Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, July 15, 2013

Superpower Pertanian Bernama Brazil

Share this history on :
Setelah empat dekade membangun pertaniannya, Negeri Samba ini tumbuh menjadi kekuatan pertanian yang luar biasa. Dari importir menjadi eksportir. Apa rahasianya?


GLOBAL AGRICULTURE SUPERPOWER
4 Juni 2013, satu pidato yang diluncurkan Presiden Brazil Dilma Rousseff, sudah semestinya membuat kita di Indonesia kagum dan merenung – sambil mengurut dada. Hari Selasa itu, Rouseff resmi meluncurkan Rencana Pertanian Brazil 2013-2014. Isinya, paket pinjaman dari pemerintah untuk pendanaan dan pemasaran, pembelian peralatan pertanian serta perbaikan infrastruktur pedesaan. Nilainya? 136 miliar Real Brazil, atau setara US$ 64 miliar. Atau dalam kurs rupiah berarti Rp 640 triliun.

Seraya mengumumkan rencana itu, Rousseff juga menegaskan bahwa sektor pertanian Brazil adalah salah satu yang paling produktif, efisien serta kompetitif di dunia. "Brazil adalah negara dengan agribisnis yang berkembang pesat. Hasil pertanian kita cukup memadai untuk memasok pasar domestik dan ekspor, menghasilkan kekayaan bagi negara kita," katanya. 

Presiden perempuan ini kemudian juga mengungkapkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya akan memperluas sekaligus memodernisasi National Supply Company (Conab) dengan mengalokasikan US$ 250 juta untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan hasil pertanian, merenovasi laboratorium serta sistem pemantauan sanitasi. Muantap, bukan?

Ya, begitulah Brazil membangun pertaniannya. Dan hasilnya sangat mengagumkan. Brazil adalah penghasil nomor satu dunia untuk komoditas beras, kopi, jeruk, pisang dan gula, sementara kedelai berada di nomor dua setelah Amerika Serikat. Di luar itu, negeri Samba ini juga produsen sapi nomor wahid dunia. Tak heran, kurang lebih 45% dari total komoditas ekspor Brazil berasal dari hasil-hasil sektor pertanian. Menteri Pertanian Antonio Andrade pun menegaskan bahwa agribisnis Brazil menyumbang 25% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu dan menghasilkan 35 juta lapangan pekerjaan.

Saat ini Brazil memang telah tumbuh menjadi negara yang kuat dalam sektor pertanian. Bukan lagi importir, tapi eksportir. Bahkan menjadi superpower. “Hanya Amerika Serikat dan Eropa yang bisa mengalahkan Brazil sebagai eksportir hasil pertanian. Kami sudah menjadi negara superpower dunia di bidang pertanian atau global agriculture superpower,” ujar Carlos Ortiz. Dia adalah Head of Rural and Retail Rabobank Brazil. Pernyataannya itu diberikan di Jakarta, Oktober 2012. Saat itu Ortiz memaparkan makalahnya dalam Konferensi Tahunan Rabobank Indonesia, yang mengambil tema “Pertanian sebagai Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi: Belajar dari Brazil”.

Ortiz tak keliru. Mengutip Departemen Pertanian AS, businessinsider.com mengungkap bahwa pada tahun 2001, ekspor pertanian Brazil mencapai US$ 16 miliar. Lalu pada 2010, nilai ekspornya mencapai US$ 62 miliar dan mencapai US$ 80 miliar di tahun 2011. Itu artinya, peningkatan lebih dari 400% selama 10 tahun. Sebagai pembandingnya, nilai ekspor pertanian AS hanya meningkat 175% untuk periode yang sama. Brazil mengekspor 1500 tipe produk pertanian. Alhasil tidak mengherankan pula jika The Economist sempat menulis liputan menarik, Brazilian Agriculture, The Miracle of the Cerrado (26 Agustus 2010).

Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Brazil?

Inilah pertanyaan yang banyak dikupas oleh media dan para peneliti. Pada liputannya, The Economist mengajukan pertanyaan: “Can it do the same for others?”. Sementara para peneliti dari Nanyang Technology University, Margarita Escaler dan Paul Teng langsung menukik untuk menggugah bangsa Asia lewat tulisannya, Can Asia Learn from Brazil’s Agricultural Success? (2010).

Sejatinya, banyak yang bisa dipelajari dari Brazil sekalipun Escaler dan Teng memaparkan betapa Brazil dikaruniai Tuhan alam yang luar biasa, yang tidak selalu didapatkan negara lain. Coba tilik data berikut: dari sisi tanah, Brazil punya area potensial untuk ditanami yang sangat luas. FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat Brazil punya sekitar 400 juta hektar lahan yang potensial ditanami, yang hanya ditemukan di gabungan dua negara, AS dan Rusia. Sejauh ini, baru 50-70 juta hektar yang baru digunakan. “Cukup untuk menakar betapa dahsyatnya potensi pertumbuhan Brazil,” catat Escaler dan Teng.

Selanjutnya, Bazil adalah pemilik cadangan air segar yang bisa diperbarui, yang terbesar di dunia. Mengacu laporan PBB, World Water Assessment Report of 2009, Brazil punya 8.000 km kubik renewable water setiap tahunnya. Ini jauh melampaui negara manapun, bahkan disebut bisa memenuhi kebutuhan 4 miliar manusia. Kemudian, negara ini juga memiliki iklim tropis yang kondusif untuk pertanian. Di samping sinar matahari yang berlimpah, curah hujannya mencapai 975 mm setiap tahunnya.

Untuk Indonesia, pada banyak titik, terdapat sejumlah kesamaan, seperti cuaca, iklim, serta beberapa komoditas pertanian yang diandalkan. Sebenarnya, sudah semestinya Indonesia bisa sejajar dengan Brazil, sekalipun ini adalah sebuah ironi. Mengapa ironi? Betapa tidak, tahun 1985, saat Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena swasembada beras, Brazil waktu itu belum apa-apa. Belum menjadi global agriculture superpower yang menandingi AS dan Australia. So, mengapa Brazil bisa demikian hebat?

Alam Brazil memang luar biasa. Namun, tentu tak semata anugrah itu menjadi berkat dan kesuksesan. Pun dengan kejayaan Brazil di sektor pertanian. Menurut Ortiz, keberhasilan negeri Samba didorong sejumlah faktor. Di antaranya: minimnya intervensi pemerintah – hanya bertindak sebagai regulator dan pendukung –, pelaku swasta yang aktif, serta efisiensi pasar di tengah pasar yang besar.

Traktor bergerak di pertanian Brazil.
(Sumber: en.mercopress.com)

Ortiz tak keliru. Pemerintah dan swasta sangat berperan untuk tumbuhnya Brazil menjadi superpower agrobisnis. Memutar jarum jam, landasan kesuksesan itu dibangun pasca Perang Dunia II. Saat itu Brazil berupaya membangun basis industri domestik melalui kebijakan industrialisasi substitusi impor yang menggantikan produk-produk impor dengan produksi domestik. Kebijakan ini secara langsung ataupun tidak, berpengaruh pada sektor pertanian. Kuota ekspor, lisensi, pajak, diiringi pengontrolan impor untuk sektor pertanian. Maka produk pertanian domestik pun memiliki ruang untuk bergerak.

Untuk menopang sektor pertanian yang dikelola masyarakat, terutama keluarga petani, pemerintah Brazil membuat basis agar para petani bisa memodernisasi sektor pertanian. Lahirlah National System of Rural Credit di tahun 1965. Kredit diberikan ke petani, terutama untuk mendorong produk pertanian berorientasi ekspor.

Seperti dikupas Pedro A. Arraes Pereira, The Development of Brazilian Agriculture (2012), sektor pertanian Brazil telah dibangun pada jaman kolonial di abad 16. Hingga tahun 1930-an, ekonomi Brazil sangat ditopang produk pertanian yang ditujukan untuk pasar internasional. Sampai lahirnya kebijakan kredit pedesaan, produk orientasi ekspor itu adalah kopi, karet, coklat, dan kapas. Produk-produk ini menyumbang hingga 55% ekspor pertanian.

Tahun 1970-an menjadi saksi periode pertumbuhan kredit pedesaan yang sangat tinggi. Tercatat, proporsi kredit pedesaan untuk pertanian meningkat dari 58% di tahun 1971 mencapai 94% di tahun 1976. Dari sini, pertanian pun mulai menggelombang di tengah alam yang kondusif.


ELEMEN PENTING
Namun, seperti ditulis Escaler dan Teng, yang juga diakui banyak pihak di level internasional, elemen penting keberhasilan Brazil membangun pertaniannya adalah Embrapa (Empresa Brasileira de Pesquisa Agropecuaria), atau Perusahaan Riset Pertanian Brazil. Embrapa ditugaskan untuk mendistribusikan teknologi, benih baru, teknik memperbarui tanah, dan meningkatkan produktivitas. Lembaga inilah yang kelak melahirkan terobosan-terobosan besar lewat riset, analisis dan sumbangan kebijakannya.

Salah satu pencapaian penting Embrapa adalah pengembangan teknologi yang memungkinkan ekspansi agrikultural untuk tanah asam di kawasan savana (sabana) yang banyak terdapat di Brazil, yang dalam bahasa mereka disebut cerrado.

Sewaktu Embrapa mulai berdiri, cerrado dikenal tidak cocok untuk pertanian. Norman Borlaug, ilmuwan pertanian AS yang sering disebut “The Father of Green Revolution” bercerita kepada New York Times, “Tak ada seorang pun berpikir bahwa tanah ini akan menjadi lahan produktif”. Cerrado tampak terlalu asam dan miskin gizi.

Embrapa, tulis The Economist, melakukan 4 hal untuk mengubah semuanya. Pertama, menaburi tanah savana dengan batu kapur untuk mengurangi tingkat keasaman. Di akhir tahun 1990-an, 14-16 juta ton batu kapur telah ditaburkan ke tanah-tanah savana Brazil. Jumlah ini meningkat menjadi 25 juta ton kurun 2003-2004. Kemudian, para ilmuwan Embrapa menanam varietas rhizobium, bakteri yang membantu nitrogen dalam kacang polong yang ternyata bisa tumbuh baik di savana, tanpa membutuhkan pupuk. Embrapa membuat tanah cerrado cocok untuk pertanian. “Kami mengubah paradigma,” ujar Silvio Crestana, mantan Direktur Embrapa dengan penuh bangga.

Kedua, para peneliti Embrapa pergi ke Afrika dan membawa pula rumput bernama brachiaria. Ini adalah jenis rumput yang memiliki nilai nutrisi tinggi, menyediakan banyak nitrogen dan sedikit membutuhkan penyubur fosfor. Dengan penyilangan yang dilakukan penuh kesabaran, lahirlah varietas rumput braquiarinha yang bisa menghasilkan 20-25 ton tumput perhektar, yang 3 kali lebih banyak dibanding tanah Afrika. Savana pun berupah menjadi lahan untuk kawanan ternak merumput setelah sebelumnya hanya penuh sesak dengan perdu dan semak. 30 tahun lalu, di Brazil perlu 4 tahun untuk menggemukkan banteng buat disembelih. Sekarang, hanya perlu 18-20 bulan.

Ini adalah terobosan besar. Namun ini bukan akhir cerita. Yang ketiga, para peneliti Embrapa mengubah kacang kedelai menjadi tanaman tropis. Kacang kedelai adalah tumbuhan Asia Timur (Jepang, Korea dan China). Tumbuhan ini sangat bergantung pada iklim, sensitif perubahan cuaca dan membutuhkan 4 musim. Kebanyakan produsen kacang kedelai (terutama Amerika dan Argentina) memiliki iklim semacam itu.

Embrapa mencoba mengembangkan dengan teknik penyilangan agar bisa tumbuh di wilayah tropis. Selain itu, juga mengimpor benih kacang kedelai dari AS yang sudah dimodifikasi di samping mengembangkan aneka varietas baru yang bisa dipanen dalam waktu cepat, antara 8-12 minggu. Kacang ini lebih toleran terhadap keasaman tanah. Inilah yang kemudian disebut transformasi genetis kacang kedelai. Belakangan, Embrapa juga meningkatkan kinerjanya dengan membuat varietas tanaman anti-penyakit dengan tingkat panen yang tinggi: beras, kacang, gandum, dan kentang.

Yang keempat, Embrapa memulai dan mendorong para petani mengembangkan teknik pertanian baru yang disebut no-till farming. Ini adalah teknik pertanian yang secara mekanis tidak mengubah tanah, karena tidak dibajak, sehingga tetap menjaga kesuburan tanah. Belakangan, teknik ini terus menyebar menjadi alternatif teknik tradisional yang membajak tanah.

Dengan kebijakan dan teknik ini, maka perlahan tapi pasti, berkembanglah cerrado di sejumlah negara bagian yang digarap dengan teknologi pertanian yang canggih. Mereka menjadi tulang punggung pertanian Brazil sehingga menjadi superpower seperti saat ini. Sejumlah negara bagian yang terkenal dalam urusan ini diantaranya Bahia (kapas), Piaui (kacang-kacangan) dan Mato Grosso (kacang, jeruk). Tak heran, karena peran sentralnya, The Economist sampai menulis bahwa bila kita ingin mengetahui kunci sukses pertanian negeri Samba, “Hanya ada 3 kata: Embrapa, Embrapa, Embrapa.”


Embrapa. Inilah kunci kesuksean agrikultur Brazil (sumber: afubra.com.br)

Lantas, apakah sukses Brazil itu bisa ditiru?

The Economist mencatat bahwa tanah Afrika dan Brazil sebenarnya memiliki kesamaan: tropis dan miskin gizi. Perbedaan besarnya adalah savana di Brazil mendapat curahan hujan yang tinggi. Tapi belajar dari Brazil, semestinya bisa dibuatkan teknik “know-how” seperti yang dikembangkan Embrapa mereka membawa brachiaria dan menyilangkannya menjadi rumput yang subur. Itu spirit yang mestinya ada. Tanah di Afrika yang kini disebut-sebut bisa dijadikan proyek pengembangan pertanian adalah Angola serta Mozambique. Dan sejauh ini, para peneliti Brazil telah merintis kerjasama untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan di negara tersebut.

Pertanyaan “apakah cara Brazil bisa ditiru?”, sebetulnya bukan semata upaya membuat pertanian di satu negara menjadi maju. Tapi lebih pada ikhtiar menjawab kerisauan global akan masa depan ketika manusia semakin banyak dan membutuhkan lebih banyak makanan dari yang bisa disediakan saat ini.

Khusus untuk Asia, Escaler dan Teng menyatakan bahwa sebenarnya Asia, terutama China dan Indonesia memiliki potensi yang besar, dilihat dari lahan serta sumber air. Namun, demikian, mereka mencatat bahwa selain minim infrastuktur serta teknologi untuk pertanian, masih banyak lahan potensial yang belum dioptimalkan. Di Asia Tenggara, misalnya. Ditaksir, ada 45% lahan di Asia Tenggara yang berpotensi menjadi lahan pertanian diokupasi untuk hunian manusia. “Pertumbuhan populasi dan urbanisasi, tidak diragukan lagi, akan menjadi faktor signifikan yang menurunkan potensi lahan-lahan produktif”. Begitu mereka mencatat.

Di atas itu semua, Escaler dan Teng meyakini bahwa selain kebijakan yang memihak pertanian, keseriusan Embrapa dalam melakukan riset dan pengembangan pertanian menjadi kunci kemajuan pertanian Brazil. Sebagai ilustrasi kekuatan Embrapa, tilik saja data berikut: lembaga ini sedikitnya mengalokasikan anggaran sebesar US$ 1 miliar setiap tahunnya. Dana itu untuk membiayai 2.253 ilmuwan (kebanyakan adalah PhD) yang bekerja di 47 pusat penelitian untuk mencari teknik pertanian terbaru, mencipta varietas produk pertanian, dan terobosan lainnya. Inilah yang mestinya bisa dipelajari sesuai kondisi masing-masing negara.

Kalau melihat hal ini, dan juga melihat komitmen Presiden Rousseff, Indonesia sepertinya masih harus banyak belajar. Jangankan kita memiliki Embrapa yang luar biasa, sinyalemen lahan produktif yang diokupasi adalah mimpi buruk di depan mata. Terbukti, pada 5 Mei 2013, Menteri Pertanian Suswono mengungkap fakta pahit: 100.000 hektar lahan produktif beralih fungsi setiap tahunnya!

Jelas ini mimpi buruk karena dengan penduduk mencapai 240 juta manusia, Indonesia seharusnya memiliki ketahanan pangan yang baik. Tapi itulah,... Tak mengherankan bila negeri yang subur ini akhirnya harus mengimpor beragam macam komoditas pertanian dan produk peternakan. Bawang, cabai, kedelai, menjadi barang langka. Bahkan jengkol dan petai pun tak ada di pasar.

Brazil tak hanya mengajarkan sepakbola. Mereka juga bisa memberi pelajaran tentang pertanian. ***



1 comments:

Teguh SP said...

Trim mas telah berkunjung dan berbagi info. Salam sukses