Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, February 28, 2016

Titan-titan Negeri Panda

Share this history on :
Konglomerasi China, baik swasta maupun pelat merah terus membesar dari melebarkan sayap ke seluruh penjuru. Kebijakan pemerintah berada di balik gelombang ini.

MENGGEBRAK

Januari 2016, dunia bisnis hiburan dibuat kaget. Konglomerat real estate dan investasi dari China, Dalian Wanda Group resmi mengakuisisi 100% saham Legendary Entertainment dengan nilai transaksi US$ 3,5 miliar.

Legendary bukanlah pemain kecil. Mereka terlibat dalam sejumlah film hit, seperti Godzilla, Inception, Jurassic World dan Pacific Rim. Tak heran, para petinggi Wanda Group sangat gembira. Selain persetujuan ini menjadi akuisisi lintas benua terbesar yang dilakukan konglomerasi China, langkah ini memperkuat pijakan untuk tujuan Wanda menjadi perusahaan film global. “Bisnis Wanda bukan hanya akan terentang dari produksi, eksibisi dan distribusi film, tapi juga sekaligus memperkuat kompetensi dan melipatgandakan suara kami di pasar film global,” ujar Chairman Wanda, Wang Jianlin, salah satu orang terkaya China.

Berdiri pada 1988, Wanda terus melakukan lompatan kuantum. Konglomerat China ini telah mendiversifikasikan bisnis intinya di real estate sejak Agustus 2012 ketika mengakuisisi AMC Entertainment, jaringan bioskop terbesar kedua di Amerika Utara. Tahun 2015, Wanda mengucurkan US$ 600 juta untuk membeli Hoyts, jaringan multipleks terbesar kedua di Australia. Sementara di China sendiri, Wanda memiliki Wanda Cinema Line yang punya kapitalisasi pasar senilai US$ 18,5 miliar. Masih belum puas, dikabarkan, Wanda tengah bersiap-siap untuk belanja di Eropa.

Yang menarik, Wanda bahkan bukan hanya menjadi perusahaan entertainment global. Awal 2016, The Australian Financial Report mengungkap bahwa kelompok usaha ini akan menjadi perusahaan olahraga terbesar di dunia. Indikasinya?

Mereka telah membeli Ironman Triathlon senilai US$ 650 juta dan berencana membawanya ke China. Mereka juga telah mengakuisisi 20% saham di klub Spanyol, Atlético de Madrid yang dalam daftar Forbes di posisi ke-16 most valuable football club di dunia (senilai US$ 436 juta). Lalu, tengah membangun fasilitas olahraga di Guangzhou. Kemudian membeli InFront Sport and Media yang menayangkan siaran Piala Dunia FIFA, dan mewakili 7 federasi olahraga olimpiade musim dingin. Rumornya, Wang Jianlin juga akan membeli tiga turnamen sepeda dunia: Giro d’Italia, Vuelta a España dan Tour de France. Jika itu terealisasi, mereka akan menjadi kekuatan dahsyat di sportainment dan entertainment, dengan tetap memiliki pijakan kuat pada bisnis real estate.

Wang Membeli Atletico Madrid

Wanda adalah satu diantara konglomerat Negeri Tirai Bambu yang kini terus merangsek dunia. Juli 2015, Fortune mencatat bahwa jumlah konglomerasi China yang masuk Fortune Global 500 terus bertambah dari tahun ke tahun. Ada 98 konglomerat China yang nangkring di daftar tersebut, menjadikan mereka terbanyak kedua setelah 128 perusahaan AS. Di tahun 2000, baru ada 10 perusahaan China, dan di tahun 2010 cuma 46 perusahaan.

Dari 98 perusahaan China yang masuk, 12 terbesar adalah BUMN. Diantaranya adalah Sinopec Group (pendapatan 2014 US$ 446,8 miliar) dan China National Petroleum (pendapatan 2014 US$ 428,6 miliar). Mereka dikontrol melalui State-Owned Assets Supervision and Administration Commission of the ruling State Council (SASAC), yang menunjuk CEO serta membuat keputusan untuk investasi besar. Dari jumlah 98 itu, hanya 22 perusahaan yang dimiliki swasta.

Banyak yang bertanya bagaimana konglomerasi China bisa tumbuh hinga menjadi titan ekonomi?

Dirunut ke belakang, reformasi 1978 menjadi titik pijaknya. Saat itu pemimpin tertinggi China, Deng Xiaoping melakukan liberalisasi ekonomi sehingga negara itu lebih terbuka. Perusahaan-perusahaan, khususnya BUMN pun mulai didorong untuk tumbuh. Dan akhirnya pelan-pelan mereka pun tumbuh. Bahkan banyak dari mereka yang membesar serta menggurita menjadi konglomerat, atau yang biasa disebut qiye jituan dalam bahasa China. Maka tumbuh menjamurlah aneka perusahaan.

Sebelum 1978, perusahaan di China, khususnya BUMN, berfungsi laiknya biro pemerintah. Bank, misalnya, di bawah skema pembangunan 5 tahun, memainkan peran sebagai pengalokasi kapital. Setelah itu, barulah mereka beroperasi laiknya bank dan belajar bertindak independen. Liberalisasi di sektor ekonomi ini makin lengkap setelah dua bursa saham (Shanghai dan Shenzhen) dibuka tahun 1990 serta 1991.

CONNECTION

Tak bisa dipungkiri, membesarnya konglomerat China, catat The Economist, salah satu faktor utamanya adalah keterlibatan pemerintah, baik pusat maupun lokal yang menciptakan iklim bisnis buat perusahaan. Seperti halnya di Korea Selatan, pemerintah China sangat mendukung gerak konglomeratnya yang kebanyakan adalah BUMN. Sementara para chaebol tumbuh menggemuk dengan fasilitas kredit murah yang diarahkan pemerintah, konglomerat China menerima “suntikan aset”. Ini bekerjanya menyerupai steroid dalam tubuh. Perusahaan induk, yang biasanya adalah pemerintahan kota atau kementrian, memberikan anak usahanya peluang mengakuisisi bisnis atau proyek-proyek milik negara.

Dalam buku Red Capitalism (2011), Carl Walter dan Fraser Howie menulis tentang dekatnya hubungan pemerintah dan BUMN. “Apa yang akan dilakukan chairman bank terbesar China jika Chairman Petro China minta pinjaman?” Jawabannya: “Dia (chairman bank) akan bilang, ‘Oke, terima kasih. Berapa banyak yang dibutuhkan dan berapa lama (kreditnya)?’.”


Red Capitalism, Mengupas Sistem Ekonomi China

Namun, Economist juga mencatat bahwa selain topangan pemerintah, para pelaku bisnis itu sendiri juga didorong untuk mau belajar ke perusahaan yang lebih maju untuk belajar bagaimana caranya agar bisa berkompetisi global.

Sejatinya, banyak konglomerasi China mengagumi korporasi raksasa Jepang. Mereka kagum dengan Mitsubishi atau Toyota. Untuk hal ini, mereka meminjam sistem keiretsu Jepang: perusahaan dalam satu keluarga saling dukung satu sama lain. Akan tetapi, role model yang kemudian dirujuk dalam konteks belajar untuk menjadi lebih besar adalah chaebol. Mengapa chaebol?

Dari sisi pemerintah, China melihat selama berdekade, pemerintah Korea Selatan menjadi mitra yang aktif dalam menolong para titan tumbuh meraksasa. Adapun dari sisi pelaku bisnis itu sendiri, mereka kagum bagaimana chaebol menolong transformasi Korea Selatan dari negara miskin menjadi kaya dalam satu generasi. Mereka kagum bagaimana chaebol mentransformasi dirinya menjadi multinasional, menjadi pelaku manufaktur berorientasi ekspor di tengah negeri yang minim sumber daya. Kalau Korea yang miskin bisa meraksasa, mengapa China yang lebih luas dan kaya sumber daya, tak bisa meniru?

Maka berduyun-duyun pejabat resmi pemerintahan China serta kalangan bisnisnya langsung mengunjungi Hyundai, Samsung dan Daewoo. Mereka belajar bagaimana konglomerasi Negeri Ginseng itu tumbuh mengglobal.

Satu konglomerat yang mampu belajar adalah CITIC (China International Trust and Investment Corporation) yang bertransformasi di bawah tangan GroupPacific. Larry Yung telah mentransformasi CITIC dari pemain tidur menjadi konglomerasi. CITIC Group Corporation menjadi salah satu konglomerasi terbesar di China. Bisnisnya terentang dari jasa keuangan, sumber dalam alam dan energi, manufaktur, real estat, infrastruktur, baik di dalam maupun luar negeri. Menggandeng PriceWaterhouseCoopers, CITIC kini banyak menggarap peluang proyek di sejumlah negara seperti di Myanmar.

Toh laiknya bunga di taman, tak semua tumbuh mekar. Malah banyak yang layu. Titik penting terjadi di tahun 1997. Lewat dua periode selepas liberalisasi Deng Xiapoing, pemerintah China mendorong BUMN-nya untuk tumbuh lebih besar dan sehat. Saat itu, Pemerintah China mengonsentrasikan diri pada sekitar 1000 BUMN-nya yang berskala besar, menjadi qiye jituan. Sisanya sekitar 117 ribu ada yang bangkrut, demerger atau dibeli swasta.

Pemerintah China sangat concern dengan hal ini karena sekalipun banyak yang tumbuh, mereka tidak efisien. Ini berbahaya karena bila tidak efisien, maka potensial ambruk. Bila makin banyak yang bangkrut, terutama yang besar-besar, berpotensi menimbulkan kerusuhan. Dan bila tidak efisien, mereka juga tidak akan mampu menjadi pemain global.

Pemerintah Shanghai adalah salah satu yang terdepan dalam mereformasi BUMN-nya di kurun 1990-an ini. Para pemimpin Shanghai khawatir ketidakefisienan BUMN akan memukul balik ekonomi: sesuatu yang berbahaya karena BUMN mereka menyerap 70% tenaga kerja di kota itu. Maka pemerintah Shanghai ingin BUMN tumbuh, bahkan menginginkan bisa masuk Fortune 500. Namun, alih-alih menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pada hasrat kewirausahaan para pebisnis, pemerintah tetap percaya perkembangan bisnis masih membutuhkan perencanaan pemerintah.

Salah satu konglomerat ciptaan pemerintah adalah Shanghai Automobile Industry Corp (SAIC). Pemerintah Shanghai membantu SAIC melakukan sejumlah kerjasama, termasuk dengan raksasa Jerman, Volkswagen dan General Motor. SAIC pun didorong rajin mengakuisisi perusahaan sakit, terutama yang terhubung dengan value chain-nya sebagai perusahaan otomotif. Dalam daftar Fortune Global 500, SAIC berada di peringkat 60 (pendapatan 2014 mencapai US$ 102,2 miliar).

SAIC, Konglomerat Otomotif


Pemerintah yang tipikal semacam ini tidak sedikit. Pemerintah lokal memang aktif mendorong tumbuhnya konglomerasi. Tahun 2009, misalnya, berdiri 8000 perusahaan investasi untuk menyalurkan uang milik pemerintah. Bahkan Zhejiang Geely Holding Group yang sempat menghebohkan dunia saat membeli Volvo. Mayoritas uang US$ 1,5 miliar dana yang digunakan untuk membeli bukan datang dari laba Geely, tapi pemerintahan setempat di timur laut China dan Shanghai.

REFORMASI ULANG

Kini, mendekati empat dekade reformasi ekonomi Deng, pemerintah tengah menyiapkan kembali paket kebijakan untuk konglomerasinya, terutama yang berlataberlakang BUMN. Dari sisi kebijakan, pemerintah tidak bergeser. Pedoman yang digariskan pemerintah pusat China ejak awal reformasi sangat jelas dan menjadi pegangan berdekade-dekade. Mereka hanya berkonsentrasi pada sektor strategis. Mereka mendorong BUMN-nya untuk fokus di sektor strategis seperti penerbangan, listrik dan telekomunikasi. Ini adalah industri di mana Partai Komunis percaya harus bisa mendominasinya agar bisa mengontrol perekonomian nasional yang kian kompleks.

Ya, pemerintah China memang menjalankan ekonomi yang terbelah. Pada satu titik, mereka menciptakan ruang yang kompetitif untuk sejumlah industri seperti ekspor, pakaian, makanan, dan belakangan juga digital. Sementara untuk sektor keuangan, komunikasi, transportasi, pertambangan, baja, pemerintah harus memiliki mayoritas saham. Alasan pemerintah terlibat dalam bisnis yang strategis sangatlah jelas. Di sektor energi, misalnya, kontrol negara atas pasokan energi sangat krusial untuk memastikan pasokan energi bagi pertumbuhan ekonomi. Juga agar memastikan bisa mengontrol harga pasar.

Sebab kebijakan yang demikian, dalam satu dekade terakhir muncul titan-titan baru yang hebat dari ranah teknologi informasi dan digital seperti Alibaba, Lenovo, dan Tencent yang juga merangsek ke banyak tempat. Juga pemain di poperti dan hiburan seperti Wanda Group. Sebab kebijakan itu pula, para pemimpin China tak lagi memegang ideologi yang tajam tentang perbedaan kepemilikan konglomerasi seperti di awal liberalisasi. Tapi mereka tak pernah membebaskan kontrol negara atas sejumlah sektor yang vital seperti yang disinggung di atas termasuk kereta dan pelabuhan.

Berpegang pada kebijakan tersebut, sekarang Pemerintah China akan melakukan gelombang besar untuk konglomerasinya. Mereka akan melakukan merger untuk mengurangi jumlah dari 112 konglomerasi yang dimiliki pemerintah menjadi hanya 40 konglomerat. SASAC, akhir 2015 disebut telah memutuskan hal tersebut dan akan mengeksekusi dengan cermat.

Sepintas jumlah 40 konglomerat seperti sedikit. Namun, jangan keliru, mereka mengontrol sedikitnya 150 ribu perusahaan dengan total kapitalisasi pasar (dari 227 perusahaan yang go-public di Shanghai dan Shenzhen) hingga US$ 1,6 triliun. Menurut SASAC, para konglomerat ini juga telah membangun 8.515 kantor cabang di luar negeri di 150 negara di akhir 2014, dengan total aset US$ 790 miliar (Rp 10.270 triliun).

Lantas, kalau sudah demikian kuat, mengapa harus ada gelombang baru?

Sumber-sumber pemerintah menyatakan bahwa pemerintah yang sekarang lebih fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Jadi, mereka ingin konglomerasi itu lebih sehat, efisien, serta menghasilkan laba lebih banyak. Tentunya tetap bermain di sektor-sektor strategis. Dalam konteks ini, dua pembuat kereta terbesar di China, CSR Corp dan China CNR Corp telah merasakan kebijakan tersebut. Mereka telah dimerger untuk menjadi konglomerasi baru senilai US$ 26 miliar. Sementara itu, China Petrochemical Corporation (Sinopec) dan PetroChina Company disebut akan segera digabung sehingga bisa bersaing dengan Exxon Mobil dan BP.

Dari sisi internal, gelombang baru ini juga dilakukan karena pemerintah sudah menancapkan visi besar. Konglomerasi China diharapkan akan mendukung program Jalur Sutra. Dalam ambisinya, Presiden Tiongkok Xi Jinping membagi Jalur Sutra menjadi dua: darat dan laut. Jalur perdagangan darat dikenal sebagai Jalur Sutra Sabuk Ekonomi, terentang dari Eropa ke Asia Tengah dan Asia Timur. Sementara jalur laut dikenal dengan istilah Jalur Sutra Maritim, yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan China dengan sejumlah pelabuhan sepanjang rute dari Laut China Selatan, Samudera Hindia, Teluk Persia, Laut Merah hingga Teluk Aden.

Karena pentingnya mewujudkan visi tersebut, pemerintah perlu mereorganisasi konglomerasinya. Tak heran, pada September 2015, PM China Li Keqiang mendorong konglomerasinya memainkan peran kunci.

Itu dari sisi internal sehingga perlu gelombang baru konglomerasi China. Dari sisi eksternal, pemerintah China melihat situasi yang dihadapi konglomerasinya sangatlah besar. Boston Consulting Group mengungkap bahwa konglomerat China, terutama yang berbasis BUMN, memang berskala besar. Namun mereka kerap kesulitan untuk bertarung di arena global. Itulah sebabnya para pejabat tinggi China, termasuk Li Keqiang terus meminta agar para titan Negeri Tirai Bambu makin mengglobal – seruan yang sebenarnya sudah diminta sejak 1997. Menariknya, perusahaan yang kini terkenal mengglobal justru adalah pemain-pemain swasta yang dari skala bisnisnya belumlah sehebat perusahaan BUMN seperti Alibaba, Tencent, Baidu dan Xiaomi.

Masalahnya, bukanlah hal mudah untuk bermain di level global. Iklim bisnis yang dihadapi konglomerasi China sekarang adalah “competing on the edge. Ini adalah istilah dari Shona L. Brown, konsultan mantan eksekutif Google dan Kathleen M. Eisenhardt, Guru Besar Stanford University. Artinya: bersaing di antara ketertiban dan chaos, perubahan yang terjadi tidak bisa diprediksi, batasan antara industri terhapus, dan hypercompetition.

Apakah konglomerasi China bisa mengatasi hal tersebut, tentunya masih ditunggu. Namun, sejauh ini, konglomerasi China diprediksi akan kian membesar, menggulung perusahaan yang dulu mereka kagumi di Jepang dan Korea Selatan, yang sempat menjadi tempat mereka berguru. Seorang ekonomi, Hu Angang, Direktur Institute for Contemporary China Studies di Tsinghua University menyatakan bila gelombang reformasi ini berjalan baik, jumlah konglomerat yang masuk Fortune Global 500 akan mencapai 130 perusahaan di tahun 2020. Ini belum termasuk pemain-pemain yang popular yang dikendalikan pebisnis swasta seperti Alibaba cs.

Kalau reformasi ini bisa berjalan mulus, maka jangan heran bila bukan hanya pemain-pemain besar berlatar BUMN yang akan merangsek ke seluruh penjuru, pemain swasta yang lebih kecil pun sanggup mengejutkan seperti yang dilakukan Grup Wanda.

Sementara kita menyaksikan titan-titan dari Jepang, seperti Sony, Toshiba, Panasonic, Sharp tengah bergulat menghadapi kemerosotan, kita tengah melihat datangnya konglomerasi China yang menyerbu segala penjuru. ***



Jalan Menjadi Qiye Jituan 

Tak bisa dipungkiri, tumbuhnya konglomerasi China dipengaruhi iklim dan kebijakan yang diciptakan pemerintah.

1978: reformasi ekonomi dimulai. Pedoman yang digariskan pemerintah pusat China sangat jelas dan menjadi pegangan berdekade-dekade. Mereka mendorong BUMN-nya fokus di sektor strategis seperti keuangan, energi, penerbangan, listrik, telekomunikasi, kereta dan pelabuhan. Dari sinilah mulai bermekaran perusahaan-perusahaan yang kelak menggurita.

1990-1991: dua bursa dibuka di Shanghai dan Shenzhen untuk menarik dana buat BUMN dan swasta. Namun, pemerintah kota yang banyak bertindak sebagai perusahaan induk, tetap memberikan privilese bagi anak usahanya untuk mengakuisisi bisnis atau proyek negara.

1997: lewat dua dekade, sejumlah perusahaan tumbuh mekar, sebagiannya bangkrut, dimerger, atau dibeli perusahaan swasta. Untuk sektor BUMN, pemerintah berkosentrasi membesarkan 1000 perusahaan untuk menjadi konglomerasi yang efisien. Mereka juga didorong untuk belajar kepada para chaebol.

2000-an: mekarnya teknologi dan digital mendorong lahirnya pemain baru dari sektor swasta.  Alibaba, Tencent, Baidu, Xiaomi, Lenovo menjadi bintang. Mereka menjadi konglomerasi sendiri meski belum sebesar konglomerat sektor BUMN. Konglomerat BUMN sendiri mengalami seleksi alam: sebagian membesar, yang lain hilang.

2015: gelombang reformasi konglomerasi BUMN disiapkan. Dari 112 konglomerasi yang dimiliki pemerintah, dipangkas menjadi hanya 40 konglomerat. Mereka mengontrol 150 ribu perusahaan dengan total kapitalisasi hingga US$ 1,6 triliun, total aset US$ 790 miliar, membangun 8.515 kantor cabang di 150 negara.

0 comments: