Dunia terlalu lama menjalankan sistem
ekonomi linier. Diperlukan sistem ekonomi baru yang radikal, yang mengubah cara
pandang dan perilaku demi keberlanjutan pembangunan. Inilah sistem yang mendesak
untuk dijalankan.
KONSEP YANG SEKSI
Setelah sustainablility development,
triple bottom line, dan green business, kini konsep yang makin
aktif didorong menjadi wacana publik adalah circular economy (EC).
Berbagai artikel, buku, seminar, terus digelorakan. CE pun menjadi konsep yang
seksi. Terakhir, panggung besar yang menjadi tempatnya mentas memamerkan
kehebatannya adalah Paris Climate Summit, 30 November-12 Desember 2015.
Dalam pertemuan akbar di Paris itu, di
tengah diskusi perihal menurunkan target emisi, para pemimpin global juga
mendiskusikan tentang implementasi CE demi keberlanjutan pembangunan. Tak
tanggung-tanggung, dalam pidatonya, Komisioner Uni Eropa untuk Lingkungan,
Kelautan dan Perikanan, Karmenu Vella bahkan menekankan perlunya sistem ekonomi
bergeser ke CE. Uni Eropa sendiri, katanya, telah menyediakan € 650 juta untuk
mendanai inovasi agar terjadi perubahan perilaku konsumen atas bahan material,
menurunkan sampah elektronik dan makanan, serta mengembangkan teknik daur ulang
yang baru.
Demi keberlanjutan bumi, manusia, dan
pembangunan berkelanjutan, pesan Vella, CE sudah mesti dilakukan, terutama oleh
kalangan bisnis sebagai aktor penting pembangunan ekonomi. CE bahkan sangat
siginifikan dalam kaitannya dengan green business yang sering disuarakan
kalangan korporasi itu sendiri. Jadi, apa sebenarnya CE? Dan apa relevansinya dengan
green business?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
kita harus memahami terlebih dahulu konsep yang pada hari-hari mendatang akan
menjadi kosa kata yang mewabah. Dan cara terbaik untuk menjelaskannya adalah kita
harus membandingkannya dengan ekonomi linier yang sekarang berjalan. Dalam sistem
ekonomi yang kini dominan sejak revolusi industri, manusia mengekstrak sumber
daya dari planet, yang dari waktu ke waktu berlangsung semakin cepat dan masif,
lalu mengubahnya menjadi produk yang kebanyakan dibuang setelah digunakan.
Artinya, ending-nya adalah menjadi sampah (waste).
Model ekonomi linier yang kita jalani
sekarang sering disebut model “take-make-dispose”:
ambil sumber daya alam, olah menjadi produk, lalu buang jadi sampah.
Konsultan McKinsey, Hanh Nguyen dan
Martin Stuchtey,
serta Markus Zils (Remaking
the Industrial Economy, Februari 2014) menyebut ekonomi industri yang
sekarang berjalan seperti sistem conveyor belts yang massif, yang
mengambil materi dan energi dari negara-negara berlimpah sumber daya (resource-rich),
membawanya ke tempat pabrik-pabrik besar berada seperti China, lalu produknya
didistribusikan ke AS, Eropa, dan tujuan lainnya, untuk digunakan dan lalu
menjadi sampah yang mengotori tanah, air serta udara.
Dalam perspektif individu atau
organisasi, hal tersebut terlihat wajar. Bahkan dalam industrialisasi kadang
dianggap efisien sehingga menjadi jantung industrialisasi global. Akan tetapi, dalam
konteks pembangunan berkelanjutan, hal ini sama sekali tidak berkelanjutan. “Clearly, the era of largely
ignoring resource costs is over,” tulis Hanh Nguyen dkk.
CE sangat berbeda dengan ekonomi linier.
Ini adalah pola ekonomi yang restoratif dan desain yang regeneratif. Model ini bertujuan
menciptakan green business untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. CE memerhatikan sejak sisi hulu, tempat sumber daya alam berada,
di tengah (bagian desain hingga proses), dan di hilir (pengguna). Ini adalah
sistem yang waste-fee (bebas sampah). Mengapa? Karena menjaga produk,
komponen, dan bahan produksi berada pada utilitas serta nilai tertinggi
semaksimal mungkin sehingga bisa digunakan.
Secara historis dan akar pemikiran,
konsep CE bisa dikatakan berakar pada gerakan Cradle to Cradle (C2C)
yang diinisiasi William McDonough bersama Michael Braungart di tahun 2002.
Model ini sendiri dikembangkan berdasarkan konsep lifecycle development.
Pada prinsipnya, C2C mengembalikan proses industri dan komersial ke dalam
ekosistem. Dengan demikian, bahan teknis kembali ke ekosistem industri,
sementara bahan biologis kembali ke ekosistem alami. Mimpi besar C2C adalah
menutup siklus hayati sehingga tak ada lagi limbah dibuang. Jargon mereka yang
terkenal untuk daur ulang penuh ini adalah “waste
= food”. Tak ubahnya
limbah biologis suatu organisme yang dapat menjadi makanan organisme lainnya
dalam rantai makanan, begitu pula seharusnya bahan baku dalam rantai industri:
bisa diolah kembali.
Tokoh yang identik dengan CE adalah
seorang wanita, Dame Ellen MacArthur yang kemudian mendirikan Ellen MacArthur
Foundation untuk mendorong konsep ini menjadi sebuah praktik yang mengglobal. “Di
tahun 2010, saya mulai membuat yayasan dan menggagas ‘circular economy’
untuk membantu membingkai konsep ini,” ujar Ellen. Kini, dia pergi ke mana-mana
menjual konsep ini dengan mengajak orang berpikir betapa bahayanya bila ekonomi
linier terus berjalan.
Ellen MacArthur |
Ya, ekonomi linier membuat pengolahan
ekstraktif di abad 21 makin menggila. Bumi terus digali dan digali demi
kebutuhan manusia, baik sandang, pangan, maupun papan. Sementara itu, jumlah
kelas menengah global terus meningkat, akan mencapai 5 miliar di tahun 2030.
Untuk memenuhi kebutuhan mereka, penggunaan energi fosil dan sumber daya akan
makin membesar lantaran bukan hanya sandang, pangan, papan yang dibutuhkan,
aspek gaya hidup pun mendominasi. Contoh kecil: kini makin banyak orang
memiliki 2 buah ponsel yang tentunya membutuhkan energi lebih banyak. Itupun
ponsel baru, bukan hp bekas hasil refurbished atau remanufactured.
Munculnya kelas menengah baru diyakini mempercepat pelemahan bumi karena
keinginan peningkatan standar kehidupan. Ekonomi linier yang sekarang berkuasa,
ungkap Ellen, sangatlah boros dalam menciptakan nilai.
Pernyataan wanita berambut pendek ini
bukan isapan jempol. Para analisis menemukan pemborosan di sejumlah sektor.
Bahkan pada sisi penggunaan produk jadi pun terjadi pemborosan yang besar.
Contoh di Eropa, lamanya mobil diparkir mencapai 92% dari waktu penggunaannya,
sementara itu 31% makanan sangat boros di rantai nilai proses produksinya.
Jika model ekonomi linier semacam ini (take-make-dispose) terus berlanjut, sangat membahayakan keberlangsungan bumi dan
penghuninya. Sebab ekonomi linier meningkatkan degradasi alam, yang menimbulkan
perubahan iklim, rusaknya keragaman hayati, hilangnya natural capital,
degradasi tanah, dan polusi laut.
KEUNTUNGAN MODEL CE
Sebaliknya dengan CE, tahun 2014, Ellen
MacArthur Foundation dan World Economic Forum merilis laporan yang menyatakan
bahwa lebih dari US$ 1 triliun setahun dapat dihasilkan oleh ekonomi global di
tahun 2025, dan 100 ribu pekerjaan diciptakan hingga 2019 jika perusahaan dan
kalangan bisnis fokus untuk CE. Mereka juga menyatakan bahwa benua Eropa dapat
meraup laba bersih senilai €
1,8 triliun di tahun 2030 atau €
0,9 triliun lebih banyak jika menjalankan sistem ekonomi linier. Syaratnya: mengadopsi prinsip-prinsip CE. Mengapa bisa demikian?
Sebagai sebuah sistem, CE memang
memiliki 3 prinsip yang membedakannya dengan ekonomi linier, yang potensial
menciptakan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Prinsip pertama: menjaga dan
meningkatkan natural capital dengan mengontrol cadangan alam yang tak
bisa diperbarui serta menyeimbangkan arus sumberdaya yang bisa diperbarui. Saat
membutuhkan sumber daya, sistem CE akan menyeleksi dengan bijak, dan memilih
teknologi serta proses yang menggunakan sumber daya yang bisa diperbarui bila
memungkinkan. CE juga mendorong terciptanya kondisi untuk regenerasi.
Prinsip kedua: mengoptimalkan lahan
sumber daya dengan mensirkulasi produk, komponen, dan material pada titik
penggunaan paling tinggi, baik secara teknis maupun biologis. Ini berarti
mendesain untuk remanufacturing, refurbishing, dan recycling
guna menjaga komponen teknis dan material produksi tersirkulasi serta
berkontribusi pada ekonomi.
Prinsip ketiga: memeliharan efektivitas
sistem dengan mendesain eksternalitas yang bersifat negatif. Diantaranya menurunkan
kerusakan terhadap sistem dan area seperti makanan, pendidikan, kesehatan dan
hiburan, serta mengelola eksternalitas seperti penggunaan tanah, udara, air dan
polusi, serta pelepasan substansi racun.
Dalam prinsip EC, tidak ada sampah.
Produk didesain dengan sengaja. Materi biologis bersifat non-toxic dan
dengan mudah dapat dikembalikan ke tanah dengan cara composting atau penguraian anaerobik (produk bio-degradable
diproses dan dipecah menjadi biogas). Sementara itu materi teknis
seperti logam dan material yang dibuat manusia, didesain agar bisa dipulihkan,
disegarkan, dan di-upgrade. Untuk yang tertarik lebih jauh bisa masuk ke
laman: http://www.ellenmacarthurfoundation.org.
Di sini artikel dan riset bisa diunduh gratis untuk membuka wawasan kita.
Bagi sejumlah kalangan, model ekonomi
ini sangat ambisius. Mendesain ekonomi dalam sebuah sistem yang restoratif
tidaklah mudah. Toh yang mendukung konsep ini semakin banyak. Buku-buku yang
pro-CE terus bermunculan. Diantaranya karya Peter Lacy dan Jakob Rutqvist,
keduanya dari Accenture yang menulis Waste to Wealth: The Circular Economy
Advantage (2015). Mereka percaya reuse dan reduction akan
membuktikan kebenaran agenda pertumbuhan. Lalu Richard Dobbs, James Manyika dan
Jonathan Woetzel (konsultan McKinsey’s Global Institute) lewat No Ordinary
Disruption (2015) yang melihat CE adalah cara cerdas untuk memangkas biaya
di tengah perubahan demografis dan teknologi yang begitu cepat.
Kalangan korporasi pun sudah banyak yang
mulai mengadopsi di sector masing-masing. Dell Computer, misalnya. Sejak awal, Dell bahkan berupaya
menjadi yang terdepan dalam urusan mengadopsi sistem CE. Kini mereka mendesain
produk dalam konteks whole lifecycle, yang memungkinkan reuse, repair,
dan recyclability untuk produk yang mereka lempar ke pasar. Salah
satunya dalam penggunaan material plastik. Mereka menggunakan model closed-loop
plastics yang disertifikasi UL Environment. Plastik digunakan dengan
teknologi untuk memanjangkan usia penggunaan, jejak karbon yang lebih kecil,
dan menurunkan biaya.
Bagan Circular Economy
MEMELUK CE
Kini Dell telah mengubah rantai pasok
yang bersifat closed-loop agar bisa mendapat lebih banyak nilai tambah
dari bahan baku produknya. Terutama plastik yang menjadi material komputer. Seperti
juga kertas, plastik cenderung kehilangan nilai inheren-nya setelah daur ulang,
sehingga perusahaan cenderung mengambil pola reuse sepanjang waktu.
Bersama mitra-mitra bisnisnya (seperti Wistron GreenTech), Dell telah
mengembangkan cara untuk melindungi plastik yang digunakannya dari kehancuran,
sehingga dapat terus didaur ulang. Cara ini bukan hanya menghemat uang, tapi
juga menurunkan emisi karbon hingga 11% dibanding menciptakan produk yang sama
dengan plastik baru, serta menarik minat para pelanggan yang ingin produk ramah
lingkungan dan berkualitas tapi harganya tak mahal. Atas prestasinya itu Dell pun diganjar
Accenture Award for Circular Economy Pioneer 2015.
Di tempat lain, perusahaan tekstil Worn
Again bermitra dengan rakasasa fashion H&M dan Kering (pemilik merek
Alexander McQueen, Balenciaga, Brioni, Gucci,
Puma, Volcom, Saint Laurent) untuk menggunakan teknologi textile-to-textile
chemical recycling untuk membawa inovasi baru dalam urusan produksi dan
daur ulang pakaian. Teknik ini bisa memisahkan dan mengekstraksi polyester
serta katun sehingga begitu dipisahkan, polyester dan selulosa yang ditangkap
ulang dari katun, dapat digunakan kembali. Cara ini menciptakan model sumber
daya sirkular untuk tekstil.
Di dunia
tekstil, produksi polyester dan serta katun global pada tahun 2014 mencapai 65
juta ton dan diperkirakan akan mencapai 90 ton di tahun 2020. Ini akan
melahirkan persoalan kimiawi bila tak ada solusi yang komprehensif. Worn Again
yang mulai mengolah materi daur ulang untuk membuat sepatu di tahun 2005,
kemudian mencari jawabannya. Textile-to-textile chemical recycling
menjadi jawabannya. Perusahaan ini sendiri sukses mengubah sampah pabrik
menjadi seragam, dan mengubah seat cover pesawat Virgin Atlantic menjadi
jaket, domper dan tas tangan. “Teknologi kami adalah jantung dari visi global
yang akan mengikat semua merek, pendaur ulang tekstil, pemasok dan konsumen,
menjadi satu kesatuan untuk menjaga pakaian tidak jatuh ke tanah, melainkan
digunakan dari waktu ke waktu,” ujar Cyndi Rhoades, CEO Worn Again.
Model
Sirkular Worn Again
Wal-Mart tak mau kalah. Wal-Mart bersama
Coca-Cola, Colgate-Palmolive, Johnson & Johnson, Keurig Green Mountain,
PepsiCo, P&G, Unilever, dan Goldman Sachs, meluncurkan Closed Loop Fund
bernilai US$ 100 juta dalam upaya pengembangan infrastruktur daur ulang di
kota-kota sekitar AS. Mereka berupaya membangun pipeline materi daur
ulang, memaksimalkan efisiensi dan menurunkan ecological footprint
bersama pelanggannya.
Sementara itu Ford dan raksasa
aluminium, Novelis telah bekerjasama untuk menggunakan aluminium daur ulang.
Lalu, Adidas bekerjasama dengan kelompok Parley for the Oceans untuk membuat
sepatu lari yang menggunakan materi sampah laut.
Berikutnya Corporate Eco Forum, US
Business Council for Sustainable Development dan World Business Council
for Sustainable Development telah membuat National Material Marketplace. Ini
adalah online database yang mengidentifikasi cara untuk reuse
atau saling bertukar material yang sudah digunakan. Di sini kalangan perusahaan
bisa mengembangkan circular supply chains. Sejumlah perusahaan besar
telah begabung di marketplace ini, yakni 3M, Eastman Chemical, General
Motor, Nike, Dow Chemical dan Tetra Pak. Khusus Dow Chemical, perusahaan ini
sangat serius mengadopsi CE. Di Citrus Heights, California, Dow bahkan telah mengubah
2721 kg sampah plastik yang non-recyclable menjadi 512 gallon bahan
bakar.
Bagi para penggiat CE, sistem yang
mereka usung sangatlah tepat untuk isu green business dan pembangunan
berkelanjutan. Sistem ini justru sangat vital karena menjadi platform
yang ampuh untuk menampung semua inisiatif terkait gerakan hijau. ***
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana Berpartisipasi dalam Circular
Economy
Perusahaan sekecil apapun bisa
berpartisipasi dalam CE. Ini tiga langkah yang bisa dilakukan:
#1. Praktikkan lebih banyak closed-loop
recycling.
Ada dua bentuk daur ulang: closed dan open
loop. Ini tak sama. Closed-loop melibatkan penggunaan kembali materi
seperti gelas, baja, dan alumunium yang dapat didaur ulang secara kontinyu.
Sementara itu, open loop menjadikan materi asal ke tingkat kualitas yang
lebih rendah (downcycling). Perusahaan bisa memilih: hanya mendaur ulang
materi yang tidak akan turun kualitasnya atau memperpanjang rentang hidup terlebih
dahulu sebelum mendaur ulang. Contohnya MTB-Recycling. Perusahaan ini mengubah kawat
tembaga dari mobil usang dan memroses ulang untuk menghasilkan 99,9% tembaga
murni. Produk ini lalu dibeli Renault, pabrikan mobil yang mendukung gerakan
CE.
#2.
Menyewakan ketimbang menjual.
Daur
ulang, betapapun bagusnya, tidaklah cukup karena bergantung pada end user
untuk mendaur ulang barang yang tidak mereka inginkan. Beberapa perusahaan
akhirnya memilih untuk menyewakan ketimbang menjual sehingga pemeliharaan
produk akhir ada pada produsen. Ini disebut “servitization”. Contohnya, Renault
menyewakan baterai mobil listriknya. Saat baterai rusak, Renault akan
merekayasa ulang untuk penggunaan berikutnya. Contoh lain Mudjeans. Ketika pengguna
tak lagi menyukai jeans yang mereka kenakan, Mudjeans akan meminta untuk
dikembalikan. Mereka lalu memakai ulang bahan jeans tadi untuk membuat produk
baru.
#3.
Menawarkan cara memperpanjang dan meluaskan penggunaan produk.
Ketimbang menghancurkan produk yang tidak
diinginkan, perusahaan bisa melakukan remanufacturing untuk
memperpanjang masa pakai produk. Selanjutnya bisa digunakan di pasar sekunder
atau negara berkembang. Fonebank, umpamanya, membeli smartphone lama,
lalu me-refurbish dan menjual kembali sebagai smartphone baru
sekaligus memberi kesempatan hidup kedua buat teknologi lama. Apple juga
menjual produk refurbished dengan harga lebih murah.
Sumber: How
Businesses Can Support a Circular Economy (Harvard Business Review,
1 Februari 2016)
1 comments:
Super! terima kasih sudah berbagi :)
Post a Comment