Keuletan, kecerdasan dan
kejelian membawanya menjadi salah seorang pebisnis paling inspiratif dari Asia.
Tapi siapa sangka dia tumbuh setelah dibuang orang tuanya.
Sung-Joo Kim terdiam sejenak.
Lalu wanita berambut pendek ini pun menjawab Martin Moodie, Founder & Chairman The Moodie Report,
dalam sebuah wawancara di Seoul, 14 Februari 2012. “I am mission-driven, not money-driven,” katanya ketika ditanya
seperti apa dia menggambarkan dirinya. Ratusan hadirin yang menyaksikan acara
di Trinity Forum itu terdiam. Mission-driven.
Lantas apa misinya?
“Saya ingin
membuktikan bahwa wanita bisa berbisnis,” ujarnya. Dia melanjutkan, “Kita semua
hidup di knowledge-based economy, di
mana setengah dari kekuatan otak dunia dibuat oleh perempuan. Pasar konsumsi
didominasi perempuan. Mereka adalah 80% pembuat keputusan di pasar.”
Itulah jawaban Kim, salah seorang
yang baru saja dinobatkan Fortune
sebagai Asia’s 25 Hottest People in
Business. Terlalu berbau gender? Tidak. Menelusuri pengalamannya yang
pahit, pernyataan itu memiliki dasarnya.
Kim adalah bungsu dari 6
bersaudara, putri salah satu keluarga kaya di Asia. Ayahnya, Kim Soo-keon,
adalah pendiri Daesung Industrial Corporation, konglomerat Korea Selatan yang bisnisnya
terentang luas, mencakup suku cadang mobil hingga eksplorasi minyak dan gas.
Daesung berdiri pada 1947.
Sejak belia, Kim
telah menyadari fakta yang membuatnya sebal: ketiga saudara lelakinya lah yang
akan mewarisi perusahaan ayah mereka. Dia bersama dua orang saudarinya tak akan
mendapat apa-apa, seperti kebanyakan tradisi yang berlaku kaku di masyarakat
Korea. “Saya menyadari bahwa saya dan kakak perempuan diperlakukan berbeda
dibanding kakak laki-laki. Kakak perempuan, tak peduli sepintar apapun mereka,
diharapkan segera menikah untuk meneruskan garis keluarga,” ujar wanita
kelahiran 1956 ini.
Di tahun 1960-1970an,
Korea Selatan memang masih sangat konservatif. Bahkan di kampus, kaum perempuan
didorong hanya untuk belajar hal-hal yang disebut “soft topic” seperti Bahasa Inggris atau ekonomi rumah tangga. Ilmu-ilmu
lainnya masih dianggap tidak terlalu penting buat mereka.
Sementara banyak
gadis menerima keadaan itu sekalipun menggerutu, Kim mengambil posisi berbeda.
Dia tak mudah menyerah. Ketika usia menikahnya kian mendekat, di umur 22 tahun,
keputusan besar dibuatnya. Dia ingin keluar dari Korea Selatan, pergi ke AS
untuk belajar. Ijin pun diminta dari orang tuanya. Tapi hambatan besar muncul. “Orang
tuaku bilang, ‘tidak!’. Saya kecewa. Saya lakukan beragam cara untuk
menunjukkan protes. Tapi orang tuaku tak peduli,” kenangnya.
Kim memutar otak
untuk menyiasati keadaan. Dia mengundang 16 pelajar dari Amherst College, Massachusetts,
sekolah yang ingin ditujunya, untuk datang ke rumahnya di Korea. Tujuannya: memberikan kejutan dan
membujuk ayahnya.
Rencana itu
berhasil. “Ayahku merasa malu dan terguncang. Dia tak bisa bilang tidak,”
katanya. AS pun dijejak. Tapi sikap ayahnya tak berubah. Ketika sang putri
bungsu ini kembali ke Seoul setelah lulus, Kim Soo-keon tak mengijinkannya
bekerja. "Dia malu. Buatnya, perempuan bukan untuk bekerja mencetak uang,”
Kim menjelaskan.
Merasa terluka,
Kim kembali terbang ke AS. Dia bahkan melakukan pemberontakan yang lebih besar:
memulai hubungan dengan lelaki non-Korea. Kontan tindakan ini memicu kemarahan
yang lebih besar dari orang tua dan keluarganya. Keputusan drastis pun diambil.
“Saya dicoret dari pohon keluarga. Saya telepon ke rumah dan orang tua bilang,
‘Kamu bukan anak kami lagi’. Maka seketika, saya tanpa uang sepeser pun,”
katanya.
Untuk
mengongkosi hidupnya, Kim bekerja di Bloomingdale’s. Dia tak punya pengetahuan
apapun tentang fashion. Tapi di balik
duka, terselip suka. Dia beruntung karena bekerja langsung untuk Marvin Traub,
CEO Bloomingdale’s, legenda bisnis ritel yang terkenal karena kemampuannya mengelola
merchandising dan teknik pemasaran
modern. Di sini dia belajar banyak dunia ritel fashion, langsung dari jagoannya. Karirnya menanjak. Bloomingdale’s
bukan hanya memberinya pekerjaan, tapi juga pijakan untuk kesuksesan besar yang
kelak diraihnya di dunia ritel fashion.
Pada akhir
1980-an, Kim memiliki kesempatan mendekati lagi sang ayah setelah dia bertindak
sebagai penerjemah serta membantu perjanjian bisnis antara Daesung dan Bendix (perusahaan
AS yang kini menjadi bagian dari Siemens). “Dengan mata kepalanya dia melihat
transformasi yang saya alami. Dan dia sangat terkejut,” katanya. Maklum, sang
putri tumbuh menjadi wanita karir yang mandiri.
Merasa terkesan,
Kim Soo-keon mengundang anaknya itu ke kantor Daesung di Seoul. “Sebelumnya dia
tak pernah mengundang perempuan ke kantornya, bahkan ibu saya sekalipun,” kata
Kim bangga. Sang ayah menawari putrinya yang hilang itu untuk berbisnis. Kim
dipinjami US$ 300 ribu untuk memulai bisnis. Kelak, pinjaman tersebut dilunasi cepat
dengan bunga yang bagus.
Mendapat tawaran
berbisnis, tahun 1990, Kim, si anak hilang itu kembali ke Korea. Pada saat itu,
ekonomi Korea Selatan baru diliberalisasi. Dengan pengetahuan yang didapatnya
di Bloomingdale’s, Kim melirik bisnis fashion. Dia yakin para peritel Barat
akan segera masuk Negeri Ginseng. Dengan pinjaman US$ 300 ribu di tangan, dia
pun masuk ke bisnis produk merek-merek premium. Berdirilah Sungjoo Group.
Perlu waktu,
kesabaran dan keuletan untuk membesarkan bisnis. Berbekal pengetahuan ritel fashion selama di Bloomingdale’s, Kim
mendekati pemilik-pemilik merek besar. Tahun 1992, dia mendapatkan lisensi MCM,
produsen tas kulit dari Jerman untuk dipasarkan di Korea.
Dengan MCM, Kim
memulai petualangannya. Merek besar lain mulai mempercayainya, termasuk Gucci.
Tapi tahun 1996, menjadi cerita yang seru. Di tahun itu dia memulai upaya yang
akan membuat bisnisnya makin melejit: ikut tender untuk mendapatkan hak
waralaba Mark&Spencer (M&S). Merek besar ini punya calon 40 mitra dari
Korea. Lewat persaingan ketat, hasil seleksi menunjukkan tinggal tersisa 2
perusahaan yang masuk final: perusahaan kecil, Sungjoo dan raksasa terbesar
Korea, Samsung. David melawan Goliath. Sungjoo menang.
Setelah
dipercaya M&S, usaha Kim kian melesat. Malang, krisis 1997 menghantam
hingga sendi-sendi bisnis Sungjoo goyah. Untuk menyelamatkan bisnis, langkah
berani dibuat: menjual lisensi serta gerai Gucci senilai US$ 27. Penjualan ini
menutup biaya operasi Sungjoo Group.
Namun mimpi
buruk itu tak lama berlangsung. Pascakrisis 1997, dan setelah ekonomi Korea
Selatan kian menggeliat, bisnis Sungjoo pun mendapat momentum. Orang-orang yang
kekayaan bertambah, semakin menyenangi merek-merek mewah. Sungjoo mendapat
lisensi Yves Saint Laurent serta Sonia Rykiel. Ini memperkuat portofolio merek
yang mereka pegang. Cengkraman bisnis Kim atas produk fashion premium di tanah
kelahirannya kian kuat.
Kesempatan
membesarkan bisnis pun semakin terbuka ketika Sungjoo mampu mengakuisisi MCM
pada tahun 2005. Ya, dari pemegang lisensi, Kim menjadi pemilik merek. Ini
terjadi karena MCM ambruk akibat penggelapan pajak dan pemalsuan dokumen. Setelah
menjadi pemilik, perubahan besar pun digelar.
MCM (Michael
Cromer Munich) adalah nama besar di tahun 1980-an. Perusahaan ini memproduksi
barang-barang kulit kualitas tinggi, terutama tas tangan. Mereknya berkibar
saat eranya film Dynasty begitu
popular di tahun 1980-an hingga datang arus balik, ketika pasar dipenuhi barang
palsu. Saat itu selera masyarakat berubah, membuat peruntungan MCM tak sebaik
dekade sebelumnya. Tahun 1997, ketika MCM direstrukturisasi, era sebagai merek
dunia tampak telah berakhir. Dan ia pun makin hancur saat terjadi skandal pajak,
sampai akhirnya bertekuk lutut dan menyerahkan diri di tangan seorang wanita
Korea Selatan.
Setelah
mengakuisisi, Kim merasa perlunya melakukan perubahan. MCM diganti menjadi Mode
Creation Munich. Dia benar-benar berupaya membangkitkan bisnis ini dari
kematian. Tahap awal membenahi adalah menutup 130 gerai yang tak sehat. Lalu mengucuri
sebesar US$ 40 juta. Tujuannya memopulerkan kembali merek ini di pentas global.
Butik-butik baru yang lebih segar pun dibuka di Eropa dan Asia.
Hanya saja Kim
tak sekedar mengguyur uang dan membuka gerai. Pemikirannya tajam. Tas MCM, yang
rentang harganya US$ 380-10.000 harus direposisi. “Barang mewah masa kini
adalah logo-driven. Dulu produk itu
adalah untuk para selir dan wanita bersuamikan orang kaya,” ujarnya. Desain
klasik pun diubah karena menargetkan segmen pasar yang berbeda: kaum wanita
yang pintar, profesional yang menghargai kualitas dan nilai. Tak heran, MCM
mensponsori pemutaran perdana film Beyonye, Obsessed
di New York pada tahun 2009.
Reposisi ini ternyata
mampu membetot pembeli datang berkunjung. Sejak mengambil alih pada 2005, Kim
telah menggenjot penjualan hingga 3 kali lipat, mencapai US$ 280 juta. Di tahun
2005, penjualan hanya US$ 100 juta. Pada masa jayanya, penjualan MCM mencapai
US$ 250 juta di tahun 1993.
MCM dibawa Kim
berekspansi di sejumlah pasar penting. Di AS, misalnya, tersedia di Saks Fifth
Avenue dan Bloomingdale’s. Di AS, Kim benar-benar memacu kinerja MCM. Memang
nilai penjualannya masih kecil di sini, US$ 5 juta dibanding US$ 16 juta di
tahun 1993. Tapi merek ini, terus menarik perhatian. Untuk meraih pasar yang
lebih muda, tas MCM Alda muncul di serial televisi, Gossip Girl. MCM yang pernah lenyap dari radar merek mewah, kembali
mengapung. Dari nyaris tenggelam, Kim membawa merek ini kembali ke tempat
terhormat, menampilkan lagi kesan elegan yang tak termakan waktu. Tas MCM
menjadi barang favorit sejumlah seleb dunia seperti Cindy Crawford dan Geri
Halliwell.
Ambisi serta
kerja keras Kim membuatnya menjadi sosok ambisius. Karyawannya bahkan
menjulukinya “Genghis Kim”. Ini adalah pelesetan dari Genghis Khan. Bedanya:
Khan adalah Sang Penakluk dari Mongol, sementara Kim adalah Penakluk dunia bling-bling di Korea Selatan. Kim
sendiri mengakui dirinya seorang ambisius. "Saya ingin membuktikan bahwa
perempuan dapat melakukan hal sebaik pria, bahkan lebih baik,” katanya.
Sulit untuk
menghindari kenyataan bahwa wanita ini masih terbawa pada perasaan sakit atas
tradisi yang secara kaku telah diterapkan sang ayah. Bicara tentang ayahnya, kendati
diusir, dia mengaku tetap menghormatinya. Kalimat sang ayah sebelum meninggal
tahun 2001 yang diingatnya adalah, “Sekalipun hidup tak abadi, perusahaan harus
abadi.” Pada saat makan siang terakhir, Kim Soo-keon sempat meminta maaf untuk
segala hal yang dilakukannya pada sang putri. “Saya bilang, banyak hal yang
saya pelajari dari ayah tentang bisnis. Saya tidak ingin uangnya. Saya hanya
ingin menunjukkan apa yang bisa dilakukan perempuan,” kata Kim. Ketika ayahnya
wafat, perusahaan dibagi ke 3 saudara lelakinya.
Sang ayah
diakuinya juga mempengaruhinya dalam hal kepedulian sosial. Kim menyumbang 10%
dari laba bersihnya untuk lembaga sosial buat mendukung kesehatan global. Save the Children dan Red Cross adalah diantara penerima
donasi darinya. Menurutnya, tugasnya adalah mengembalikan apa yang diraihnya di
bisnis untuk masyarakat. "Moto saya adalah 'succeed to serve, not serve to succeed'," kata wanita yang
senang bermeditasi ini.
Toh yang paling
terlihat jelas terwarisi dari sang ayah adalah agresivitasnya di bisnis.
Merek-merek yang kini menjadi portofolionya dipacu sekencang-kencangnya.
M&S misalnya. Dari nol, kini ada 17 outlet M&S di Korea Selatan –
terbanyak di Asia – dan akan segera dilipatgandakan. Penjualan M&S kini
telah tembus US$ 20 juta, tapi Kim percaya bisa melonjak hingga US$ 400 juta
dalam 3 tahun.
Keyakinan itu
bukan tanpa alasan. Sejak tahun 2006, penjualan barang mewah di Korea Selatan,
seperti dilaporkan riset McKinsey, tumbuh sedikitnya 12% setiap tahun.
Orang-orang Negeri Ginseng ini bahkan gila belanja barang mahal. Pengeluaran rumah
tangga mereka untuk produk premium mencapai 5% dari total belanja, lebih tinggi
dari Jepang (4%). Tak heran, sementara pasar barang mewah di Jepang makin
stagnan, di Korea Selatan kini pasarnya terus membesar menjadi US$ 5 miliar.
Namun Kim tak
mau sekedar memanfaatkan pasar domestik. Dia memang ingin membangun Korea Selatan
menjadi pasar barang mewah terbesar di Asia. "Kalau kami tak mengambil
inisiatif untuk memimpin pasar fashion
Asia, maka Cina yang akan melakukannya,” katanya. Dia sangat yakin Cina akan
menjadi pasar barang mewah yang powerful
di masa datang. Karena itu, sebagaimana Genghis Khan, dia ingin menaklukkan
Cina. Dan MCM yang dimilikinya menjadi andalan. Kim punya target penjualan MCM menembus US$ 450 juta di tahun 2012 dan
berencana membuka 100 gerai di Cina. Kini MCM memiliki 80 gerai yang
sehat.
Dengan
sepak terjangnya, Kim yang menyabet banyak penghargaan di level internasional ini
– diantaranya Lobal Leaders for Tomorrow di ajang World Economic Forum 1997 – disebut
Fortune sebagai Seoul's luxury queen. Dan bila dia bisa menaklukkan Cina, maka
gelar Genghis Kim pun menjadi sangat layak disematkan.
Kendati demikian, sebagaimana
yang selalu diutarakannya di banyak kesempatan, bisnis baginya bukan semata
profit. Di mana dia berada, dia ingin memberdayakan kaum wanita untuk melakukan
hal positif. Dia tak semata melihat wanita sebagai pasar dengan menjual produk
mewah, tapi juga aset yang punya kekuatan serta keunggulan sendiri. Di MCM,
misalnya, dari 600 karyawannya, 500 diantaranya adalah perempuan. Ini konsisten
dengan prinsipnya: mission-driven, not
money-driven. Sesungguhnya, misi Sang Genghis Kim adalah memberdayakan
perempuan.