Come on

Follow me @teguhspambudi

Wednesday, July 3, 2013

Mendorong Merek Lokal Berkibar

Share this history on :
Merek-merek lokal yang berjaya di pasar global, tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, pebisnis dan nasionalisme konsumen. Jepang, Korea Selatan dan China telah membuktikannya.

INDIGENEOUS BRAND
Di kancah internasional, sebenarnya, istilah original brand boleh dikata tidak terlalu populer. Tidak umum, bahkan. Istilah ini hanya merujuk pada keaslian sebuah merek. Bahwa merek itu dipatenkan sebagai yang pertama kali. Lawannya, atau yang biasa dihadapkan pada terminologi ini adalah “counterfeit brand” atau “fake brand”. Merek palsu yang mengekor, yang melakukan tindakan meniru.

Untuk merujuk pada istilah “merek asli” dari sebuah negara, terminologi yang umum digunakan adalah “national brand” atau “local brand”. Bahkan Katsuhiro Sasuga, Associate Professor Department of International Studies, Tokai University menyebutnya dengan istilah “indigenous brands”, merek pribumi. Adapun yang menjadi tandingannya adalah “global brand” atau “international brand”.

Okelah, sedikit lupakan tentang terminologi “original brand” yang boleh jadi bermain di ranah semantik. Yang menarik, sebagaimana ditulis Sasuga, bicara tentang mengembangkan merek lokal, kalangan pemerintah kerap kali terlibat. Terutama di wilayah Asia Timur. Satu kasus menarik yang diketengahkannya adalah bagaimana merek-merek otomotif lokal China, mampu bersaing dengan nama-nama besar otomotif dunia.

Ketertarikan Sasuga bermula dari produksi industri otomotif China yang terus melesat. Di tahun 2006 melewati Jerman, lalu melampaui AS di tahun 2008, dan Jepang di tahun 2009. Di tahun 2010, pabrikan China bahkan sanggup memproduksi 18,26 juta unit (23,5% dari total produksi otomotif di dunia), sementara gabungan AS dan Jepang mencapai 40%. Di tahun 2010, penjualan otomotif domestik Negeri Panda ini mencapai 18,06 juta unit (AS 11,58 juta unit, sementara di Jepang 4,94 juta unit).

Bukan hanya jumlah produksi yang menarik perhatian Sasuga. Di tahun 2009 sedikitnya ada 258 merek mobil penumpang di China. Dari total merek yang bersaing tersebut, merek lokal China mencapai 145 merek. Dari merek lokal yang ada, 3 nama menyeruak menjadi penantang yang hebat, yakni BYD (berbasis di Shenzhen), Chery (bermarkas di Anhui) dan Geely (di Zhejiang). Teristimewa adalah Chery yang dalam setahun mampu menjual lebih dari 3 juta unit.

Dalam tulisannya, The Rise of the Chinese Indigenous Brands, Sasuga menyebut pemerintah China sangat berperan di balik melejitnya merek-merek otomotif lokal tersebut, terutama mobil. Dari penelusurannya, aktivitas pemerintah dimulai tahun 1979. Saat itu China mulai memburu teknologi maju dari para pabrikan mobil asing. Mereka menawarkan potensi pasar China untuk teknologi otomotif asing. Namun pemerintah tak mau sekadar mengundang pemain luar. Mereka menyaratkan satu hal: bila ingin berproduksi di negeri itu, pabrikan asing harus mendirikan joint venture dengan perusahaan lokal, dengan kepemilikan saham minoritas, tak boleh lebih dari 50%.

Bergelombanglah pemain raksasa masuk ke daratan China, diawali dengan Volkswagen di tahun 1984, bergandengan dengan SAIC (Shanghai Automotive Industry Corporation). Mereka membentuk Shanghai VW. Di luar itu, VW juga menggandeng First Auto Work (FAW) yang bermarkas di Changchin, Jilin. Berdirilah FAW-VW.

General Motor juga mendarat, menggandeng SAIC sehingga berdirilah Shanghai General Motor. Sementara FAW juga membuat perusahaan patungan dengan Toyota untuk mendirikan FAW Toyota.

Kebijakan Pintu Terbuka 1979 merupakan upaya terobosan pemerintah China setelah produsen-produsen otomotif lokal berupaya membangun industrinya. Namun bisa dikata mereka kurang berkembang. FAW, misalnya. Pabrikan mobil pertama di China ini telah meluncurkan mobil penumpang pertama, Hong Qi di tahun 1958. Namun, level teknologinya sangat rendah. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan otomotif lokal lainnya.

Hingga 1979, aspek produksi, distribusi dan konsumsi kendaraan berada dalam kontrol pemerintah. Namun itu semua tidak bisa mendorong level produksi yang efisien. Setelah Open Door Policy 1979, pemerintah China secara besar-besaran mengintervensi pengembangan industri otomotif melalui aneka peraturan. Selain mengembangkan zona ekonomi khusus, mereka mengeluarkan kebijakatan yang mendukung sektor industri pendukung otomotif.

Tahun 1994, misalnya. Setelah sejumlah perusahaan otomotif patungan bermunculan, pemerintah China secara aktif mendorong munculnya “indigeneous brand” di sektor otomotif. Tahun itu diperkenalkanlah Kebijakan Industri Otomotif yang berniat menguatkan otomotif lokal. Satu aturan yang mengikat adalah pabrikan otomotif harus melakukan lokalisasi konten sejak awal produksi sehingga mereka mesti memulai produksi otomotif dengan lebih dari 40%-nya adalah kandungan lokal. Apa artinya ini? Jelas, tujuannya menguatkan industri pendukung otomotif lokal sehingga satu waktu bisa menopang pabrikan otomotif yang tangguh.

Dua tahun berikutnya (1996), kebijakan yang lebih memihak lokal kembali diluncurkan. Pemerintah menetapkan impor pajak mobil penumpang berkisar antara 100%-220% sementara kendaraan komersial antara 15%-230%. Kebijakan ini secara efektif melindungi kompetisi domestik dari terkaman pabrikan otomotif global.

Tahun 2001, seiring masuknya China ke WTO, pemerintah pun mulai melonggarkan aturan. Secara bertahap pajak impor turun hingga 25% di mobil penumpang di tahun 2006. Namun selang waktu selama satu dekade (1996-2006) itu telah memberikan banyak kesempatan untuk pabrikan otomotif lokal mengembangkan mereknya di medan laga.

Toh pemerintah China masih mengawal merek-merek lokalnya. Maklum, harus diakui, persepsi atas kata “Made in China” sangat berbeda bila dibandingkan dengan “Made in Germany”. Dalam kata yang terakhir, persepsinya adalah “kualitas tinggi dan awet”, sementara produk China dipersepsikan “kualitas rendah, mudah rusak”.

Tahun 2004, pemerintah mengumumkan Kebijakan Baru Pengembangan Industri Otomotif yang semakin menekankan pentingnya mengembangkan merek lokal dan hak cipta yang dipegang perusahaan China. Dan dua tahun kemudian (2006), setelah melihat perkembangan yang ada, pemerintah dengan berani menyatakan bahwa merek lokal akan mencapai lebih dari 50% pangsa pasar otomotif. Mereka bahkan telah mendorong pelaku domestik untuk mulai mengekspor.

Masih merasa kurang juga, tahun 2009, pemerintah membuat panduan untuk mengintegrasikan industri otomotif China, khususnya pabrikan otomotif lokal. Perusahaan-perusahaan otomotif yang ada direstrukturisasi. Pilarnya dibagi dua: Pertama, “Four Big”, perusahaan-perusahaan otomotif besar seperti First Auto Works, SAIC, Dongfeng Motor Co., dan Changan Automobile. Kedua, “Four Little”, yakni Beijing Automotive Group, Guangzhou Automobile Industry Group, Chery, dan Sinotruk di Shandong. Kedelapan perusahaan ini menjadi perusahaan inti. Pemerintah pusat juga mengumumkan pemerintah lokal harus membeli kendaraan merek lokal lebih dari 50% untuk pelayanan publik. Inilah yang kemudian menjadi pilar kian bergeraknya sektor otomotif China mengerek merek-mereknya sendiri.

Ya, selama 2 dekade mendorong pabrikan otomotif tumbuh, akhirnya China memiliki sektor otomotif yang kian kuat. Menariknya, sekalipun bukan pemain terbesar, Chery menjadi pemain independen yang terbilang inovatif. Bahkan telah memancing para petinggi China, termasuk Presiden Hu Jintao dan PM Wen Jiabao untuk mengunjungi pabriknya. Produk-produk Chery yang inovatif menunjukkan orang-orang China membeli produk ini bukan semata karena dorongan pemerintah, tapi lebih pada fungsi serta desainnya.

Cherry, mobil lokal China yang melejit di tengah persaingan

NASIONALISME KONSUMEN
Perkara pemerintah membantu berkibarnya merek lokal semacam ini bukanlah hal asing. Memang caranya tidaklah selalu langsung dengan memromosikan merek-merek lokal, tapi dengan bermain di sisi hulu (dukungan pada sektor manufaktur) hingga hilir (distribusi). Jauh sebelum pemerintah China melakukan hal seperti disinggung di atas, pemerintah Jepang telah melakukannya.

Sekalipun pembangunan ekonomi negeri Matahari Terbit ini merupakan produk dari private entrepreneurship, pemerintah sangat berkontribusi. Mereka mengatasi depresi ekonomi, menolong munculnya industri baru, dan membangkitkan merek-merek lokal untuk berkibar bukan hanya di panggung domestik, tapi juga medan internasional. Tak heran, karena demikian besarnya pengaruh pemerintah sehingga lahir terminologi “Japan Inc.” untuk menggambarkan aliansi yang kuat antara kalangan bisnis dan pemerintah.

Mekanisme yang digunakan oleh pemerintah Jepang dalam mendorong merek-merek lokalnya adalah lewat kebijakan yang terkait perdagangan, pasar tenaga kerja, persaingan, dan insentif pajak. Pemerintah menelurkan proteksi dagang, memberikan subsidi dan mendorong ekspor serta investasi lewat JETRO. Yang menarik, berkibarnya merek-merek Jepang seperti yang kita kenal selama ini, itu merupakan buah dari strategi di sisi hulu dengan pemikiran yang cermat. Ketimbang memproduksi aneka barang, pemerintah Jepang menyeleksi sejumlah area di mana mereka bisa mengembangkan barang dengan mutu tinggi, jumlah yang banyak, dan harga yang kompetitif. Satu contohnya adalah industri kamera yang sejak tahun 1960-an didominasi merek-merek Jepang.

Bicara bagaimana mengembangkan merek lokal, untuk urusan ini tak ada yang lebih baik ketimbang Korea Selatan. Pasalnya, selain komitmen pemerintahnya, juga muncul apa yang kemudian disebut sebagai “nasionalisme konsumen”. Di satu sisi, melejitnya merek-merek Samsung, LG, KIA, dan Hyundai memang tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah di sisi industri, terutama sejak tahun 1980-an.

Di tahun 1980-an, pemerintah Korea Selatan mulai mengubah orientasi industrinya yang selama ini dijalankannya menjadi industri berbasis pengetahuan. Dirunut ke belakang, baru pada awal periode 1960-an Korea Selatan mulai membangun industrinya selepas perang saudara dengan Korea Utara. Saat itu, yang dimulai adalah industri pengolahan biji besi, tungsten dan bahan baku sutra yang tidak memiliki nilai tambah tinggi. Namun sejak 1970-an, orientasi ini bergeser. Maka berkembanglah sektor-sektor industri baru berorientasi ekspor seperti tekstil, petrokimia, garmen, dan kayu lapis, sampai akhirnya digeser ke knowledge base pada tahun 1980-an. Dan seperti periode sebelumnya, untuk menyukseskan kebijakan ini, pemerintah Korea Selatan pun menggandeng kemitraan strategis dengan kalangan bisnis serta perguruan tinggi, yang dikenal dengan istilah triple helix.

Selain kualitas, merek Korea Selatan berkembang  karena nasionalisme konsumen.
Samsung juga menikmatinya.


Hasilnya mengagumkan. Setelah krisis 1997, Negeri Ginseng melemparkan banyak produk-produk inovatif bermutu tinggi. Bukan hanya di pasar lokal, merek-mereknya kian berkibar di pentas global. Kebijakan pemerintah Korea Selatan membangun perekonomian berbasis pengetahuan telah mengantarkan merek-merek nasionalnya menginvasi dunia.

Tapi strategi dan kebijakan ini hanya satu hal. Yang berperan paling penting, terutama pada awal-awal industrialisasi yang menjadi fondasi kehidupan merek-merek nasional Korea Selatan adalah nasionalisme konsumen. Sekalipun kualitas merek-merek lokalnya masih sangat buruk dan tertinggal dibanding AS, Eropa serta Jepang di tahun 1960-1980-an, rakyat Korea Selatan dengan bangga menggunakannya. Sebagai bangsa yang pernah dijajah China dan Jepang, mereka sangat anti untuk menggunakan produk para penjajah. Selain itu, mereka pun meyakini bahwa dengan membeli produk buatan saudara sendiri, maka itu berarti memberi kesempatan untuk tumbuh berkembang bersama.

Di sisi lain, produsen juga tidak melakukan moral hazard. Mereka mengembalikan kepercayaan dan nasionalisme konsumen ini dalam bentuk peningkatan kualitas produk serta layanannya. Mereka tak mau sekedar mengandalkan nasionalisme konsumen serta keyakinan bahwa produknya pasti dibeli bangsa sendiri. Inilah yang kemudian turut membuat konsumen jadi loyal: karena mereka disuguhi produk lokal yang kualitasnya berkembang dari waktu ke waktu. Maka tak heran jika merek-merek Korea Selatan pun dipersepsikan berkualitas dan berdaya saing tinggi. Bahkan semakin diakui secara internasional.

Dengan nasionalisme konsumennya yang kuat, tidak mengherankan bila gerakan invasi budaya yang masuk ranah ekonomi kreatif, yang dikenal sebagai “Korean Wave (hallyu)” pun relatif mudah digerakkan, tidak saja di domestik, tapi juga ke mancanegara. Karena orang Korea Selatan memang mencintai produk-produk negerinya sehingga mereka mempromosikannya habis-habisan.

Belakangan, yang menarik, selain urusan mendorong merek-merek lokal dari sektor manufaktur, kita masih disuguhi pemandangan bagaimana seriusnya pemerintah Korea Selatan terus memromosikan produk gelombang kebudayaannya ini. Hal tersebut bisa dilihat pada situs forthenextgeneration.com. Masyarakat seluruh dunia bisa mengenal Korea Selatan lebih dalam lewat situs ini. Di luar situs tersebut, pemerintah Korea Selatan juga aktif berpromosi lewat media-media ternama. Beberapa minggu lalu, mereka berpromosi di New York Times untuk memperkenalkan “Hansik Globalisation”. Hansik adalah makanan Korea. Promosi ini dibuat setelah mendunianya Kimchi yang bahkan telah dibuat acaranya, Kimchi Chronicle yang ditayangkan di stasiun PBS, Amerika Serikat.

Kesuksesan sejumlah negara di atas dalam mendorong merek-merek lokalnya, tak ayal kerap memancing negara lain untuk menempuh jalan serupa. Salah satunya yang tengah berupaya melakukannya adalah Vietnam.

7 Januari 2013, Deputy Perdana Menteri Vietnam, Hoang Trung Hai telah mengafirmasi bahwa adalah tanggung jawab pemerintah Vietnam untuk mendukung berkibarnya merek-merek lokal di pasar domestik.

Akan tetapi, belajar dari kesuksesan Jepang, Korea Selatan dan China, pemerintahan Vietnam sejak awal menegaskan bahwa kesuksesan ini akan bergantung juga pada kalangan bisnis itu sendiri. Dengan terus terang, Hoang meminta kalangan bisnis tak henti mencari cara agar bisa menggenjot ekspor dan mengambil keuntungan dari kampanye nasionalisme yang sudah diluncurkan pemerintah, yakni “Orang Vietnam menggunakan produk-produk Vietnam”.

Pemerintah Vietnam memang telah berupaya mati-matian untuk menggenjot berkibarnya merek lokal mereka di pasar domestik. Diantaranya, mereka telah mendirikan Dewan Merek Nasional yang diketuai langsung Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Vu Huy Hoang. Sejauh ini, Dewan Merek telah menelurkan beberapa inisiatif. Salah satunya yang dijagokan adalah “Program Merek Nasional” dalam rangka memromosikan serta mencitrakan produk-produk Vietnam.

Hoang Trung Hai mungkin benar bahwa pemerintah tak akan bisa berjalan tanpa dukungan kalangan bisnis, terutama dalam hal menghasilkan produk yang berkualitas. Namun melihat bagaimana merek-merek Korea Selatan tumbuh, unsur nasionalisme konsumen tetap memegang peranan. Di Jepang pun, hal tersebut amat terasa di tahun-tahun awal industrialisasi berjalan. Orang mengenal Toyota pada masa kini adalah produk otomotif kelas dunia. Tapi di awal-awal berdiri, Toyota akan ambruk lebih dini jika orang Jepang tidak mau menggunakannya. Maklum, modelnya seperti kotak sabun.

Apa yang bisa dipetik dari kesuksesan Jepang, Korea Selatan dan China dalam mengembangkan merek lokalnya? Benang merahnya sama: strategi pemerintah yang jelas, komitmen pengusaha untuk terus meningkatkan kualitas serta mengikis moral hazard, dan nasionalisme konsumen. Bila melihat ke Indonesia, adakah kita memiliki ketiganya? ***

0 comments: