Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, February 29, 2016

Dua Sumbu Nikkei

Bila tak sanggup membangun, maka ambillah sainganmu. Itulah yang dipraktikkan raksasa dari Tokyo terhadap saingannya di London.

MENANG BERBURU

Ini bukan suasana kemenangan tim sepakbola Jepang atas Jerman. Namun, begitulah aura yang meruar di Imperial Hotel Tokyo pada 24 Juli 2015 ketika para pemimpin Nikkei Inc., perusahaan media terbesar Jepang duduk manis mengumbar senyum di hadapan para jurnalis. Dengan gembiranya mereka mengumumkan berita penting: akuisisi kelompok usaha surat kabar berpengaruh dari tanah Inggris Raya, Financial Times (FT) Group, pemilik surat kabar ternama, Financial Times. Lho, apa hubungannya dengan Jerman?

Secara mengejutkan, Nikkei mengalahkan Axel Springer, konglomerat media dari Jerman, pemilik sejumlah koran dan tabloid bergengsi: Bild, Die Welt dan Fakt. Jauh sebelum Nikkei jadi pemenang, sejatinya Springer-lah yang bernegosiasi dengan Pearson, pemilik FT Group. Selama setahun penuh, dari Berlin mereka membelah udara, terbang ke London, duduk bernegosiasi mencari kesepakatan harga.

Awal negosiasi, Springer datang dengan tawaran US$ 930 juta. Pearson menolak dengan sopan. Lalu Springer menaikkan tawarannya menjadi US$ 1,16 miliar. Lagi, konglomerat media serta pendidikan di Inggris itu kembali menggeleng. Dua pihak ini pun terus bernegosiasi dengan alotnya.

Sebenarnya tak hanya Springer yang memburu FT Group. Pemain top lainnya di industri media, Bloomberg serta Thomson Reuters juga ikut perburuan. Tapi raksasa Jerman itulah yang paling serius mendekati Pearson. Bak serigala yang begitu lapar hendak memangsa korbannya, ia aktif merangsek.

Tak perlu heran jika FT Group -- khususnya surat kabarnya -- menjadi incaran media-media besar. Koran FT – yang sering disebut the salmon newspaper (karena kertasnya berwarna kuning salmon) – memang ibarat bunga cantik nan menawan, yang membuat gatal tangan untuk memetiknya. Terlebih di era berita digital seperti saat ini yang membuat banyak media cetak kelimpungan tak tahu arah yang dituju.

Diantara surat kabar kelas dunia, FT memang terbilang sukses di ranah cetak dan online. Total sirkulasi cetak serta digitalnya meningkat lebih dari 30% selama 5 tahun terakhir menjadi 737 ribu pelanggan.

Dari total peningkatan sirkulasi itu, area digital menjadi primadonanya. Pelanggan situs FT.com tumbuh 21% di tahun 2014 menjadi hampir 504 ribu. Secara total, kanal digital menyumbang 70% dari total pembaca berbayar FT. Prosentase sumbangannya ini melejit dari posisi 24% pada 5 tahun lalu.

Menariknya, dengan data seperti itu, kinerja keuangan FT Group pun ikut cantik. Tahun 2014 mereka menyumbang penjualan senilai US$ 511 juta dan US$ 36,7 juta laba operasi ke Pearson. Hebatnya, angka sebesar itu sebagian besar datang dari jalur penjualan konten, bukan lagi iklan seperti yang masih terjadi pada media lain.

Inilah yang membuat banyak pihak tergiur untuk menyunting sang primadona. Dan Springer menjadi yang terdepan sampai kemudian disalip Nikkei pada 15 menit terakhir sebelum tawaran resmi ditutup.

Ya, akuisisi FT Group oleh Nikkei tak ubahnya sebuah drama sinetron. Bila di lapangan hijau, mirip sebuah gol di injury time yang menjadi pemisah antara pemenang dan pecundang. Kejadiannya; sementara negosiasi dengan Springer mentok di jalan, Pearson menerima tawaran Nikkei di pintu yang berbeda. Dari Tokyo, jajaran penting Nikkei menjejak London menawarkan proposal.


Financial Times, gadis cantik yang dipinang Nikkei
Tak perlu berlama-lama seperti saat menghadapi pewakilan Springer, setelah 5 minggu bernegosiasi, Pearson dengan tangan terbuka menerima mahar dari raksasa Jepang itu di angka US $1,3 miliar yang dibayar tunai. Yang menjadi drama adalah kesepakatan “pernikahan” itu hanya terjadi 15 menit sebelum Springer datang kembali dengan tawaran baru yang lebih tinggi dari angka sebelumnya.

Itulah sebabnya para petinggi Nikkei bersorak. Mereka menyingkirkan pemain Jerman yang sudah lebih lama merayu Pearson, yang akhirnya cuma melongo dan gigit jari.

Sungguh, ini peristiwa hebat di dunia media. Lazimnya, media Barat diambil sesama pemain dari Barat. Atau setidaknya media berbahasa Inggris. Bukan dari dunia belahan Timur. Dalam sepuluh tahun terakhir, akuisisi media besar di belahan Barat dilakukan sesama pemain dari Barat seperti tertera di tabel (Akuisisi Media Raksasa 10 Tahun Terakhir).

Uniknya, bukan orang Jerman yang terluka dengan pembelian ini. Dulu, Dame Marjorie Scardino, mantan CEO Pearson selalu melemparkan kalimat yang keras pada ide penjualan koran berwarna salmon itu. “Langkahi dulu mayatku,” kata wanita berkacamata ini dengan berapi-api. Tekat semacam itulah yang melindungi FT dan kelompoknya dari terkaman sejumlah pihak yang telah lama ingin mencaploknya.

Sementara di Tokyo petinggi Nikkei berpesta, di London ada kemarahan yang meluap. Pengambilalihan FT Group kontan menambah gerundelan di tanah Inggris Raya. Omelan yang benuansa nasionalisme. Maklum, jagoan mereka, satu persatu jatuh dalam pelukan asing. Sebelumnya, Jaguar Land Rover (ke perusahaan India), Asda (AS), Aga (AS), Boots (Italia), Rolls-Royce (Jerman), Weetabix (China), Cadbury (AS), Camelot (Kanada), Raleigh (Belanda), Branston Pickle (Jepang), Newcastle Brown Ale (Belanda dan Denmark), bahkan klub-klub sepakbola ternama seperti Manchester United, Liverpool dan Arsenal pun jatuh ke pelukan orang AS, sementara Manchester City milik lelaki-lelaki bersurban dari Uni Emirates, dan Chelsea punya taipan Rusia.

Penjualan FT Group sungguh menimbulkan pertanyaan tersendiri. Selama 60 tahun di bawah naungan Pearson, kelompok media ini sejatinya telah menambah kekokohan bisnis sang induk. Bahkan menjadi pilarnya. Lantas, mengapa dijual?

Zaman memang telah berubah. John Fallon, CEO Pearson mengambil sikap berbeda dibanding para pendahulunya, apalagi Scardino. Penjualan FT Group, katanya adalah untuk membuat Pearson lebih fokus di pendidikan. Di era mobile serta gemuruh media sosial seperti sekarang, rumah bernaung yang paling baik buat kelompok FT, katanya, adalah perusahaan seperti Nikkei.

Pernyataan ini sebenarnya agak ambigu, terutama dilihat dari sisi jurnalistik. Di kancah global, koran FT dikenal sebagai media yang otoritatif, berintegritas dan akurat. Sementara Nikkei dikenal sebagai koran yang konservatif, yang cenderung lebih menjadi corong kepentingan Japan Inc. ketimbang publik sehingga memoles berita korporasi Jepang dengan cantik. Kritikan keras kerap dilemparkan pada surat kabar ini yang dituding ogah-ogahan membongkar praktik tidak sedap kalangan dunia usaha Jepang. Diantaranya, skandal akuntasi Olympus di tahun 2011. Bukan Nikkei yang membongkar borok besar di tanah airnya itu, justru FT lah yang mengungkap bau busuknya.

Alhasil, sangat terang-benderang: alasan ekonomilah yang menjadi penyebab utama dilepasnya FT Group. Ken Doctor, analis yang menulis berita bisnis di situsnya, Newsonomics.com, mencatat bahwa Nikkei membayar 40 kali laba kelompok FT, setara dengan valuasi yang dibayar Rupert Murdoch ketika membeli Dow Jones dan koran utamanya, The Wall Street Journal. FT Group yang dijual ke Nikkei, di dalamnya termasuk surat kabar edisi cetak (FT), FT.com, How to Spend It, FT Labs, FTChinese, The Banker, Investors Chronicle, MandateWire, Money-Media, dan Medley Global Advisors.

Dengan uang belasan triliun rupiah itu, Pearson ditengarai akan punya bekal untuk membenahi sejumlah bisnisnya di area pendidikan. Dan itu diakui John Fallon. “Pearson akan 100% fokus pada pendidikan global,” katanya. Bisnis Pearson yang diantaranya menjalankan pusat uji GMAT dan ujian lainnya secara global di samping punya sekolah serta penerbitan buku memang tengah tertekan. Bisnis buku teksnya, umpamanya, terancam gelombang migrasi ke e-book dan sumber online lainnya. Pendapatannya tahun lalu turun 4% menjadi US$ 7,6 miliar.

Inilah yang menjadi dasar Fallon untuk mengambil keputusan yang dulunya seakan hal yang tabu. Yang pasti, ada yang mengatakan akuisisi ini adalah pernikahan dua raksasa. Faktanya memang demikian. Keduanya punya kesamaan: surat kabar bisnis dan keuangan. Keduanya juga pemain besar serta punya pengaruh di dunia pasar modal dengan menerbitkan indeks pasar modal. FT bertanggung jawab untuk FTSE atau yang biasa disebut indeks ‘Footsie’ untuk 100 saham utama di Inggris. Sementara Nikkei punya Nikkei indeks 225 untuk perusahaan Jepang papan atas.

STRATEGI PENTING

Namun, uang tunai US $1,3 miliar yang dikucurkan Nikkei, dipandang lebih menguntungkan raksasa Jepang itu. Kemenangan di detik-detik akhir ini bukan hanya mendatangkan tepuk tangan buat Nikkei. Makna akuisisi lebih dari itu. Lebih dari sekadar pembelian sebuah surat kabar. Ini adalah ejawantah sebuah strategi penting.

Nihon Keizai Shimbun, yang berarti surat kabar ekonomi Jepang, yang kemudian disingkat menjadi Nikkei, keberadaannya jauh lebih senior dibanding pemain dari Inggris itu. Nikkei berdiri tahun 1876 sementara koran FT tahun 1888. Dari segi pendapatan, koran yang awal mulanya adalah tabloid internal milik Mitsui & Company ini juga lebih besar. Tahun lalu meraup US$ 2,4 miliar dengan laba operasinya tiga kali lipat FT.

Namun, ada keadaan yang membuat Nikkei merasa harus “menikahi” FT Group. Tidak lain dan tidak bukan adalah kemampuan pemain dari Inggris itu, terutama untuk divisi surat kabarnya dalam berselancar di era digital seperti disinggung di atas. Inilah kemampuan yang tidak dimiliki Nikkei.

Sementara FT Group sudah lebih dulu mengarungi era digital dengan mendirikan FT.com sebagai pelopor untuk layanan berita berbayar, Nikkei justru berjalan bak siput. Layanan online-nya baru dimulainya tahun 2010. Di tahun 2013, mereka lalu meluncurkan Nikkei Asian Review (asia.nikkei.com) yang berbahasa Inggris. Ini menggantikan situs bahasa Inggris sebelumnya, nikkei.com dan Asia Weekly. Nikkei.com kini berbahasa Jepang.

Alhasil, dalam konteks menghadapi perubahan besar akibat gelombang berita digital, Nikkei bisa disebut kejatuhan durian. Telah lama jagoan dari Jepang itu ingin melebarkan sayap online-nya, berseluncur di medan digital. Akuisisi ini jelas akan memperkuat cengkeramaannya di era transformasi digital yang begitu dahsyat seperti sekarang.

Ya, akuisisi ini terjadi pada masa transformasi dan perubahan besar di industri media cetak. Secara tradisional, berpuluh-puluh tahun sudah industri surat kabar menyandarkan pendapatan dari cetak dan iklan. Datangnya era internet, ponsel, serta tablet telah menciptakan suasana sulit bagi industri. Seiring kian banyaknya orang mendapat berita dari sumber online, permintaan untuk edisi cetak kian menurun. Konsekuensinya, pendapatan iklan cetak pun merosot. Di AS, misalnya. Dalam 10 tahun terakhir, industri surat kabar Negeri Abang Sam telah kehilangan pendapatan dari iklan cetak: melorot dari US$ 60 juta menjadi US$ 30 juta.

Di tengah disrupsi besar seperti ini, FT – terutama surat kabarnya –, justru telah menjadi simbol sukses. Mereka sendiri sebenarnya mengakui beratnya efek digital bagi iklan cetak. “Iklan cetak terus menurun,” begitu tertulis di laporan tahunan FT Group 2014. Namun, seperti disebut di atas, konstribusi pelanggan digitalnya terus melejit. Pertanyaannya: bagaimana mereka bisa melakukan itu?

Ini adalah buah dari strategi yang jitu. Di tahun 2001, FT memperkenalkan model langganan online. Pelanggan diminta untuk membayar konten yang bernilai. Tahun 2007, FT sedikit melakukan perubahan pada model ini. Caranya: memberikan kontrol kepada pelanggan. Model baru ini memungkinkan member mendapatkan kuota dan bebas mengaturnya sendiri sehingga bisa mendapat konten gratis serta mengunduh artikel yang diinginkan. Nanti, bila kuota habis, barulah disyaratkan berlangganan. Cara ini sukses besar. FT pun menjadi pemimpin pasar dalam mencari pendapatan online serta membesarkan jumlah pembaca dengan men-charge konten.

Tahun 2007 juga menjadi saat monumental bagi FT. Mereka mengguncang praktik di industri dengan menjual konten bersifat bulk kepada para aggregator, yang kemudian menjualnya pada end user. Dengan pola ini, pelanggan mengakses konten melalui aggregator yang terdaftar di FT.com. Hal ini membuat manajemen FT bisa memahami perilaku pelanggan sehingga bisa melayaninya lebih baik.

Langkah ini akhirnya membuat koran FT mampu melakukan transformasi besar: bergerak dari model pendapatan lewat langganan cetak dan iklan menjadi jalur konten online berbayar. Ia mampu bertransformasi dari bisnis surat kabar cetak menjadi bisnis media digital. Ia sukses sementara yang lainnya tengah bergelut.

“FT adalah pemimpin dalam urusan mengelola pelanggan digital,” puji guru besar manajemen Wharton, Emilie Feldman. FT, dia melanjutkan, telah menunjukkan kesuksesan dalam mengonversi “pembaca” digital menjadi “pelanggan” ketika mereka kehabisan kuota atau membaca artikel.

Kesuksesan FT membesarkan basis pembaca digital yang berlangganan di tengah penurunan pendapatan iklan, ungkap Ken Doctor, adalah hal menarik. Menurutnya, The New York Times sekarang meraih lebih dari US$ 6 dari setiap US$ 10 yang dibayar pembacanya. The New York Times sendiri, katanya meniru model FT yang sudah lebih dulu melakukannya. “Ini sangatlah penting di dunia di mana periklanan berubah dahsyat dan Google serta Facebook mendominasi,” tulis Doctor yang juga menjadi kontributor Nieman Journalism Lab Harvard University.

Berbeda dengan FT, selain lambat, Nikkei pun tertatih-tatih melakukan transformasi digitalnya. Padahal, kemampuan ini sangat dibutuhkan mengingat Jepang pun tak steril dari gelombang besar perubahan industri media. Maklum, di Negeri Matahari Terbit, sirkulasi cetak juga terus melambat terkena hantaman media online. Nikkei sendiri masih bergantung pada kertas dan tinta. Dari 2,7 juta pelanggannya, hanya 430 ribu yang mengakses produk digitalnya. Bandingkan dengan FT yang punya 504 ribu pembayar layanan digital dari 737 ribu pelanggan.

Selain tertatih, Nikkei juga kurang sukses melakukan transformasi digital. Layanan online-nya di tahun 2010 berikut peluncuran asia.nikkei.com di tahun 2013 tak seperti yang diharapkan. Tak bisa disebut gagal total, memang. Tapi sangat lelet.

Alhasil, bagi perusahaan seperti Nikkei yang ingin melebarkan pasar global dan berselancar di era digital, pilihannya cuma dua: build, terus membangun yang ada, yang menjengkelkan karena lambat dan tak sukses, atau buy, membeli yang sudah mapan dan terbukti sukses. Akhirnya Nikkei pun memilih jalan yang kedua.

“Nikkei memang sudah lama ingin go-global. Tapi mereka tak pernah berhasil. Padahal, jika Anda ingin menjadi pemain global, maka Anda harus punya jangkauan global. Pilihannya, pada akhirnya membeli sesuatu yang sudah mengglobal,” ujar Yoshikazu Mikami, guru besar kajian media Mejiro University di Tokyo memuji langkah Nikkei.

Manajemen Nikkei sendiri mengakui langkah akuisisi ini benar-benar bagian penting dari strategi transformasi digitalnya. Pertumbuhan kami, ujar Chairman Nikei, Tsuneo Kita, terletak pada dua sumbu: digital dan global. Itulah sebabnya mereka bersorak setelah mengambil FT. Sebab, dengan mencaplok FT Group, bukan hanya berarti Nikkei telah memiliki senjata yang tangguh untuk bermain global, melainkan juga papan seluncur yang kuat untuk menunggangi gelombang perubahan digital dunia surat kabar dan penerbitan.

Mari kita lihat lebih dekat, dari sumbu global, Nikkei punya tambahan amunisi baru: dengan sebarannya yang masif, FT berkekuatan sekurangnya 500 wartawan di lebih dari 50 lokasi di dunia. “Nikkei jelas-jelas membeli pertumbuhan di luar, sementara di dalam negerinya pasar terus menciut,” ujar Feldman. Di sisi lain, Nikkei juga bisa menolong FT menggenjot pendapatannya di Asia, wilayah yang tumbuh pesat, yang terus diintai media global. “Dengan akuisisi ini, bisa menolong pertumbuhan FT,” kupas Doctor.

Lalu, dari sumbu digital, pembelian Nikkei atas FT adalah membeli pengaruh sekaligus langkah strategis untuk memenangkan era digital. Nikkei bisa belajar dari FT bagaimana melakukan transformasi digital sehingga mampu mencetak uang lebih banyak dari sistem pelanggan berbayar ketimbang iklan.

Naotoshi Okada, President Okada mengakui pihaknya akan belajar banyak dari kekuatan FT di berita digital, termasuk dalam hal customer management system. Pelanggan digital Nikkei dan FT sendiri akan menjadi 934 ribu. Berada di belakang 1 juta pelanggan digital New York Times.

Keuntungan ini adalah competitive advantage yang pantas membuat Nikkei bersuka cita. Namun lebih dari itu, dengan mengambil FT Group yang sukses di ranah digital, Nikkei sejatinya tengah memeluk masa depan. Mengapa?

Kesepakatan ini memberi pijakan di tengah kian menggembungnya generasi millennial.

“Fenomena besar di berita digital adalah fokus pada millennial,” ujar Doctor. “Generasi millennial lebih besar ketimbang baby boom. Anda mengombinasikannya dengan bisnis berita dan Anda punya jutaan orang muda. Ini adalah target utama perusahaan berita,” kata pengarang Newsonomics: Twelve New Trends That Will Shape the News You Get itu.

Tentu saja ini peluang yang begitu besar yang dimiliki Nikkei. Namun apakah mereka mampu memanfaatkannya, semuanya akan bergantung pada seberapa sanggup mereka menyinergikan aset-aset yang ada. Yang pasti, Nikkei telah memiliki kendaraan untuk berselancar di medan digital yang begitu dahsyat. ***


Akuisisi Media Raksasa 10 Tahun Terakhir

Tahun
Perusahaan Media
Pembeli
Harga Jual
2007
Dow Jones & Company (AS), penerbit The Wall Street Journal
Media group News Corp
US$ 5 miliar
2007
Tribune Company (AS), penerbit Los Angeles Times
Sam Zell
US$ 8,2 miliar
2008
Reuters Group (Inggris)
Thomson Corporation
US$ 17 miliar
2010
Le Monde (Perancis)
Matthieu Pigasse, Pierre Bergé, dan Xavier Niel 
US$ 125,4 juta
2011
Huffington Post (AS)
AOL
US$ 315 juta
2013
Boston Globe (AS)
John W. Henry, pemilik Boston Red Sox
US$ 70 juta
2013
Washington Post (AS)
Jeff Bezos, pendiri Amazon
US$ 250 juta
2015
Financial Times (Inggris)
Nikkei
US$ 1,3 miliar

  
iNSIGHT
----------------------------------------------------------------------------------------------

Strategi Digital Nikkei

Menyadari disrupsi digital terus mengancam industri media dan penerbitan, Nikkei mencoba melakukan transformasi digital. Langkahnya:
v  Tahun 2010: meluncurkan layanan online, nikkei.com, berbahasa Inggris
v  Tahun 2013: meluncurkan Nikkei Asian Review lewat laman asia.nikkei.com. Berbahasa Inggris, situs ini menggantikan nikkei.com

Selain terlambat, langkah ini pun tertatih-tatih. Nikkei masih bergantung pada kertas dan tinta. Kinerjanya pun tak memuaskan:
v  Dari 2,7 juta pelanggannya, hanya 430 ribu yang mengakses produk digitalnya.

Karena membangun (build) sendiri kurang sukses, maka membeli (buy) adalah jalan paling rasional untuk cepat bertransformasi. Akhirnya, langkah terakhir diayunkan:
v  Tahun 2015: membeli Financial Times Group yang sukses di ranah digital

Harapan lewat strategi ini, merengkuh dua sumbu pertumbuhan sekaligus:
v  Sumbu global: jangkauan Nikkei akan semakin mengglobal, bersinergi dengan FT
v  Sumbu digital: Nikkei akan belajar mentransformasi diri, mengoversi pembaca menjadi pelanggan digital, menggeber pendapatan konten online, dan meraih pembaca generasi millennial



Sunday, February 28, 2016

Titan-titan Negeri Panda

Konglomerasi China, baik swasta maupun pelat merah terus membesar dari melebarkan sayap ke seluruh penjuru. Kebijakan pemerintah berada di balik gelombang ini.

MENGGEBRAK

Januari 2016, dunia bisnis hiburan dibuat kaget. Konglomerat real estate dan investasi dari China, Dalian Wanda Group resmi mengakuisisi 100% saham Legendary Entertainment dengan nilai transaksi US$ 3,5 miliar.

Legendary bukanlah pemain kecil. Mereka terlibat dalam sejumlah film hit, seperti Godzilla, Inception, Jurassic World dan Pacific Rim. Tak heran, para petinggi Wanda Group sangat gembira. Selain persetujuan ini menjadi akuisisi lintas benua terbesar yang dilakukan konglomerasi China, langkah ini memperkuat pijakan untuk tujuan Wanda menjadi perusahaan film global. “Bisnis Wanda bukan hanya akan terentang dari produksi, eksibisi dan distribusi film, tapi juga sekaligus memperkuat kompetensi dan melipatgandakan suara kami di pasar film global,” ujar Chairman Wanda, Wang Jianlin, salah satu orang terkaya China.

Berdiri pada 1988, Wanda terus melakukan lompatan kuantum. Konglomerat China ini telah mendiversifikasikan bisnis intinya di real estate sejak Agustus 2012 ketika mengakuisisi AMC Entertainment, jaringan bioskop terbesar kedua di Amerika Utara. Tahun 2015, Wanda mengucurkan US$ 600 juta untuk membeli Hoyts, jaringan multipleks terbesar kedua di Australia. Sementara di China sendiri, Wanda memiliki Wanda Cinema Line yang punya kapitalisasi pasar senilai US$ 18,5 miliar. Masih belum puas, dikabarkan, Wanda tengah bersiap-siap untuk belanja di Eropa.

Yang menarik, Wanda bahkan bukan hanya menjadi perusahaan entertainment global. Awal 2016, The Australian Financial Report mengungkap bahwa kelompok usaha ini akan menjadi perusahaan olahraga terbesar di dunia. Indikasinya?

Mereka telah membeli Ironman Triathlon senilai US$ 650 juta dan berencana membawanya ke China. Mereka juga telah mengakuisisi 20% saham di klub Spanyol, Atlético de Madrid yang dalam daftar Forbes di posisi ke-16 most valuable football club di dunia (senilai US$ 436 juta). Lalu, tengah membangun fasilitas olahraga di Guangzhou. Kemudian membeli InFront Sport and Media yang menayangkan siaran Piala Dunia FIFA, dan mewakili 7 federasi olahraga olimpiade musim dingin. Rumornya, Wang Jianlin juga akan membeli tiga turnamen sepeda dunia: Giro d’Italia, Vuelta a España dan Tour de France. Jika itu terealisasi, mereka akan menjadi kekuatan dahsyat di sportainment dan entertainment, dengan tetap memiliki pijakan kuat pada bisnis real estate.

Wang Membeli Atletico Madrid

Wanda adalah satu diantara konglomerat Negeri Tirai Bambu yang kini terus merangsek dunia. Juli 2015, Fortune mencatat bahwa jumlah konglomerasi China yang masuk Fortune Global 500 terus bertambah dari tahun ke tahun. Ada 98 konglomerat China yang nangkring di daftar tersebut, menjadikan mereka terbanyak kedua setelah 128 perusahaan AS. Di tahun 2000, baru ada 10 perusahaan China, dan di tahun 2010 cuma 46 perusahaan.

Dari 98 perusahaan China yang masuk, 12 terbesar adalah BUMN. Diantaranya adalah Sinopec Group (pendapatan 2014 US$ 446,8 miliar) dan China National Petroleum (pendapatan 2014 US$ 428,6 miliar). Mereka dikontrol melalui State-Owned Assets Supervision and Administration Commission of the ruling State Council (SASAC), yang menunjuk CEO serta membuat keputusan untuk investasi besar. Dari jumlah 98 itu, hanya 22 perusahaan yang dimiliki swasta.

Banyak yang bertanya bagaimana konglomerasi China bisa tumbuh hinga menjadi titan ekonomi?

Dirunut ke belakang, reformasi 1978 menjadi titik pijaknya. Saat itu pemimpin tertinggi China, Deng Xiaoping melakukan liberalisasi ekonomi sehingga negara itu lebih terbuka. Perusahaan-perusahaan, khususnya BUMN pun mulai didorong untuk tumbuh. Dan akhirnya pelan-pelan mereka pun tumbuh. Bahkan banyak dari mereka yang membesar serta menggurita menjadi konglomerat, atau yang biasa disebut qiye jituan dalam bahasa China. Maka tumbuh menjamurlah aneka perusahaan.

Sebelum 1978, perusahaan di China, khususnya BUMN, berfungsi laiknya biro pemerintah. Bank, misalnya, di bawah skema pembangunan 5 tahun, memainkan peran sebagai pengalokasi kapital. Setelah itu, barulah mereka beroperasi laiknya bank dan belajar bertindak independen. Liberalisasi di sektor ekonomi ini makin lengkap setelah dua bursa saham (Shanghai dan Shenzhen) dibuka tahun 1990 serta 1991.

CONNECTION

Tak bisa dipungkiri, membesarnya konglomerat China, catat The Economist, salah satu faktor utamanya adalah keterlibatan pemerintah, baik pusat maupun lokal yang menciptakan iklim bisnis buat perusahaan. Seperti halnya di Korea Selatan, pemerintah China sangat mendukung gerak konglomeratnya yang kebanyakan adalah BUMN. Sementara para chaebol tumbuh menggemuk dengan fasilitas kredit murah yang diarahkan pemerintah, konglomerat China menerima “suntikan aset”. Ini bekerjanya menyerupai steroid dalam tubuh. Perusahaan induk, yang biasanya adalah pemerintahan kota atau kementrian, memberikan anak usahanya peluang mengakuisisi bisnis atau proyek-proyek milik negara.

Dalam buku Red Capitalism (2011), Carl Walter dan Fraser Howie menulis tentang dekatnya hubungan pemerintah dan BUMN. “Apa yang akan dilakukan chairman bank terbesar China jika Chairman Petro China minta pinjaman?” Jawabannya: “Dia (chairman bank) akan bilang, ‘Oke, terima kasih. Berapa banyak yang dibutuhkan dan berapa lama (kreditnya)?’.”


Red Capitalism, Mengupas Sistem Ekonomi China

Namun, Economist juga mencatat bahwa selain topangan pemerintah, para pelaku bisnis itu sendiri juga didorong untuk mau belajar ke perusahaan yang lebih maju untuk belajar bagaimana caranya agar bisa berkompetisi global.

Sejatinya, banyak konglomerasi China mengagumi korporasi raksasa Jepang. Mereka kagum dengan Mitsubishi atau Toyota. Untuk hal ini, mereka meminjam sistem keiretsu Jepang: perusahaan dalam satu keluarga saling dukung satu sama lain. Akan tetapi, role model yang kemudian dirujuk dalam konteks belajar untuk menjadi lebih besar adalah chaebol. Mengapa chaebol?

Dari sisi pemerintah, China melihat selama berdekade, pemerintah Korea Selatan menjadi mitra yang aktif dalam menolong para titan tumbuh meraksasa. Adapun dari sisi pelaku bisnis itu sendiri, mereka kagum bagaimana chaebol menolong transformasi Korea Selatan dari negara miskin menjadi kaya dalam satu generasi. Mereka kagum bagaimana chaebol mentransformasi dirinya menjadi multinasional, menjadi pelaku manufaktur berorientasi ekspor di tengah negeri yang minim sumber daya. Kalau Korea yang miskin bisa meraksasa, mengapa China yang lebih luas dan kaya sumber daya, tak bisa meniru?

Maka berduyun-duyun pejabat resmi pemerintahan China serta kalangan bisnisnya langsung mengunjungi Hyundai, Samsung dan Daewoo. Mereka belajar bagaimana konglomerasi Negeri Ginseng itu tumbuh mengglobal.

Satu konglomerat yang mampu belajar adalah CITIC (China International Trust and Investment Corporation) yang bertransformasi di bawah tangan GroupPacific. Larry Yung telah mentransformasi CITIC dari pemain tidur menjadi konglomerasi. CITIC Group Corporation menjadi salah satu konglomerasi terbesar di China. Bisnisnya terentang dari jasa keuangan, sumber dalam alam dan energi, manufaktur, real estat, infrastruktur, baik di dalam maupun luar negeri. Menggandeng PriceWaterhouseCoopers, CITIC kini banyak menggarap peluang proyek di sejumlah negara seperti di Myanmar.

Toh laiknya bunga di taman, tak semua tumbuh mekar. Malah banyak yang layu. Titik penting terjadi di tahun 1997. Lewat dua periode selepas liberalisasi Deng Xiapoing, pemerintah China mendorong BUMN-nya untuk tumbuh lebih besar dan sehat. Saat itu, Pemerintah China mengonsentrasikan diri pada sekitar 1000 BUMN-nya yang berskala besar, menjadi qiye jituan. Sisanya sekitar 117 ribu ada yang bangkrut, demerger atau dibeli swasta.

Pemerintah China sangat concern dengan hal ini karena sekalipun banyak yang tumbuh, mereka tidak efisien. Ini berbahaya karena bila tidak efisien, maka potensial ambruk. Bila makin banyak yang bangkrut, terutama yang besar-besar, berpotensi menimbulkan kerusuhan. Dan bila tidak efisien, mereka juga tidak akan mampu menjadi pemain global.

Pemerintah Shanghai adalah salah satu yang terdepan dalam mereformasi BUMN-nya di kurun 1990-an ini. Para pemimpin Shanghai khawatir ketidakefisienan BUMN akan memukul balik ekonomi: sesuatu yang berbahaya karena BUMN mereka menyerap 70% tenaga kerja di kota itu. Maka pemerintah Shanghai ingin BUMN tumbuh, bahkan menginginkan bisa masuk Fortune 500. Namun, alih-alih menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pada hasrat kewirausahaan para pebisnis, pemerintah tetap percaya perkembangan bisnis masih membutuhkan perencanaan pemerintah.

Salah satu konglomerat ciptaan pemerintah adalah Shanghai Automobile Industry Corp (SAIC). Pemerintah Shanghai membantu SAIC melakukan sejumlah kerjasama, termasuk dengan raksasa Jerman, Volkswagen dan General Motor. SAIC pun didorong rajin mengakuisisi perusahaan sakit, terutama yang terhubung dengan value chain-nya sebagai perusahaan otomotif. Dalam daftar Fortune Global 500, SAIC berada di peringkat 60 (pendapatan 2014 mencapai US$ 102,2 miliar).

SAIC, Konglomerat Otomotif


Pemerintah yang tipikal semacam ini tidak sedikit. Pemerintah lokal memang aktif mendorong tumbuhnya konglomerasi. Tahun 2009, misalnya, berdiri 8000 perusahaan investasi untuk menyalurkan uang milik pemerintah. Bahkan Zhejiang Geely Holding Group yang sempat menghebohkan dunia saat membeli Volvo. Mayoritas uang US$ 1,5 miliar dana yang digunakan untuk membeli bukan datang dari laba Geely, tapi pemerintahan setempat di timur laut China dan Shanghai.

REFORMASI ULANG

Kini, mendekati empat dekade reformasi ekonomi Deng, pemerintah tengah menyiapkan kembali paket kebijakan untuk konglomerasinya, terutama yang berlataberlakang BUMN. Dari sisi kebijakan, pemerintah tidak bergeser. Pedoman yang digariskan pemerintah pusat China ejak awal reformasi sangat jelas dan menjadi pegangan berdekade-dekade. Mereka hanya berkonsentrasi pada sektor strategis. Mereka mendorong BUMN-nya untuk fokus di sektor strategis seperti penerbangan, listrik dan telekomunikasi. Ini adalah industri di mana Partai Komunis percaya harus bisa mendominasinya agar bisa mengontrol perekonomian nasional yang kian kompleks.

Ya, pemerintah China memang menjalankan ekonomi yang terbelah. Pada satu titik, mereka menciptakan ruang yang kompetitif untuk sejumlah industri seperti ekspor, pakaian, makanan, dan belakangan juga digital. Sementara untuk sektor keuangan, komunikasi, transportasi, pertambangan, baja, pemerintah harus memiliki mayoritas saham. Alasan pemerintah terlibat dalam bisnis yang strategis sangatlah jelas. Di sektor energi, misalnya, kontrol negara atas pasokan energi sangat krusial untuk memastikan pasokan energi bagi pertumbuhan ekonomi. Juga agar memastikan bisa mengontrol harga pasar.

Sebab kebijakan yang demikian, dalam satu dekade terakhir muncul titan-titan baru yang hebat dari ranah teknologi informasi dan digital seperti Alibaba, Lenovo, dan Tencent yang juga merangsek ke banyak tempat. Juga pemain di poperti dan hiburan seperti Wanda Group. Sebab kebijakan itu pula, para pemimpin China tak lagi memegang ideologi yang tajam tentang perbedaan kepemilikan konglomerasi seperti di awal liberalisasi. Tapi mereka tak pernah membebaskan kontrol negara atas sejumlah sektor yang vital seperti yang disinggung di atas termasuk kereta dan pelabuhan.

Berpegang pada kebijakan tersebut, sekarang Pemerintah China akan melakukan gelombang besar untuk konglomerasinya. Mereka akan melakukan merger untuk mengurangi jumlah dari 112 konglomerasi yang dimiliki pemerintah menjadi hanya 40 konglomerat. SASAC, akhir 2015 disebut telah memutuskan hal tersebut dan akan mengeksekusi dengan cermat.

Sepintas jumlah 40 konglomerat seperti sedikit. Namun, jangan keliru, mereka mengontrol sedikitnya 150 ribu perusahaan dengan total kapitalisasi pasar (dari 227 perusahaan yang go-public di Shanghai dan Shenzhen) hingga US$ 1,6 triliun. Menurut SASAC, para konglomerat ini juga telah membangun 8.515 kantor cabang di luar negeri di 150 negara di akhir 2014, dengan total aset US$ 790 miliar (Rp 10.270 triliun).

Lantas, kalau sudah demikian kuat, mengapa harus ada gelombang baru?

Sumber-sumber pemerintah menyatakan bahwa pemerintah yang sekarang lebih fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Jadi, mereka ingin konglomerasi itu lebih sehat, efisien, serta menghasilkan laba lebih banyak. Tentunya tetap bermain di sektor-sektor strategis. Dalam konteks ini, dua pembuat kereta terbesar di China, CSR Corp dan China CNR Corp telah merasakan kebijakan tersebut. Mereka telah dimerger untuk menjadi konglomerasi baru senilai US$ 26 miliar. Sementara itu, China Petrochemical Corporation (Sinopec) dan PetroChina Company disebut akan segera digabung sehingga bisa bersaing dengan Exxon Mobil dan BP.

Dari sisi internal, gelombang baru ini juga dilakukan karena pemerintah sudah menancapkan visi besar. Konglomerasi China diharapkan akan mendukung program Jalur Sutra. Dalam ambisinya, Presiden Tiongkok Xi Jinping membagi Jalur Sutra menjadi dua: darat dan laut. Jalur perdagangan darat dikenal sebagai Jalur Sutra Sabuk Ekonomi, terentang dari Eropa ke Asia Tengah dan Asia Timur. Sementara jalur laut dikenal dengan istilah Jalur Sutra Maritim, yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan China dengan sejumlah pelabuhan sepanjang rute dari Laut China Selatan, Samudera Hindia, Teluk Persia, Laut Merah hingga Teluk Aden.

Karena pentingnya mewujudkan visi tersebut, pemerintah perlu mereorganisasi konglomerasinya. Tak heran, pada September 2015, PM China Li Keqiang mendorong konglomerasinya memainkan peran kunci.

Itu dari sisi internal sehingga perlu gelombang baru konglomerasi China. Dari sisi eksternal, pemerintah China melihat situasi yang dihadapi konglomerasinya sangatlah besar. Boston Consulting Group mengungkap bahwa konglomerat China, terutama yang berbasis BUMN, memang berskala besar. Namun mereka kerap kesulitan untuk bertarung di arena global. Itulah sebabnya para pejabat tinggi China, termasuk Li Keqiang terus meminta agar para titan Negeri Tirai Bambu makin mengglobal – seruan yang sebenarnya sudah diminta sejak 1997. Menariknya, perusahaan yang kini terkenal mengglobal justru adalah pemain-pemain swasta yang dari skala bisnisnya belumlah sehebat perusahaan BUMN seperti Alibaba, Tencent, Baidu dan Xiaomi.

Masalahnya, bukanlah hal mudah untuk bermain di level global. Iklim bisnis yang dihadapi konglomerasi China sekarang adalah “competing on the edge. Ini adalah istilah dari Shona L. Brown, konsultan mantan eksekutif Google dan Kathleen M. Eisenhardt, Guru Besar Stanford University. Artinya: bersaing di antara ketertiban dan chaos, perubahan yang terjadi tidak bisa diprediksi, batasan antara industri terhapus, dan hypercompetition.

Apakah konglomerasi China bisa mengatasi hal tersebut, tentunya masih ditunggu. Namun, sejauh ini, konglomerasi China diprediksi akan kian membesar, menggulung perusahaan yang dulu mereka kagumi di Jepang dan Korea Selatan, yang sempat menjadi tempat mereka berguru. Seorang ekonomi, Hu Angang, Direktur Institute for Contemporary China Studies di Tsinghua University menyatakan bila gelombang reformasi ini berjalan baik, jumlah konglomerat yang masuk Fortune Global 500 akan mencapai 130 perusahaan di tahun 2020. Ini belum termasuk pemain-pemain yang popular yang dikendalikan pebisnis swasta seperti Alibaba cs.

Kalau reformasi ini bisa berjalan mulus, maka jangan heran bila bukan hanya pemain-pemain besar berlatar BUMN yang akan merangsek ke seluruh penjuru, pemain swasta yang lebih kecil pun sanggup mengejutkan seperti yang dilakukan Grup Wanda.

Sementara kita menyaksikan titan-titan dari Jepang, seperti Sony, Toshiba, Panasonic, Sharp tengah bergulat menghadapi kemerosotan, kita tengah melihat datangnya konglomerasi China yang menyerbu segala penjuru. ***



Jalan Menjadi Qiye Jituan 

Tak bisa dipungkiri, tumbuhnya konglomerasi China dipengaruhi iklim dan kebijakan yang diciptakan pemerintah.

1978: reformasi ekonomi dimulai. Pedoman yang digariskan pemerintah pusat China sangat jelas dan menjadi pegangan berdekade-dekade. Mereka mendorong BUMN-nya fokus di sektor strategis seperti keuangan, energi, penerbangan, listrik, telekomunikasi, kereta dan pelabuhan. Dari sinilah mulai bermekaran perusahaan-perusahaan yang kelak menggurita.

1990-1991: dua bursa dibuka di Shanghai dan Shenzhen untuk menarik dana buat BUMN dan swasta. Namun, pemerintah kota yang banyak bertindak sebagai perusahaan induk, tetap memberikan privilese bagi anak usahanya untuk mengakuisisi bisnis atau proyek negara.

1997: lewat dua dekade, sejumlah perusahaan tumbuh mekar, sebagiannya bangkrut, dimerger, atau dibeli perusahaan swasta. Untuk sektor BUMN, pemerintah berkosentrasi membesarkan 1000 perusahaan untuk menjadi konglomerasi yang efisien. Mereka juga didorong untuk belajar kepada para chaebol.

2000-an: mekarnya teknologi dan digital mendorong lahirnya pemain baru dari sektor swasta.  Alibaba, Tencent, Baidu, Xiaomi, Lenovo menjadi bintang. Mereka menjadi konglomerasi sendiri meski belum sebesar konglomerat sektor BUMN. Konglomerat BUMN sendiri mengalami seleksi alam: sebagian membesar, yang lain hilang.

2015: gelombang reformasi konglomerasi BUMN disiapkan. Dari 112 konglomerasi yang dimiliki pemerintah, dipangkas menjadi hanya 40 konglomerat. Mereka mengontrol 150 ribu perusahaan dengan total kapitalisasi hingga US$ 1,6 triliun, total aset US$ 790 miliar, membangun 8.515 kantor cabang di 150 negara.

Saturday, February 27, 2016

Circular Economy yang Makin Krusial

Dunia terlalu lama menjalankan sistem ekonomi linier. Diperlukan sistem ekonomi baru yang radikal, yang mengubah cara pandang dan perilaku demi keberlanjutan pembangunan. Inilah sistem yang mendesak untuk dijalankan.

KONSEP YANG SEKSI

Setelah sustainablility development, triple bottom line, dan green business, kini konsep yang makin aktif didorong menjadi wacana publik adalah circular economy (EC). Berbagai artikel, buku, seminar, terus digelorakan. CE pun menjadi konsep yang seksi. Terakhir, panggung besar yang menjadi tempatnya mentas memamerkan kehebatannya adalah Paris Climate Summit, 30 November-12 Desember 2015.

Dalam pertemuan akbar di Paris itu, di tengah diskusi perihal menurunkan target emisi, para pemimpin global juga mendiskusikan tentang implementasi CE demi keberlanjutan pembangunan. Tak tanggung-tanggung, dalam pidatonya, Komisioner Uni Eropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, Karmenu Vella bahkan menekankan perlunya sistem ekonomi bergeser ke CE. Uni Eropa sendiri, katanya, telah menyediakan € 650 juta untuk mendanai inovasi agar terjadi perubahan perilaku konsumen atas bahan material, menurunkan sampah elektronik dan makanan, serta mengembangkan teknik daur ulang yang baru.

Demi keberlanjutan bumi, manusia, dan pembangunan berkelanjutan, pesan Vella, CE sudah mesti dilakukan, terutama oleh kalangan bisnis sebagai aktor penting pembangunan ekonomi. CE bahkan sangat siginifikan dalam kaitannya dengan green business yang sering disuarakan kalangan korporasi itu sendiri. Jadi, apa sebenarnya CE? Dan apa relevansinya dengan green business?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami terlebih dahulu konsep yang pada hari-hari mendatang akan menjadi kosa kata yang mewabah. Dan cara terbaik untuk menjelaskannya adalah kita harus membandingkannya dengan ekonomi linier yang sekarang berjalan. Dalam sistem ekonomi yang kini dominan sejak revolusi industri, manusia mengekstrak sumber daya dari planet, yang dari waktu ke waktu berlangsung semakin cepat dan masif, lalu mengubahnya menjadi produk yang kebanyakan dibuang setelah digunakan. Artinya, ending-nya adalah menjadi sampah (waste).

Model ekonomi linier yang kita jalani sekarang sering disebut model take-make-dispose”: ambil sumber daya alam, olah menjadi produk, lalu buang jadi sampah. Konsultan McKinsey, Hanh Nguyen dan Martin Stuchtey, serta Markus Zils (Remaking the Industrial Economy, Februari 2014) menyebut ekonomi industri yang sekarang berjalan seperti sistem conveyor belts yang massif, yang mengambil materi dan energi dari negara-negara berlimpah sumber daya (resource-rich), membawanya ke tempat pabrik-pabrik besar berada seperti China, lalu produknya didistribusikan ke AS, Eropa, dan tujuan lainnya, untuk digunakan dan lalu menjadi sampah yang mengotori tanah, air serta udara.

Dalam perspektif individu atau organisasi, hal tersebut terlihat wajar. Bahkan dalam industrialisasi kadang dianggap efisien sehingga menjadi jantung industrialisasi global. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, hal ini sama sekali tidak berkelanjutan. “Clearly, the era of largely ignoring resource costs is over,” tulis Hanh Nguyen dkk.

CE sangat berbeda dengan ekonomi linier. Ini adalah pola ekonomi yang restoratif dan desain yang regeneratif. Model ini bertujuan menciptakan green business untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. CE memerhatikan sejak sisi hulu, tempat sumber daya alam berada, di tengah (bagian desain hingga proses), dan di hilir (pengguna). Ini adalah sistem yang waste-fee (bebas sampah). Mengapa? Karena menjaga produk, komponen, dan bahan produksi berada pada utilitas serta nilai tertinggi semaksimal mungkin sehingga bisa digunakan.

Secara historis dan akar pemikiran, konsep CE bisa dikatakan berakar pada gerakan Cradle to Cradle (C2C) yang diinisiasi William McDonough bersama Michael Braungart di tahun 2002. Model ini sendiri dikembangkan berdasarkan konsep lifecycle development. Pada prinsipnya, C2C mengembalikan proses industri dan komersial ke dalam ekosistem. Dengan demikian, bahan teknis kembali ke ekosistem industri, sementara bahan biologis kembali ke ekosistem alami. Mimpi besar C2C adalah menutup siklus hayati sehingga tak ada lagi limbah dibuang. Jargon mereka yang terkenal untuk daur ulang penuh ini adalah “waste = food”. Tak ubahnya limbah biologis suatu organisme yang dapat menjadi makanan organisme lainnya dalam rantai makanan, begitu pula seharusnya bahan baku dalam rantai industri: bisa diolah kembali.

Tokoh yang identik dengan CE adalah seorang wanita, Dame Ellen MacArthur yang kemudian mendirikan Ellen MacArthur Foundation untuk mendorong konsep ini menjadi sebuah praktik yang mengglobal. “Di tahun 2010, saya mulai membuat yayasan dan menggagas ‘circular economy’ untuk membantu membingkai konsep ini,” ujar Ellen. Kini, dia pergi ke mana-mana menjual konsep ini dengan mengajak orang berpikir betapa bahayanya bila ekonomi linier terus berjalan.

Ellen MacArthur


Ya, ekonomi linier membuat pengolahan ekstraktif di abad 21 makin menggila. Bumi terus digali dan digali demi kebutuhan manusia, baik sandang, pangan, maupun papan. Sementara itu, jumlah kelas menengah global terus meningkat, akan mencapai 5 miliar di tahun 2030. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, penggunaan energi fosil dan sumber daya akan makin membesar lantaran bukan hanya sandang, pangan, papan yang dibutuhkan, aspek gaya hidup pun mendominasi. Contoh kecil: kini makin banyak orang memiliki 2 buah ponsel yang tentunya membutuhkan energi lebih banyak. Itupun ponsel baru, bukan hp bekas hasil refurbished atau remanufactured. Munculnya kelas menengah baru diyakini mempercepat pelemahan bumi karena keinginan peningkatan standar kehidupan. Ekonomi linier yang sekarang berkuasa, ungkap Ellen, sangatlah boros dalam menciptakan nilai.

Pernyataan wanita berambut pendek ini bukan isapan jempol. Para analisis menemukan pemborosan di sejumlah sektor. Bahkan pada sisi penggunaan produk jadi pun terjadi pemborosan yang besar. Contoh di Eropa, lamanya mobil diparkir mencapai 92% dari waktu penggunaannya, sementara itu 31% makanan sangat boros di rantai nilai proses produksinya.

Jika model ekonomi linier semacam ini (take-make-dispose) terus berlanjut, sangat membahayakan keberlangsungan bumi dan penghuninya. Sebab ekonomi linier meningkatkan degradasi alam, yang menimbulkan perubahan iklim, rusaknya keragaman hayati, hilangnya natural capital, degradasi tanah, dan polusi laut.

KEUNTUNGAN MODEL CE

Sebaliknya dengan CE, tahun 2014, Ellen MacArthur Foundation dan World Economic Forum merilis laporan yang menyatakan bahwa lebih dari US$ 1 triliun setahun dapat dihasilkan oleh ekonomi global di tahun 2025, dan 100 ribu pekerjaan diciptakan hingga 2019 jika perusahaan dan kalangan bisnis fokus untuk CE. Mereka juga menyatakan bahwa benua Eropa dapat meraup laba bersih senilai € 1,8 triliun di tahun 2030 atau € 0,9 triliun lebih banyak jika menjalankan sistem ekonomi linier. Syaratnya: mengadopsi prinsip-prinsip CE. Mengapa bisa demikian?

Sebagai sebuah sistem, CE memang memiliki 3 prinsip yang membedakannya dengan ekonomi linier, yang potensial menciptakan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Prinsip pertama: menjaga dan meningkatkan natural capital dengan mengontrol cadangan alam yang tak bisa diperbarui serta menyeimbangkan arus sumberdaya yang bisa diperbarui. Saat membutuhkan sumber daya, sistem CE akan menyeleksi dengan bijak, dan memilih teknologi serta proses yang menggunakan sumber daya yang bisa diperbarui bila memungkinkan. CE juga mendorong terciptanya kondisi untuk regenerasi.

Prinsip kedua: mengoptimalkan lahan sumber daya dengan mensirkulasi produk, komponen, dan material pada titik penggunaan paling tinggi, baik secara teknis maupun biologis. Ini berarti mendesain untuk remanufacturing, refurbishing, dan recycling guna menjaga komponen teknis dan material produksi tersirkulasi serta berkontribusi pada ekonomi.

Prinsip ketiga: memeliharan efektivitas sistem dengan mendesain eksternalitas yang bersifat negatif. Diantaranya menurunkan kerusakan terhadap sistem dan area seperti makanan, pendidikan, kesehatan dan hiburan, serta mengelola eksternalitas seperti penggunaan tanah, udara, air dan polusi, serta pelepasan substansi racun.

Dalam prinsip EC, tidak ada sampah. Produk didesain dengan sengaja. Materi biologis bersifat non-toxic dan dengan mudah dapat dikembalikan ke tanah dengan cara composting atau penguraian anaerobik (produk bio-degradable diproses dan dipecah menjadi biogas). Sementara itu materi teknis seperti logam dan material yang dibuat manusia, didesain agar bisa dipulihkan, disegarkan, dan di-upgrade. Untuk yang tertarik lebih jauh bisa masuk ke laman: http://www.ellenmacarthurfoundation.org. Di sini artikel dan riset bisa diunduh gratis untuk membuka wawasan kita.

Bagi sejumlah kalangan, model ekonomi ini sangat ambisius. Mendesain ekonomi dalam sebuah sistem yang restoratif tidaklah mudah. Toh yang mendukung konsep ini semakin banyak. Buku-buku yang pro-CE terus bermunculan. Diantaranya karya Peter Lacy dan Jakob Rutqvist, keduanya dari Accenture yang menulis Waste to Wealth: The Circular Economy Advantage (2015). Mereka percaya reuse dan reduction akan membuktikan kebenaran agenda pertumbuhan. Lalu Richard Dobbs, James Manyika dan Jonathan Woetzel (konsultan McKinsey’s Global Institute) lewat No Ordinary Disruption (2015) yang melihat CE adalah cara cerdas untuk memangkas biaya di tengah perubahan demografis dan teknologi yang begitu cepat.

Kalangan korporasi pun sudah banyak yang mulai mengadopsi di sector masing-masing. Dell Computer, misalnya. Sejak awal, Dell bahkan berupaya menjadi yang terdepan dalam urusan mengadopsi sistem CE. Kini mereka mendesain produk dalam konteks whole lifecycle, yang memungkinkan reuse, repair, dan recyclability untuk produk yang mereka lempar ke pasar. Salah satunya dalam penggunaan material plastik. Mereka menggunakan model closed-loop plastics yang disertifikasi UL Environment. Plastik digunakan dengan teknologi untuk memanjangkan usia penggunaan, jejak karbon yang lebih kecil, dan menurunkan biaya.

Bagan Circular Economy




MEMELUK CE

Kini Dell telah mengubah rantai pasok yang bersifat closed-loop agar bisa mendapat lebih banyak nilai tambah dari bahan baku produknya. Terutama plastik yang menjadi material komputer. Seperti juga kertas, plastik cenderung kehilangan nilai inheren-nya setelah daur ulang, sehingga perusahaan cenderung mengambil pola reuse sepanjang waktu. Bersama mitra-mitra bisnisnya (seperti Wistron GreenTech), Dell telah mengembangkan cara untuk melindungi plastik yang digunakannya dari kehancuran, sehingga dapat terus didaur ulang. Cara ini bukan hanya menghemat uang, tapi juga menurunkan emisi karbon hingga 11% dibanding menciptakan produk yang sama dengan plastik baru, serta menarik minat para pelanggan yang ingin produk ramah lingkungan dan berkualitas tapi harganya tak mahal. Atas prestasinya itu Dell pun diganjar Accenture Award for Circular Economy Pioneer 2015.

Di tempat lain, perusahaan tekstil Worn Again bermitra dengan rakasasa fashion H&M dan Kering (pemilik merek Alexander McQueen, Balenciaga, Brioni, Gucci, Puma, Volcom, Saint Laurent) untuk menggunakan teknologi textile-to-textile chemical recycling untuk membawa inovasi baru dalam urusan produksi dan daur ulang pakaian. Teknik ini bisa memisahkan dan mengekstraksi polyester serta katun sehingga begitu dipisahkan, polyester dan selulosa yang ditangkap ulang dari katun, dapat digunakan kembali. Cara ini menciptakan model sumber daya sirkular untuk tekstil.

Di dunia tekstil, produksi polyester dan serta katun global pada tahun 2014 mencapai 65 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 90 ton di tahun 2020. Ini akan melahirkan persoalan kimiawi bila tak ada solusi yang komprehensif. Worn Again yang mulai mengolah materi daur ulang untuk membuat sepatu di tahun 2005, kemudian mencari jawabannya. Textile-to-textile chemical recycling menjadi jawabannya. Perusahaan ini sendiri sukses mengubah sampah pabrik menjadi seragam, dan mengubah seat cover pesawat Virgin Atlantic menjadi jaket, domper dan tas tangan. “Teknologi kami adalah jantung dari visi global yang akan mengikat semua merek, pendaur ulang tekstil, pemasok dan konsumen, menjadi satu kesatuan untuk menjaga pakaian tidak jatuh ke tanah, melainkan digunakan dari waktu ke waktu,” ujar Cyndi Rhoades, CEO Worn Again.


Model Sirkular Worn Again







Wal-Mart tak mau kalah. Wal-Mart bersama Coca-Cola, Colgate-Palmolive, Johnson & Johnson, Keurig Green Mountain, PepsiCo, P&G, Unilever, dan Goldman Sachs, meluncurkan Closed Loop Fund bernilai US$ 100 juta dalam upaya pengembangan infrastruktur daur ulang di kota-kota sekitar AS. Mereka berupaya membangun pipeline materi daur ulang, memaksimalkan efisiensi dan menurunkan ecological footprint bersama pelanggannya.

Sementara itu Ford dan raksasa aluminium, Novelis telah bekerjasama untuk menggunakan aluminium daur ulang. Lalu, Adidas bekerjasama dengan kelompok Parley for the Oceans untuk membuat sepatu lari yang menggunakan materi sampah laut.

Berikutnya Corporate Eco Forum, US Business Council for Sustainable Development dan World Business Council for Sustainable Development telah membuat National Material Marketplace. Ini adalah online database yang mengidentifikasi cara untuk reuse atau saling bertukar material yang sudah digunakan. Di sini kalangan perusahaan bisa mengembangkan circular supply chains. Sejumlah perusahaan besar telah begabung di marketplace ini, yakni 3M, Eastman Chemical, General Motor, Nike, Dow Chemical dan Tetra Pak. Khusus Dow Chemical, perusahaan ini sangat serius mengadopsi CE. Di Citrus Heights, California, Dow bahkan telah mengubah 2721 kg sampah plastik yang non-recyclable menjadi 512 gallon bahan bakar.

Bagi para penggiat CE, sistem yang mereka usung sangatlah tepat untuk isu green business dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini justru sangat vital karena menjadi platform yang ampuh untuk menampung semua inisiatif terkait gerakan hijau. ***


-------------------------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana Berpartisipasi dalam Circular Economy

Perusahaan sekecil apapun bisa berpartisipasi dalam CE. Ini tiga langkah yang bisa dilakukan:

#1. Praktikkan lebih banyak closed-loop recycling.
Ada dua bentuk daur ulang: closed dan open loop. Ini tak sama. Closed-loop melibatkan penggunaan kembali materi seperti gelas, baja, dan alumunium yang dapat didaur ulang secara kontinyu. Sementara itu, open loop menjadikan materi asal ke tingkat kualitas yang lebih rendah (downcycling). Perusahaan bisa memilih: hanya mendaur ulang materi yang tidak akan turun kualitasnya atau memperpanjang rentang hidup terlebih dahulu sebelum mendaur ulang. Contohnya MTB-Recycling. Perusahaan ini mengubah kawat tembaga dari mobil usang dan memroses ulang untuk menghasilkan 99,9% tembaga murni. Produk ini lalu dibeli Renault, pabrikan mobil yang mendukung gerakan CE.

#2. Menyewakan ketimbang menjual.
Daur ulang, betapapun bagusnya, tidaklah cukup karena bergantung pada end user untuk mendaur ulang barang yang tidak mereka inginkan. Beberapa perusahaan akhirnya memilih untuk menyewakan ketimbang menjual sehingga pemeliharaan produk akhir ada pada produsen. Ini disebut “servitization”. Contohnya, Renault menyewakan baterai mobil listriknya. Saat baterai rusak, Renault akan merekayasa ulang untuk penggunaan berikutnya. Contoh lain Mudjeans. Ketika pengguna tak lagi menyukai jeans yang mereka kenakan, Mudjeans akan meminta untuk dikembalikan. Mereka lalu memakai ulang bahan jeans tadi untuk membuat produk baru.

#3. Menawarkan cara memperpanjang dan meluaskan penggunaan produk.
Ketimbang menghancurkan produk yang tidak diinginkan, perusahaan bisa melakukan remanufacturing untuk memperpanjang masa pakai produk. Selanjutnya bisa digunakan di pasar sekunder atau negara berkembang. Fonebank, umpamanya, membeli smartphone lama, lalu me-refurbish dan menjual kembali sebagai smartphone baru sekaligus memberi kesempatan hidup kedua buat teknologi lama. Apple juga menjual produk refurbished dengan harga lebih murah.

Sumber: How Businesses Can Support a Circular Economy (Harvard Business Review, 1 Februari 2016)