Konglomerasi China, baik swasta maupun pelat merah terus
membesar dari melebarkan sayap ke seluruh penjuru. Kebijakan pemerintah berada
di balik gelombang ini.
MENGGEBRAK
Januari 2016, dunia bisnis hiburan dibuat kaget. Konglomerat
real estate dan investasi dari China, Dalian Wanda Group resmi mengakuisisi 100%
saham Legendary Entertainment dengan nilai transaksi US$ 3,5 miliar.
Legendary bukanlah pemain kecil. Mereka terlibat dalam
sejumlah film hit, seperti Godzilla, Inception, Jurassic World dan Pacific Rim. Tak
heran, para petinggi Wanda Group sangat gembira. Selain persetujuan ini menjadi
akuisisi lintas benua terbesar yang dilakukan konglomerasi China, langkah ini
memperkuat pijakan untuk tujuan Wanda menjadi perusahaan film global. “Bisnis
Wanda bukan hanya akan terentang dari produksi, eksibisi dan distribusi film, tapi
juga sekaligus memperkuat kompetensi dan melipatgandakan suara kami di pasar
film global,” ujar Chairman Wanda, Wang Jianlin, salah satu orang terkaya
China.
Berdiri pada 1988, Wanda terus melakukan lompatan kuantum. Konglomerat
China ini telah mendiversifikasikan bisnis intinya di real estate sejak
Agustus 2012 ketika mengakuisisi AMC Entertainment, jaringan bioskop terbesar kedua
di Amerika Utara. Tahun 2015, Wanda mengucurkan US$ 600 juta untuk membeli
Hoyts, jaringan multipleks terbesar kedua di Australia. Sementara di China
sendiri, Wanda memiliki Wanda Cinema Line yang punya kapitalisasi pasar senilai
US$ 18,5 miliar. Masih belum puas, dikabarkan, Wanda tengah bersiap-siap untuk
belanja di Eropa.
Yang menarik, Wanda bahkan bukan hanya menjadi
perusahaan entertainment global. Awal 2016, The Australian Financial
Report mengungkap bahwa kelompok usaha
ini akan menjadi perusahaan olahraga terbesar di dunia. Indikasinya?
Mereka telah membeli Ironman Triathlon senilai US$ 650 juta
dan berencana membawanya ke China. Mereka juga telah mengakuisisi 20% saham di
klub Spanyol, Atlético de Madrid yang dalam daftar Forbes di posisi ke-16
most valuable football club di dunia (senilai US$ 436 juta). Lalu,
tengah membangun fasilitas olahraga di Guangzhou. Kemudian membeli InFront
Sport and Media yang menayangkan siaran Piala Dunia FIFA, dan mewakili 7
federasi olahraga olimpiade musim dingin. Rumornya, Wang Jianlin juga akan
membeli tiga turnamen sepeda dunia: Giro d’Italia, Vuelta a España dan Tour de
France. Jika itu terealisasi, mereka akan menjadi kekuatan dahsyat di sportainment
dan entertainment, dengan tetap memiliki pijakan kuat pada bisnis
real estate.
Wang Membeli Atletico Madrid |
Wanda adalah satu diantara konglomerat Negeri Tirai Bambu
yang kini terus merangsek dunia. Juli 2015, Fortune mencatat bahwa
jumlah konglomerasi China yang masuk Fortune Global 500 terus
bertambah dari tahun ke tahun. Ada 98 konglomerat China yang nangkring di
daftar tersebut, menjadikan mereka terbanyak kedua setelah 128 perusahaan AS.
Di tahun 2000, baru ada 10 perusahaan China, dan di tahun 2010 cuma 46
perusahaan.
Dari 98 perusahaan China yang masuk, 12 terbesar adalah
BUMN. Diantaranya adalah Sinopec Group (pendapatan 2014 US$ 446,8 miliar) dan China
National Petroleum (pendapatan 2014 US$ 428,6 miliar). Mereka dikontrol melalui State-Owned Assets
Supervision and Administration Commission of the ruling State Council (SASAC),
yang menunjuk CEO serta membuat keputusan untuk investasi besar. Dari jumlah 98
itu, hanya 22 perusahaan yang dimiliki swasta.
Banyak yang bertanya bagaimana konglomerasi China bisa
tumbuh hinga menjadi titan ekonomi?
Dirunut ke belakang, reformasi 1978 menjadi titik pijaknya.
Saat itu pemimpin tertinggi China, Deng Xiaoping melakukan liberalisasi ekonomi
sehingga negara itu lebih terbuka. Perusahaan-perusahaan, khususnya BUMN pun mulai
didorong untuk tumbuh. Dan akhirnya pelan-pelan mereka pun tumbuh. Bahkan banyak
dari mereka yang membesar serta menggurita menjadi konglomerat, atau yang biasa
disebut qiye jituan dalam
bahasa China. Maka tumbuh menjamurlah aneka perusahaan.
Sebelum 1978, perusahaan di China, khususnya BUMN, berfungsi
laiknya biro pemerintah. Bank, misalnya, di bawah skema pembangunan 5 tahun, memainkan
peran sebagai pengalokasi kapital. Setelah itu, barulah mereka beroperasi
laiknya bank dan belajar bertindak independen. Liberalisasi di sektor ekonomi
ini makin lengkap setelah dua bursa saham (Shanghai dan Shenzhen) dibuka tahun
1990 serta 1991.
CONNECTION
Tak bisa dipungkiri, membesarnya konglomerat China, catat The
Economist, salah satu faktor utamanya adalah keterlibatan pemerintah, baik
pusat maupun lokal yang menciptakan iklim bisnis buat perusahaan. Seperti
halnya di Korea Selatan, pemerintah China sangat mendukung gerak konglomeratnya
yang kebanyakan adalah BUMN. Sementara
para chaebol tumbuh menggemuk dengan fasilitas kredit murah yang
diarahkan pemerintah, konglomerat China menerima “suntikan aset”. Ini
bekerjanya menyerupai steroid dalam tubuh. Perusahaan induk, yang biasanya
adalah pemerintahan kota atau kementrian, memberikan anak usahanya peluang
mengakuisisi bisnis atau proyek-proyek milik negara.
Dalam buku Red Capitalism (2011), Carl Walter dan
Fraser Howie menulis tentang dekatnya hubungan pemerintah dan BUMN. “Apa yang
akan dilakukan chairman bank terbesar China jika Chairman Petro
China minta pinjaman?” Jawabannya: “Dia (chairman bank) akan bilang, ‘Oke,
terima kasih. Berapa banyak yang dibutuhkan dan berapa lama (kreditnya)?’.”
Red Capitalism, Mengupas Sistem Ekonomi China |
Namun, Economist
juga mencatat bahwa selain topangan pemerintah, para pelaku bisnis itu
sendiri juga didorong untuk mau belajar ke perusahaan yang lebih maju untuk
belajar bagaimana caranya agar bisa berkompetisi global.
Sejatinya, banyak konglomerasi China mengagumi korporasi
raksasa Jepang. Mereka kagum dengan Mitsubishi atau Toyota. Untuk hal ini,
mereka meminjam sistem keiretsu Jepang: perusahaan dalam satu keluarga
saling dukung satu sama lain. Akan tetapi, role model yang kemudian
dirujuk dalam konteks belajar untuk menjadi lebih besar adalah chaebol. Mengapa
chaebol?
Dari sisi pemerintah, China melihat selama berdekade,
pemerintah Korea Selatan menjadi mitra yang aktif dalam menolong para titan
tumbuh meraksasa. Adapun dari sisi pelaku bisnis itu sendiri, mereka kagum
bagaimana chaebol menolong transformasi Korea Selatan dari negara miskin
menjadi kaya dalam satu generasi. Mereka kagum bagaimana chaebol
mentransformasi dirinya menjadi multinasional, menjadi pelaku manufaktur
berorientasi ekspor di tengah negeri yang minim sumber daya. Kalau Korea yang
miskin bisa meraksasa, mengapa China yang lebih luas dan kaya sumber daya, tak
bisa meniru?
Maka berduyun-duyun pejabat resmi pemerintahan China serta
kalangan bisnisnya langsung mengunjungi Hyundai, Samsung dan Daewoo. Mereka
belajar bagaimana konglomerasi Negeri Ginseng itu tumbuh mengglobal.
Satu konglomerat yang mampu belajar adalah CITIC (China International Trust and Investment Corporation) yang
bertransformasi di bawah tangan GroupPacific. Larry Yung telah
mentransformasi CITIC dari pemain tidur menjadi konglomerasi. CITIC Group Corporation menjadi
salah satu konglomerasi terbesar di China. Bisnisnya terentang dari jasa
keuangan, sumber dalam alam dan energi, manufaktur, real estat, infrastruktur,
baik di dalam maupun luar negeri. Menggandeng PriceWaterhouseCoopers, CITIC
kini banyak menggarap peluang proyek di sejumlah negara seperti di Myanmar.
Toh laiknya bunga di taman, tak semua tumbuh mekar. Malah banyak yang
layu. Titik penting terjadi di tahun 1997. Lewat dua periode selepas
liberalisasi Deng Xiapoing, pemerintah China mendorong BUMN-nya untuk tumbuh
lebih besar dan sehat. Saat itu, Pemerintah China mengonsentrasikan diri pada
sekitar 1000 BUMN-nya yang berskala besar, menjadi qiye jituan.
Sisanya sekitar 117 ribu ada yang bangkrut, demerger atau dibeli swasta.
Pemerintah China sangat concern dengan hal ini karena
sekalipun banyak yang tumbuh, mereka tidak efisien. Ini berbahaya karena bila tidak
efisien, maka potensial ambruk. Bila makin banyak yang bangkrut, terutama yang
besar-besar, berpotensi menimbulkan kerusuhan. Dan bila tidak efisien, mereka
juga tidak akan mampu menjadi pemain global.
Pemerintah Shanghai adalah salah satu yang terdepan dalam mereformasi
BUMN-nya di kurun 1990-an ini. Para pemimpin Shanghai khawatir ketidakefisienan
BUMN akan memukul balik ekonomi: sesuatu yang berbahaya karena BUMN mereka menyerap
70% tenaga kerja di kota itu. Maka pemerintah Shanghai ingin BUMN tumbuh,
bahkan menginginkan bisa masuk Fortune 500. Namun, alih-alih menyerahkan
sepenuhnya pengelolaan pada hasrat kewirausahaan para pebisnis, pemerintah
tetap percaya perkembangan bisnis masih membutuhkan perencanaan pemerintah.
Salah satu konglomerat ciptaan pemerintah adalah Shanghai
Automobile Industry Corp (SAIC). Pemerintah Shanghai membantu SAIC melakukan
sejumlah kerjasama, termasuk dengan raksasa Jerman, Volkswagen dan General
Motor. SAIC pun didorong rajin mengakuisisi perusahaan sakit, terutama yang
terhubung dengan value chain-nya sebagai perusahaan otomotif. Dalam
daftar Fortune Global
500, SAIC berada di peringkat 60 (pendapatan 2014 mencapai US$ 102,2
miliar).
SAIC, Konglomerat Otomotif |
Pemerintah yang tipikal semacam ini tidak sedikit. Pemerintah
lokal memang aktif mendorong tumbuhnya konglomerasi. Tahun 2009, misalnya,
berdiri 8000 perusahaan investasi untuk menyalurkan uang milik pemerintah. Bahkan
Zhejiang Geely Holding Group yang sempat menghebohkan dunia saat membeli Volvo.
Mayoritas uang US$ 1,5 miliar dana yang digunakan untuk membeli bukan datang
dari laba Geely, tapi pemerintahan setempat di timur laut China dan Shanghai.
REFORMASI ULANG
Kini, mendekati empat dekade reformasi ekonomi Deng, pemerintah
tengah menyiapkan kembali paket kebijakan untuk konglomerasinya, terutama yang
berlataberlakang BUMN. Dari sisi kebijakan, pemerintah tidak bergeser. Pedoman
yang digariskan pemerintah pusat China ejak awal reformasi sangat jelas dan
menjadi pegangan berdekade-dekade. Mereka hanya berkonsentrasi pada sektor
strategis. Mereka mendorong BUMN-nya untuk fokus di sektor strategis seperti
penerbangan, listrik dan telekomunikasi. Ini adalah industri di mana Partai
Komunis percaya harus bisa mendominasinya agar bisa mengontrol perekonomian nasional
yang kian kompleks.
Ya, pemerintah China memang menjalankan ekonomi yang
terbelah. Pada satu titik, mereka menciptakan ruang yang kompetitif untuk
sejumlah industri seperti ekspor, pakaian, makanan, dan belakangan juga
digital. Sementara untuk sektor keuangan, komunikasi, transportasi, pertambangan,
baja, pemerintah harus memiliki mayoritas saham. Alasan pemerintah terlibat
dalam bisnis yang strategis sangatlah jelas. Di sektor energi, misalnya, kontrol
negara atas pasokan energi sangat krusial untuk memastikan pasokan energi bagi
pertumbuhan ekonomi. Juga agar memastikan bisa mengontrol harga pasar.
Sebab kebijakan yang demikian, dalam satu dekade terakhir muncul
titan-titan baru yang hebat dari ranah teknologi informasi dan digital seperti
Alibaba, Lenovo, dan Tencent yang juga merangsek ke banyak tempat. Juga pemain
di poperti dan hiburan seperti Wanda Group. Sebab kebijakan itu pula, para
pemimpin China tak lagi memegang ideologi yang tajam tentang perbedaan
kepemilikan konglomerasi seperti di awal liberalisasi. Tapi mereka tak pernah
membebaskan kontrol negara atas sejumlah sektor yang vital seperti yang
disinggung di atas termasuk kereta dan pelabuhan.
Berpegang pada kebijakan tersebut,
sekarang Pemerintah
China akan melakukan gelombang besar untuk konglomerasinya. Mereka akan
melakukan merger untuk mengurangi jumlah dari 112 konglomerasi yang dimiliki pemerintah
menjadi hanya 40 konglomerat. SASAC, akhir 2015 disebut telah memutuskan hal
tersebut dan akan mengeksekusi dengan cermat.
Sepintas jumlah 40 konglomerat seperti sedikit.
Namun, jangan keliru, mereka mengontrol sedikitnya 150 ribu perusahaan dengan
total kapitalisasi pasar (dari 227 perusahaan yang go-public di Shanghai
dan Shenzhen) hingga US$ 1,6 triliun. Menurut SASAC, para konglomerat ini juga telah
membangun 8.515 kantor cabang di luar negeri di 150 negara di akhir
2014, dengan total aset US$ 790 miliar (Rp 10.270 triliun).
Lantas, kalau sudah demikian kuat, mengapa harus
ada gelombang baru?
Sumber-sumber pemerintah menyatakan bahwa
pemerintah yang sekarang lebih fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Jadi,
mereka ingin konglomerasi itu lebih sehat, efisien, serta menghasilkan laba
lebih banyak. Tentunya tetap bermain di sektor-sektor strategis. Dalam konteks
ini, dua pembuat kereta terbesar di China, CSR Corp dan China CNR Corp telah
merasakan kebijakan tersebut. Mereka telah dimerger untuk menjadi konglomerasi
baru senilai US$ 26 miliar. Sementara itu, China Petrochemical Corporation (Sinopec)
dan PetroChina Company disebut akan segera digabung sehingga bisa bersaing
dengan Exxon Mobil dan BP.
Dari sisi internal, gelombang baru ini juga dilakukan karena
pemerintah sudah menancapkan visi besar. Konglomerasi China diharapkan akan
mendukung program Jalur Sutra. Dalam ambisinya, Presiden Tiongkok Xi
Jinping membagi Jalur Sutra menjadi dua: darat dan laut. Jalur perdagangan
darat dikenal sebagai Jalur Sutra Sabuk Ekonomi, terentang dari Eropa ke Asia
Tengah dan Asia Timur. Sementara jalur laut dikenal dengan istilah Jalur Sutra
Maritim, yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan China dengan sejumlah pelabuhan
sepanjang rute dari Laut China Selatan, Samudera Hindia, Teluk Persia, Laut
Merah hingga Teluk Aden.
Karena pentingnya mewujudkan visi tersebut,
pemerintah perlu mereorganisasi konglomerasinya. Tak heran, pada September
2015, PM China Li Keqiang mendorong konglomerasinya memainkan peran kunci.
Itu dari sisi internal sehingga perlu
gelombang baru konglomerasi China. Dari sisi eksternal, pemerintah China
melihat situasi yang dihadapi konglomerasinya sangatlah besar. Boston Consulting
Group mengungkap bahwa konglomerat China, terutama yang berbasis BUMN, memang
berskala besar. Namun mereka kerap kesulitan untuk bertarung di arena global.
Itulah sebabnya para pejabat tinggi China, termasuk Li Keqiang terus meminta agar para titan Negeri
Tirai Bambu makin mengglobal – seruan yang sebenarnya sudah diminta sejak 1997.
Menariknya, perusahaan yang kini terkenal mengglobal justru adalah
pemain-pemain swasta yang dari skala bisnisnya belumlah sehebat perusahaan BUMN
seperti Alibaba, Tencent, Baidu dan Xiaomi.
Masalahnya, bukanlah hal mudah
untuk bermain di level global. Iklim bisnis yang dihadapi konglomerasi China
sekarang adalah “competing
on the edge. Ini adalah istilah dari Shona L. Brown, konsultan mantan eksekutif Google dan
Kathleen M. Eisenhardt, Guru Besar Stanford University. Artinya: bersaing di antara
ketertiban dan chaos, perubahan yang terjadi tidak bisa diprediksi,
batasan antara industri terhapus, dan hypercompetition.
Apakah konglomerasi China bisa mengatasi hal
tersebut, tentunya masih ditunggu. Namun, sejauh ini, konglomerasi China
diprediksi akan kian membesar, menggulung perusahaan yang dulu mereka kagumi di
Jepang dan Korea Selatan, yang sempat menjadi tempat mereka berguru. Seorang
ekonomi, Hu Angang, Direktur Institute for
Contemporary China Studies di Tsinghua University menyatakan bila gelombang
reformasi ini berjalan baik, jumlah konglomerat yang masuk Fortune Global
500 akan mencapai 130 perusahaan di tahun 2020. Ini belum termasuk
pemain-pemain yang popular yang dikendalikan pebisnis swasta seperti Alibaba
cs.
Kalau
reformasi ini bisa berjalan mulus, maka jangan heran bila bukan hanya
pemain-pemain besar berlatar BUMN yang akan merangsek ke seluruh penjuru,
pemain swasta yang lebih kecil pun sanggup mengejutkan seperti yang dilakukan
Grup Wanda.
Sementara
kita menyaksikan titan-titan dari Jepang, seperti Sony, Toshiba, Panasonic,
Sharp tengah bergulat menghadapi kemerosotan, kita tengah melihat datangnya
konglomerasi China yang menyerbu segala penjuru. ***
Jalan Menjadi Qiye
Jituan
Tak bisa dipungkiri, tumbuhnya konglomerasi China
dipengaruhi iklim dan kebijakan yang diciptakan pemerintah.
1978: reformasi ekonomi dimulai. Pedoman yang
digariskan pemerintah pusat China sangat jelas dan menjadi pegangan
berdekade-dekade. Mereka mendorong BUMN-nya fokus di sektor strategis seperti
keuangan, energi, penerbangan, listrik, telekomunikasi, kereta dan pelabuhan.
Dari sinilah mulai bermekaran perusahaan-perusahaan yang kelak menggurita.
1990-1991: dua bursa dibuka di Shanghai dan Shenzhen
untuk menarik dana buat BUMN dan swasta. Namun, pemerintah kota yang banyak
bertindak sebagai perusahaan
induk, tetap memberikan privilese bagi anak usahanya untuk mengakuisisi bisnis atau
proyek negara.
1997: lewat dua dekade, sejumlah perusahaan tumbuh
mekar, sebagiannya bangkrut, dimerger, atau dibeli perusahaan swasta. Untuk
sektor BUMN, pemerintah berkosentrasi membesarkan 1000 perusahaan untuk menjadi
konglomerasi yang efisien. Mereka juga didorong untuk belajar kepada para chaebol.
2000-an: mekarnya teknologi dan digital mendorong
lahirnya pemain baru dari sektor swasta.
Alibaba, Tencent, Baidu, Xiaomi, Lenovo menjadi bintang. Mereka menjadi
konglomerasi sendiri meski belum sebesar konglomerat sektor BUMN. Konglomerat
BUMN sendiri mengalami seleksi alam: sebagian membesar, yang lain hilang.
2015: gelombang reformasi konglomerasi BUMN
disiapkan. Dari 112 konglomerasi yang dimiliki pemerintah, dipangkas menjadi hanya
40 konglomerat. Mereka mengontrol 150 ribu perusahaan dengan total kapitalisasi
hingga US$ 1,6 triliun, total aset US$ 790 miliar, membangun 8.515
kantor cabang di 150 negara.
0 comments:
Post a Comment