Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, May 23, 2011

Ketika Raksasa Terpeleset

Banyak perusahaan raksasa dunia tersandung masalah. Inovasi serta ketidaksigapan acap menjadi sumber persoalan. Namun, percaya diri berlebihan pun biang petaka yang luar biasa.

Hidup tanpa Nokia? Ah, itu ilusi. Mungkin itulah jawaban mereka yang menjadi penggemar fanatiknya. Faktanya, merek besar ini barangkali memang tidak akan menyusul tenggelamnya Palm. Namun fakta juga bicara bahwa Nokia is big brand in big trouble.

Akhir April 2011, laporan dari Nokia menunjukkan mendung menggantung pekat di tengah warta yang gencar mereka hembuskan sebagai berita baik; kemitraan bersama Microsoft. Pangsa pasar smartphone yang pada periode sama tahun lalu masih di kisaran 41%, terus merosot ke 31% (awal Januari 2011) dan 26% akhir bulan lalu. Laba operasi juga kian susut 17% dibanding kuartal pertama 2010.

Memang, Nokia masih menjadi penjual ponsel terbesar di dunia, mencapai 108,5 juta handset pada kuartal pertama 2011. Tapi itu pun merosot 18% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sudah begitu, marjin labanya juga kian ramping karena dibandrol lebih murah dibanding para pesaingnya, seperti iPhone.

Kondisi berbeda justru tengah direguk sang produsen iPhone. Apple telah melampaui Nokia dalam urusan pendapatan. Pendapatan Apple kuartal 1/2011 mencapai US$ 11,9 miliar hasil dari penjualan 18,6 juta unit (naik 113% dibanding tahun lalu), sementara Nokia hanya US$ 9,4 miliar. "Dalam hal pendapatan, Apple adalah vendor handset, smartphone, dan tablet terbesar di dunia," ungkap Neil Mawston, Direktur Strategy Analytics yang intensif mengamati pertarungan dunia ponsel.

Produk-produk kompetitor yang lebih inovatif ditengarai menjadi penyebab tenggelamnya raksasa Finlandia itu. Namun faktor terbesar adalah keterlenaan dalam kejayaan yang dipadu dengan kekurangsigapan melahirkan fitur-fitur yang brilian, yang dulu justru menjadi ciri khasnya.

Sebuah memo Stephen Elop, CEO Nokia yang bocor ke BBC News, Februari lalu menyiratkan hal tersebut. Dalam upaya membangunkan kesadaran perusahaan yang dipimpinnya, Elop melakukan otokritik. Sebagian dari isi memo itu berbunyi; “iPhone pertama yang dikapalkan pada tahun 2007, dan kita masih saja tak punya produk yang mendekati mereka.” Ketika diluncurkan, iPhone menggebrak dengan layar sentuhnya. “Android datang dua tahun lalu, dan minggu ini mereka mengambil posisi kita di smartphone,” masih tulis Elop.

Nyata benar betapa masalah berat menghantam Nokia. Toh bukan berarti mereka diam saja. Sistem operasi Symbian yang dianggap menjadi titik lemah terus berupaya ditingkatkan performanya. Intel bahkan direkrut untuk coba-coba mengkreasikan MeeGo, sistem operasi baru. Ovi Store juga diluncurkan untuk menandingi iTunes. MeeGo, sistem operasi hasil kolaborasi Intel dan Nokia juga dibuat. Anggaran divisi R&D pun tak kalah besar. Tahun 2010, untuk menghasilkan produk-produk cemerlang, Nokia mengucurkan US$ 4,3 juta buat dana riset. Biaya ini lebih banyak dua kali lipat ketimbang Apple yang hanya merogoh US$ 1,78 juta untuk tahun yang sama.

Sayang, harapan indah tak terujudkan. Nokia justru terseret makin dalam. Terakhir, almamater Elop, Microsoft disambat. Nokia menjadikan Windos Phone (WP) 7 sebagai sistem operasi utamanya sementara Symbian dan MeeGo hanya jadi pelengkap.

Langkah ini adalah pertaruhan yang kompleks. Sementara Nokia membeli lisensi WP7, Microsoft akan berinvestasi dalam pemasaran dan pengembangan ponsel. Nokia juga harus memasukkan teknologinya dalam WP7 seperti fitur navigasi serta peta (OviMap) yang akan diintegrasikan dengan mesin pencari Bing. Kelak, handset gabungan mereka disebut-sebut akan punya satu nama baru: Microkia.

Bagaimana nasib merek besar ini menyelamatkan masa depannya sungguh masih ditunggu orang. Yang pasti, saat membuat kesepatakan ini, Elop serta bos Microsoft, Steve Ballmer mengeluarkan pernyataan penting; "Memang ada eksositem mobile lainnya. Tapi kami akan mengganggu mereka. Akan ada tantangan, pasti. Namun kami akan mengatasinya. Sukses membutuhkan kecepatan. Kami akan bergerak cepat. Bersama, kami melihat peluang. Dan kami punya hasrat, sumber daya serta dorongan untuk sukses.”

Yang pasti pula, langkah strategis dua raksasa ini memakan korban. 27 April 2011, Nokia mengumumkan memberhentikan 7000 pegawai. Inilah PHK terbesar sang raksasa ponsel dalam kurun 20 tahun. Pengurangan karyawan besar-besaran itu terjadi pada divisi R&D di Finlandia yang karyawannya berjumlah 16.134 orang.

Kurang inovatif acap menjadi titik picu persoalan. Raksasa lain yang tengah bergulat dengan persoalan besar akibat pertempuran inovasi adalah Sony. Akhir Desember lalu, laba bersihnya turun 8,6% menjadi 72,3 miliar Yen (US$ 886 juta) dibanding sebelumnya (79,2 miliar). Kabar gembira memang datang dari sumber persoalan yang selama ini berlarut-larut; divisi game. Gran Turismo5 untuk PlayStation3 laris manis, terjual lebih dari 6,3 juta, bersaing keras dengan Xbox dan Nintendo. Sony sendiri menjual 15 juta units PS3 dan 196 juta judul game.

Akan tetapi, itu belum bisa menghibur sang jagoan Jepang ini yang di beberapa titik pertempuran digempur habis para pesaingnya. Di televisi, misalnya, Sony dihajar Samsung dan Panasonic. Sony merugi 26 miliar yen tahun lalu di sektor televisi. Sementara di kamera, andalannya yakni Cyber-shot tak terlalu cemerlang, begitu pula bisnis semikonduktor yang tahun lalu penjualannya jatuh 47%.

Ketidakmampuan menghadapi inovasi teknologi yang diluncurkan kompetitor yang lebih kecil, dituding menjadi sumber petaka. Manajemen Sony yang pada tahun 2005 pertama kalinya dipimpin orang luar, Sir Howard Stringer sebagai CEO, terlihat masih berkutat untuk membangkitkan lini-lini bisnis yang dulu terkenal begitu inovatifnya di tangan sang pendiri, Ibuka.

Petaka bagi sebuah perusahaan, sesungguhnya bukan perkara yang asing. Artinya, perusahaan apapun dapat mengalaminya. Hanya saja, semakin besar perusahaan, semakin meraksasa, api seakan cepat merambat menjadi sangat besar karena mengancam reputasi yang sudah mendunia. Dan celakanya, kerapkali persoalan itu muncul setelah puja-puji datang menghampiri.

Lihatlah apa yang terjadi pada Toyota. April 2007, USA Today menuliskan headline-nya, "Toyota outsells GM for the first time". Puja-puji mengalir deras pada raksasa otomotif Jepang itu karena melewati penjualan GM. Tapi 2 tahun kemudian, Desember 2009, setelah kematian petugas patroli jalan raya Kalifornia beserta tiga orang anggota keluarganya, headline itu berubah 180 derajat. "Toyota's reputation needs some TLC".

Bencana itu pun dimulai. Insiden demi insiden yang melibatkan mobil Toyota membuat reputasinya dengan cepat ambruk. Penjualan terpengaruh. Manajemen kalang kabut menarik jutaan produknya dari pasar untuk dibenahi. Apa yang terjadi pada merek yang dikenal sebagai “reliable” itu? Bila inovasi di Nokia menjadi sumber persoalan, Toyota lalai pada hal-hal detail yang selama ini justru menjadi kekuatannya. Kebesarannya, termasuk dalam sisi organisasi, membuat hal-hal krusial jadi terlupa.

Repotnya, sementara reputasi tengah diperbaiki, Toyota kembali dihantam masalah besar. Akibat terjangan Tsunami 11 Maret 2011, fasilitas manufaktur Toyota di Prefektur Miyagi terganggu hebat. Pendapatan pun jadinya turut melambat.

Tentu saja orang boleh berpendapat bahwa ada perbedaan besar ketika membincang Tsunami sebagai penambah masalah Toyota. Berbeda dengan alpa pada hal detail yang menjadi penyakit insani, bencana alam dipandang sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia.

Sepintas hal itu benar adanya. Akan tetapi, tetap ada pelajaran menarik dari kasus yang menimpa Toyota terkait Tsunami. Pelajaran itu adalah: jangan menaruh terlalu banyak telur dalam satu keranjang.

Tak seperti Nissan, pabrikan mobil nomor dua terbesar dari Jepang yang hanya membuat 30% produksinya di Negeri Sakura, atau Honda (nomor 3) yang malah hanya 25%, Toyota menaruh 60% produksi kendaraannya di tanah kelahiran sang pendiri, Kiichiri Toyoda. Dari produksi di dalam negeri, setengahnya dikapalkan ke pasar global.

Tsunami sungguh big bang (ledakan besar) bagi Toyota. Maret kelabu 2011 membuat produsen besar ini kian babak belur. Baru saja mencoba pulih dari krisis produk cacat yang mengharu biru selama 2 tahun, kini pasokan produksi terganggu. Diperhitungkan, output global raksasa otomotif ini merosot 30%, melampaui anggota Big Three lainnya (Nissan dan Honda).

Dirunut ke belakang, dominasi yang luar biasa, boleh jadi membuat manajemen Toyota kurang waspada. Mereka meletakkan jantung produksi di negeri seribu gempa. Berbeda dengan kompetitornya, melihat dominasi Toyota di Jepang, Honda mendiversifikasi fasilitas produksinya di mancanegara. Tahun 1979, Honda membuat pabrik motor Elsinore di AS. Empat tahun berikutnya, Nissan membangun pabrik di Smyrna, Tennessee, AS. Toyota, sebaliknya, lebih konservatif untuk melompat ke luar.

Dengan tumpuan produksi di dalam negeri yang babak belur seperti itu, tak heran bila manajemen Toyota belum lama ini menunda proyeksi profitnya untuk tahun berjalan dan dua tahun mendatang. “Tak ada keraguan, kinerja finansial kami terpengaruh gempa,” kata Akio Toyoda, cucu sang pendiri yang disambat untuk turun gunung setelah krisis cacat produk terjadi. “Pelabuhan, kompleks industri dan jalan-jalan hancur,” lanjutnya.

Mempertimbangkan besarnya dampak gempa serta Tsunami terhadap fasilitas produksi, tak heran bila hingga 2 tahun ke depan Toyota ditengarai masih akan dirundung big trouble.

Sunday, May 22, 2011

Menjadi Penerus Jempolan

Penerus yang ideal adalah creator sekaligus builder, pencipta dan pembangun nilai tambah baru bagi perusahaan yang diteruskannya. Apa langkah yang harus ditempuh?

Tantangan bagi generasi penerus sebuah bisnis, apalagi sebuah konglomerasi, sesungguhnya tidaklah mudah. Laiknya objek dalam sebuah kaca pembesar, dia akan disorot banyak pihak. Orang akan bertanya: apakah dia mampu menjadi business creator dan builder yang lebih hebat dari pendahulunya – syukur-syukur menjadi sebuah powerhouse? Atau sekedar medioker, hanya meneruskan tanpa menciptakan nilai tambah, apalagi justru merusaknya?

Tentunya generasi penerus yang ideal adalah yang bukan hanya mampu mempertahankan warisan bisnis, tapi juga menjadi creator sekaligus builder, pencipta dan pembangun nilai tambah baru bagi perusahaan yang diteruskannya. Itu baru penerus jempolan. Lalu, bagaimana caranya?

Untuk menjadi sang penerus jempolan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, positive mindset. “Generasi penerus harus melihat bisnis yang kini dipegangnya sebagai suatu peluang yang sangat baik,” kata Jusmin Suwoko, Direktur Ansoff Asia. Bisnis keluarga yang diturunkan biasanya telah mempunyai fundamental yang kuat sehingga risikonya pun jauh lebih rendah dibandingkan bisnis yang relatif baru didirikan, atau sama sekali baru. Dengan melihatnya sebagai sebuah peluang, maka seorang penerus akan melihat sisi baik yang bisa dieksplorasi untuk dikembangkan lebih jauh dan sisi lemah yang bisa ditutupi.

Cara pandang ini ditonjolkan di awal karena ada sinyalemen ego sang penerus yang merasa apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan keinginannya. Bukan cerita baru, banyak anak muda penerus yang datang dari sekolah bergengsi di negeri londo, begitu tiba di perusahaan keluarganya hanya melihat sisi kekurangannya dan langsung ingin meninggalkannya untuk membentuk bisnis baru. Atau setidaknya merombak, mengacak-acak tanpa melihat fondasi-fondasi yang baik yang sudah ada, yang sebenarnya bisa diperkokohnya. Perubahan yang radikal semacam ini tentu saja kerapkali malah destruktif. Lain cerita kalau perusahaan yang diwariskan memang dalam keadaan sakit sehingga perlu pendekatan yang revolusioner.

Kedua, menyadari adanya law of change. Bisnis apapun, memiliki alpha-omega-nya masing-masing, alias mempunyai masa lahir dan siklus kehidupan (kecil, remaja dan menua). Para penerus, seyogyanya menyadari bahwa lingkungan dahulu ketika perusahaan dirintis sang pendiri, amat berbeda dengan masa kini dan masa mendatang, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, misalnya, kebiasaan yang dulu terjadi, pelan-pelan kian memudar. “Waktu masih jaman kakeknya, kala karyawan masih sedikit, ketika ada karyawan yang sakit masih bisa nengok. Atau bisa makan bersama,” kata Patricia Susanto, dari Jakarta Consulting Group mencontohkan. Dengan berkembangnya perusahaan, tentunya hal demikian sudah lagi dilakukan.

Toh bukan berarti tak ada yang bertahan. Dalam perusahaan, di tengah kompleksitas yang berkembang seiring perjalanan waktu, ada hal-hal yang tak bisa diubah, terutama corporate values yang telah membentuk perusahaan untuk waktu sekian lama. Ini adalah core sebuah perusahaan. Di titik ini, generasi penerus diharapkan bisa menjadi pihak penjaga, yang meminjam istilah Jim Collins adalah “preserve the core”. Ambil contoh dalam kasus menengok karyawan di atas. Sekalipun tak selalu bisa dilakukan, nilai-nilai kebersamaan harus tetap dipertahankan dengan bentuk yang lain, yang disesuaikan kondisi serta kondisi yang ada. “Bisa jadi caranya berbeda, tapi intisari nilai itu masih sama,” ujar Patricia.

Itu perubahan dari sisi internal. Dari sisi eksternal, jangan dikata. Bisnis telah berkembang begitu kompleks. Perusahaan sebelah telah membesar. Pasar sudah begitu ramai. Bukan hanya pemain lokal baru yang saling merecoki. Pemain China dan India yang dulu ditinggalkan pemain AS, Eropa, Jepang dan Korea, kini terus merangsek dengan ganasnya. Ini adalah realitas yang harus dihadapi.

Menyadari fakta yang paling brutal sekalipun tentang perubahan eksternal dan internal adalah satu soal. Perkara yang penting adalah menyiasatinya. Inilah langkah ketiga: berpikir dan bertindak stratejik. Situasi bisnis yang jauh lebih agresif memerlukan penyesuaian di area berikut: strategy, leadership style dan management style. “Mereka harus sadar bahwa kondisi sudah berubah. Semua strategi bisnis yang digunakan di masa lalu harus dikaji ulang,” kata Jusmin.

Di sisi internal, generasi penerus berpeluang mengimbuhi gaya kepemimpinan dan manajemen lama dengan sentuhan modern, profesionalisme serta berbasis sistem. Misalnya sistem manajemen berdasarkan penilaian kinerja yang menggantikan gaya lama yang menekankan kedekatan personal dengan pemilik perusahaan. “Yang bagus kerjanya dapat bonus lebih banyak, yang kurang bagus tidak dapat bagus,” kata Patricia. Dengan demikian, jika dahulu ada prinsip tidak boleh pecat orang karena kedekatan pendiri dengan karyawan, sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Situasi persaingan bisnis yang keras menuntut perusahaan beroperasi berbasis sistem.

Dulu, hal-hal berbau favoritisme bisa dijalankan karena lingkungan bisnis tidak dalam – meminjam istilah Igor Ansoff – level turbulensi yang tinggi. Kesalahan bisa ditolerir karena tidak langsung memukul bisnis di tengah persaingan yang longgar. Pendiri pun gaya manajemennya lebih condong ke sisi dalam, bertindak mengelola perusahaan day to day, lebih ke arah operasional.

Banyak perusahaan yang kini diwariskan ke generasi penerus, kata Jusmin, dulunya di bangun pada level turbulensi 2. Ini adalah era dimana kebutuhan pasar sedang berkembang demikian pesat. Permintaan lebih besar dari pasokan sehingga apapun yang ditawarkan ke pasar akan mudah diserap. Namun dengan kondisi bisnis yang saat ini begitu kompetitif disertai tuntutan pelanggan yang makin tinggi maka level tersebut bergeser ke level 4 – level yang disebut Ansoff sebagai discontinous. Di tingkat ini pasar menjadi lebih kritis. Banyak hal yang menjadi tidak dapat diprediksi karena dinamika pasar begitu tinggi. Alahasil, terobosan demi terobosan harus terus dilakukan apabila ingin tetap eksis. Dari pemgembangan produk sampai ke sumber daya manusia, semuanya mesti dikelola dengan pemikiran yang strategis: bukan hanya memikirkan hari ini, tapi juga posisi ke depan.

Menghadapi hal demikian, kata Jusmin, seorang generasi penerus yang memimpin perusahaan, tidak boleh berutat dari sisi operasional belaka. Dia harus memainkan tiga peran penting: Chief Strategy Officer (CSO), Chief Performance Officer (CPO) dan Chief Learning Officer (CLO). Sebagai CSO dia harus mampu mengkaji ulang dan mengembangkan strategi baru untuk keberlanjutan perusahaan, dan kalau mungkin melanggengkan kejayaan. Lalu, sebagai CPO, mesti bisa menciptakan lingkungan internal yang memberdayakan dan mendorong SDM untuk mencapai kinerja tinggi. Adapun CLO, kudu sanggup menciptakan budaya organisasi yang terus belajar, beradaptasi dengan perubahan.

Tiga langkah di atas, pastinya level eksekusi yang kuat. Untuk itulah diperlukan penerimaan atas sosok sang penerus dan inisiatif-inisiatifnya di lingkungan perusahaan. Agar bisa berjalan mulus, diperlukan langkah keempat: mendapatkan dukungan, baik dari chairman atau generasi awal, juga top team-nya. Dukungan ini penting karena mereka juga mesti menyadari bahwa level turbulensi yang berubah memerlukan gaya kepemimpinan serta manajemen yang berbeda. Tanpa kesamaan pola pikir, maka langkah sang penerus akan mengalami kendala.

Titik penyamaan ini boleh jadi cukup kritis. Chairman, pendiri, dan top team tidak akan selalu membuka diri dan menjabat tangan begitu saja. Mereka akan melihat bagaimana kinerja sang penerus. Kondisi psikologis yang ada adalah ketegangan antara mereka yang merasa lebih berpengalaman dengan sang penerus yang baru masuk.

Di sisi ini, Patricia menyarankan para pendahulu dan profesional lama melihat sang penerus dalam kacamata positif. Mereka harus melihat bahwa inisiatif yang generasi baru ajukan, menunjukkan mereka peduli kelangsungan perusahaannya ke depan. “Apakah inisiatifnya benar atau salah, itu nomor dua,” katanya. Mengapa? Karena mereka masih muda, berilmu tinggi tapi belum banyak pengalaman dalam memandang suatu hal.

Sang penerus sendiri, saran Patricia, juga harus mau berendah hati, mau turun ke bawah. Ini untuk menghilangkan kecanggungan dan tidak terkesan arogan. Di samping itu, Jusmin menambahkan, sang penerus juga harus mampu menunjukkan kemampuannya mengamankan bisnis yang sudah ada serta memastikan perusahaan dapat berjalan secara baik dan sehat. Dengan kemampuan ini, lingkungan perusahaan akan melihat bahwa sang penerus memang orang yang tepat membawa perusahaan ke level yang lebih tinggi lagi. Mereka percaya berada di tangan penerus jempolan.

Friday, May 20, 2011

Mengendalikan Multitasking

Mengerjakan banyak tugas secara bersamaan memang mengasyikkan karena sekali dayung bisa 3-4 pulau terlampaui. Tapi sesungguhnya konsekuensinya sangat berat bila tidak berhasil. Secara fisik, bekerja multitasking akan sangat melelahkan. Lalu, hasilnya pun boleh jadi kurang memuaskan karena banyaknya pekerjaan yang menuntut perhatian penuh. Padahal, kita bukan superman atau superlady.

Toh, bukan berarti multitasking harus sepenuhnya dihindari. Terlebih buat mereka yang memang punya energi besar dan ingin meraih banyak prestasi. Persoalannya tinggal bagaimana mengelolanya agar hasilnya oke punya.

Nah, berikut adalah tips yang layak dipertimbangkan agar kita tetap bisa meraih prestasi dan work life balance. tip ini saya ambil dari http://caringcareer.caringcolours.com/2011/05/20/mengendalikan-multitasking/

#1. Estimasi waktu. Cobalah tuliskan apa saja yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Tambahkan jam tertentu sebagai langkah antisipasi bila ada tugas yang memerlukan extra time.

#2. Gunakan memori eksternal. Otak manusia yang terkotak-kotak karena memikirkan banyak hal, seringkali menjadi lebih sulit untuk kreatif dan produktif dibanding dalam keadaan fokus. Untuk membantu mengingatkan apa yang akan dilakukan, gunakan teknologi: mulai dari kalendar di komputer atau BB, atau peranti lainnya yang membantu Anda mengerjakan tugas mengingat janji atau jadwal penting. Biarkan pikiran Anda bekerja untuk tugas yang lebih penting.

#3. Pilah pekerjaan. Daripada menghabiskan waktu untuk sekedar mengecek email secara berulang-ulang, tentukan waktu kapan akan membaca dan merespons email. Hal yang sama untuk telepon. Set ke voice mail. Lalu, tentukan kapan waktu akan membalas telepon. Dengan penentuan waktu yang spesifik, pekerjaan akan efektif.

#4. Singkirkan gangguan. Cobalah untuk mengontrol interupsi dan keributan. Bisa dengan menutup pintu ruang kerja. Atau bila bekerja di ruangan terbuka, cobalah mengobrol atau meluangkan waktu pada waktu tertentu sehingga hal-hal yang tak perlu dan tak penting, tidak mengganggu pekerjaan. Jangan lupa, jangan sering pula membuat tindakan yang justru menggganggu diri sendiri seperti sebentar-sebentar mengakses BB, membuka Facebook dan meng-update Twitter. Percaya deh, semua kesenangan itu ada waktunya. Dan Anda tidak jadi ketinggalan jaman hanya karena tidak update Facebook dan Twitter sering-sering.

#5. Mencicil pekerjaan. Bila kamu banyak tugas, cicillah sedikit demi sedikit. Patuhi alokasi waktu yang telah dibuat. Satu sampai dua jam tiap hari mencicil pekerjaan, akan sangat produktif dibanding menumpuk dan baru mengerjakannya saat mendekati tenggat (deadline).

Melihat tips di atas, kayaknya bisa dipake neh supaya bisa bersenang-senang di akhir pekan. persoalannya adalah bagaimana komitmen dan konsisten menjalankannya. Itu rasanya yang paling susah.