Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, February 29, 2016

Dua Sumbu Nikkei

Share this history on :
Bila tak sanggup membangun, maka ambillah sainganmu. Itulah yang dipraktikkan raksasa dari Tokyo terhadap saingannya di London.

MENANG BERBURU

Ini bukan suasana kemenangan tim sepakbola Jepang atas Jerman. Namun, begitulah aura yang meruar di Imperial Hotel Tokyo pada 24 Juli 2015 ketika para pemimpin Nikkei Inc., perusahaan media terbesar Jepang duduk manis mengumbar senyum di hadapan para jurnalis. Dengan gembiranya mereka mengumumkan berita penting: akuisisi kelompok usaha surat kabar berpengaruh dari tanah Inggris Raya, Financial Times (FT) Group, pemilik surat kabar ternama, Financial Times. Lho, apa hubungannya dengan Jerman?

Secara mengejutkan, Nikkei mengalahkan Axel Springer, konglomerat media dari Jerman, pemilik sejumlah koran dan tabloid bergengsi: Bild, Die Welt dan Fakt. Jauh sebelum Nikkei jadi pemenang, sejatinya Springer-lah yang bernegosiasi dengan Pearson, pemilik FT Group. Selama setahun penuh, dari Berlin mereka membelah udara, terbang ke London, duduk bernegosiasi mencari kesepakatan harga.

Awal negosiasi, Springer datang dengan tawaran US$ 930 juta. Pearson menolak dengan sopan. Lalu Springer menaikkan tawarannya menjadi US$ 1,16 miliar. Lagi, konglomerat media serta pendidikan di Inggris itu kembali menggeleng. Dua pihak ini pun terus bernegosiasi dengan alotnya.

Sebenarnya tak hanya Springer yang memburu FT Group. Pemain top lainnya di industri media, Bloomberg serta Thomson Reuters juga ikut perburuan. Tapi raksasa Jerman itulah yang paling serius mendekati Pearson. Bak serigala yang begitu lapar hendak memangsa korbannya, ia aktif merangsek.

Tak perlu heran jika FT Group -- khususnya surat kabarnya -- menjadi incaran media-media besar. Koran FT – yang sering disebut the salmon newspaper (karena kertasnya berwarna kuning salmon) – memang ibarat bunga cantik nan menawan, yang membuat gatal tangan untuk memetiknya. Terlebih di era berita digital seperti saat ini yang membuat banyak media cetak kelimpungan tak tahu arah yang dituju.

Diantara surat kabar kelas dunia, FT memang terbilang sukses di ranah cetak dan online. Total sirkulasi cetak serta digitalnya meningkat lebih dari 30% selama 5 tahun terakhir menjadi 737 ribu pelanggan.

Dari total peningkatan sirkulasi itu, area digital menjadi primadonanya. Pelanggan situs FT.com tumbuh 21% di tahun 2014 menjadi hampir 504 ribu. Secara total, kanal digital menyumbang 70% dari total pembaca berbayar FT. Prosentase sumbangannya ini melejit dari posisi 24% pada 5 tahun lalu.

Menariknya, dengan data seperti itu, kinerja keuangan FT Group pun ikut cantik. Tahun 2014 mereka menyumbang penjualan senilai US$ 511 juta dan US$ 36,7 juta laba operasi ke Pearson. Hebatnya, angka sebesar itu sebagian besar datang dari jalur penjualan konten, bukan lagi iklan seperti yang masih terjadi pada media lain.

Inilah yang membuat banyak pihak tergiur untuk menyunting sang primadona. Dan Springer menjadi yang terdepan sampai kemudian disalip Nikkei pada 15 menit terakhir sebelum tawaran resmi ditutup.

Ya, akuisisi FT Group oleh Nikkei tak ubahnya sebuah drama sinetron. Bila di lapangan hijau, mirip sebuah gol di injury time yang menjadi pemisah antara pemenang dan pecundang. Kejadiannya; sementara negosiasi dengan Springer mentok di jalan, Pearson menerima tawaran Nikkei di pintu yang berbeda. Dari Tokyo, jajaran penting Nikkei menjejak London menawarkan proposal.


Financial Times, gadis cantik yang dipinang Nikkei
Tak perlu berlama-lama seperti saat menghadapi pewakilan Springer, setelah 5 minggu bernegosiasi, Pearson dengan tangan terbuka menerima mahar dari raksasa Jepang itu di angka US $1,3 miliar yang dibayar tunai. Yang menjadi drama adalah kesepakatan “pernikahan” itu hanya terjadi 15 menit sebelum Springer datang kembali dengan tawaran baru yang lebih tinggi dari angka sebelumnya.

Itulah sebabnya para petinggi Nikkei bersorak. Mereka menyingkirkan pemain Jerman yang sudah lebih lama merayu Pearson, yang akhirnya cuma melongo dan gigit jari.

Sungguh, ini peristiwa hebat di dunia media. Lazimnya, media Barat diambil sesama pemain dari Barat. Atau setidaknya media berbahasa Inggris. Bukan dari dunia belahan Timur. Dalam sepuluh tahun terakhir, akuisisi media besar di belahan Barat dilakukan sesama pemain dari Barat seperti tertera di tabel (Akuisisi Media Raksasa 10 Tahun Terakhir).

Uniknya, bukan orang Jerman yang terluka dengan pembelian ini. Dulu, Dame Marjorie Scardino, mantan CEO Pearson selalu melemparkan kalimat yang keras pada ide penjualan koran berwarna salmon itu. “Langkahi dulu mayatku,” kata wanita berkacamata ini dengan berapi-api. Tekat semacam itulah yang melindungi FT dan kelompoknya dari terkaman sejumlah pihak yang telah lama ingin mencaploknya.

Sementara di Tokyo petinggi Nikkei berpesta, di London ada kemarahan yang meluap. Pengambilalihan FT Group kontan menambah gerundelan di tanah Inggris Raya. Omelan yang benuansa nasionalisme. Maklum, jagoan mereka, satu persatu jatuh dalam pelukan asing. Sebelumnya, Jaguar Land Rover (ke perusahaan India), Asda (AS), Aga (AS), Boots (Italia), Rolls-Royce (Jerman), Weetabix (China), Cadbury (AS), Camelot (Kanada), Raleigh (Belanda), Branston Pickle (Jepang), Newcastle Brown Ale (Belanda dan Denmark), bahkan klub-klub sepakbola ternama seperti Manchester United, Liverpool dan Arsenal pun jatuh ke pelukan orang AS, sementara Manchester City milik lelaki-lelaki bersurban dari Uni Emirates, dan Chelsea punya taipan Rusia.

Penjualan FT Group sungguh menimbulkan pertanyaan tersendiri. Selama 60 tahun di bawah naungan Pearson, kelompok media ini sejatinya telah menambah kekokohan bisnis sang induk. Bahkan menjadi pilarnya. Lantas, mengapa dijual?

Zaman memang telah berubah. John Fallon, CEO Pearson mengambil sikap berbeda dibanding para pendahulunya, apalagi Scardino. Penjualan FT Group, katanya adalah untuk membuat Pearson lebih fokus di pendidikan. Di era mobile serta gemuruh media sosial seperti sekarang, rumah bernaung yang paling baik buat kelompok FT, katanya, adalah perusahaan seperti Nikkei.

Pernyataan ini sebenarnya agak ambigu, terutama dilihat dari sisi jurnalistik. Di kancah global, koran FT dikenal sebagai media yang otoritatif, berintegritas dan akurat. Sementara Nikkei dikenal sebagai koran yang konservatif, yang cenderung lebih menjadi corong kepentingan Japan Inc. ketimbang publik sehingga memoles berita korporasi Jepang dengan cantik. Kritikan keras kerap dilemparkan pada surat kabar ini yang dituding ogah-ogahan membongkar praktik tidak sedap kalangan dunia usaha Jepang. Diantaranya, skandal akuntasi Olympus di tahun 2011. Bukan Nikkei yang membongkar borok besar di tanah airnya itu, justru FT lah yang mengungkap bau busuknya.

Alhasil, sangat terang-benderang: alasan ekonomilah yang menjadi penyebab utama dilepasnya FT Group. Ken Doctor, analis yang menulis berita bisnis di situsnya, Newsonomics.com, mencatat bahwa Nikkei membayar 40 kali laba kelompok FT, setara dengan valuasi yang dibayar Rupert Murdoch ketika membeli Dow Jones dan koran utamanya, The Wall Street Journal. FT Group yang dijual ke Nikkei, di dalamnya termasuk surat kabar edisi cetak (FT), FT.com, How to Spend It, FT Labs, FTChinese, The Banker, Investors Chronicle, MandateWire, Money-Media, dan Medley Global Advisors.

Dengan uang belasan triliun rupiah itu, Pearson ditengarai akan punya bekal untuk membenahi sejumlah bisnisnya di area pendidikan. Dan itu diakui John Fallon. “Pearson akan 100% fokus pada pendidikan global,” katanya. Bisnis Pearson yang diantaranya menjalankan pusat uji GMAT dan ujian lainnya secara global di samping punya sekolah serta penerbitan buku memang tengah tertekan. Bisnis buku teksnya, umpamanya, terancam gelombang migrasi ke e-book dan sumber online lainnya. Pendapatannya tahun lalu turun 4% menjadi US$ 7,6 miliar.

Inilah yang menjadi dasar Fallon untuk mengambil keputusan yang dulunya seakan hal yang tabu. Yang pasti, ada yang mengatakan akuisisi ini adalah pernikahan dua raksasa. Faktanya memang demikian. Keduanya punya kesamaan: surat kabar bisnis dan keuangan. Keduanya juga pemain besar serta punya pengaruh di dunia pasar modal dengan menerbitkan indeks pasar modal. FT bertanggung jawab untuk FTSE atau yang biasa disebut indeks ‘Footsie’ untuk 100 saham utama di Inggris. Sementara Nikkei punya Nikkei indeks 225 untuk perusahaan Jepang papan atas.

STRATEGI PENTING

Namun, uang tunai US $1,3 miliar yang dikucurkan Nikkei, dipandang lebih menguntungkan raksasa Jepang itu. Kemenangan di detik-detik akhir ini bukan hanya mendatangkan tepuk tangan buat Nikkei. Makna akuisisi lebih dari itu. Lebih dari sekadar pembelian sebuah surat kabar. Ini adalah ejawantah sebuah strategi penting.

Nihon Keizai Shimbun, yang berarti surat kabar ekonomi Jepang, yang kemudian disingkat menjadi Nikkei, keberadaannya jauh lebih senior dibanding pemain dari Inggris itu. Nikkei berdiri tahun 1876 sementara koran FT tahun 1888. Dari segi pendapatan, koran yang awal mulanya adalah tabloid internal milik Mitsui & Company ini juga lebih besar. Tahun lalu meraup US$ 2,4 miliar dengan laba operasinya tiga kali lipat FT.

Namun, ada keadaan yang membuat Nikkei merasa harus “menikahi” FT Group. Tidak lain dan tidak bukan adalah kemampuan pemain dari Inggris itu, terutama untuk divisi surat kabarnya dalam berselancar di era digital seperti disinggung di atas. Inilah kemampuan yang tidak dimiliki Nikkei.

Sementara FT Group sudah lebih dulu mengarungi era digital dengan mendirikan FT.com sebagai pelopor untuk layanan berita berbayar, Nikkei justru berjalan bak siput. Layanan online-nya baru dimulainya tahun 2010. Di tahun 2013, mereka lalu meluncurkan Nikkei Asian Review (asia.nikkei.com) yang berbahasa Inggris. Ini menggantikan situs bahasa Inggris sebelumnya, nikkei.com dan Asia Weekly. Nikkei.com kini berbahasa Jepang.

Alhasil, dalam konteks menghadapi perubahan besar akibat gelombang berita digital, Nikkei bisa disebut kejatuhan durian. Telah lama jagoan dari Jepang itu ingin melebarkan sayap online-nya, berseluncur di medan digital. Akuisisi ini jelas akan memperkuat cengkeramaannya di era transformasi digital yang begitu dahsyat seperti sekarang.

Ya, akuisisi ini terjadi pada masa transformasi dan perubahan besar di industri media cetak. Secara tradisional, berpuluh-puluh tahun sudah industri surat kabar menyandarkan pendapatan dari cetak dan iklan. Datangnya era internet, ponsel, serta tablet telah menciptakan suasana sulit bagi industri. Seiring kian banyaknya orang mendapat berita dari sumber online, permintaan untuk edisi cetak kian menurun. Konsekuensinya, pendapatan iklan cetak pun merosot. Di AS, misalnya. Dalam 10 tahun terakhir, industri surat kabar Negeri Abang Sam telah kehilangan pendapatan dari iklan cetak: melorot dari US$ 60 juta menjadi US$ 30 juta.

Di tengah disrupsi besar seperti ini, FT – terutama surat kabarnya –, justru telah menjadi simbol sukses. Mereka sendiri sebenarnya mengakui beratnya efek digital bagi iklan cetak. “Iklan cetak terus menurun,” begitu tertulis di laporan tahunan FT Group 2014. Namun, seperti disebut di atas, konstribusi pelanggan digitalnya terus melejit. Pertanyaannya: bagaimana mereka bisa melakukan itu?

Ini adalah buah dari strategi yang jitu. Di tahun 2001, FT memperkenalkan model langganan online. Pelanggan diminta untuk membayar konten yang bernilai. Tahun 2007, FT sedikit melakukan perubahan pada model ini. Caranya: memberikan kontrol kepada pelanggan. Model baru ini memungkinkan member mendapatkan kuota dan bebas mengaturnya sendiri sehingga bisa mendapat konten gratis serta mengunduh artikel yang diinginkan. Nanti, bila kuota habis, barulah disyaratkan berlangganan. Cara ini sukses besar. FT pun menjadi pemimpin pasar dalam mencari pendapatan online serta membesarkan jumlah pembaca dengan men-charge konten.

Tahun 2007 juga menjadi saat monumental bagi FT. Mereka mengguncang praktik di industri dengan menjual konten bersifat bulk kepada para aggregator, yang kemudian menjualnya pada end user. Dengan pola ini, pelanggan mengakses konten melalui aggregator yang terdaftar di FT.com. Hal ini membuat manajemen FT bisa memahami perilaku pelanggan sehingga bisa melayaninya lebih baik.

Langkah ini akhirnya membuat koran FT mampu melakukan transformasi besar: bergerak dari model pendapatan lewat langganan cetak dan iklan menjadi jalur konten online berbayar. Ia mampu bertransformasi dari bisnis surat kabar cetak menjadi bisnis media digital. Ia sukses sementara yang lainnya tengah bergelut.

“FT adalah pemimpin dalam urusan mengelola pelanggan digital,” puji guru besar manajemen Wharton, Emilie Feldman. FT, dia melanjutkan, telah menunjukkan kesuksesan dalam mengonversi “pembaca” digital menjadi “pelanggan” ketika mereka kehabisan kuota atau membaca artikel.

Kesuksesan FT membesarkan basis pembaca digital yang berlangganan di tengah penurunan pendapatan iklan, ungkap Ken Doctor, adalah hal menarik. Menurutnya, The New York Times sekarang meraih lebih dari US$ 6 dari setiap US$ 10 yang dibayar pembacanya. The New York Times sendiri, katanya meniru model FT yang sudah lebih dulu melakukannya. “Ini sangatlah penting di dunia di mana periklanan berubah dahsyat dan Google serta Facebook mendominasi,” tulis Doctor yang juga menjadi kontributor Nieman Journalism Lab Harvard University.

Berbeda dengan FT, selain lambat, Nikkei pun tertatih-tatih melakukan transformasi digitalnya. Padahal, kemampuan ini sangat dibutuhkan mengingat Jepang pun tak steril dari gelombang besar perubahan industri media. Maklum, di Negeri Matahari Terbit, sirkulasi cetak juga terus melambat terkena hantaman media online. Nikkei sendiri masih bergantung pada kertas dan tinta. Dari 2,7 juta pelanggannya, hanya 430 ribu yang mengakses produk digitalnya. Bandingkan dengan FT yang punya 504 ribu pembayar layanan digital dari 737 ribu pelanggan.

Selain tertatih, Nikkei juga kurang sukses melakukan transformasi digital. Layanan online-nya di tahun 2010 berikut peluncuran asia.nikkei.com di tahun 2013 tak seperti yang diharapkan. Tak bisa disebut gagal total, memang. Tapi sangat lelet.

Alhasil, bagi perusahaan seperti Nikkei yang ingin melebarkan pasar global dan berselancar di era digital, pilihannya cuma dua: build, terus membangun yang ada, yang menjengkelkan karena lambat dan tak sukses, atau buy, membeli yang sudah mapan dan terbukti sukses. Akhirnya Nikkei pun memilih jalan yang kedua.

“Nikkei memang sudah lama ingin go-global. Tapi mereka tak pernah berhasil. Padahal, jika Anda ingin menjadi pemain global, maka Anda harus punya jangkauan global. Pilihannya, pada akhirnya membeli sesuatu yang sudah mengglobal,” ujar Yoshikazu Mikami, guru besar kajian media Mejiro University di Tokyo memuji langkah Nikkei.

Manajemen Nikkei sendiri mengakui langkah akuisisi ini benar-benar bagian penting dari strategi transformasi digitalnya. Pertumbuhan kami, ujar Chairman Nikei, Tsuneo Kita, terletak pada dua sumbu: digital dan global. Itulah sebabnya mereka bersorak setelah mengambil FT. Sebab, dengan mencaplok FT Group, bukan hanya berarti Nikkei telah memiliki senjata yang tangguh untuk bermain global, melainkan juga papan seluncur yang kuat untuk menunggangi gelombang perubahan digital dunia surat kabar dan penerbitan.

Mari kita lihat lebih dekat, dari sumbu global, Nikkei punya tambahan amunisi baru: dengan sebarannya yang masif, FT berkekuatan sekurangnya 500 wartawan di lebih dari 50 lokasi di dunia. “Nikkei jelas-jelas membeli pertumbuhan di luar, sementara di dalam negerinya pasar terus menciut,” ujar Feldman. Di sisi lain, Nikkei juga bisa menolong FT menggenjot pendapatannya di Asia, wilayah yang tumbuh pesat, yang terus diintai media global. “Dengan akuisisi ini, bisa menolong pertumbuhan FT,” kupas Doctor.

Lalu, dari sumbu digital, pembelian Nikkei atas FT adalah membeli pengaruh sekaligus langkah strategis untuk memenangkan era digital. Nikkei bisa belajar dari FT bagaimana melakukan transformasi digital sehingga mampu mencetak uang lebih banyak dari sistem pelanggan berbayar ketimbang iklan.

Naotoshi Okada, President Okada mengakui pihaknya akan belajar banyak dari kekuatan FT di berita digital, termasuk dalam hal customer management system. Pelanggan digital Nikkei dan FT sendiri akan menjadi 934 ribu. Berada di belakang 1 juta pelanggan digital New York Times.

Keuntungan ini adalah competitive advantage yang pantas membuat Nikkei bersuka cita. Namun lebih dari itu, dengan mengambil FT Group yang sukses di ranah digital, Nikkei sejatinya tengah memeluk masa depan. Mengapa?

Kesepakatan ini memberi pijakan di tengah kian menggembungnya generasi millennial.

“Fenomena besar di berita digital adalah fokus pada millennial,” ujar Doctor. “Generasi millennial lebih besar ketimbang baby boom. Anda mengombinasikannya dengan bisnis berita dan Anda punya jutaan orang muda. Ini adalah target utama perusahaan berita,” kata pengarang Newsonomics: Twelve New Trends That Will Shape the News You Get itu.

Tentu saja ini peluang yang begitu besar yang dimiliki Nikkei. Namun apakah mereka mampu memanfaatkannya, semuanya akan bergantung pada seberapa sanggup mereka menyinergikan aset-aset yang ada. Yang pasti, Nikkei telah memiliki kendaraan untuk berselancar di medan digital yang begitu dahsyat. ***


Akuisisi Media Raksasa 10 Tahun Terakhir

Tahun
Perusahaan Media
Pembeli
Harga Jual
2007
Dow Jones & Company (AS), penerbit The Wall Street Journal
Media group News Corp
US$ 5 miliar
2007
Tribune Company (AS), penerbit Los Angeles Times
Sam Zell
US$ 8,2 miliar
2008
Reuters Group (Inggris)
Thomson Corporation
US$ 17 miliar
2010
Le Monde (Perancis)
Matthieu Pigasse, Pierre BergĂ©, dan Xavier Niel 
US$ 125,4 juta
2011
Huffington Post (AS)
AOL
US$ 315 juta
2013
Boston Globe (AS)
John W. Henry, pemilik Boston Red Sox
US$ 70 juta
2013
Washington Post (AS)
Jeff Bezos, pendiri Amazon
US$ 250 juta
2015
Financial Times (Inggris)
Nikkei
US$ 1,3 miliar

  
iNSIGHT
----------------------------------------------------------------------------------------------

Strategi Digital Nikkei

Menyadari disrupsi digital terus mengancam industri media dan penerbitan, Nikkei mencoba melakukan transformasi digital. Langkahnya:
v  Tahun 2010: meluncurkan layanan online, nikkei.com, berbahasa Inggris
v  Tahun 2013: meluncurkan Nikkei Asian Review lewat laman asia.nikkei.com. Berbahasa Inggris, situs ini menggantikan nikkei.com

Selain terlambat, langkah ini pun tertatih-tatih. Nikkei masih bergantung pada kertas dan tinta. Kinerjanya pun tak memuaskan:
v  Dari 2,7 juta pelanggannya, hanya 430 ribu yang mengakses produk digitalnya.

Karena membangun (build) sendiri kurang sukses, maka membeli (buy) adalah jalan paling rasional untuk cepat bertransformasi. Akhirnya, langkah terakhir diayunkan:
v  Tahun 2015: membeli Financial Times Group yang sukses di ranah digital

Harapan lewat strategi ini, merengkuh dua sumbu pertumbuhan sekaligus:
v  Sumbu global: jangkauan Nikkei akan semakin mengglobal, bersinergi dengan FT
v  Sumbu digital: Nikkei akan belajar mentransformasi diri, mengoversi pembaca menjadi pelanggan digital, menggeber pendapatan konten online, dan meraih pembaca generasi millennial



0 comments: