Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, April 7, 2013

Keseimbangan Hidup ala Ratu Facebook



Prestasi serta kekuasaannya yang besar mendatangkan kekaguman sekaligus kesinisan. Bukunya yang baru dirilis memancing komentar baik kaum pria maupun perempuan. Bagaimana sesungguhnya dia berupaya menyeimbangkan antara karir dan keluarga? Inilah kisah Sheryl Sandberg. 

DILAMAR 
Tahun 2007. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, mengetahui dirinya sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan orang yang tepat. Situs jejaring sosialnya, Facebook, tumbuh demikian cepat. Sementara dia sendiri, di usianya yang menginjak 23 tahun merasa tak punya kemampuan untuk mengelola bisnis yang meraksasa melebihi perkiraannya.

Desember tahun itu, Mark pergi menghadiri pesta Natal di kediaman Dan Rosensweig, yang saat itu menjadi COO Yahoo! Ketika mendekati rumah Rosensweig, tanpa sengata Mark melihat seseorang yang selama ini sering disebut-disebut sebagai orang yang mungkin bisa menjadi mitra. Orang itu adalah Sheryl Sandberg. Berusia 38 tahun, Sheryl adalah VP Global Online & Sales Operation raksasa mesin pencari, Google.

Mark tak pernah berbincang langsung dengan Sheryl. Dia pun belum berkeinginan menawarkan pekerjaan untuknya di Facebook. Lagi pula, apa Sheryl mau meninggalkan pekerjaan hebat di sebuah perusahaan dengan 4.000 karyawan dan pendapatannya jauh melebihi kinerja Facebook. Tapi saat itu Mark memberanikan diri menghampirinya, sekaligus memperkenalkan dirinya yang sebenarnya sudah mulai terkenal. “Mungkin kami ngobrol sekitar satu jam di depan pintu,” kenang Mark (A Woman’s Place, New Yorker, 11 Juli 2011).

Pada saat itu, Sheryl sesungguhnya tengah bersiap-siap menerima tantangan baru. Dia sedang menimbang-nimbang tawaran Donald Graham, CEO Washington Post Company, untuk menjadi eksekutif senior di perusahaan media tersebut. Belum ada keputusan apapun waktu itu. Sampai Mark datang memperkenalkan diri.

Setelah pertemuan itu, persisnya selepas hari-hari libur Natal dan Tahun Baru, Mark mengirimi Sheryl email. Selanjutnya, kontak pun semakin intens, termasuk makan malam yang tak terhitung jumlahnya.

Makan malam pertama dilangsungkan di Flea Street CafĂ©, yang dekat rumah Sheryl di Atherton, Kalifornia. Namun karena tak nyaman, akhirnya selama hampir 2 bulan, tempat pertemuan dipindahkan ke rumah Sheryl, tempat dia beserta suami dan dua anaknya tinggal. “Mereka seperti sedang berkencan saja,” seloroh Dave Goldberg, suami Sheryl yang juga CEO perusahaan survei online, SurveyMonkey.

Tentu saja ini bukan kencan. Perbincangan mereka sangat mendasar. “(Kami saling bertanya) Apa yang kamu percayai? Apa yang kamu pedulikan? Apa misi hidupmu? Sesuatu yang sangat filosofis,” kata Sheryl. Akhirnya, setelah perbincangan yang intens, dia pun menerima pinangan Mark. Jejaring sosial sepertinya memang memiliki prospek lebih baik ketimbang surat kabar cetak. Lagi pula, wanita berambut sebahu ini agak keberatan bila harus pindah dari Lembah Silikon ke Washington, kota kelahirannya.

Sebelum menerima permintaan Mark, sesungguhnya Sheryl telah menemui Eric Schmidt, CEO Google. Dia mengutarakan keinginannya melakukan yang lebih besar buat Google. Eric menyambutnya dan mengusulkannya menjadi chief financial officer. Sheryl menolak usulan ini. Alasannya, posisi itu tak memberinya tanggung jawab managerial yang besar. Dia minta posisi chief operating officer. Kali ini giliran Eric yang menolak. Sebabnya, di Google sudah ada triumvirat pengambil keputusan: sang pendiri, Larry Page dan Sergey Brin, serta Eric sendiri. Mereka tak ingin kehadiran Sheryl membuat pengambilan keputusan menjadi lebih kompleks.

Andai triumvirat itu menerima usulan Sheryl, ceritanya sudah pasti berbeda. Mark menempatkan Sheryl di posisi yang diinginkannya: COO Facebook. Tugasnya terbentang luas: mengelola sales, marketing, business development, human resources, public policy dan komunikasi perusahaan. Sesuatu yang memang diinginkan Sheryl, yang membuatnya kelak dijuluki First Lady of Facebook. Dialah Ratu Facebook, orang nomor dua setelah Mark.




Sheryl bersama Mark Zuckerberg. Raja dan Ratu Facebook.


MANIFESTO BERNAMA "LEAN IN"
Empat tahun berlalu sejak menerima lamaran Mark, sorotan publik kepada Sheryl kini makin kuat. Bukan saja karena dia terbilang mampu mengelola bisnis yang besar sekaligus turut mengantar Facebook melantai di bursa, tapi juga karena pembelaannya terhadap kaum wanita seperti ditunjukkan dalam buku yang baru saja dirilis, Lean In: Women, Work, and the Will to Lead, serta upayanya menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Buat Facebook, Mark tidak salah menjatuhkan pilihan. “Dia membangun seluruh elemen bisnis Facebook,” katanya. “Saya tak tahu menahu bagaimana menjalankan perusahaan. (Kami) Tahu apa yang kami inginkan, tapi kami kekurangan seseorang yang visioner, yang tahu bagaimana meraihnya dalam skala yang besar,” dia melanjutkan. Sebelum Sheryl mendarat, Facebook memiliki 70 juta pengguna dan pendapatan US$ 150 juta. Kini, penggunanya mencapai satu miliar dengan pendapatan US$ 1,59 miliar pada kuartal IV/2012 (Confidence Woman, TIME, 7 Maret 2013). Sungguh pencapaian yang luar biasa.

Kekaguman pada Sheryl yang mampu mendongkrak Facebook itu mengiringi keriuhan yang tengah dimunculkan lewat bukunya yang baru saja dirilis 12 Maret 2013, Lean In. Dalam buku yang positioning-nya bak sebuah manifesto kalangan feminis itu, Sheryl menggugat kuatnya dominasi kaum pria. Dia mengajukan pertanyaan: mengapa sedemikian sedikit kekuasaan politik dan ekonomi yang dipegang kaum perempuan?

“Faktanya, kaum pria memang masih mendominasi dunia,” Sheryl menulis. Dia menyebut contoh: hanya 19 orang dari perusahaan Fortune 500 adalah perempuan. Lalu, anggota Kongres AS, 82% dipegang kalangan laki-laki. Apalagi di Lembah Silikon, perempuan yang memiliki power dianggap cyborg. Dia jadi berita, katanya, kalau dia hamil.

Dalam bukunya itu, sulit untuk menepis sinisnya Sheryl terhadap kaum pria. Namun, memang itu faktanya. Di Silicon Valley sendiri, eksekutif wanita bisa dihitung dengan jari. Selain dia yang masih berposisi COO, ada Meg Whitman (CEO HP) serta Marisa Mayer (CEO Yahoo!). Tak lupa, dia juga melemparkan kritiknya terhadap kaum wanita yang kurang begitu keras mengejar cita-citanya.

Dalam bukunya, Sheryl meyakini banyak hal baik bisa dicapai seandainya wanita diberikan peran lebih besar. Dan kaum wanita sendiri harus bisa membagi peran ketika memilih ingin bisa sukses dalam karir serta keluarga. Lantas, bagaimana Sheryl sendiri membangun karir dan keluarga?

Sheryl tak langsung membangun Facebook dengan mudah. Dia mengingat, pada 24 Maret 2008, itulah pertama kalinya menjadi COO Facebook yang disebutnya “small company”. Saat tiba di Facebook, dia mengakui beberapa orang seakan terlihat gugup menghadapinya. Beberapa juga ragu dia akan bisa melenggang mulus di perusahaan Lembah Silikon yang tipikalnya didominasi kaum pria – kaum wanita tak dianggap punya kemampuan meng-coding peranti lunak.

Kehirauan Sheryl sendiri adalah pada sisi keuangan Facebook yang payah. “Ada pertanyaan terbuka: apakah kita bisa mencetak uang?” katanya. Dia melihat para teknisi Facebook, seperti halnya mereka di Google satu dekade sebelumnya – atau mereka di Twitter sekarang – menempatkan perhatian terbesarnya pada bagaimana membuat situs yang keren. Laba, menurut mereka, akan mengikuti kemudian. Cool site first, profit will follow!

Waktu itu iklan masih menjadi problema. Para pengguna beranggapan laman Facebook-nya adalah milik pribadi. Mereka tak ingin ada interupsi iklan ketika tengah ngobrol (chat) dengan temannya. Saking beratnya persoalan ini sampai-sampai banyak orang berpikir Facebook hanya akan bersifat meteorik, bersinar sesaat untuk kemudian jatuh berkeping, seperti Myspace. Yang lain berpikir Mark yang tampak pemalu, kurang memiliki kemampuan manajerial untuk membuatnya sukses.

Sheryl segera membenahi kondisi Facebook. Setiap hari, dari jam 6-9 pagi, di menggelar rapat membahas model bisnis yang tepat dan strategi memonetisasi Facebook agar pendapatan meluncur deras. “Saya pergi ke ruangan-ruangan dan bertanya, ‘Bagaimana menurutmu?’,” kata Sheryl. Dia selalu membuka perdebatan mencari jalan terbaik pemasangan iklan serta revenue stream lainnya.

Sheryl dikenal sebagai wanita yang tak punya rasa takut. Namun sesungguhnya ketika memulai tugasnya di Facebook, dia diliputi perasaan itu. Mulai dari takut tak disukai, takut membuat keputusan, sampai takut gagal. Jadi, “Tak ada gunanya saya bilang bahwa kita sama sekali tak boleh punya rasa takut. Bahkan saya kadang gagal untuk meyakinkan diri sendiri,” katanya.

Toh itu semua coba ditekannya. “Saya mencoba seberani mungkin.” Dan perlahan-lahan dia pun berhasil. Tim manajemen sepakat Facebook mengandalkan iklan dengan tampilan yang tidak mengganggu pengguna. Pada tahun 2010, Facebook yang ketika Sheryl datang tengah berdarah-darah, mencetak laba.

Dalam Lean In, Sheryl mendorong kaum perempuan untuk berani. Menurutnya, kaum wanita harus melawan ketakutannya pada setiap fase kehidupan. Di sekolah, tak boleh takut mengangkat tangan. Sewaktu rapat, jangan takut memberikan opini. “Begitu juga, jangan takut untuk mencari teman hidup yang akan mendukung kita menggapai mimpi. Pun dalam karir, harus berani sepenuhnya total dalam karir sekalipun punya rencana untuk membentuk keluarga. Dengan melawan seluruh rasa ketakutan ini, kaum perempuan dapat memilih mau sukses di karir, atau meraih sukses baik dalam karir maupun keluarga,” begitu dia menyarankan.


Lean In, buku Sheryl yang menjadi Manifestonya tentang Wanita

MENYEIMBANGKAN DIRI
Sheryl bukan asal bicara. Dia telah membuktikannya. Termasuk dalam urusan keluarga. Dia telah berupaya membagi peran antara karir dan keluarga sebaik mungkin. Caranya?

“Saya keluar kantor setiap hari pukul 5.30 sehingga bisa makan malam dengan anak-anak pada jam 18.00. Menariknya, saya lakukan ini sejak saya punya anak,” katanya dalam rekaman video di Makers.com. Sheryl telah melakukannya sewaktu di Google. Agar bisa berangkat pada jam itu, dia akan mengirim email ke kolega kerja pada malam harinya.

Dia mengaku banyak orang berhadapan dengan stigma buruk tentang pulang kerja sore hari, terlebih di lingkup pekerjaan yang kompetitif yang sering kali punya kultur menilai seseorang dari lamanya jam kerja yang dia lewatkan di kantor. “Kita tak usah malu pulang sebelum jam 6 sore untuk makan malam dengan anak serta suami,” katanya. Menurutnya, dia melakukan itu setelah membaca sebuah riset bahwa anak-anak lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih baik prestasinya di sekolah bila mereka bisa makan bersama keluarganya.

Sheryl memang sangat dekat dengan keluarganya. Di markas besar Facebook (Menlo Park, Kalifornia) tak ada orang yang punya kantor khusus. Sheryl duduk tak jauh dari Mark, di sebuah sudut ruangan yang dulunya tempat parkir. Di dekat meja kerjanya, ada sebuah tiang dengan tulisan “I Love You, Mom” yang ditulis anak laki-lakinya berusia 7 tahun serta anak perempuannya (5 tahun)

Dengan cara sedekat mungkin pada anak-anaknya, Sheryl ingin bisa sukses dalam karir dan keluarga. Dia ingin melawan dikotomi “children vs career” yang banyak menghantui kalangan perempuan dengan pemeonya yang menakutkan: the bigger the career, the less you see of your kids.

Masa kecilnya memang cukup mewarnai pola pikirnya. Sheryl Kara Sandberg lahir pada 28 Agustus 1969 di Washington DC. Keluarganya pindah ke North Miami Beach saat usianya menginjak 2 tahun. Ibunya, Adele, meninggalkan studi Ph.D. dan mengajar bahasa Prancis agar bisa mengasuh Sheryl serta dua adiknya, David serta Michelle.

Ayah mereka, Joel Sandberg adalah seorang spesialis mata. Setelah seorang rabi di sinagog mereka membutuhkan tenaga sukarelawan, Joel serta Adele mendirikan South Florida Conference on Soviet Jewry. “Adele lah yang melakukan banyak pekerjaan,” kata Joel yang menjabat sebagai presiden organisasi ini. Rumah mereka menjadi markas tak resmi untuk kaum Yahudi Soviet yang ingin menghindari kampanye anti-Semit. Rumah mereka juga menjadi hotel sementara untuk mereka yang mendapat ijin beremigrasi.

Masa kecil Sheryl terhitung bahagia. Dia sendiri tergolong pandai, dan selalu masuk peringkat atas. Kecerdasan ini terus dibawanya hingga menempuh sekolah di Harvard College, mengambil jurusan ekonomi. Teman-temannya mengenang sosok ini sebagai orang yang tak suka mengacungkan tangan untuk bertanya atau menjawab, tapi selalu mendapat nilai tertinggi di kelas.

Selepas Harvard, karir Sheryl terus menanjak. Wanita cerdas ini menjadi asisten riset di Bank Dunia pada 1991. Dua tahun kemudian, dia bekerja di McKinsey sembari kuliah di Harvard Business School. Lalu diminta Lawrence (Larry) Summers, yang menjabat Deputi Menteri Keuangan menjadi chief of staf-nya, sebelum akhirnya terbang ke Google.

Karir mulus Sheryl tak selalu berbanding lurus dengan urusan cintanya. Dalam urusan cinta, tak heran kalau dia menyatakan bahwa seorang perempuan tak boleh takut untuk menunggu dalam mencari teman hidup yang akan mendukungnya menggapai mimpi. Saat di McKinsey, Sheryl menikah dengan seorang pengusaha dari Washington, Brian Kraff. Pernikahan ini berjalan singkat. Setelah itu, Sheryl akhirnya jatuh cinta dan menikahi kawan lamanya, Dave Goldberg pada tahun 2004.

Pada Bab 8 buku Lean In, Sheryl mengklaim bahwa salah satu hal terpenting bagi wanita karir yang ingin sukses adalah “dengan siapa dia akan menikah”. Sheryl dan Goldberg berkencan setelah persahabatan yang lama. Mereka berdua saling mendukung karir satu sama lain. Dave meninggalkan pekerjaan di Yahoo agar bisa tinggal bersama-sama Sheryl di Northern California. Dia mengambil alih SurveyMonkey.


Berdua bersama sang suami, Dave Goldberg. Dukungan Dave sangat besar

Kehidupan karir serta keluarga yang berjalan lempang ini banyak membuat orang iri, terutama kaum Hawa. Yang menarik, ketika Sheryl menuangkan kritiknya dalam Lean In, tak semua kalangan perempuan langsung memberi aplaus kencang. Mereka, terutama yang tak mudah membagi antara karir dan keluarga, juga mengritik balik. Mereka menyebut mudah saja bagi Sheryl untuk menyatakan demikian karena posisinya yang memungkinkan dibanding kebanyakan kaum perempuan. 

Dengan dua gelar di Harvard, suami seorang CEO, gaji yang besar (US$ 31 juta di tahun 2011, yang membuatnya salah satu wanita bergaji termahal di dunia) yang membuatnya sejahtera, lingkup kerja yang fleksibel, serta kekuasaan di tempat pekerjaan, Sheryl dianggap mampu melakukan banyak hal dibanding perempuan biasa. “Dia sih enak tinggal di rumah yang luas, pembantu banyak sehingga bisa lebih leluasa mengatur pekerjaannya,” kata para pengritiknya. Keluarga Goldberg tinggal di mansionseluas 9000 m2 senilai US$ 8 juta di Kalifornia.

Yang membuat para pengritiknya bersuara tambah keras adalah bahwa Sheryl beruntung memiliki sponsor dalam mendongkrak karirnya. Isu ini dikemukakan karena dalam perjalanan karir – terutama kalangan wanita –, ternyata bukan hanya aspek “mentor” yang keberadaannya diperlukan untuk mengajari banyak hal, tapi juga “sponsor” yang membantu mempromosikan seseorang ke jenjang yang lebih tinggi. “Sandberg, dengan segala hormat untuk segala prestasinya, punya Larry Summers. Dia punya sponsor yang powerful dalam hidupnya. Ini sangat jarang dimiliki kaum perempuan,” ujar Sylvia Ann Hewlett yang mengelola Gender and Policy Program di Columbia.

Sheryl memang beruntung memiliki sponsor bernama Larry Summers. Lelaki ini dikenalnya sejak Larry menjadi dosen di Harvard. Sheryl masuk Bank Dunia di usia yang demikian muda (22 tahun) karena Larry diangkat menjadi Chief Economist Bank Dunia. Begitu juga saat masuk pemerintahan. Tak semua seberuntung Sheryl sehingga bisa menjadi chief staff di departemen keuangan di usia muda. Kalangan perempuan yang lebih rendah pendidikannya serta koceknya lebih tipis, tentu tak mudah melakukan prestasi semacam itu dengan tetap menjaga keseimbangan antara kerja dan keluarga, melakukan apa yang disebut work life balance. Google telah membuat Sheryl kaya. Facebook menjadikannya billionaire. Kalau dia dan suaminya bepergian, demikian kata para pengiritiknya, akan ada orang lain yang menyuapi dan membacakan dongeng buat anaknya.

Para pengritiknya pun akhirnya yakin bahwa sesungguhnya Sheryl bukanlah “a typical working mother”. Alasannya: karena dia punya banyak pembantu di rumah, dan punya banyak staf di tempat kerja.

Faktanya, Sheryl sendiri mengaku tak mudah untuk melakukan work life balance. Dalam wawancara di Makers.com bahkan dia blak-blakan menyatakan, “So, there's no such thing as work-life balance. There's work, and there's life, and there's no balance,” katanya.

Menurutnya, sangatlah sulit untuk menjadi working mother yang berusaha menyeimbangkan antara tanggung jawab keluarga dan tanggung jawab kekuasaan karir yang demikian tinggi. Baginya, pertolongan seorang suami akan sangat membantu kehidupan seorang perempuan yang bekerja. “Jadi, hal yang paling penting, dan saya sudah katakan ini ratusan kali, kalau Anda menikahi seorang pria, nikahilah pria yang tepat,” katanya.

Seakan menepis kritik yang mengalir, dia juga mengaku sering berada pada posisi sulit di rumah, terutama pada anak-anaknya. “Saya sering merasa bersalah ketika anak lelaki saya bilang, ‘Mommy, taruh dong BlackBerry-nya, ngobrollah denganku’. Dan itu kerap terjadi. Saya kira kaum perempuan sering merasa bersalah dalam posisi seperti ini. Saya tidak tahu bagaimana kalau kaum pria. Apakah mereka punya perasaan bersalah yang sama?” katanya.

Itulah sebabnya dia berupaya tetap konsisten berangkat jam 5.30 dan sudah di rumah pada pukul 18.00 agar bisa duduk bersama keluarganya. Meski tetap merasa sulit membagi waktu, Sheryl tetap ingin seperti ibunya, Adele, yang bisa mengurus anak-anaknya. Sebab, bagaimanapun juga, pada akhirnya oase terindah bagi working mother tetaplah keluarga. ***