Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, February 27, 2016

Circular Economy yang Makin Krusial

Share this history on :
Dunia terlalu lama menjalankan sistem ekonomi linier. Diperlukan sistem ekonomi baru yang radikal, yang mengubah cara pandang dan perilaku demi keberlanjutan pembangunan. Inilah sistem yang mendesak untuk dijalankan.

KONSEP YANG SEKSI

Setelah sustainablility development, triple bottom line, dan green business, kini konsep yang makin aktif didorong menjadi wacana publik adalah circular economy (EC). Berbagai artikel, buku, seminar, terus digelorakan. CE pun menjadi konsep yang seksi. Terakhir, panggung besar yang menjadi tempatnya mentas memamerkan kehebatannya adalah Paris Climate Summit, 30 November-12 Desember 2015.

Dalam pertemuan akbar di Paris itu, di tengah diskusi perihal menurunkan target emisi, para pemimpin global juga mendiskusikan tentang implementasi CE demi keberlanjutan pembangunan. Tak tanggung-tanggung, dalam pidatonya, Komisioner Uni Eropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, Karmenu Vella bahkan menekankan perlunya sistem ekonomi bergeser ke CE. Uni Eropa sendiri, katanya, telah menyediakan € 650 juta untuk mendanai inovasi agar terjadi perubahan perilaku konsumen atas bahan material, menurunkan sampah elektronik dan makanan, serta mengembangkan teknik daur ulang yang baru.

Demi keberlanjutan bumi, manusia, dan pembangunan berkelanjutan, pesan Vella, CE sudah mesti dilakukan, terutama oleh kalangan bisnis sebagai aktor penting pembangunan ekonomi. CE bahkan sangat siginifikan dalam kaitannya dengan green business yang sering disuarakan kalangan korporasi itu sendiri. Jadi, apa sebenarnya CE? Dan apa relevansinya dengan green business?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami terlebih dahulu konsep yang pada hari-hari mendatang akan menjadi kosa kata yang mewabah. Dan cara terbaik untuk menjelaskannya adalah kita harus membandingkannya dengan ekonomi linier yang sekarang berjalan. Dalam sistem ekonomi yang kini dominan sejak revolusi industri, manusia mengekstrak sumber daya dari planet, yang dari waktu ke waktu berlangsung semakin cepat dan masif, lalu mengubahnya menjadi produk yang kebanyakan dibuang setelah digunakan. Artinya, ending-nya adalah menjadi sampah (waste).

Model ekonomi linier yang kita jalani sekarang sering disebut model take-make-dispose”: ambil sumber daya alam, olah menjadi produk, lalu buang jadi sampah. Konsultan McKinsey, Hanh Nguyen dan Martin Stuchtey, serta Markus Zils (Remaking the Industrial Economy, Februari 2014) menyebut ekonomi industri yang sekarang berjalan seperti sistem conveyor belts yang massif, yang mengambil materi dan energi dari negara-negara berlimpah sumber daya (resource-rich), membawanya ke tempat pabrik-pabrik besar berada seperti China, lalu produknya didistribusikan ke AS, Eropa, dan tujuan lainnya, untuk digunakan dan lalu menjadi sampah yang mengotori tanah, air serta udara.

Dalam perspektif individu atau organisasi, hal tersebut terlihat wajar. Bahkan dalam industrialisasi kadang dianggap efisien sehingga menjadi jantung industrialisasi global. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, hal ini sama sekali tidak berkelanjutan. “Clearly, the era of largely ignoring resource costs is over,” tulis Hanh Nguyen dkk.

CE sangat berbeda dengan ekonomi linier. Ini adalah pola ekonomi yang restoratif dan desain yang regeneratif. Model ini bertujuan menciptakan green business untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. CE memerhatikan sejak sisi hulu, tempat sumber daya alam berada, di tengah (bagian desain hingga proses), dan di hilir (pengguna). Ini adalah sistem yang waste-fee (bebas sampah). Mengapa? Karena menjaga produk, komponen, dan bahan produksi berada pada utilitas serta nilai tertinggi semaksimal mungkin sehingga bisa digunakan.

Secara historis dan akar pemikiran, konsep CE bisa dikatakan berakar pada gerakan Cradle to Cradle (C2C) yang diinisiasi William McDonough bersama Michael Braungart di tahun 2002. Model ini sendiri dikembangkan berdasarkan konsep lifecycle development. Pada prinsipnya, C2C mengembalikan proses industri dan komersial ke dalam ekosistem. Dengan demikian, bahan teknis kembali ke ekosistem industri, sementara bahan biologis kembali ke ekosistem alami. Mimpi besar C2C adalah menutup siklus hayati sehingga tak ada lagi limbah dibuang. Jargon mereka yang terkenal untuk daur ulang penuh ini adalah “waste = food”. Tak ubahnya limbah biologis suatu organisme yang dapat menjadi makanan organisme lainnya dalam rantai makanan, begitu pula seharusnya bahan baku dalam rantai industri: bisa diolah kembali.

Tokoh yang identik dengan CE adalah seorang wanita, Dame Ellen MacArthur yang kemudian mendirikan Ellen MacArthur Foundation untuk mendorong konsep ini menjadi sebuah praktik yang mengglobal. “Di tahun 2010, saya mulai membuat yayasan dan menggagas ‘circular economy’ untuk membantu membingkai konsep ini,” ujar Ellen. Kini, dia pergi ke mana-mana menjual konsep ini dengan mengajak orang berpikir betapa bahayanya bila ekonomi linier terus berjalan.

Ellen MacArthur


Ya, ekonomi linier membuat pengolahan ekstraktif di abad 21 makin menggila. Bumi terus digali dan digali demi kebutuhan manusia, baik sandang, pangan, maupun papan. Sementara itu, jumlah kelas menengah global terus meningkat, akan mencapai 5 miliar di tahun 2030. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, penggunaan energi fosil dan sumber daya akan makin membesar lantaran bukan hanya sandang, pangan, papan yang dibutuhkan, aspek gaya hidup pun mendominasi. Contoh kecil: kini makin banyak orang memiliki 2 buah ponsel yang tentunya membutuhkan energi lebih banyak. Itupun ponsel baru, bukan hp bekas hasil refurbished atau remanufactured. Munculnya kelas menengah baru diyakini mempercepat pelemahan bumi karena keinginan peningkatan standar kehidupan. Ekonomi linier yang sekarang berkuasa, ungkap Ellen, sangatlah boros dalam menciptakan nilai.

Pernyataan wanita berambut pendek ini bukan isapan jempol. Para analisis menemukan pemborosan di sejumlah sektor. Bahkan pada sisi penggunaan produk jadi pun terjadi pemborosan yang besar. Contoh di Eropa, lamanya mobil diparkir mencapai 92% dari waktu penggunaannya, sementara itu 31% makanan sangat boros di rantai nilai proses produksinya.

Jika model ekonomi linier semacam ini (take-make-dispose) terus berlanjut, sangat membahayakan keberlangsungan bumi dan penghuninya. Sebab ekonomi linier meningkatkan degradasi alam, yang menimbulkan perubahan iklim, rusaknya keragaman hayati, hilangnya natural capital, degradasi tanah, dan polusi laut.

KEUNTUNGAN MODEL CE

Sebaliknya dengan CE, tahun 2014, Ellen MacArthur Foundation dan World Economic Forum merilis laporan yang menyatakan bahwa lebih dari US$ 1 triliun setahun dapat dihasilkan oleh ekonomi global di tahun 2025, dan 100 ribu pekerjaan diciptakan hingga 2019 jika perusahaan dan kalangan bisnis fokus untuk CE. Mereka juga menyatakan bahwa benua Eropa dapat meraup laba bersih senilai € 1,8 triliun di tahun 2030 atau € 0,9 triliun lebih banyak jika menjalankan sistem ekonomi linier. Syaratnya: mengadopsi prinsip-prinsip CE. Mengapa bisa demikian?

Sebagai sebuah sistem, CE memang memiliki 3 prinsip yang membedakannya dengan ekonomi linier, yang potensial menciptakan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Prinsip pertama: menjaga dan meningkatkan natural capital dengan mengontrol cadangan alam yang tak bisa diperbarui serta menyeimbangkan arus sumberdaya yang bisa diperbarui. Saat membutuhkan sumber daya, sistem CE akan menyeleksi dengan bijak, dan memilih teknologi serta proses yang menggunakan sumber daya yang bisa diperbarui bila memungkinkan. CE juga mendorong terciptanya kondisi untuk regenerasi.

Prinsip kedua: mengoptimalkan lahan sumber daya dengan mensirkulasi produk, komponen, dan material pada titik penggunaan paling tinggi, baik secara teknis maupun biologis. Ini berarti mendesain untuk remanufacturing, refurbishing, dan recycling guna menjaga komponen teknis dan material produksi tersirkulasi serta berkontribusi pada ekonomi.

Prinsip ketiga: memeliharan efektivitas sistem dengan mendesain eksternalitas yang bersifat negatif. Diantaranya menurunkan kerusakan terhadap sistem dan area seperti makanan, pendidikan, kesehatan dan hiburan, serta mengelola eksternalitas seperti penggunaan tanah, udara, air dan polusi, serta pelepasan substansi racun.

Dalam prinsip EC, tidak ada sampah. Produk didesain dengan sengaja. Materi biologis bersifat non-toxic dan dengan mudah dapat dikembalikan ke tanah dengan cara composting atau penguraian anaerobik (produk bio-degradable diproses dan dipecah menjadi biogas). Sementara itu materi teknis seperti logam dan material yang dibuat manusia, didesain agar bisa dipulihkan, disegarkan, dan di-upgrade. Untuk yang tertarik lebih jauh bisa masuk ke laman: http://www.ellenmacarthurfoundation.org. Di sini artikel dan riset bisa diunduh gratis untuk membuka wawasan kita.

Bagi sejumlah kalangan, model ekonomi ini sangat ambisius. Mendesain ekonomi dalam sebuah sistem yang restoratif tidaklah mudah. Toh yang mendukung konsep ini semakin banyak. Buku-buku yang pro-CE terus bermunculan. Diantaranya karya Peter Lacy dan Jakob Rutqvist, keduanya dari Accenture yang menulis Waste to Wealth: The Circular Economy Advantage (2015). Mereka percaya reuse dan reduction akan membuktikan kebenaran agenda pertumbuhan. Lalu Richard Dobbs, James Manyika dan Jonathan Woetzel (konsultan McKinsey’s Global Institute) lewat No Ordinary Disruption (2015) yang melihat CE adalah cara cerdas untuk memangkas biaya di tengah perubahan demografis dan teknologi yang begitu cepat.

Kalangan korporasi pun sudah banyak yang mulai mengadopsi di sector masing-masing. Dell Computer, misalnya. Sejak awal, Dell bahkan berupaya menjadi yang terdepan dalam urusan mengadopsi sistem CE. Kini mereka mendesain produk dalam konteks whole lifecycle, yang memungkinkan reuse, repair, dan recyclability untuk produk yang mereka lempar ke pasar. Salah satunya dalam penggunaan material plastik. Mereka menggunakan model closed-loop plastics yang disertifikasi UL Environment. Plastik digunakan dengan teknologi untuk memanjangkan usia penggunaan, jejak karbon yang lebih kecil, dan menurunkan biaya.

Bagan Circular Economy




MEMELUK CE

Kini Dell telah mengubah rantai pasok yang bersifat closed-loop agar bisa mendapat lebih banyak nilai tambah dari bahan baku produknya. Terutama plastik yang menjadi material komputer. Seperti juga kertas, plastik cenderung kehilangan nilai inheren-nya setelah daur ulang, sehingga perusahaan cenderung mengambil pola reuse sepanjang waktu. Bersama mitra-mitra bisnisnya (seperti Wistron GreenTech), Dell telah mengembangkan cara untuk melindungi plastik yang digunakannya dari kehancuran, sehingga dapat terus didaur ulang. Cara ini bukan hanya menghemat uang, tapi juga menurunkan emisi karbon hingga 11% dibanding menciptakan produk yang sama dengan plastik baru, serta menarik minat para pelanggan yang ingin produk ramah lingkungan dan berkualitas tapi harganya tak mahal. Atas prestasinya itu Dell pun diganjar Accenture Award for Circular Economy Pioneer 2015.

Di tempat lain, perusahaan tekstil Worn Again bermitra dengan rakasasa fashion H&M dan Kering (pemilik merek Alexander McQueen, Balenciaga, Brioni, Gucci, Puma, Volcom, Saint Laurent) untuk menggunakan teknologi textile-to-textile chemical recycling untuk membawa inovasi baru dalam urusan produksi dan daur ulang pakaian. Teknik ini bisa memisahkan dan mengekstraksi polyester serta katun sehingga begitu dipisahkan, polyester dan selulosa yang ditangkap ulang dari katun, dapat digunakan kembali. Cara ini menciptakan model sumber daya sirkular untuk tekstil.

Di dunia tekstil, produksi polyester dan serta katun global pada tahun 2014 mencapai 65 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 90 ton di tahun 2020. Ini akan melahirkan persoalan kimiawi bila tak ada solusi yang komprehensif. Worn Again yang mulai mengolah materi daur ulang untuk membuat sepatu di tahun 2005, kemudian mencari jawabannya. Textile-to-textile chemical recycling menjadi jawabannya. Perusahaan ini sendiri sukses mengubah sampah pabrik menjadi seragam, dan mengubah seat cover pesawat Virgin Atlantic menjadi jaket, domper dan tas tangan. “Teknologi kami adalah jantung dari visi global yang akan mengikat semua merek, pendaur ulang tekstil, pemasok dan konsumen, menjadi satu kesatuan untuk menjaga pakaian tidak jatuh ke tanah, melainkan digunakan dari waktu ke waktu,” ujar Cyndi Rhoades, CEO Worn Again.


Model Sirkular Worn Again







Wal-Mart tak mau kalah. Wal-Mart bersama Coca-Cola, Colgate-Palmolive, Johnson & Johnson, Keurig Green Mountain, PepsiCo, P&G, Unilever, dan Goldman Sachs, meluncurkan Closed Loop Fund bernilai US$ 100 juta dalam upaya pengembangan infrastruktur daur ulang di kota-kota sekitar AS. Mereka berupaya membangun pipeline materi daur ulang, memaksimalkan efisiensi dan menurunkan ecological footprint bersama pelanggannya.

Sementara itu Ford dan raksasa aluminium, Novelis telah bekerjasama untuk menggunakan aluminium daur ulang. Lalu, Adidas bekerjasama dengan kelompok Parley for the Oceans untuk membuat sepatu lari yang menggunakan materi sampah laut.

Berikutnya Corporate Eco Forum, US Business Council for Sustainable Development dan World Business Council for Sustainable Development telah membuat National Material Marketplace. Ini adalah online database yang mengidentifikasi cara untuk reuse atau saling bertukar material yang sudah digunakan. Di sini kalangan perusahaan bisa mengembangkan circular supply chains. Sejumlah perusahaan besar telah begabung di marketplace ini, yakni 3M, Eastman Chemical, General Motor, Nike, Dow Chemical dan Tetra Pak. Khusus Dow Chemical, perusahaan ini sangat serius mengadopsi CE. Di Citrus Heights, California, Dow bahkan telah mengubah 2721 kg sampah plastik yang non-recyclable menjadi 512 gallon bahan bakar.

Bagi para penggiat CE, sistem yang mereka usung sangatlah tepat untuk isu green business dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini justru sangat vital karena menjadi platform yang ampuh untuk menampung semua inisiatif terkait gerakan hijau. ***


-------------------------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana Berpartisipasi dalam Circular Economy

Perusahaan sekecil apapun bisa berpartisipasi dalam CE. Ini tiga langkah yang bisa dilakukan:

#1. Praktikkan lebih banyak closed-loop recycling.
Ada dua bentuk daur ulang: closed dan open loop. Ini tak sama. Closed-loop melibatkan penggunaan kembali materi seperti gelas, baja, dan alumunium yang dapat didaur ulang secara kontinyu. Sementara itu, open loop menjadikan materi asal ke tingkat kualitas yang lebih rendah (downcycling). Perusahaan bisa memilih: hanya mendaur ulang materi yang tidak akan turun kualitasnya atau memperpanjang rentang hidup terlebih dahulu sebelum mendaur ulang. Contohnya MTB-Recycling. Perusahaan ini mengubah kawat tembaga dari mobil usang dan memroses ulang untuk menghasilkan 99,9% tembaga murni. Produk ini lalu dibeli Renault, pabrikan mobil yang mendukung gerakan CE.

#2. Menyewakan ketimbang menjual.
Daur ulang, betapapun bagusnya, tidaklah cukup karena bergantung pada end user untuk mendaur ulang barang yang tidak mereka inginkan. Beberapa perusahaan akhirnya memilih untuk menyewakan ketimbang menjual sehingga pemeliharaan produk akhir ada pada produsen. Ini disebut “servitization”. Contohnya, Renault menyewakan baterai mobil listriknya. Saat baterai rusak, Renault akan merekayasa ulang untuk penggunaan berikutnya. Contoh lain Mudjeans. Ketika pengguna tak lagi menyukai jeans yang mereka kenakan, Mudjeans akan meminta untuk dikembalikan. Mereka lalu memakai ulang bahan jeans tadi untuk membuat produk baru.

#3. Menawarkan cara memperpanjang dan meluaskan penggunaan produk.
Ketimbang menghancurkan produk yang tidak diinginkan, perusahaan bisa melakukan remanufacturing untuk memperpanjang masa pakai produk. Selanjutnya bisa digunakan di pasar sekunder atau negara berkembang. Fonebank, umpamanya, membeli smartphone lama, lalu me-refurbish dan menjual kembali sebagai smartphone baru sekaligus memberi kesempatan hidup kedua buat teknologi lama. Apple juga menjual produk refurbished dengan harga lebih murah.

Sumber: How Businesses Can Support a Circular Economy (Harvard Business Review, 1 Februari 2016)

1 comments:

Anonymous said...

Super! terima kasih sudah berbagi :)