Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, May 22, 2011

Menjadi Penerus Jempolan

Share this history on :
Penerus yang ideal adalah creator sekaligus builder, pencipta dan pembangun nilai tambah baru bagi perusahaan yang diteruskannya. Apa langkah yang harus ditempuh?

Tantangan bagi generasi penerus sebuah bisnis, apalagi sebuah konglomerasi, sesungguhnya tidaklah mudah. Laiknya objek dalam sebuah kaca pembesar, dia akan disorot banyak pihak. Orang akan bertanya: apakah dia mampu menjadi business creator dan builder yang lebih hebat dari pendahulunya – syukur-syukur menjadi sebuah powerhouse? Atau sekedar medioker, hanya meneruskan tanpa menciptakan nilai tambah, apalagi justru merusaknya?

Tentunya generasi penerus yang ideal adalah yang bukan hanya mampu mempertahankan warisan bisnis, tapi juga menjadi creator sekaligus builder, pencipta dan pembangun nilai tambah baru bagi perusahaan yang diteruskannya. Itu baru penerus jempolan. Lalu, bagaimana caranya?

Untuk menjadi sang penerus jempolan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, positive mindset. “Generasi penerus harus melihat bisnis yang kini dipegangnya sebagai suatu peluang yang sangat baik,” kata Jusmin Suwoko, Direktur Ansoff Asia. Bisnis keluarga yang diturunkan biasanya telah mempunyai fundamental yang kuat sehingga risikonya pun jauh lebih rendah dibandingkan bisnis yang relatif baru didirikan, atau sama sekali baru. Dengan melihatnya sebagai sebuah peluang, maka seorang penerus akan melihat sisi baik yang bisa dieksplorasi untuk dikembangkan lebih jauh dan sisi lemah yang bisa ditutupi.

Cara pandang ini ditonjolkan di awal karena ada sinyalemen ego sang penerus yang merasa apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan keinginannya. Bukan cerita baru, banyak anak muda penerus yang datang dari sekolah bergengsi di negeri londo, begitu tiba di perusahaan keluarganya hanya melihat sisi kekurangannya dan langsung ingin meninggalkannya untuk membentuk bisnis baru. Atau setidaknya merombak, mengacak-acak tanpa melihat fondasi-fondasi yang baik yang sudah ada, yang sebenarnya bisa diperkokohnya. Perubahan yang radikal semacam ini tentu saja kerapkali malah destruktif. Lain cerita kalau perusahaan yang diwariskan memang dalam keadaan sakit sehingga perlu pendekatan yang revolusioner.

Kedua, menyadari adanya law of change. Bisnis apapun, memiliki alpha-omega-nya masing-masing, alias mempunyai masa lahir dan siklus kehidupan (kecil, remaja dan menua). Para penerus, seyogyanya menyadari bahwa lingkungan dahulu ketika perusahaan dirintis sang pendiri, amat berbeda dengan masa kini dan masa mendatang, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, misalnya, kebiasaan yang dulu terjadi, pelan-pelan kian memudar. “Waktu masih jaman kakeknya, kala karyawan masih sedikit, ketika ada karyawan yang sakit masih bisa nengok. Atau bisa makan bersama,” kata Patricia Susanto, dari Jakarta Consulting Group mencontohkan. Dengan berkembangnya perusahaan, tentunya hal demikian sudah lagi dilakukan.

Toh bukan berarti tak ada yang bertahan. Dalam perusahaan, di tengah kompleksitas yang berkembang seiring perjalanan waktu, ada hal-hal yang tak bisa diubah, terutama corporate values yang telah membentuk perusahaan untuk waktu sekian lama. Ini adalah core sebuah perusahaan. Di titik ini, generasi penerus diharapkan bisa menjadi pihak penjaga, yang meminjam istilah Jim Collins adalah “preserve the core”. Ambil contoh dalam kasus menengok karyawan di atas. Sekalipun tak selalu bisa dilakukan, nilai-nilai kebersamaan harus tetap dipertahankan dengan bentuk yang lain, yang disesuaikan kondisi serta kondisi yang ada. “Bisa jadi caranya berbeda, tapi intisari nilai itu masih sama,” ujar Patricia.

Itu perubahan dari sisi internal. Dari sisi eksternal, jangan dikata. Bisnis telah berkembang begitu kompleks. Perusahaan sebelah telah membesar. Pasar sudah begitu ramai. Bukan hanya pemain lokal baru yang saling merecoki. Pemain China dan India yang dulu ditinggalkan pemain AS, Eropa, Jepang dan Korea, kini terus merangsek dengan ganasnya. Ini adalah realitas yang harus dihadapi.

Menyadari fakta yang paling brutal sekalipun tentang perubahan eksternal dan internal adalah satu soal. Perkara yang penting adalah menyiasatinya. Inilah langkah ketiga: berpikir dan bertindak stratejik. Situasi bisnis yang jauh lebih agresif memerlukan penyesuaian di area berikut: strategy, leadership style dan management style. “Mereka harus sadar bahwa kondisi sudah berubah. Semua strategi bisnis yang digunakan di masa lalu harus dikaji ulang,” kata Jusmin.

Di sisi internal, generasi penerus berpeluang mengimbuhi gaya kepemimpinan dan manajemen lama dengan sentuhan modern, profesionalisme serta berbasis sistem. Misalnya sistem manajemen berdasarkan penilaian kinerja yang menggantikan gaya lama yang menekankan kedekatan personal dengan pemilik perusahaan. “Yang bagus kerjanya dapat bonus lebih banyak, yang kurang bagus tidak dapat bagus,” kata Patricia. Dengan demikian, jika dahulu ada prinsip tidak boleh pecat orang karena kedekatan pendiri dengan karyawan, sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Situasi persaingan bisnis yang keras menuntut perusahaan beroperasi berbasis sistem.

Dulu, hal-hal berbau favoritisme bisa dijalankan karena lingkungan bisnis tidak dalam – meminjam istilah Igor Ansoff – level turbulensi yang tinggi. Kesalahan bisa ditolerir karena tidak langsung memukul bisnis di tengah persaingan yang longgar. Pendiri pun gaya manajemennya lebih condong ke sisi dalam, bertindak mengelola perusahaan day to day, lebih ke arah operasional.

Banyak perusahaan yang kini diwariskan ke generasi penerus, kata Jusmin, dulunya di bangun pada level turbulensi 2. Ini adalah era dimana kebutuhan pasar sedang berkembang demikian pesat. Permintaan lebih besar dari pasokan sehingga apapun yang ditawarkan ke pasar akan mudah diserap. Namun dengan kondisi bisnis yang saat ini begitu kompetitif disertai tuntutan pelanggan yang makin tinggi maka level tersebut bergeser ke level 4 – level yang disebut Ansoff sebagai discontinous. Di tingkat ini pasar menjadi lebih kritis. Banyak hal yang menjadi tidak dapat diprediksi karena dinamika pasar begitu tinggi. Alahasil, terobosan demi terobosan harus terus dilakukan apabila ingin tetap eksis. Dari pemgembangan produk sampai ke sumber daya manusia, semuanya mesti dikelola dengan pemikiran yang strategis: bukan hanya memikirkan hari ini, tapi juga posisi ke depan.

Menghadapi hal demikian, kata Jusmin, seorang generasi penerus yang memimpin perusahaan, tidak boleh berutat dari sisi operasional belaka. Dia harus memainkan tiga peran penting: Chief Strategy Officer (CSO), Chief Performance Officer (CPO) dan Chief Learning Officer (CLO). Sebagai CSO dia harus mampu mengkaji ulang dan mengembangkan strategi baru untuk keberlanjutan perusahaan, dan kalau mungkin melanggengkan kejayaan. Lalu, sebagai CPO, mesti bisa menciptakan lingkungan internal yang memberdayakan dan mendorong SDM untuk mencapai kinerja tinggi. Adapun CLO, kudu sanggup menciptakan budaya organisasi yang terus belajar, beradaptasi dengan perubahan.

Tiga langkah di atas, pastinya level eksekusi yang kuat. Untuk itulah diperlukan penerimaan atas sosok sang penerus dan inisiatif-inisiatifnya di lingkungan perusahaan. Agar bisa berjalan mulus, diperlukan langkah keempat: mendapatkan dukungan, baik dari chairman atau generasi awal, juga top team-nya. Dukungan ini penting karena mereka juga mesti menyadari bahwa level turbulensi yang berubah memerlukan gaya kepemimpinan serta manajemen yang berbeda. Tanpa kesamaan pola pikir, maka langkah sang penerus akan mengalami kendala.

Titik penyamaan ini boleh jadi cukup kritis. Chairman, pendiri, dan top team tidak akan selalu membuka diri dan menjabat tangan begitu saja. Mereka akan melihat bagaimana kinerja sang penerus. Kondisi psikologis yang ada adalah ketegangan antara mereka yang merasa lebih berpengalaman dengan sang penerus yang baru masuk.

Di sisi ini, Patricia menyarankan para pendahulu dan profesional lama melihat sang penerus dalam kacamata positif. Mereka harus melihat bahwa inisiatif yang generasi baru ajukan, menunjukkan mereka peduli kelangsungan perusahaannya ke depan. “Apakah inisiatifnya benar atau salah, itu nomor dua,” katanya. Mengapa? Karena mereka masih muda, berilmu tinggi tapi belum banyak pengalaman dalam memandang suatu hal.

Sang penerus sendiri, saran Patricia, juga harus mau berendah hati, mau turun ke bawah. Ini untuk menghilangkan kecanggungan dan tidak terkesan arogan. Di samping itu, Jusmin menambahkan, sang penerus juga harus mampu menunjukkan kemampuannya mengamankan bisnis yang sudah ada serta memastikan perusahaan dapat berjalan secara baik dan sehat. Dengan kemampuan ini, lingkungan perusahaan akan melihat bahwa sang penerus memang orang yang tepat membawa perusahaan ke level yang lebih tinggi lagi. Mereka percaya berada di tangan penerus jempolan.

0 comments: