jumlah yang menggunakannya dari waktu ke waktu.

Tentu saja pecapaian ini merupakan buah dari perjalanan yang panjang, terutama dalam lingkungan perusahaan yang dibeli Amory, Corning Inc. Gorilla Glass, sebut contoh. Produk primadona ini merupakan buah dari akar yang sudah ditanam lebih dari satu abad lamanya sehingga para peneliti Corning mampu menjawab kebutuhan pasar.

Cerita Gorilla Glass dimulai tahun 2006. Steve Jobs mendatangi CEO Corning Inc., Wendell Weeks. Jobs meminta dibuatkan kaca untuk layar iPhone yang akan diluncurkannya. Kaca yang ringan, kuat dan anti gores. Kaca yang berbeda dengan telepon seluler biasa. Saat itu, umumnya layar ponsel masih banyak berupa layar plastik yang begitu mudah rusak ketika ponsel jatuh. Pun mudah tergores sehingga mengurangi penampilan.

Mencium peluang bisnis, sebuah tim kecil di divisi specialty material Corning segera mencari arsip-arsip yang memuat formula tentang pembuatan kaca yang sangat kuat tapi fleksibel, sesuatu yang disebut Chemcor, yang pernah gagal saat diperkenalkan pada tahun 1962 untuk industri otomotif. Formula ini akan mereka uji cobakan pada telepon seluler, sekaligus menjawab tantangan Jobs.

Jalan menuju sukses tak selalu mudah. Biaya produksi untuk eksperimentasi ini mencapai US$ 300 ribu. James Steiner, bos tim divisi ini menentang ide tersebut. “Saya benar-benar tak bisa memahami konsep penggunaan kaca untuk telepon seluler,” Steiner mengenang.

Beruntung, sang team leader, Mark Matthews adalah orang yang persisten dengan ide yang diyakini benar. Dan dia telah membuktikan sebelumnya. Pada tahun 2003, Matthews sukses memimpin penjualan produk kaca khusus ke Texas Instruments untuk proyektor digital.

Sekali lagi, mempercayai insting Matthews, Steiner pun memberi lampu hijau untuk melakukan proyek percobaan di Danville, Virginia. “Matthes mengambil semua risiko begitu mengetahui saya tak terlalu antusias tentang rencana ini,” kata Steiner.

Kini, setelah lewat beberapa tahun beredar di pasar, lembaran kaca alkali-aluminosilikat yang dilabeli merek Gorilla Glass ini mencetak sukses besar. LG, Samsung, Motorolla memilihnya untuk beragam ponselnya. Asus serta Dell memilihnya untuk sejumlah laptop-nya. Dan tentu saja iPhone.

Gorilla Glass mencetak penjualan US$ 100 juta dan diproyeksi mencapai US$ 500 juta di tahun 2015. Produk ini menjadi kontributor signifikan bagi Corning yang total penjualan 2012 mencapai US$ 8 miliar.

Jelaslah bahwa inovasi menjadi jantungnya Corning. Tapi ini tidak muncul begitu saja. Akarnya begitu dalam, dimulai sejak era Amory. Saat mengambil perusahaan kaca kecil di Corning ini, keluarga Houghton sangat percaya – bahkan cenderung menjadikannya sebagai “agama” – pada apa yang disebut sebagai riset dan pengembangan. Sejak awal, perusahaan ini memutuskan berinvestasi pada ilmu tentang pembuatan kaca untuk menghindari persaingan dengan para produsen kaca berbiaya rendah (low-cost). Mulai dengan mematenkan kaca sinyal untuk industri jalan raya dan kelautan, Corning memroduksi serangkaian inovasi yang berasal dari pemahamannya atas kaca dan keramik.

Jadi, jauh sebelum CK Prahalad dan Gary Hamel mengartikulasikan konsep core competence, manajemen Corning secara intuitif memahami pentingnya perusahaan berinvestasi pada “core competence”. Tak heran, perusahaan ini pun menjadi spesialis kaca yang disegani sehingga disambat pihak lain. Kapabilitas teknologinya membuat mereka mampu merespons permintaan pasar dengan cepat.

Pada tahun 1880, ambil contoh, Thomas Edison yang setahun sebelumnya menemukan lampu pijar, datang ke Corning untuk membuat kaca bohlam bagi penemuan terbarunya itu, yang kemudian memunculkan manufaktur kaca bohlam kecepatan tinggi. Inovasi yang lain adalah Pyrex yang diperkenalkan pada tahun 1915 dan produksi masal tabung TV di tahun 1940-an. Tapi Corning juga piawai untuk produk lain. Diantaranya: ceramic subtrates untuk catalytic converters di era 1970-an dan serat optik di tahun 1980-an.

Kultur inovasi menjadi kunci. Pada kasus Gorilla Glass, seperti disinggung di atas, proses fusi yang digunakan Corning untuk produk ini berawal di tahun 1962. Ketika itu Corning berupaya membuat kaca yang lebih tipis dapi dan lebih kuat untuk kendaraan bermotor. Sewaktu para pabrikan kendaraan menolaknya dengan alasan biaya, Corning menyimpan teknologi itu hingga tahun 2006, saat CEO Apple, Steve Jobs mengontak Wendell Weeks mencari kaca anti gores dan ringan buat iPhone.


CEO Corning, Wendell Weeks terus mendorong inovasi.
Sumber : Forbes

Namun kultur inovasi hanyalah satu hal yang sudah berakar ditanam Amory. Yang menarik adalah bagaimana proses R&D di tubuh Corning bisa melewati tahap demi tahap hingga sukses secara komersial.

Seperti perusahaan top lainnya, Corning punya sistem untuk mengelola ide melewati sejumlah tahapan. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai “Tahap 1-5” dengan urutan sebagai berikut: research, applied research, development, scale-up, dan production.

Kehebatan di Corning adalah tahap demi tahap ini mayoritas berjalan baik: dari konsep ke sukses secara komersial. “Jika saya punya 100 siswa di kelas dan saya tanya mereka ‘berapa dari Anda yang punya tahap-tahap proses di perusahaan Anda?’ Sekitar 95 orang mengangkat tangan,” kata Rebecca M. Henderson, Guru Besar Harvard Business School yang mempelajari inovasi di Corning. “Tapi kalau saya bertanya, ‘berapa banyak dari Anda yang tahapan prosesnya berhasil?’ hanya sekitar 15 orang yang mengangkat tangan. Untuk perusahaan dengan ukuran dan kompleksitas seperti Corning, apa yang mereka capai adalah luar biasa.”

Apa rahasianya?


TIGA RAHASIA
Ada tiga. Pertama, organisasi yang solid, yang multidisiplin. Apa yang tampak dari Corning adalah mereka menunjukkan bahwa inovasi dapat dikelola oleh individu atau tim kecil yang berdiri terpisah, tapi dengan kelompok multidisiplin di seluruh lini organisasi sebagai penopangnya. Yang menjadi konduktor adalah 2 lembaga: Corporate Technology Council yang dipimpin CTO, David L. Morse, dan Growth & Strategy Council, dipimpin Chairman dan CEO, Wendell Weeks.

Organisasi yang pertama (Corporate Technology Council) berkonsentrasi pada early stage. Mereka mengevaluasi ide-ide yang ada dan memutuskan yang mana yang akan didanai. Sementara organisasi berikutnya (Growth & Strategy Council) mengelola tahap ide menuju komersialisasi. Mereka bergerak lebih detail, menyoroti biaya dan rencana eksekusi.

Pada tahap awal, pada early stage, Corning memiliki amunisi hebat untuk menciptakan produk, yang juga diwariskan sejak lama. Salah satu sumber daya penting adalah para tenaga ahli di Sullivan Park Research Center, di Erwin, New York, lokasi tempat fasilitas R&D. Di Sullivan Park yang seluas 2 juta m2 inilah sejumlah terobosan teknis dilakukan seperti tabung cathode-ray, advanced purification materials, dan serat optik kualitas tinggi. Untuk menggodok Gorilla Glass, contohnya, sedikitnya 100 ilmuwan terlibat dalam proyek ini, baik terlibat penuh ataupun paruh waktu. “Para ilmuwan kami akan bekerja di tempat di mana mereka meyakini bisa memberikan dampak dan diapresiasi,” kata Steiner.

Gorilla Glass, kaca yang kuat, tipis dan fleksibel.
Sumber: Corning

Dalam kasus Gorilla Glass, begitu uji produk telah selesai, Steiner segera bergerak ke seluruh organisasi, meminta bantuan serta masukan tim sains, manajemen dan penjualan. Tak banyak waktu terbuang. “Anda harus menempatkan seluruh sumber daya di belakang sebuah peluang, dan segera melompat,” ujar Matthews, sang pemimpin proyek. Sampel mulai dilakukan pada Desember 2007. Empat bulan kemudian Corning meluncur di pasar dan mendapat sambutan antusias.

Itu yang pertama: tim yang solid. Yang kedua, connecting to customer yang juga telah lama dibudayakan. Selama pengembangan Gorilla, Steiner memastikan bahwa para ilmuwan yang terlibat dalam proyek ini bertemu dengan calon pembeli potensial. “Kami harus menciptakan permintaan, dan para ilmuwan kami adalah senjata komersial paling ampuh (untuk memahami pasar),” katanya. Dengan berbincang pada pelanggan secara intens, para peneliti bisa mengantisipasi kebutuhan pasar.

Di lingkungan Corning, sudah menjadi budaya bila para ilmuwan memberikan prototipe produk di tahap awal dalam rangka mencari umpan balik sekaligus kemungkinan pengembangan yang dibutuhkan pasar. Para peneliti Corning memang diminta secara proaktif bertemu dengan para pelanggan, terutama dari perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan Sony untuk memahami sekaligus mengantisipasi kebutuhan teknologi seperti organic light-emitting diodes (OLEDs) dan televisi 3D.

Rahasia ketiga adalah dukungan total dari jajaran manajemen puncak. Menurut David L. Morse, menghubungkan para ilmuwan dengan pelanggan adalah satu hal. Hal berikutnya yang signifikan adalah kepemimpinan yang memahami pekerjaan para ilmuwan. “Meluncurkan produk,” kata Morse, “itu seperti orang yang memegang air buat para pelari marathon. Mereka harus ada di sisinya, melatihnya, dan berpatisipasi di dalamnya. Kami harus membantu mereka dengan menyediakan seluruh sumber daya.”

Lantaran iklim kerja yang solid serta dukungan atasan yang total, bukan rahasia bila para ilmuwan di Corning akhirnya terkenal enggan berpindah ke “lain hati”. Mereka loyal. “Bahkan setelah pensiun pun mereka sering datang setiap hari,” kata Morse. Dan para pimpinan Corning memfasilitasi para veteran ini. Mereka menciptakan apa yang disebut sebagai program Safe Haven. Lewat program ini, para pensiunan tersebut diperkenankan untuk menulis dan mengajukan proposal penelitian yang akan didanai perusahaan, atau difasilitasi agar bisa didanai pihak lain.

Budaya inilah yang kuat mengakar di dalam tubuh Corning. Dan mereka sangat bangga dengan budaya tersebut. Terbukti, untuk urusan investasi riset dan pengembangan produk, manajemen Corning tak henti mengucurkan dana. Pada saat banyak perusahaan memangkas biaya inovasi bisnisnya, Wendell Weeks mengucurkan hanpir 10% dari pendapatannya untuk RD&E (research, development, and engineering).

Sekarang, Corning fokus mereinvestasikannya pada produk-produk intinya: serat optik, kristal cair dan tentu saja kaca Gorilla Glass. Mereka yakin masa depan cerah di ketiga sektor tersebut. Terlebih pada Gorilla Glass. Mengapa?

“Pada pasar consumer electronics, aspek sentuhan telah menjadi kebutuhan di mana-mana. Bahkan bayi pun main iPad dengan sentuhan. Mereka ini akan tumbuh besar dan berharap bisa mendapat respons dari barang elektronik yang mereka sentuh. Semuanya yang membutuhkan respons sentuhan akan ada di mana-mana, di kulkas, komputer, dan segala hal di sekolah,” kata Morse. Apa artinya? “Perusahaan akan membutuhkan kaca yang tipis dan kuat untuk seluruh aplikasi ini.”

Tapi laiknya lahan yang gurih, tak semua pihak rela Corning merajai segmen layar sentuh ini sendirian. Belakangan, Gorilla Glass mendapat tantangan hebat dari GT Advanced. Perusahaan ini meluncurkan produk dengan merek Sapphire, dan dengan janji serupa: produk layar anti gores dan anti pecah.

Tantangan GT Advanced Technologies tidak main-main. Dalam satu kesempatan pada ajang Mobile World Congress 2013 yang digelar Februari lalu, GT Advanced mendemokan kekuatan material yang dipakai produknya, yakni lembaran batu safir saat digesek secara keras dengan material kasar seperti batu. Hasilnya? Layar Sapphire tetap mulus. Berbeda dengan layar Gorilla Glass menjadi pembanding dalam demo tersebut, yang mudah tergores saat digesek dengan batu.


Sapphire, pesaing berat Corning.
Sumber: Google

Harga Sapphire memang lebih mahal 3 kali lipat dibanding Gorilla Glass. Untuk memasang layar Saphhire pada sebuah smartphone, produsen mesti memayar US$ 15, sementara Gorilla Glass US$ 5. Tapi GT Advanced berkoar produk mereka jauh lebih hebat dibanding keluaran Corning. “Sebagus apapun Gorilla Glass tetaplah kaca yang bisa pecah. Ini berbeda dengan Sapphire. Kendati ponsel terjatuh dari ketinggian dan hancur, Sapphire tidak akan tergores sedikitpun”, ucap Dan Squiller, COO GT Advanced.

Tentu saja pihak Corning tak mau berdiam diri. Belakangan mereka merilis Gorilla Glass 3 yang diklaim lebih unggul dibanding Sapphire. Bagaimana produk ini meyakinkan pasar, tentu masih ditunggu. Tapi Steiner dan timnya kini terus berpacu karena menyadari sekali mereka kalah dari Sapphire yang juga kini masih dalam tahap pengembangan, reputasi yang sudah dibangun lebih dari satu abad akan ternoda. ***

Monday, August 26, 2013

Dalam Sepatu TOMS

Gagasannya untuk berbisnis dengan semangat memberi pada anak-anak tak mampu, ternyata diapresiasi pasar. Ketulusannyalah yang membuat program ini sukses besar.

TERHENYAK
Semuanya bermula di tahun 2006. Seorang pemuda kelahiran Texas, 26 Agustus 1976 bernama Blake Mycoskie melakukan perjalanan ke Argentina. Itu adalah perjalanan yang ditempuhnya sebagai sebuah penunaian janji yang dia ikrarkan 4 tahun sebelumnya.

Tahun 2002, Mycoskie bersama saudarinya, Paige mengikuti lomba yang digelar CBS, The Amazing Race yang salah satunya melintasi negerinya Lionel Messi ini. Mereka akhirnya menjadi pemenang ketiga, hanya kalah beberapa menit dari pemenang pertama dan kedua. Tapi bukan soal lomba itu yang membetot hati Mycoskie. Menurutnya Argentina adalah negeri yang indah sehingga dia berjanji akan kembali pada suatu hari nanti untuk mengenal negeri ini lebih jauh. Sebab, dalam The Amazing Race, katanya, mereka hanya berlari dan berlari untuk menaklukkan tantangan.

Janji itu ditepatinya. Merasa lelah dengan bisnis kursus mengemudi yang dijalankannya, Mycoskie memutuskan berlibur ke Argentina. Dia ingin menghabiskan waktu bersenang-senang di ujung benua Amerika Latin itu. Dan memang demikianlah pada awalnya. “Saya belajar polo, kursus menari tango, dan berjalan-jalan,” ujar lelaki bercambang ini. Pokoknya bersenang-senang. Tiada hari tanpa tawa dan senda gurau.

Tapi lewat satu bulan, kesenangan itu berganti menjadi satu keharuan. Di sebuah desa yang sulit dicapai, yang terletak di perbatasan Argentina dan Brazil, hati Mycoskie dikoyak sebuah pemandangan pahit. Beberapa anak tak mengenakan sepatu. Bukan karena memang asyik bertelanjang kaki, tapi lantaran memang tak mampu membeli sepatu atau alas kaki lainnya. Padahal mereka harus menempuh jalan panjang untuk mendapatkan air. Yang membuatnya lebih prihatin, mereka tak bisa bersekolah gara-gara tak bersepatu. Mengapa? Karena sekolah menyaratkan anak-anak bersepatu sebagai bagian dari seragam sekolah. “Di sebuah keluarga, mereka punya sepasang sepatu,” dia mengenang, “maka anak-anak mereka saling berbagi pakai. Siapa yang hari itu giliran memakainya, dia bisa pergi sekolah.”

Mycoskie terhenyak melihat pemandangan itu. Di negeri yang indah ini, hatinya terusik. Pulang ke Amerika, dia pun membawa sebuah gagasan: membangun perusahaan yang memproduksi sepatu kanvas. Bukan sembarang sepatu. Tapi sepatu yang dijual dengan satu tawaran: siapa yang membeli sepasang sepatu darinya hari ini (today), maka esoknya (tomorrow) Mycoskie akan menyumbang sepasang sepatu baru untuk anak-anak yang tak punya sepatu di negara-negara berkembang atau tertinggal. “Karena itu kami sebut ini ‘the tomorrow's shoes project’,” katanya.

Dari Kalifornia, muncullah nama perusahaan itu: “Shoes for a Better Tomorrow”. Lalu merek sepatunya: Tomorrow's shoes. Indah terdengar. Akan tetapi, persoalan baru muncul. Nama itu terlalu panjang untuk dikenakan di sepatu, Mycoskie pun mencari solusi. Lahirlah “TOMS” yang merupakan kependekan dari kata “tomorrow” dalam "Tomorrow's shoes". Belakangan, dia menanamkan merek itu menjadi sebuah value dalam perusahaannya: tentang menciptakan hari esok yang lebih baik. “Saya senang untuk mengatakan bahwa kami semua adalah ‘Tom’. Termasuk juga mereka di manapun yang memungkinkan sepatu ini terwujud, mereka juga ‘Tom’.”

Kalau otak bisnis Mycoskie bekerja, tak perlulah heran. Dia memang entrepreneur tulen. Bisnis pertamanya dibesut saat masih kuliah. Di usianya yang menginjak 19 tahun, dari tangannya lahir layanan door-to-door laundry yang disebut EZ Laundry. Empat tahun kemudian (1999), dia beralih haluan, mendirikan perusahaan billboard di Nashville, Tennessee, bernama Mycoskie Media. Hanya tiga tahun bisnis ini dijalankan. Dia menjualnya kepada Clear Channel Communications untuk mengikuti Amazing Race. Pulang dari Argentina (2002), Mycoskie mendirikan Reality Central, kemudian Drivers Ed Direct, perusahaan layanan kursus mengemudi sampai akhirnya ditinggalkannya untuk kembali ke Argentina yang mengantarnya pada kelahiran “TOMS”.

Tapi bisnis kali ini berbeda dengan bisnis-bisnis yang dibuat sebelumnya. TOMS benar-benar tak serupa. Bukan hanya pada jasa atau produk yang dibuat, tapi juga pada spirit, model bisnis serta cara pemasarannya.

Blake Mycoskie: "Kami semua adalah Tom"Sumber: shopwithmeaning.org

Hal yang memang menarik adalah bagaimana Mycoskie menggulirkannya. Untuk merealisasikan niat awal bisnisnya, dia membangun model bisnis yang kemudian popular disebut “One for One”: satu pasang sepatu dibeli, satu pasang disumbangkan.

Dengan simple but strong message semacam ini, tiada dinyana pasar menyambutnya dengan antusias. Terutama di Amerika Serikat. Pelanggan di Negeri Abang Sam ini menjadi pasar terbesar TOMS. Dan itu terbangun lewat pemasaran gaya word of mouth marketing (WOM) yang secara sadar dibangun Mycoskie.

Salah satu langkah WOM yang terkenal dari Mycoskie beberapa bulan setelah membesut TOMS adalah “A Day without Shoes” di tahun 2007 ketika dia mengajak orang untuk terlibat dalam gerakan “sehari tak bersepatu”. Ya, Mycoskie mengajak semua orang di dunia di dunia untuk berpartisipasi dengan gerakan ini. Maksudnya agar bisa merasakan bagaimana rasanya tidak punya sepatu.

Ajakan ini begitu diapresiasi, terutama di Amerika Serikat. Dan seperti spiral, omongan baik itu menyebar begitu cepat. Televisi ramai meliputnya. Mycoskie diwawancarai dalam acara Good Morning America dan sejumlah pertunjukan lainnya. Berita serta opini di koran pun berentet. Seperti sebuah mesin yang bekerja otomatis, kabar tentang sepatu TOMS terus diproduksi massal. Ujungnya, buzz tercipta massif. Tak heran, dalam 24 jam, Mycoskie bisa mendapat 2.200 order sepatu.

Tapi sebab utama mengapa WOM yang dibangun Mycoskie disambut pasar adalah ketulusan misi yang dibentangkannya. Rupanya konsumen Amerika merasa tersentuh dengan misi yang dibawa dalam sepatu TOMS. “Setiap pelanggan yang membeli sepatu Classics, Cordones, atau Stitchouts, akan mengingat bahwa mereka menyumbang sesuatu pada dunia,” kata Mycoskie.

Dia punya pengalaman menarik tentang hal ini. Suatu hari Mycoskie terbang ke New York. Di tengah perjalanan, dia menjumpai seorang wanita mengenakan sepatu TOMS. Dengan santainya Mycoskie pun bertanya mengapa sang wanita memakai sepatu TOMS. Tidak tahu siapa lelaki yang bertanya, sang wanita secara antusias bercerita tentang misi perusahaan untuk membuat sepatu yang bukan “sepatu biasa”, termasuk juga latar belakang sang pendiri yang sebenarnya tengah berdiri di hadapannya. Pendek kata, orang-orang Amerika tertarik dengan niat baik di balik bisnis anak muda ini.

Menariknya, tak cuma konsumen yang tergerak. Kalangan perusahaan pun terdorong untuk terlibat lebih intens. Sejumlah perusahaan, termasuk AT&T dan Polo Ralph Lauren mulai berkolaborasi dengan TOMS. Ralph Lauren mendesain lini khusus TOMS untuk sepatu rugbi agar kredibilitas merek ini semakin mapan. Sementara itu AT&T membuat film komersial tentang TOMS dan mengikuti Mycoskie saat membagi-bagikan sepatu kepada anak tak mampu agar misi sosialnya semakin diketahui luas.

Selain ketulusan yang diapresiasi masyarakat sehingga melahirkan WOM yang hebat, belakangan, efek buzz yang besar juga tercipta karena Mycoskie menciptakan model kolaborasi untuk membuat TOMS kian diterima masyarakat luas. Caranya?

Sesuai janjinya, Mycoskie dan timnya melakukan perjalanan global untuk mendistribusikan alas kaki ke anak-anak di wilayah tertinggal. Menariknya, dalam proses ini dia mengajak para sukarelawan (terutama anak-anak muda) dan LSM sehingga tercipta keterlibatan masyarakat yang sangat kuat. Rupanya Mycoskie percaya bahwa kesuksesan TOMS akan bergantung pada satu faktor: hasrat generasi baru untuk terlibat dalam proyek ini serta dukungan global yang luas.

Mycoskie berbagi sepatu dengan anak-anak Ethiopia
Sumber: Inc.com
Dengan pola memancing partisipasi semacam ini, akhirnya ownership atas TOMS pun menjadi sangat luas. Masyarakat merasa memiliki sepatu TOMS sehingga tanpa dikomando rela untuk turut serta meng-endorse-nya tanpa dibayar sepeser pun. Pada tahun 2008, misalnya, sejumlah mahasiswa mengorganisasi kampanye Day Without Shoes untuk meningkatkan kesadaran tetang adanya anak-anak yang tidak punya sepatu. Tiada dikira, gerakan ini belakangan menjadi inisiatif global dan pada April 2012 lebih dari seperempat juta orang di muka bumi berpartisipasi untuk tidak menggunakan sepatu di salah satu hari di bulan April itu. Bila Anda juga tertarik, bisa mengakses laman ini: www.onedaywithoutshoes.com

Apresiasi serta keterlibatan yang massif dalam spektrum “giving” ini pada akhirnya mendatangkan efek positif bagi TOMS dari sisi bisnis. Secara mengejutkan, TOMS sangat menguntungkan di masa resesi (2008-2009), sekalipun harganya dinaikkan dan Mycoskie sangat sedikit mengucurkan uang untuk pemasaran dan iklan.

Hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun, dengan bantuan getok tular sejumlah korporasi, pelanggan serta media sosial, TOMS tumbuh eksponensial. Pada September 2010, Mycoskie sudah mampu memberikan sepatu yang ke-1 juta. Anak-anak yang dibantunya pun kian meluas, mencapai lebih dari 20 negara sementara toko yang menjualnya tercatat lebih dari 500 gerai di seluruh dunia.

Tentu saja Mycoskie bangga. Tapi yang membuatnya terharu – dan menggiring orang makin jatuh hati – adalah cerita ketika dia membawa orang tuanya ke Argentina beberapa bulan setelah meluncurkan TOMS, ketika sepatu ini belum begitu heboh. Bersama orang tuanya, Mycoskie memberikan 10 ribu pasang sepatu. Mycoskie terharu begitu melihat ibunya mengelap kaki seorang anak yang kotor dan memakaikan sepatu TOMS. Air matanya sontak menetes. “Saya begitu emosional hal itu,” katanya.

Meski banyak orang menilai bahwa secara teoretik WOM bisa dikreasi, tapi dalam kasus Mycoskie, kepopuleran sepatu TOMS membenarkan satu hal: ketulusan merupakan fondasi WOM yang luar biasa! ***

Monday, July 15, 2013

Superpower Pertanian Bernama Brazil

Setelah empat dekade membangun pertaniannya, Negeri Samba ini tumbuh menjadi kekuatan pertanian yang luar biasa. Dari importir menjadi eksportir. Apa rahasianya?


GLOBAL AGRICULTURE SUPERPOWER
4 Juni 2013, satu pidato yang diluncurkan Presiden Brazil Dilma Rousseff, sudah semestinya membuat kita di Indonesia kagum dan merenung – sambil mengurut dada. Hari Selasa itu, Rouseff resmi meluncurkan Rencana Pertanian Brazil 2013-2014. Isinya, paket pinjaman dari pemerintah untuk pendanaan dan pemasaran, pembelian peralatan pertanian serta perbaikan infrastruktur pedesaan. Nilainya? 136 miliar Real Brazil, atau setara US$ 64 miliar. Atau dalam kurs rupiah berarti Rp 640 triliun.

Seraya mengumumkan rencana itu, Rousseff juga menegaskan bahwa sektor pertanian Brazil adalah salah satu yang paling produktif, efisien serta kompetitif di dunia. "Brazil adalah negara dengan agribisnis yang berkembang pesat. Hasil pertanian kita cukup memadai untuk memasok pasar domestik dan ekspor, menghasilkan kekayaan bagi negara kita," katanya. 

Presiden perempuan ini kemudian juga mengungkapkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya akan memperluas sekaligus memodernisasi National Supply Company (Conab) dengan mengalokasikan US$ 250 juta untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan hasil pertanian, merenovasi laboratorium serta sistem pemantauan sanitasi. Muantap, bukan?

Ya, begitulah Brazil membangun pertaniannya. Dan hasilnya sangat mengagumkan. Brazil adalah penghasil nomor satu dunia untuk komoditas beras, kopi, jeruk, pisang dan gula, sementara kedelai berada di nomor dua setelah Amerika Serikat. Di luar itu, negeri Samba ini juga produsen sapi nomor wahid dunia. Tak heran, kurang lebih 45% dari total komoditas ekspor Brazil berasal dari hasil-hasil sektor pertanian. Menteri Pertanian Antonio Andrade pun menegaskan bahwa agribisnis Brazil menyumbang 25% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu dan menghasilkan 35 juta lapangan pekerjaan.

Saat ini Brazil memang telah tumbuh menjadi negara yang kuat dalam sektor pertanian. Bukan lagi importir, tapi eksportir. Bahkan menjadi superpower. “Hanya Amerika Serikat dan Eropa yang bisa mengalahkan Brazil sebagai eksportir hasil pertanian. Kami sudah menjadi negara superpower dunia di bidang pertanian atau global agriculture superpower,” ujar Carlos Ortiz. Dia adalah Head of Rural and Retail Rabobank Brazil. Pernyataannya itu diberikan di Jakarta, Oktober 2012. Saat itu Ortiz memaparkan makalahnya dalam Konferensi Tahunan Rabobank Indonesia, yang mengambil tema “Pertanian sebagai Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi: Belajar dari Brazil”.

Ortiz tak keliru. Mengutip Departemen Pertanian AS, businessinsider.com mengungkap bahwa pada tahun 2001, ekspor pertanian Brazil mencapai US$ 16 miliar. Lalu pada 2010, nilai ekspornya mencapai US$ 62 miliar dan mencapai US$ 80 miliar di tahun 2011. Itu artinya, peningkatan lebih dari 400% selama 10 tahun. Sebagai pembandingnya, nilai ekspor pertanian AS hanya meningkat 175% untuk periode yang sama. Brazil mengekspor 1500 tipe produk pertanian. Alhasil tidak mengherankan pula jika The Economist sempat menulis liputan menarik, Brazilian Agriculture, The Miracle of the Cerrado (26 Agustus 2010).

Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Brazil?

Inilah pertanyaan yang banyak dikupas oleh media dan para peneliti. Pada liputannya, The Economist mengajukan pertanyaan: “Can it do the same for others?”. Sementara para peneliti dari Nanyang Technology University, Margarita Escaler dan Paul Teng langsung menukik untuk menggugah bangsa Asia lewat tulisannya, Can Asia Learn from Brazil’s Agricultural Success? (2010).

Sejatinya, banyak yang bisa dipelajari dari Brazil sekalipun Escaler dan Teng memaparkan betapa Brazil dikaruniai Tuhan alam yang luar biasa, yang tidak selalu didapatkan negara lain. Coba tilik data berikut: dari sisi tanah, Brazil punya area potensial untuk ditanami yang sangat luas. FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat Brazil punya sekitar 400 juta hektar lahan yang potensial ditanami, yang hanya ditemukan di gabungan dua negara, AS dan Rusia. Sejauh ini, baru 50-70 juta hektar yang baru digunakan. “Cukup untuk menakar betapa dahsyatnya potensi pertumbuhan Brazil,” catat Escaler dan Teng.

Selanjutnya, Bazil adalah pemilik cadangan air segar yang bisa diperbarui, yang terbesar di dunia. Mengacu laporan PBB, World Water Assessment Report of 2009, Brazil punya 8.000 km kubik renewable water setiap tahunnya. Ini jauh melampaui negara manapun, bahkan disebut bisa memenuhi kebutuhan 4 miliar manusia. Kemudian, negara ini juga memiliki iklim tropis yang kondusif untuk pertanian. Di samping sinar matahari yang berlimpah, curah hujannya mencapai 975 mm setiap tahunnya.

Untuk Indonesia, pada banyak titik, terdapat sejumlah kesamaan, seperti cuaca, iklim, serta beberapa komoditas pertanian yang diandalkan. Sebenarnya, sudah semestinya Indonesia bisa sejajar dengan Brazil, sekalipun ini adalah sebuah ironi. Mengapa ironi? Betapa tidak, tahun 1985, saat Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena swasembada beras, Brazil waktu itu belum apa-apa. Belum menjadi global agriculture superpower yang menandingi AS dan Australia. So, mengapa Brazil bisa demikian hebat?

Alam Brazil memang luar biasa. Namun, tentu tak semata anugrah itu menjadi berkat dan kesuksesan. Pun dengan kejayaan Brazil di sektor pertanian. Menurut Ortiz, keberhasilan negeri Samba didorong sejumlah faktor. Di antaranya: minimnya intervensi pemerintah – hanya bertindak sebagai regulator dan pendukung –, pelaku swasta yang aktif, serta efisiensi pasar di tengah pasar yang besar.

Traktor bergerak di pertanian Brazil.
(Sumber: en.mercopress.com)

Ortiz tak keliru. Pemerintah dan swasta sangat berperan untuk tumbuhnya Brazil menjadi superpower agrobisnis. Memutar jarum jam, landasan kesuksesan itu dibangun pasca Perang Dunia II. Saat itu Brazil berupaya membangun basis industri domestik melalui kebijakan industrialisasi substitusi impor yang menggantikan produk-produk impor dengan produksi domestik. Kebijakan ini secara langsung ataupun tidak, berpengaruh pada sektor pertanian. Kuota ekspor, lisensi, pajak, diiringi pengontrolan impor untuk sektor pertanian. Maka produk pertanian domestik pun memiliki ruang untuk bergerak.

Untuk menopang sektor pertanian yang dikelola masyarakat, terutama keluarga petani, pemerintah Brazil membuat basis agar para petani bisa memodernisasi sektor pertanian. Lahirlah National System of Rural Credit di tahun 1965. Kredit diberikan ke petani, terutama untuk mendorong produk pertanian berorientasi ekspor.

Seperti dikupas Pedro A. Arraes Pereira, The Development of Brazilian Agriculture (2012), sektor pertanian Brazil telah dibangun pada jaman kolonial di abad 16. Hingga tahun 1930-an, ekonomi Brazil sangat ditopang produk pertanian yang ditujukan untuk pasar internasional. Sampai lahirnya kebijakan kredit pedesaan, produk orientasi ekspor itu adalah kopi, karet, coklat, dan kapas. Produk-produk ini menyumbang hingga 55% ekspor pertanian.

Tahun 1970-an menjadi saksi periode pertumbuhan kredit pedesaan yang sangat tinggi. Tercatat, proporsi kredit pedesaan untuk pertanian meningkat dari 58% di tahun 1971 mencapai 94% di tahun 1976. Dari sini, pertanian pun mulai menggelombang di tengah alam yang kondusif.


ELEMEN PENTING
Namun, seperti ditulis Escaler dan Teng, yang juga diakui banyak pihak di level internasional, elemen penting keberhasilan Brazil membangun pertaniannya adalah Embrapa (Empresa Brasileira de Pesquisa Agropecuaria), atau Perusahaan Riset Pertanian Brazil. Embrapa ditugaskan untuk mendistribusikan teknologi, benih baru, teknik memperbarui tanah, dan meningkatkan produktivitas. Lembaga inilah yang kelak melahirkan terobosan-terobosan besar lewat riset, analisis dan sumbangan kebijakannya.

Salah satu pencapaian penting Embrapa adalah pengembangan teknologi yang memungkinkan ekspansi agrikultural untuk tanah asam di kawasan savana (sabana) yang banyak terdapat di Brazil, yang dalam bahasa mereka disebut cerrado.

Sewaktu Embrapa mulai berdiri, cerrado dikenal tidak cocok untuk pertanian. Norman Borlaug, ilmuwan pertanian AS yang sering disebut “The Father of Green Revolution” bercerita kepada New York Times, “Tak ada seorang pun berpikir bahwa tanah ini akan menjadi lahan produktif”. Cerrado tampak terlalu asam dan miskin gizi.

Embrapa, tulis The Economist, melakukan 4 hal untuk mengubah semuanya. Pertama, menaburi tanah savana dengan batu kapur untuk mengurangi tingkat keasaman. Di akhir tahun 1990-an, 14-16 juta ton batu kapur telah ditaburkan ke tanah-tanah savana Brazil. Jumlah ini meningkat menjadi 25 juta ton kurun 2003-2004. Kemudian, para ilmuwan Embrapa menanam varietas rhizobium, bakteri yang membantu nitrogen dalam kacang polong yang ternyata bisa tumbuh baik di savana, tanpa membutuhkan pupuk. Embrapa membuat tanah cerrado cocok untuk pertanian. “Kami mengubah paradigma,” ujar Silvio Crestana, mantan Direktur Embrapa dengan penuh bangga.

Kedua, para peneliti Embrapa pergi ke Afrika dan membawa pula rumput bernama brachiaria. Ini adalah jenis rumput yang memiliki nilai nutrisi tinggi, menyediakan banyak nitrogen dan sedikit membutuhkan penyubur fosfor. Dengan penyilangan yang dilakukan penuh kesabaran, lahirlah varietas rumput braquiarinha yang bisa menghasilkan 20-25 ton tumput perhektar, yang 3 kali lebih banyak dibanding tanah Afrika. Savana pun berupah menjadi lahan untuk kawanan ternak merumput setelah sebelumnya hanya penuh sesak dengan perdu dan semak. 30 tahun lalu, di Brazil perlu 4 tahun untuk menggemukkan banteng buat disembelih. Sekarang, hanya perlu 18-20 bulan.

Ini adalah terobosan besar. Namun ini bukan akhir cerita. Yang ketiga, para peneliti Embrapa mengubah kacang kedelai menjadi tanaman tropis. Kacang kedelai adalah tumbuhan Asia Timur (Jepang, Korea dan China). Tumbuhan ini sangat bergantung pada iklim, sensitif perubahan cuaca dan membutuhkan 4 musim. Kebanyakan produsen kacang kedelai (terutama Amerika dan Argentina) memiliki iklim semacam itu.

Embrapa mencoba mengembangkan dengan teknik penyilangan agar bisa tumbuh di wilayah tropis. Selain itu, juga mengimpor benih kacang kedelai dari AS yang sudah dimodifikasi di samping mengembangkan aneka varietas baru yang bisa dipanen dalam waktu cepat, antara 8-12 minggu. Kacang ini lebih toleran terhadap keasaman tanah. Inilah yang kemudian disebut transformasi genetis kacang kedelai. Belakangan, Embrapa juga meningkatkan kinerjanya dengan membuat varietas tanaman anti-penyakit dengan tingkat panen yang tinggi: beras, kacang, gandum, dan kentang.

Yang keempat, Embrapa memulai dan mendorong para petani mengembangkan teknik pertanian baru yang disebut no-till farming. Ini adalah teknik pertanian yang secara mekanis tidak mengubah tanah, karena tidak dibajak, sehingga tetap menjaga kesuburan tanah. Belakangan, teknik ini terus menyebar menjadi alternatif teknik tradisional yang membajak tanah.

Dengan kebijakan dan teknik ini, maka perlahan tapi pasti, berkembanglah cerrado di sejumlah negara bagian yang digarap dengan teknologi pertanian yang canggih. Mereka menjadi tulang punggung pertanian Brazil sehingga menjadi superpower seperti saat ini. Sejumlah negara bagian yang terkenal dalam urusan ini diantaranya Bahia (kapas), Piaui (kacang-kacangan) dan Mato Grosso (kacang, jeruk). Tak heran, karena peran sentralnya, The Economist sampai menulis bahwa bila kita ingin mengetahui kunci sukses pertanian negeri Samba, “Hanya ada 3 kata: Embrapa, Embrapa, Embrapa.”


Embrapa. Inilah kunci kesuksean agrikultur Brazil (sumber: afubra.com.br)

Lantas, apakah sukses Brazil itu bisa ditiru?

The Economist mencatat bahwa tanah Afrika dan Brazil sebenarnya memiliki kesamaan: tropis dan miskin gizi. Perbedaan besarnya adalah savana di Brazil mendapat curahan hujan yang tinggi. Tapi belajar dari Brazil, semestinya bisa dibuatkan teknik “know-how” seperti yang dikembangkan Embrapa mereka membawa brachiaria dan menyilangkannya menjadi rumput yang subur. Itu spirit yang mestinya ada. Tanah di Afrika yang kini disebut-sebut bisa dijadikan proyek pengembangan pertanian adalah Angola serta Mozambique. Dan sejauh ini, para peneliti Brazil telah merintis kerjasama untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan di negara tersebut.

Pertanyaan “apakah cara Brazil bisa ditiru?”, sebetulnya bukan semata upaya membuat pertanian di satu negara menjadi maju. Tapi lebih pada ikhtiar menjawab kerisauan global akan masa depan ketika manusia semakin banyak dan membutuhkan lebih banyak makanan dari yang bisa disediakan saat ini.

Khusus untuk Asia, Escaler dan Teng menyatakan bahwa sebenarnya Asia, terutama China dan Indonesia memiliki potensi yang besar, dilihat dari lahan serta sumber air. Namun, demikian, mereka mencatat bahwa selain minim infrastuktur serta teknologi untuk pertanian, masih banyak lahan potensial yang belum dioptimalkan. Di Asia Tenggara, misalnya. Ditaksir, ada 45% lahan di Asia Tenggara yang berpotensi menjadi lahan pertanian diokupasi untuk hunian manusia. “Pertumbuhan populasi dan urbanisasi, tidak diragukan lagi, akan menjadi faktor signifikan yang menurunkan potensi lahan-lahan produktif”. Begitu mereka mencatat.

Di atas itu semua, Escaler dan Teng meyakini bahwa selain kebijakan yang memihak pertanian, keseriusan Embrapa dalam melakukan riset dan pengembangan pertanian menjadi kunci kemajuan pertanian Brazil. Sebagai ilustrasi kekuatan Embrapa, tilik saja data berikut: lembaga ini sedikitnya mengalokasikan anggaran sebesar US$ 1 miliar setiap tahunnya. Dana itu untuk membiayai 2.253 ilmuwan (kebanyakan adalah PhD) yang bekerja di 47 pusat penelitian untuk mencari teknik pertanian terbaru, mencipta varietas produk pertanian, dan terobosan lainnya. Inilah yang mestinya bisa dipelajari sesuai kondisi masing-masing negara.

Kalau melihat hal ini, dan juga melihat komitmen Presiden Rousseff, Indonesia sepertinya masih harus banyak belajar. Jangankan kita memiliki Embrapa yang luar biasa, sinyalemen lahan produktif yang diokupasi adalah mimpi buruk di depan mata. Terbukti, pada 5 Mei 2013, Menteri Pertanian Suswono mengungkap fakta pahit: 100.000 hektar lahan produktif beralih fungsi setiap tahunnya!

Jelas ini mimpi buruk karena dengan penduduk mencapai 240 juta manusia, Indonesia seharusnya memiliki ketahanan pangan yang baik. Tapi itulah,... Tak mengherankan bila negeri yang subur ini akhirnya harus mengimpor beragam macam komoditas pertanian dan produk peternakan. Bawang, cabai, kedelai, menjadi barang langka. Bahkan jengkol dan petai pun tak ada di pasar.

Brazil tak hanya mengajarkan sepakbola. Mereka juga bisa memberi pelajaran tentang pertanian. ***



Wednesday, July 3, 2013

Mendorong Merek Lokal Berkibar

Merek-merek lokal yang berjaya di pasar global, tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, pebisnis dan nasionalisme konsumen. Jepang, Korea Selatan dan China telah membuktikannya.

INDIGENEOUS BRAND
Di kancah internasional, sebenarnya, istilah original brand boleh dikata tidak terlalu populer. Tidak umum, bahkan. Istilah ini hanya merujuk pada keaslian sebuah merek. Bahwa merek itu dipatenkan sebagai yang pertama kali. Lawannya, atau yang biasa dihadapkan pada terminologi ini adalah “counterfeit brand” atau “fake brand”. Merek palsu yang mengekor, yang melakukan tindakan meniru.

Untuk merujuk pada istilah “merek asli” dari sebuah negara, terminologi yang umum digunakan adalah “national brand” atau “local brand”. Bahkan Katsuhiro Sasuga, Associate Professor Department of International Studies, Tokai University menyebutnya dengan istilah “indigenous brands”, merek pribumi. Adapun yang menjadi tandingannya adalah “global brand” atau “international brand”.

Okelah, sedikit lupakan tentang terminologi “original brand” yang boleh jadi bermain di ranah semantik. Yang menarik, sebagaimana ditulis Sasuga, bicara tentang mengembangkan merek lokal, kalangan pemerintah kerap kali terlibat. Terutama di wilayah Asia Timur. Satu kasus menarik yang diketengahkannya adalah bagaimana merek-merek otomotif lokal China, mampu bersaing dengan nama-nama besar otomotif dunia.

Ketertarikan Sasuga bermula dari produksi industri otomotif China yang terus melesat. Di tahun 2006 melewati Jerman, lalu melampaui AS di tahun 2008, dan Jepang di tahun 2009. Di tahun 2010, pabrikan China bahkan sanggup memproduksi 18,26 juta unit (23,5% dari total produksi otomotif di dunia), sementara gabungan AS dan Jepang mencapai 40%. Di tahun 2010, penjualan otomotif domestik Negeri Panda ini mencapai 18,06 juta unit (AS 11,58 juta unit, sementara di Jepang 4,94 juta unit).

Bukan hanya jumlah produksi yang menarik perhatian Sasuga. Di tahun 2009 sedikitnya ada 258 merek mobil penumpang di China. Dari total merek yang bersaing tersebut, merek lokal China mencapai 145 merek. Dari merek lokal yang ada, 3 nama menyeruak menjadi penantang yang hebat, yakni BYD (berbasis di Shenzhen), Chery (bermarkas di Anhui) dan Geely (di Zhejiang). Teristimewa adalah Chery yang dalam setahun mampu menjual lebih dari 3 juta unit.

Dalam tulisannya, The Rise of the Chinese Indigenous Brands, Sasuga menyebut pemerintah China sangat berperan di balik melejitnya merek-merek otomotif lokal tersebut, terutama mobil. Dari penelusurannya, aktivitas pemerintah dimulai tahun 1979. Saat itu China mulai memburu teknologi maju dari para pabrikan mobil asing. Mereka menawarkan potensi pasar China untuk teknologi otomotif asing. Namun pemerintah tak mau sekadar mengundang pemain luar. Mereka menyaratkan satu hal: bila ingin berproduksi di negeri itu, pabrikan asing harus mendirikan joint venture dengan perusahaan lokal, dengan kepemilikan saham minoritas, tak boleh lebih dari 50%.

Bergelombanglah pemain raksasa masuk ke daratan China, diawali dengan Volkswagen di tahun 1984, bergandengan dengan SAIC (Shanghai Automotive Industry Corporation). Mereka membentuk Shanghai VW. Di luar itu, VW juga menggandeng First Auto Work (FAW) yang bermarkas di Changchin, Jilin. Berdirilah FAW-VW.

General Motor juga mendarat, menggandeng SAIC sehingga berdirilah Shanghai General Motor. Sementara FAW juga membuat perusahaan patungan dengan Toyota untuk mendirikan FAW Toyota.

Kebijakan Pintu Terbuka 1979 merupakan upaya terobosan pemerintah China setelah produsen-produsen otomotif lokal berupaya membangun industrinya. Namun bisa dikata mereka kurang berkembang. FAW, misalnya. Pabrikan mobil pertama di China ini telah meluncurkan mobil penumpang pertama, Hong Qi di tahun 1958. Namun, level teknologinya sangat rendah. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan otomotif lokal lainnya.

Hingga 1979, aspek produksi, distribusi dan konsumsi kendaraan berada dalam kontrol pemerintah. Namun itu semua tidak bisa mendorong level produksi yang efisien. Setelah Open Door Policy 1979, pemerintah China secara besar-besaran mengintervensi pengembangan industri otomotif melalui aneka peraturan. Selain mengembangkan zona ekonomi khusus, mereka mengeluarkan kebijakatan yang mendukung sektor industri pendukung otomotif.

Tahun 1994, misalnya. Setelah sejumlah perusahaan otomotif patungan bermunculan, pemerintah China secara aktif mendorong munculnya “indigeneous brand” di sektor otomotif. Tahun itu diperkenalkanlah Kebijakan Industri Otomotif yang berniat menguatkan otomotif lokal. Satu aturan yang mengikat adalah pabrikan otomotif harus melakukan lokalisasi konten sejak awal produksi sehingga mereka mesti memulai produksi otomotif dengan lebih dari 40%-nya adalah kandungan lokal. Apa artinya ini? Jelas, tujuannya menguatkan industri pendukung otomotif lokal sehingga satu waktu bisa menopang pabrikan otomotif yang tangguh.

Dua tahun berikutnya (1996), kebijakan yang lebih memihak lokal kembali diluncurkan. Pemerintah menetapkan impor pajak mobil penumpang berkisar antara 100%-220% sementara kendaraan komersial antara 15%-230%. Kebijakan ini secara efektif melindungi kompetisi domestik dari terkaman pabrikan otomotif global.

Tahun 2001, seiring masuknya China ke WTO, pemerintah pun mulai melonggarkan aturan. Secara bertahap pajak impor turun hingga 25% di mobil penumpang di tahun 2006. Namun selang waktu selama satu dekade (1996-2006) itu telah memberikan banyak kesempatan untuk pabrikan otomotif lokal mengembangkan mereknya di medan laga.

Toh pemerintah China masih mengawal merek-merek lokalnya. Maklum, harus diakui, persepsi atas kata “Made in China” sangat berbeda bila dibandingkan dengan “Made in Germany”. Dalam kata yang terakhir, persepsinya adalah “kualitas tinggi dan awet”, sementara produk China dipersepsikan “kualitas rendah, mudah rusak”.

Tahun 2004, pemerintah mengumumkan Kebijakan Baru Pengembangan Industri Otomotif yang semakin menekankan pentingnya mengembangkan merek lokal dan hak cipta yang dipegang perusahaan China. Dan dua tahun kemudian (2006), setelah melihat perkembangan yang ada, pemerintah dengan berani menyatakan bahwa merek lokal akan mencapai lebih dari 50% pangsa pasar otomotif. Mereka bahkan telah mendorong pelaku domestik untuk mulai mengekspor.

Masih merasa kurang juga, tahun 2009, pemerintah membuat panduan untuk mengintegrasikan industri otomotif China, khususnya pabrikan otomotif lokal. Perusahaan-perusahaan otomotif yang ada direstrukturisasi. Pilarnya dibagi dua: Pertama, “Four Big”, perusahaan-perusahaan otomotif besar seperti First Auto Works, SAIC, Dongfeng Motor Co., dan Changan Automobile. Kedua, “Four Little”, yakni Beijing Automotive Group, Guangzhou Automobile Industry Group, Chery, dan Sinotruk di Shandong. Kedelapan perusahaan ini menjadi perusahaan inti. Pemerintah pusat juga mengumumkan pemerintah lokal harus membeli kendaraan merek lokal lebih dari 50% untuk pelayanan publik. Inilah yang kemudian menjadi pilar kian bergeraknya sektor otomotif China mengerek merek-mereknya sendiri.

Ya, selama 2 dekade mendorong pabrikan otomotif tumbuh, akhirnya China memiliki sektor otomotif yang kian kuat. Menariknya, sekalipun bukan pemain terbesar, Chery menjadi pemain independen yang terbilang inovatif. Bahkan telah memancing para petinggi China, termasuk Presiden Hu Jintao dan PM Wen Jiabao untuk mengunjungi pabriknya. Produk-produk Chery yang inovatif menunjukkan orang-orang China membeli produk ini bukan semata karena dorongan pemerintah, tapi lebih pada fungsi serta desainnya.

Cherry, mobil lokal China yang melejit di tengah persaingan

NASIONALISME KONSUMEN
Perkara pemerintah membantu berkibarnya merek lokal semacam ini bukanlah hal asing. Memang caranya tidaklah selalu langsung dengan memromosikan merek-merek lokal, tapi dengan bermain di sisi hulu (dukungan pada sektor manufaktur) hingga hilir (distribusi). Jauh sebelum pemerintah China melakukan hal seperti disinggung di atas, pemerintah Jepang telah melakukannya.

Sekalipun pembangunan ekonomi negeri Matahari Terbit ini merupakan produk dari private entrepreneurship, pemerintah sangat berkontribusi. Mereka mengatasi depresi ekonomi, menolong munculnya industri baru, dan membangkitkan merek-merek lokal untuk berkibar bukan hanya di panggung domestik, tapi juga medan internasional. Tak heran, karena demikian besarnya pengaruh pemerintah sehingga lahir terminologi “Japan Inc.” untuk menggambarkan aliansi yang kuat antara kalangan bisnis dan pemerintah.

Mekanisme yang digunakan oleh pemerintah Jepang dalam mendorong merek-merek lokalnya adalah lewat kebijakan yang terkait perdagangan, pasar tenaga kerja, persaingan, dan insentif pajak. Pemerintah menelurkan proteksi dagang, memberikan subsidi dan mendorong ekspor serta investasi lewat JETRO. Yang menarik, berkibarnya merek-merek Jepang seperti yang kita kenal selama ini, itu merupakan buah dari strategi di sisi hulu dengan pemikiran yang cermat. Ketimbang memproduksi aneka barang, pemerintah Jepang menyeleksi sejumlah area di mana mereka bisa mengembangkan barang dengan mutu tinggi, jumlah yang banyak, dan harga yang kompetitif. Satu contohnya adalah industri kamera yang sejak tahun 1960-an didominasi merek-merek Jepang.

Bicara bagaimana mengembangkan merek lokal, untuk urusan ini tak ada yang lebih baik ketimbang Korea Selatan. Pasalnya, selain komitmen pemerintahnya, juga muncul apa yang kemudian disebut sebagai “nasionalisme konsumen”. Di satu sisi, melejitnya merek-merek Samsung, LG, KIA, dan Hyundai memang tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah di sisi industri, terutama sejak tahun 1980-an.

Di tahun 1980-an, pemerintah Korea Selatan mulai mengubah orientasi industrinya yang selama ini dijalankannya menjadi industri berbasis pengetahuan. Dirunut ke belakang, baru pada awal periode 1960-an Korea Selatan mulai membangun industrinya selepas perang saudara dengan Korea Utara. Saat itu, yang dimulai adalah industri pengolahan biji besi, tungsten dan bahan baku sutra yang tidak memiliki nilai tambah tinggi. Namun sejak 1970-an, orientasi ini bergeser. Maka berkembanglah sektor-sektor industri baru berorientasi ekspor seperti tekstil, petrokimia, garmen, dan kayu lapis, sampai akhirnya digeser ke knowledge base pada tahun 1980-an. Dan seperti periode sebelumnya, untuk menyukseskan kebijakan ini, pemerintah Korea Selatan pun menggandeng kemitraan strategis dengan kalangan bisnis serta perguruan tinggi, yang dikenal dengan istilah triple helix.

Selain kualitas, merek Korea Selatan berkembang  karena nasionalisme konsumen.
Samsung juga menikmatinya.


Hasilnya mengagumkan. Setelah krisis 1997, Negeri Ginseng melemparkan banyak produk-produk inovatif bermutu tinggi. Bukan hanya di pasar lokal, merek-mereknya kian berkibar di pentas global. Kebijakan pemerintah Korea Selatan membangun perekonomian berbasis pengetahuan telah mengantarkan merek-merek nasionalnya menginvasi dunia.

Tapi strategi dan kebijakan ini hanya satu hal. Yang berperan paling penting, terutama pada awal-awal industrialisasi yang menjadi fondasi kehidupan merek-merek nasional Korea Selatan adalah nasionalisme konsumen. Sekalipun kualitas merek-merek lokalnya masih sangat buruk dan tertinggal dibanding AS, Eropa serta Jepang di tahun 1960-1980-an, rakyat Korea Selatan dengan bangga menggunakannya. Sebagai bangsa yang pernah dijajah China dan Jepang, mereka sangat anti untuk menggunakan produk para penjajah. Selain itu, mereka pun meyakini bahwa dengan membeli produk buatan saudara sendiri, maka itu berarti memberi kesempatan untuk tumbuh berkembang bersama.

Di sisi lain, produsen juga tidak melakukan moral hazard. Mereka mengembalikan kepercayaan dan nasionalisme konsumen ini dalam bentuk peningkatan kualitas produk serta layanannya. Mereka tak mau sekedar mengandalkan nasionalisme konsumen serta keyakinan bahwa produknya pasti dibeli bangsa sendiri. Inilah yang kemudian turut membuat konsumen jadi loyal: karena mereka disuguhi produk lokal yang kualitasnya berkembang dari waktu ke waktu. Maka tak heran jika merek-merek Korea Selatan pun dipersepsikan berkualitas dan berdaya saing tinggi. Bahkan semakin diakui secara internasional.

Dengan nasionalisme konsumennya yang kuat, tidak mengherankan bila gerakan invasi budaya yang masuk ranah ekonomi kreatif, yang dikenal sebagai “Korean Wave (hallyu)” pun relatif mudah digerakkan, tidak saja di domestik, tapi juga ke mancanegara. Karena orang Korea Selatan memang mencintai produk-produk negerinya sehingga mereka mempromosikannya habis-habisan.

Belakangan, yang menarik, selain urusan mendorong merek-merek lokal dari sektor manufaktur, kita masih disuguhi pemandangan bagaimana seriusnya pemerintah Korea Selatan terus memromosikan produk gelombang kebudayaannya ini. Hal tersebut bisa dilihat pada situs forthenextgeneration.com. Masyarakat seluruh dunia bisa mengenal Korea Selatan lebih dalam lewat situs ini. Di luar situs tersebut, pemerintah Korea Selatan juga aktif berpromosi lewat media-media ternama. Beberapa minggu lalu, mereka berpromosi di New York Times untuk memperkenalkan “Hansik Globalisation”. Hansik adalah makanan Korea. Promosi ini dibuat setelah mendunianya Kimchi yang bahkan telah dibuat acaranya, Kimchi Chronicle yang ditayangkan di stasiun PBS, Amerika Serikat.

Kesuksesan sejumlah negara di atas dalam mendorong merek-merek lokalnya, tak ayal kerap memancing negara lain untuk menempuh jalan serupa. Salah satunya yang tengah berupaya melakukannya adalah Vietnam.

7 Januari 2013, Deputy Perdana Menteri Vietnam, Hoang Trung Hai telah mengafirmasi bahwa adalah tanggung jawab pemerintah Vietnam untuk mendukung berkibarnya merek-merek lokal di pasar domestik.

Akan tetapi, belajar dari kesuksesan Jepang, Korea Selatan dan China, pemerintahan Vietnam sejak awal menegaskan bahwa kesuksesan ini akan bergantung juga pada kalangan bisnis itu sendiri. Dengan terus terang, Hoang meminta kalangan bisnis tak henti mencari cara agar bisa menggenjot ekspor dan mengambil keuntungan dari kampanye nasionalisme yang sudah diluncurkan pemerintah, yakni “Orang Vietnam menggunakan produk-produk Vietnam”.

Pemerintah Vietnam memang telah berupaya mati-matian untuk menggenjot berkibarnya merek lokal mereka di pasar domestik. Diantaranya, mereka telah mendirikan Dewan Merek Nasional yang diketuai langsung Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Vu Huy Hoang. Sejauh ini, Dewan Merek telah menelurkan beberapa inisiatif. Salah satunya yang dijagokan adalah “Program Merek Nasional” dalam rangka memromosikan serta mencitrakan produk-produk Vietnam.

Hoang Trung Hai mungkin benar bahwa pemerintah tak akan bisa berjalan tanpa dukungan kalangan bisnis, terutama dalam hal menghasilkan produk yang berkualitas. Namun melihat bagaimana merek-merek Korea Selatan tumbuh, unsur nasionalisme konsumen tetap memegang peranan. Di Jepang pun, hal tersebut amat terasa di tahun-tahun awal industrialisasi berjalan. Orang mengenal Toyota pada masa kini adalah produk otomotif kelas dunia. Tapi di awal-awal berdiri, Toyota akan ambruk lebih dini jika orang Jepang tidak mau menggunakannya. Maklum, modelnya seperti kotak sabun.

Apa yang bisa dipetik dari kesuksesan Jepang, Korea Selatan dan China dalam mengembangkan merek lokalnya? Benang merahnya sama: strategi pemerintah yang jelas, komitmen pengusaha untuk terus meningkatkan kualitas serta mengikis moral hazard, dan nasionalisme konsumen. Bila melihat ke Indonesia, adakah kita memiliki ketiganya? ***