Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, June 12, 2012

Mengejar 2%




Sudah beberapa pekan ini ada hal yang menarik perhatian saya. Awalnya adalah berita di pertengahan Mei 2012 bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia melonjak tajam dari 0,24% menjadi 1,56% dari jumlah penduduk. Kemenkop bahkan optimistis tahun 2014 pertumbuhan wirausaha ke titik ideal (minimal 2%) dapat tercapai. BPS merilis jumlah penduduk kita 237,6 juta (2011).

Berita ini menarik. Karena itu berarti, dengan mengambil pendapat David McClelland, terbuka sudah jalan kemakmuran. Sudah lama sosiolog itu mengeluarkan pendapat yang ditupkan di banyak tempat: suatu negara bisa menjadi makmur bila jumlah entrepreneur sedikitnya mencapai 2% dari jumlah penduduknya. Asumsinya sederhana: putaran kapital yang digulirkan satu orang akan berefek ganda untuk mengerek taraf kehidupan orang sekitarnya. Satu pengusaha menghidupi banyak orang. Semakin banyak pengusaha, semakin banyak orang yang terkena imbasnya.

Tapi bukan hanya pendapat McLelland yang menarik. Saat mengedit tulisan seorang redaktur SWA (Sdr. Sudarmadi) tentang menjamurnya sekolah entrepreneur di Indonesia, saya membaca keterangan-keterangan yang menggelitik. Apa saja?

Pertama: sejumlah pelaku bisnis menangkap peluang orang yang ingin berwirausaha dengan mendirikan sekolah entrepreneur. Diantaranya: Purdie Chandra (Grup Primagama) mendirikan Entrepreneur University; Ciputra mendirikan Universitas Ciputra Entrepreneur Center (UCEC); A. Khoerussalim dengan Entrepreneur College; Wuryanano membuka Swastika Prima Entrepreneur College; Jaya Setiabudi menggelar Young Entrepreneur Academy (YEA); LP3I dengan Rumah Entrepreneur; juga Rhenald Kasali yang mengibarkan Rhenald Kasali School for Entrepreneurs (RKSE) bekerjasama dengan Cak Eko (pemilik Bakso Malang) dan Sunaryo Suhardi. Meski berbeda nama, intinya mereka semua menawarkan program pelatihan kewirausahaan, dengan metodenya masing-masing. Malahan kalangan perguruan tinggi umum pun juga memperkuat kurikulumnya dengan mata kuliah entrepreneruship seperti di Prasetiya Mulya serta Universitas Bakrie. Di Prasetiya Mulya, kurikulum kewirausahaan diberikan selama 8 semestrer, dan mata kuliah itu disebut sebagai anchor subject.

Sekolah-sekolah itu cukup laris. Di RKSE misalnya, berdiri 2009, kini sudah mencetak 1000 alumni. Swastika menerima sekitar 400 murid pertahun. YEA sekitar 220 murid sejak berdiri tahun 2007. Adapun UCEC melahirkan 8.500 alumni sejak 2007.

Fakta ini menarik, dikaitkan dengan keterangan kedua. Menurut salah seorang pengurus sekolah itu, pihaknya mengembangkan kewirausahaan karena Indonesia butuh generasi “pendobrak” yang mampu mengolah sumberdaya menjadi sesuatu yang bernilai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Mereka adalah para entrepreneur yang kami definisikan sebagai educated entrepreneur untuk membedakan dengan street entrepreneur," katanya.

Educated entrepreneur. Bukan street entrepreneur. Ini adalah jalan untuk mengejar titik 2%.

Ini istilah yang menarik, sekaligus menunjukkan keyakinan bahwa mereka punya jawaban untuk pertanyaan yang sering muncul: apakah entrepreneur itu terlahir (born) atau diciptakan (made)?

Sekolah wirausaha beserta kurikulumnya adalah jawaban bahwa entrepreneur bukan dilahiran, tapi dibentuk. Di kampus, anak-anak muda itu, mahasiswa itu, dibekali soft skills dan hard skills yang diasumsikan mendukung entrepreneurship.

Di titik ini, saya pun teringat Josh Lerner.


Model Pengembangan Entrepreneur

Bicara tentang mencetak entrepreneur, Amerika Serikat adalah ”biangnya”. Negeri Abang Sam ini adalah apa yang disebut sebagai ”beacon of entrepreneurialism”. Antara 1996 hingga 2004, di negeri ini tercipta rata-rata 550.000 bisnis kecil setiap bulannya. Banyak dari bisnis itu kemudian bergerak membesar, dan banyak juga yang tumbang. Di tengah dinamika yang ada, di AS, perusahaan start-ups telah berjasa untuk hampir semua penciptaan lapangan kerja.

Menyadari pentingnya startup dan entrepreneur dalam skala kecil sekalipun dalam mendorong perekonomian, maka pemerintah di banyak negara, berupaya memainkan peran penting dalam memicu entrepreneurship. Banyak dari apa yang disebut great entrepreneurial hubs di dunia, sejak dari Bangalore hingga Guangdong, merupakan buah tangan intervensi pemerintah. Di AS, misalnya, selain menyediakan infrastruktur yang vital, termasuk lewat pendidikan, pemerintah juga berperan mendorong entrepreneurship itu sendiri. Silicon Valley tercipta ketika Pentagon menginginkan sejumlah produk, yang akhirnya malah memicu kelahiran para entrepreneur teknologi di lembah itu.

Namun, mereplikasi kesuksesan AS di lebah Silikon tidaklah mudah. Jalan menciptakan kewirausahaan dengan bantuan pemerintah, tidak selamanya berakhir dengan cerita indah. Di jiran kita, Malaysia, upaya massif kompleks Bio Valley, yang dibuka pemerintah Malaysia pada tahun 2005 dengan nilai US$ 150 juta, kini diolok-olok sebagai “Valley of the Bio Ghost” karena gagal total. Di Dubai, entrepreneurial hub juga telah gagal. Adapun pemerintah Australia tidak lagi menunjukkan minat ambisiusnya untuk program BITS (Building on Information Technology Strength) lantaran tidak berhasil.

Josh Lerner dengan jitu mengamati fenomena ini. Dalam bukunya, Boulevard of Broken Dreams: Why Public Efforts to Boost Entrepreneurship and Venture Capital Have Failed—and What to Do About it (2009), guru besar Harvard Business School itu mencatat beberapa common failures dalam mendorong entrepreneurship. Salah satunya, katanya, banyak negara dikuasai ambisi tanpa melihat comparative advantages yang ada di negara tersebut. Sekalipun Malaysia hanya punya sedikit ahli biologi, para politisinya memutuskan untuk membangun BioValley di atas kegagalan Entertainment Village, upaya lain menciptakan Malaysian Hollywood. Terlalu banyak politisi, ungkap Lerner yang memperlakukan entrepreneurship sebagai “gravy train”, tanpa kerja keras tapi berharap uang mudah didapatkan.

Kebanyakan kekeliruan yang dibuat para politisi terkait mendorong entrepreneurship adalah mengasumsikan hanya ada satu model klaster kewirausahaan yang sukses. Faktanya, Silicon Valey tak akan pernah sukses tanpa dua universitas kelas dunia, Stanford dan Berkeley, serta pusat keuangan kelas dunia, San Fransisco. Itu sering dilupakan.

Dalam contoh klasik kesuksesan model Silicon Valley, Global Entrepreneurship Monitor (GEM), joint venture antara London Business School dan Babson College mengidentifikasi tiga ekologi wirausahawan sukses. Pertama, adalah anchor-firm model. Alfred Marshall, salah seorang ahli ekonomi yang pertama-tama menulis tentang entrepreneurship menyatakan bahwa entrepreneur sukses adalah seperti pohon di sebuah hutan, menjulang dibanding tetangga-tetangganya, dan mengambil cahaya dan udara. Kemudian, pohon-pohon besar itu menghasilkan pohon-pohon lain. Mereka men-spin-off anak usaha, memberikan pengalaman pada karyawan yang memutuskan ingin berjalan sendiri, dan mengasuh lusinan pemasok.

Segitiga riset di North Carolina merupakan eksponen sukses dari model anchor-firm. Di sini terlibat IBM, Alcatel, dan Union Carbide yang kemudian menarik banyak operator kecil. Hindustan Unilever, adalah contoh lainnya. Raksasa consumer goods di India ini memperkerjakan 45 ribu wanita di seluruh India, dan memasarkan produknya ke 150 juta konsumen di area pedesaan. Para saleswomen ini tak semata mencari uang, mereka juga belajar tentang produk, harga, dan pemasaran, mengirim gelombang kewirausahaan di daerah-daerah pedesaan India.

Model kedua, driven by crisis. Orang menjadi entrepreneur ketika ekonomi berhenti memasok pekerjaan. Ini terjadi di wilayah San Diego di tahun 1990-an ketika Perang Dingin berakhir membuat ratusan ilmuwan militer tidak memiliki pekerjaan. Perusahaan start-up setempat seperti Qualcomm membetot mereka dan memperkerjakannya.

Model ketiga adalah the local-hero model, yakni seorang entrepreneur setempat melihat peluang, memulai bisnis, dan mengubahnya menjadi perusahaan raksasa. Ketika Earl Bakken mendirikan Medtronic di Minneapolis pada 1949, dia menciptakan industri lokal menjadi sebuah perusahaan. Setelah mengembangkan alat pacu jantung yang pertama, Medtronic tumbuh menjadi perusahaan medical-technology terbesar di dunia, melahirkan sejumlah perusahaan lain.

Tak ada model yang paling hebat karena masing-masing memiliki causa, atau penyebabnya sendiri. Terpenting adalah melihat efek yang dihasilkannya. Semakin banyak entrepreneur dilahirkan, tentunya akan semakin baik. Semakin banyak “virus” yang terinkubasi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin hangat, dan karenanya bergulir semakin kencang.

Sekarang, kembali ke Indonesia. Apa model yang kita miliki untuk pengembangan entrepreneur? Sudah adakah jalan yang akan ditempuh?


Mentor Mindset dan Mental

Saya mendukung pernyataan bahwa sekolah memberikan topangan pengetahuan untuk menjadi pebisnis. Sebab, di sekolah-sekolah entrepreneur itu biasanya memang diajarkan beberapa materi terkait kewirausahaan seperti pembuatan rencana bisis, cara menarik investor, mengontrol usaha, pengaturan cash flow dan fund raising. Sekolah-sekolah itu juga menyaratkan tugas akhir berupa pembuatan proyek bisnis.

Namun, poin dari Lerner adalah bahwa menjadi wirausahawan itu berarti berada dalam sebuah ekosistem tersendiri. Rasanya kita belum punya model pengembangan yang baik secara nasional, yang di dalamnya tergambar ekosistem yang jelas. Beruntung, masih ada perusahaan yang mau bertindak sebagai anchor-firm atau the local-hero dalam kapasitasnya masing-masing. Contoh anchor-firm adalah yayasan-yayasan korporasi yang membina mitra usaha kecil untuk menjadi bagian dari komponen supply-chain dalam proses produksinya. Akan tetapi, jumlahnya belumlah banyak. Kebanyakan model yang ada adalah para entrepreneur tumbuh dengan kaki dan tangannya sendiri. Seruduk sana, tubruk sini.

Tentu tak ada yang salah bila ingin tumbuh seperti itu, dengan kaki dan tangannya sendiri. Dengan catatan: itu bisa membuat mereka tangguh. Persoalannya, pada banyak kasus, apa yang dibutuhkan entrepreneur adalah mentor-mentor. Bukan hanya dalam urusan intelektual, tentang menjalankan bisnis, atau bantuan kepada akses permodal, tapi juga mindset dan mental.

2M (mindset dan mental) ini bukan perkara enteng. Banyak pebisnis yang tumbuh besar tak bisa dilepaskan dari mindset dan mental pengelolanya yang merujuk Carol Dweck disebut sebagai “Growth Mindset”. Dalam bukunya yang fenomenal dan laris manis, “Mindset : The New Psychology of Success” (2006), psikolog sosial dari Standford University ini mengintroduksi konsep “growth mindset” dan “fixed mindset”. Apa beda keduanya?

Orang-orang yang memiliki “fixed mindsetadalah mereka yang semata-mata mengandalkan talenta yang dimilikinya dan sangat berfokus kepada “hasil” (result). Hasilakan menjadi ukuran pencapaian mereka. Oang-orang seperti ini juga berkarakter menolak tantangan-tantangan baru dan menganggap bahwa kerja keras adalah sia-sia. Mereka pun tak suka dengan kritik. Selalu merasa hebat dan paling benar.

Adapun mereka yang memiliki “growth mindsetadalah orang-orang yang tidak membatasi dirinya pada talenta miliknya. Mereka lebih mengandalkan keberanian bertindak dan upaya untuk terus tumbuh. Orang-orang seperti ini lebih peduli pada usaha yang mereka lakukan beserta proses pencapaiannya, ketimbang hasil akhir semata. Bagi orang tipe ini, hasil (result) tetaplah penting, tapi hanya indikator semata, bukan target yang hendak mati-matian diburu. Tak heran, mereka selalu menyenangi tantangan-tantangan baru.

Sekolah-sekolah bisnis, buat saya adalah mentor intelektual. Tapi bisnis bukan sekedar itu.

Bicara tentang kewirausahaan, atau lebih spesifik menyoal “educated entrepreneur” dan “street entrepreneur”, sekitar 2 tahun lalu, Saras Sarasvathy, Associate Professor dari Darden School of Business, University of Virginia, AS mengangkat topik yang disebut sebagai “entrepreneurial method”. Ini adalah semacam jalan menjadi seorang pebisnis.

Sarasvathy mengambil perumpamaan orang yang memasak. Cara yang pertama adalah ingin memasak sesuatu dan kemudian mencari resep tentang masakan tersebut, lalu mencari bahan-bahannya. Cara yang lain adalah langsung pergi ke dapur, membuka kulkas, lalu memasak berdasarkan bahan-bahan yang ada. Mana yang lebih baik?

Pada akhirnya, semua akan bergantung pada bagaimana cara kita memasak, pada cara meramu bahan, yang tentunya semua itu diperoleh berdasarkan latihan dan pengalaman, yang itu juga tak akan bisa dilepaskan dari kedisiplinan. Dalam bahasa bisnis, meramu bahan serta bumbu masak di dapur adalah organizing dan managing capital.

Ide besar yang diungkap di sini adalah bahwa semua orang bisa belajar dan diajari untuk menjadi entrepreneur. Namun fakta menunjukkan setiap perusahaan raksasa, pada mulanya berangkat dari perusahaan kecil, yang bahkan seringkali dimulai oleh orang biasa, ordinary people. Bahkan tak sedikit yang berangkat dari ibu rumah tangga. Mereka menjadi orang luar biasa karena kemampuannya mengelola kapitalnya sehingga mampu tumbuh berkembang. Dan kembali, hal ini banyak berpulang pada mindset dan mental, juga kedisiplinan.

Jadi, bagaimanapun, kewirausahaan bukanlah semata silabus di atas kertas yang dipelajari di ruang ber-AC nan sejuk. Selain otak encer, wirausaha juga butuh kekuatan 2M yang seringkali tak tercakup dalam kurikulum.

Di sinilah kita butuh semakin banyak anchor-firm atau the local-hero dengan mempertimbangkan comparative advantages yang ada di Indonesia (untuk urusan ini mesti dicari apa keunggulan komparatifnya – bukan sekedar upah murah atau komoditas alam). Jangan berharap  pada model driven by crisis karena itu tak sustainable. Mengapa anchor-firm atau the local-hero yang dibutuhkan?

Perusahaan-perusahaan baru (startup), terutama yang inovatif, merupakan mesin yang efisien untuk penciptaan lapangan kerja serta pertumbuhan jangka panjang. Dengan cara menolong small entrepreneurs tumbuh berkembang, menurut Bank Dunia, maka terdoronglah pertumbuhan. Demikian pernah dinyatakan The Economist, 29 Oktober 2009.

Jadi, partisipasi aktif dunia bisnis dan para pengusaha yang sudah besar untuk terlibat dalam proses pemagangan serta pematangan calon-calon wirausaha adalah syarat besar untuk mengejar angka 2%. Bila tidak, hal itu akan sulit dicapai. Tapi, wirausahawan juga tak boleh cengeng. Tak boleh terlalu berharap cepat membesar dengan sekali mendayung.

Sekian dulu catatan tentang entrepreneurship ini. Bila ada kesempatan, saya akan menulis tentang bagaimana pengembangan entrepreneur di sebuah negara yang seringkali sensitif dibicarakan: Israel. Sebab, suka ataupun tidak, negeri ini adalah one of the best startup nation***

Friday, June 8, 2012

Kuncinya: Kompetensi Inti





Penjualan Samsung Galaxy S 3 yang laris manis mengingatkan peristiwa sekitar tahun 1998. Saat itu saya baru punya handphone Samsung SGH 100 dengan membeli kartu perdana Telkomsel Rp 500 ribu dan persyaratan KTP serta tetek bengek lainnya. Beda betul dengan jaman sekarang yang begitu gampang beli kartu perdana. Dengan harga murah pula: Rp 5000.

Tapi bukan itu isunya. Waktu itu Samsung baru muncul. Sang Raja adalah Nokia. Saya ingat seorang kawan yang pegang Samsung karena fasilitas kantor diminta segera mengganti ponselnya oleh seorang distributor Nokia. Tak cuma meminta untuk mengganti, sang distributor malah langsung membawa ponsel Nokia. “Nih Mas. Ini baru handphone. Apa itu Samsung? Samsung kan kulkas, tv. Bukan handphone,” begitu katanya.

Jaman berganti. Sekarang siapa yang berani bilang seperti itu?

Tapi Samsung memang awalnya diremehkan. Sea Jin-Chang, dalam bukunya yang menarik, Sony vs Samsung (2008), mencatat bahwa sampai awal 1990-an, Samsung Electronics hanyalah sebuah perusahaan asal Asia yang tidak jelas. Perusahaan yang berdiri pada 1969 sebagai anak usaha Samsung Group ini cuma dikenal sebagai eksportir produk OEM yang sifatnya generik, bahkan penghasil produk memancing yang dijual ke toko-toko diskon seperti Sears, Wal-Mart, dan K-mart.

Saat itu, kendati mencetak laba bersih, Samsung Electronics tidak memiliki produk elektronik yang mengagumkan. Ia tak bisa mencetak TV layar lebar atau proyektor yang memukau. Namun, hal itu rupanya hanya perkara waktu. Beberapa tahun kemudian, Samsung mengejutkan dunia dengan TV plasma, LCD, serta produk-produk elektronik lainnya, termasuk telepon genggam. Samsung bahkan mampu menaklukkan Sony di beberapa segmen produk, dan menjadi salah satu perusahaan yang paling mengagumkan di dunia versi BusinessWeek.

From zero to hero. Begitulah Samsung dijuluki.

Apa kunci Samsung melakukan hal tersebut?

Satu faktor utama adalah kompetensi inti. Samsung bergerak dengan penguasaan pada industri semi konduktor. Penguasaannya pada hal tersebut mengantarkan perusahaan yang didirikan Byung-chull Lee itu sanggup memproduksi beragam produk elektronik kelas dunia. Ia bahkan menjadi salah satu pemimpin pasar dunia untuk sektor TV LCD dan plasma. Belakangan, Samsung malah mampu mengobrak-abrik pasar smartphone lewat seri Samsung Galaxy dan ikut gelombang pasar tablet dengan sistem operasi Android, menyaingi iPad. Tahun 2011, Samsung memasarkan 300 juta handset, rekor untuk perusahaan Negeri Ginseng tersebut.

Sedikit merujuk ke ranah akademisi. Perihal kompetensi inti, konsep tersebut secara literer boleh dikata diperkenalkan pertama kali pada tahun 1990 oleh C. K. Prahalad dan Gary Hamel. Dua akademisi itu menulis hal berikut:

Core competencies are the collective learning in the organisation, especially how to coordinate diverse production skills and integrate multiple streams of technologies...core competence is communication, involvement and a deep commitment to working across organisational boundaries...core competence does not diminish with use. Unlike physical assets, which do deteriorate over time, competencies are enhanced as they are applied and shared.

Bagi keduanya, kompetensi inti akan memberikan sejumlah keunggulan bagi perusahaan. Pertama, akses ke beragam pasar. Lalu, kedua, menciptakan persepsi di benak konsumen tentang kehebatan produk yang dihasilkan. Dan ketiga, kompetensi inti adalah hal yang sulit untuk diimitasi pesaing karena merupakan harmonisasi yang kompleks antara apa yang disebut Prahalad dan Hamel sebagai individual technologies and production skills.

Seperti halnya sebuah pohon, demikian keduanya menggambarkan, kompetensi inti adalah akar. Ia akan berbuah, menghasilkan core product, dan pada gilirannya memunculkan produk-produk lain, yang kelak bisa diwadahi dalam unit-unit bisnis yang berdiri terpisah seiring pertumbuhan bisnis. Perusahaan yang sanggup mempertahankan dominasi di core product, lanjut kedua akademisi tersebut, akan memiliki kekuatan yang bisa menentukan evolusi produk inti (core product). Dan menimbang dinamika bisnis yang begitu cepat serta sukar diprediksi, perusahaan disarankan untuk memfokuskan diri pada kompetensi inti masing-masing, seraya mengalihdayakan (outsource) hal-hal yang dipandang bukan menjadi kompetensi intinya.

Di tempat lain, kompetensi pula yang mengantarkan Apple menapak sukses seraya menahbiskan diri sebagai salah satu perusahaan paling inovatif di dunia. Kemampuan mendiang Steve Jobs dalam urusan software serta desain membuatnya meninggalkan para pesaing. Sejumlah karyanya sangat memukau, diperbincangkan dan selalu ditunggu-tunggu. Salah satu masterpiece-nya, iPod bahkan sanggup merevolusi apa yang sebelumnya merupakan sebuah inovasi besar: walkman karya masterpiece dari Akio Morita, sang pendiri Sony.

Dengan kompetensinya, Apple kini menghujani publik dengan produk yang beragam, dan dengan persepsi produk yang bermutu tinggi: enak dipandang plus canggih. Sekarang, siapa tak mengenal iPhone, iPod, MacBooks, dan iMac?

Kompetensi pada peranti lunak serta desain membuat Apple fokus pada apa yang disebut Prahalad dan Hamel sebagai hal-hal yang esensial dalam bisnis yang digelutinya. Bagaimana dengan aspek bisnis lainnya?

Steve Jobs menunjukkan bahwa untuk hal-hal yang bukan kompetensi inti, perusahaan bisa mengadopsi yang terbaik, yang menjadi standar dalam industri yang digeluti.

Tahun 1996, setelah kembali ke Apple dan diangkat menjadi CEO Apple, Jobs merekrut mantan eksekutif IBM dan Compaq, Timothy Cook untuk membenahi rantai pasokan. Tanpa membuang waktu, yang selanjutkan dilakukan Cook adalah meng-copy apa yang dilakukan Dell guna mengefisienkan channel inventory-nya. Pada ujung distribusi, Apple sukses mengaplikasi direct-to-customer channels seperti lewat online sales dan dedicated stores yang sekarang kian menjamur dengan nama Apple Store. Di Apple Store itulah, seluruh produk inovatif kreasi Jobs dipajang dengan tingkat turn over yang tinggi karena selalu diserbu konsumen.

Apple tidak mengambil langkah seperti halnya Gateway yang pendekatannya dijuluki “shoot-anything-that-moves”. Gateway berawal sebagai process innovator, lalu seperti halnya Dell, menjadi pelopor direct distribution di sektor personal computer. Tak berhenti di sini, Gateway juga berupaya menjadi product differentiator, dengan cara mempertahankan pabrik-pabriknya yang mahal, lebih banyak berinvestasi ketimbang Dell di R&D, dan menggelar kampanye iklan yang mahal.

Sayang, dengan mencoba berinovasi di segala hal, Gateway justru gagal membangun competitive advantage yang kuat di segala lini. Gateway tak berhasil menciptakan produk yang berbeda untuk keluar dari perangkap persaingan, malah dililit biaya operasi yang lebih mahal.

Kompetensi inti adalah penguasaan pada lini antara proses dan produk, sekaligus teknologi yang menopang di belakangnya.

Di bawah kendali Jobs, tim produksi Apple menguasai peranti lunak dan piawai dalam melahirkan desain yang menarik. Namun, bukan berarti Apple mesti menghasilkan segalanya. Dalam menciptakan iPod, umpamanya. Bahkan iPod yang merevolusi music media player membutuhkan tambahan komponen dari pihak lain: basic circuitry dari PortalPlayer, hard drive mini dari Toshiba, baterai dari Sony, dan digital-to-analog converter dari Wolfson.

Untuk merangkai inovasinya yang brilian itu, Apple fokus pada aspek yang menjadi kekuatannya, yakni rekayasa serta integrasi hardware-software, dan desain yang elegan. Kini, tidaklah mudah untuk mengimitasi kehebatan Apple yang punya skill sekaligus model bisnis yang sanggup mengikat beberapa produk mulai dari music player (iPod), PC yang keren (MacBook), aplikasi yang elegan untuk memainkan dan mengorganisasi file musik (iTunes), termasuk toko-toko online berisi lagu-lagu dari seluruh studio rekaman terkemuka (iTunes Music Store) dalam satu simpul. Kini, siapa sanggup tandingi Apple untuk melakukan itu semua?

Juni 2012, pencipta iPhone dan iPad itu telah menyisihkan raksasa minyak Exxon Mobil sebagai perusahaan paling menguntungkan di dunia, berdasarkan nilai sahamnya. Per 5 Juni 2012, saham Apple terakhir diperdagangkan pada US$ 363,69 per saham, dengan nilai total kapitalisasi pasar US$ 337,2 miliar. Sebaliknya saham Exxon Mobil berada di posisi US$ 68,03 dolar per saham, dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 330,8 miliar. Pada 29 Februari 2012, nilai kapitalisasi pasar Apple bahkan pernah mencapai US$ 500 miliar dengan harga saham US$ 628,44/lembar. Apple memang belum melampaui rekor yang dicatat Microsoft pada tahun 1999. Perusahaan komputer milik Bill Gates ini mencatatkan kapitalisasi senilai US$ 846 miliar. Tapi sekarang kapitalisasinya hanya US$ 255 miliar. Apple meraih kejayaan lewat kompetensinya.

Di tempat lain, dan dalam skalanya tersendiri, hal serupa juga ditempuh HTC. Handset-maker dari Taiwan ini terus berjaya dan memesona dunia lewat produk-produk telepon selulernya termasuk yang sudah berteknologi layar sentuh.

Dirunut ke belakang, perusahaan ini bisa melakukan hal demikian karena seperti halnya Samsung, HTC lama menjadi original design manufacturer (ODM) dan secara diam-diam mengembangkan high-end smartphones untuk sejumlah operator telepon kelas dunia, termasuk Verizon serta Orange.

Masuknya HTC ke handset telepon adalah lewat pemikiran yang matang. Mulanya, ketika didirikan pada 1997, perusahaan yang dimiliki Cher Wang ini berencana membuat laptop. Terlebih, CEO-nya, Peter Chou lama berkiprah di Digital Equipment Corporation (DEC), produsen komputer legendaris. Akan tetapi, karena melihat masa depan terletak pada internet mobile dan devices yang mendukungnya, maka laju HTC diarahkan ke sana. Dengan kompetensinya, perusahaan ini mendeklarasikan kesanggupannya pada perusahaan Barat untuk mendesain dan membuat high-end hand-helds serta mobile phones. iPaq adalah produksi pertama HTC.

Menyadari kompetensinya sebagai original design manufacturer, pada tahun 2006 HTC mulai mengembangkan mereknya sendiri dengan seluruh risiko yang ada. Dikatakan risiko karena manajemen harus meyakinkan pemegang saham dan hilangnya existing business lantaran sejumlah pelanggan menganggapnya sebagai rival. Toh fakta bicara, hanya dalam 3 tahun, HTC kini semakin berkibar dengan produk-produknya. Peter Chou bahkan terang-terangan menyatakan ingin perusahaannya setenar Apple, raksasa smartphone.

Yang menarik, di tengah kejayaan yang ada, Peter Chou telah melihat tantangan berat telah menghadang: marjin yang menciut karena hadirnya para pemain dari China dengan keunggulan labour cost-nya. Cara menghadangnya, "We need to establish a new competency before we get into trouble," terang Chou (The Economist, 9 Juli 2009). Dan HTC telah membuktikan diri lewat produk-produk barunya seperti HTC Sense yang memukau.

So, kompetensi. Itulah kuncinya, bro! jangan pernah main-main dengan kompetensi inti! Juga, jangan pernah sombong kala di atas.