Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, June 12, 2012

Mengejar 2%

Share this history on :



Sudah beberapa pekan ini ada hal yang menarik perhatian saya. Awalnya adalah berita di pertengahan Mei 2012 bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia melonjak tajam dari 0,24% menjadi 1,56% dari jumlah penduduk. Kemenkop bahkan optimistis tahun 2014 pertumbuhan wirausaha ke titik ideal (minimal 2%) dapat tercapai. BPS merilis jumlah penduduk kita 237,6 juta (2011).

Berita ini menarik. Karena itu berarti, dengan mengambil pendapat David McClelland, terbuka sudah jalan kemakmuran. Sudah lama sosiolog itu mengeluarkan pendapat yang ditupkan di banyak tempat: suatu negara bisa menjadi makmur bila jumlah entrepreneur sedikitnya mencapai 2% dari jumlah penduduknya. Asumsinya sederhana: putaran kapital yang digulirkan satu orang akan berefek ganda untuk mengerek taraf kehidupan orang sekitarnya. Satu pengusaha menghidupi banyak orang. Semakin banyak pengusaha, semakin banyak orang yang terkena imbasnya.

Tapi bukan hanya pendapat McLelland yang menarik. Saat mengedit tulisan seorang redaktur SWA (Sdr. Sudarmadi) tentang menjamurnya sekolah entrepreneur di Indonesia, saya membaca keterangan-keterangan yang menggelitik. Apa saja?

Pertama: sejumlah pelaku bisnis menangkap peluang orang yang ingin berwirausaha dengan mendirikan sekolah entrepreneur. Diantaranya: Purdie Chandra (Grup Primagama) mendirikan Entrepreneur University; Ciputra mendirikan Universitas Ciputra Entrepreneur Center (UCEC); A. Khoerussalim dengan Entrepreneur College; Wuryanano membuka Swastika Prima Entrepreneur College; Jaya Setiabudi menggelar Young Entrepreneur Academy (YEA); LP3I dengan Rumah Entrepreneur; juga Rhenald Kasali yang mengibarkan Rhenald Kasali School for Entrepreneurs (RKSE) bekerjasama dengan Cak Eko (pemilik Bakso Malang) dan Sunaryo Suhardi. Meski berbeda nama, intinya mereka semua menawarkan program pelatihan kewirausahaan, dengan metodenya masing-masing. Malahan kalangan perguruan tinggi umum pun juga memperkuat kurikulumnya dengan mata kuliah entrepreneruship seperti di Prasetiya Mulya serta Universitas Bakrie. Di Prasetiya Mulya, kurikulum kewirausahaan diberikan selama 8 semestrer, dan mata kuliah itu disebut sebagai anchor subject.

Sekolah-sekolah itu cukup laris. Di RKSE misalnya, berdiri 2009, kini sudah mencetak 1000 alumni. Swastika menerima sekitar 400 murid pertahun. YEA sekitar 220 murid sejak berdiri tahun 2007. Adapun UCEC melahirkan 8.500 alumni sejak 2007.

Fakta ini menarik, dikaitkan dengan keterangan kedua. Menurut salah seorang pengurus sekolah itu, pihaknya mengembangkan kewirausahaan karena Indonesia butuh generasi “pendobrak” yang mampu mengolah sumberdaya menjadi sesuatu yang bernilai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Mereka adalah para entrepreneur yang kami definisikan sebagai educated entrepreneur untuk membedakan dengan street entrepreneur," katanya.

Educated entrepreneur. Bukan street entrepreneur. Ini adalah jalan untuk mengejar titik 2%.

Ini istilah yang menarik, sekaligus menunjukkan keyakinan bahwa mereka punya jawaban untuk pertanyaan yang sering muncul: apakah entrepreneur itu terlahir (born) atau diciptakan (made)?

Sekolah wirausaha beserta kurikulumnya adalah jawaban bahwa entrepreneur bukan dilahiran, tapi dibentuk. Di kampus, anak-anak muda itu, mahasiswa itu, dibekali soft skills dan hard skills yang diasumsikan mendukung entrepreneurship.

Di titik ini, saya pun teringat Josh Lerner.


Model Pengembangan Entrepreneur

Bicara tentang mencetak entrepreneur, Amerika Serikat adalah ”biangnya”. Negeri Abang Sam ini adalah apa yang disebut sebagai ”beacon of entrepreneurialism”. Antara 1996 hingga 2004, di negeri ini tercipta rata-rata 550.000 bisnis kecil setiap bulannya. Banyak dari bisnis itu kemudian bergerak membesar, dan banyak juga yang tumbang. Di tengah dinamika yang ada, di AS, perusahaan start-ups telah berjasa untuk hampir semua penciptaan lapangan kerja.

Menyadari pentingnya startup dan entrepreneur dalam skala kecil sekalipun dalam mendorong perekonomian, maka pemerintah di banyak negara, berupaya memainkan peran penting dalam memicu entrepreneurship. Banyak dari apa yang disebut great entrepreneurial hubs di dunia, sejak dari Bangalore hingga Guangdong, merupakan buah tangan intervensi pemerintah. Di AS, misalnya, selain menyediakan infrastruktur yang vital, termasuk lewat pendidikan, pemerintah juga berperan mendorong entrepreneurship itu sendiri. Silicon Valley tercipta ketika Pentagon menginginkan sejumlah produk, yang akhirnya malah memicu kelahiran para entrepreneur teknologi di lembah itu.

Namun, mereplikasi kesuksesan AS di lebah Silikon tidaklah mudah. Jalan menciptakan kewirausahaan dengan bantuan pemerintah, tidak selamanya berakhir dengan cerita indah. Di jiran kita, Malaysia, upaya massif kompleks Bio Valley, yang dibuka pemerintah Malaysia pada tahun 2005 dengan nilai US$ 150 juta, kini diolok-olok sebagai “Valley of the Bio Ghost” karena gagal total. Di Dubai, entrepreneurial hub juga telah gagal. Adapun pemerintah Australia tidak lagi menunjukkan minat ambisiusnya untuk program BITS (Building on Information Technology Strength) lantaran tidak berhasil.

Josh Lerner dengan jitu mengamati fenomena ini. Dalam bukunya, Boulevard of Broken Dreams: Why Public Efforts to Boost Entrepreneurship and Venture Capital Have Failed—and What to Do About it (2009), guru besar Harvard Business School itu mencatat beberapa common failures dalam mendorong entrepreneurship. Salah satunya, katanya, banyak negara dikuasai ambisi tanpa melihat comparative advantages yang ada di negara tersebut. Sekalipun Malaysia hanya punya sedikit ahli biologi, para politisinya memutuskan untuk membangun BioValley di atas kegagalan Entertainment Village, upaya lain menciptakan Malaysian Hollywood. Terlalu banyak politisi, ungkap Lerner yang memperlakukan entrepreneurship sebagai “gravy train”, tanpa kerja keras tapi berharap uang mudah didapatkan.

Kebanyakan kekeliruan yang dibuat para politisi terkait mendorong entrepreneurship adalah mengasumsikan hanya ada satu model klaster kewirausahaan yang sukses. Faktanya, Silicon Valey tak akan pernah sukses tanpa dua universitas kelas dunia, Stanford dan Berkeley, serta pusat keuangan kelas dunia, San Fransisco. Itu sering dilupakan.

Dalam contoh klasik kesuksesan model Silicon Valley, Global Entrepreneurship Monitor (GEM), joint venture antara London Business School dan Babson College mengidentifikasi tiga ekologi wirausahawan sukses. Pertama, adalah anchor-firm model. Alfred Marshall, salah seorang ahli ekonomi yang pertama-tama menulis tentang entrepreneurship menyatakan bahwa entrepreneur sukses adalah seperti pohon di sebuah hutan, menjulang dibanding tetangga-tetangganya, dan mengambil cahaya dan udara. Kemudian, pohon-pohon besar itu menghasilkan pohon-pohon lain. Mereka men-spin-off anak usaha, memberikan pengalaman pada karyawan yang memutuskan ingin berjalan sendiri, dan mengasuh lusinan pemasok.

Segitiga riset di North Carolina merupakan eksponen sukses dari model anchor-firm. Di sini terlibat IBM, Alcatel, dan Union Carbide yang kemudian menarik banyak operator kecil. Hindustan Unilever, adalah contoh lainnya. Raksasa consumer goods di India ini memperkerjakan 45 ribu wanita di seluruh India, dan memasarkan produknya ke 150 juta konsumen di area pedesaan. Para saleswomen ini tak semata mencari uang, mereka juga belajar tentang produk, harga, dan pemasaran, mengirim gelombang kewirausahaan di daerah-daerah pedesaan India.

Model kedua, driven by crisis. Orang menjadi entrepreneur ketika ekonomi berhenti memasok pekerjaan. Ini terjadi di wilayah San Diego di tahun 1990-an ketika Perang Dingin berakhir membuat ratusan ilmuwan militer tidak memiliki pekerjaan. Perusahaan start-up setempat seperti Qualcomm membetot mereka dan memperkerjakannya.

Model ketiga adalah the local-hero model, yakni seorang entrepreneur setempat melihat peluang, memulai bisnis, dan mengubahnya menjadi perusahaan raksasa. Ketika Earl Bakken mendirikan Medtronic di Minneapolis pada 1949, dia menciptakan industri lokal menjadi sebuah perusahaan. Setelah mengembangkan alat pacu jantung yang pertama, Medtronic tumbuh menjadi perusahaan medical-technology terbesar di dunia, melahirkan sejumlah perusahaan lain.

Tak ada model yang paling hebat karena masing-masing memiliki causa, atau penyebabnya sendiri. Terpenting adalah melihat efek yang dihasilkannya. Semakin banyak entrepreneur dilahirkan, tentunya akan semakin baik. Semakin banyak “virus” yang terinkubasi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin hangat, dan karenanya bergulir semakin kencang.

Sekarang, kembali ke Indonesia. Apa model yang kita miliki untuk pengembangan entrepreneur? Sudah adakah jalan yang akan ditempuh?


Mentor Mindset dan Mental

Saya mendukung pernyataan bahwa sekolah memberikan topangan pengetahuan untuk menjadi pebisnis. Sebab, di sekolah-sekolah entrepreneur itu biasanya memang diajarkan beberapa materi terkait kewirausahaan seperti pembuatan rencana bisis, cara menarik investor, mengontrol usaha, pengaturan cash flow dan fund raising. Sekolah-sekolah itu juga menyaratkan tugas akhir berupa pembuatan proyek bisnis.

Namun, poin dari Lerner adalah bahwa menjadi wirausahawan itu berarti berada dalam sebuah ekosistem tersendiri. Rasanya kita belum punya model pengembangan yang baik secara nasional, yang di dalamnya tergambar ekosistem yang jelas. Beruntung, masih ada perusahaan yang mau bertindak sebagai anchor-firm atau the local-hero dalam kapasitasnya masing-masing. Contoh anchor-firm adalah yayasan-yayasan korporasi yang membina mitra usaha kecil untuk menjadi bagian dari komponen supply-chain dalam proses produksinya. Akan tetapi, jumlahnya belumlah banyak. Kebanyakan model yang ada adalah para entrepreneur tumbuh dengan kaki dan tangannya sendiri. Seruduk sana, tubruk sini.

Tentu tak ada yang salah bila ingin tumbuh seperti itu, dengan kaki dan tangannya sendiri. Dengan catatan: itu bisa membuat mereka tangguh. Persoalannya, pada banyak kasus, apa yang dibutuhkan entrepreneur adalah mentor-mentor. Bukan hanya dalam urusan intelektual, tentang menjalankan bisnis, atau bantuan kepada akses permodal, tapi juga mindset dan mental.

2M (mindset dan mental) ini bukan perkara enteng. Banyak pebisnis yang tumbuh besar tak bisa dilepaskan dari mindset dan mental pengelolanya yang merujuk Carol Dweck disebut sebagai “Growth Mindset”. Dalam bukunya yang fenomenal dan laris manis, “Mindset : The New Psychology of Success” (2006), psikolog sosial dari Standford University ini mengintroduksi konsep “growth mindset” dan “fixed mindset”. Apa beda keduanya?

Orang-orang yang memiliki “fixed mindsetadalah mereka yang semata-mata mengandalkan talenta yang dimilikinya dan sangat berfokus kepada “hasil” (result). Hasilakan menjadi ukuran pencapaian mereka. Oang-orang seperti ini juga berkarakter menolak tantangan-tantangan baru dan menganggap bahwa kerja keras adalah sia-sia. Mereka pun tak suka dengan kritik. Selalu merasa hebat dan paling benar.

Adapun mereka yang memiliki “growth mindsetadalah orang-orang yang tidak membatasi dirinya pada talenta miliknya. Mereka lebih mengandalkan keberanian bertindak dan upaya untuk terus tumbuh. Orang-orang seperti ini lebih peduli pada usaha yang mereka lakukan beserta proses pencapaiannya, ketimbang hasil akhir semata. Bagi orang tipe ini, hasil (result) tetaplah penting, tapi hanya indikator semata, bukan target yang hendak mati-matian diburu. Tak heran, mereka selalu menyenangi tantangan-tantangan baru.

Sekolah-sekolah bisnis, buat saya adalah mentor intelektual. Tapi bisnis bukan sekedar itu.

Bicara tentang kewirausahaan, atau lebih spesifik menyoal “educated entrepreneur” dan “street entrepreneur”, sekitar 2 tahun lalu, Saras Sarasvathy, Associate Professor dari Darden School of Business, University of Virginia, AS mengangkat topik yang disebut sebagai “entrepreneurial method”. Ini adalah semacam jalan menjadi seorang pebisnis.

Sarasvathy mengambil perumpamaan orang yang memasak. Cara yang pertama adalah ingin memasak sesuatu dan kemudian mencari resep tentang masakan tersebut, lalu mencari bahan-bahannya. Cara yang lain adalah langsung pergi ke dapur, membuka kulkas, lalu memasak berdasarkan bahan-bahan yang ada. Mana yang lebih baik?

Pada akhirnya, semua akan bergantung pada bagaimana cara kita memasak, pada cara meramu bahan, yang tentunya semua itu diperoleh berdasarkan latihan dan pengalaman, yang itu juga tak akan bisa dilepaskan dari kedisiplinan. Dalam bahasa bisnis, meramu bahan serta bumbu masak di dapur adalah organizing dan managing capital.

Ide besar yang diungkap di sini adalah bahwa semua orang bisa belajar dan diajari untuk menjadi entrepreneur. Namun fakta menunjukkan setiap perusahaan raksasa, pada mulanya berangkat dari perusahaan kecil, yang bahkan seringkali dimulai oleh orang biasa, ordinary people. Bahkan tak sedikit yang berangkat dari ibu rumah tangga. Mereka menjadi orang luar biasa karena kemampuannya mengelola kapitalnya sehingga mampu tumbuh berkembang. Dan kembali, hal ini banyak berpulang pada mindset dan mental, juga kedisiplinan.

Jadi, bagaimanapun, kewirausahaan bukanlah semata silabus di atas kertas yang dipelajari di ruang ber-AC nan sejuk. Selain otak encer, wirausaha juga butuh kekuatan 2M yang seringkali tak tercakup dalam kurikulum.

Di sinilah kita butuh semakin banyak anchor-firm atau the local-hero dengan mempertimbangkan comparative advantages yang ada di Indonesia (untuk urusan ini mesti dicari apa keunggulan komparatifnya – bukan sekedar upah murah atau komoditas alam). Jangan berharap  pada model driven by crisis karena itu tak sustainable. Mengapa anchor-firm atau the local-hero yang dibutuhkan?

Perusahaan-perusahaan baru (startup), terutama yang inovatif, merupakan mesin yang efisien untuk penciptaan lapangan kerja serta pertumbuhan jangka panjang. Dengan cara menolong small entrepreneurs tumbuh berkembang, menurut Bank Dunia, maka terdoronglah pertumbuhan. Demikian pernah dinyatakan The Economist, 29 Oktober 2009.

Jadi, partisipasi aktif dunia bisnis dan para pengusaha yang sudah besar untuk terlibat dalam proses pemagangan serta pematangan calon-calon wirausaha adalah syarat besar untuk mengejar angka 2%. Bila tidak, hal itu akan sulit dicapai. Tapi, wirausahawan juga tak boleh cengeng. Tak boleh terlalu berharap cepat membesar dengan sekali mendayung.

Sekian dulu catatan tentang entrepreneurship ini. Bila ada kesempatan, saya akan menulis tentang bagaimana pengembangan entrepreneur di sebuah negara yang seringkali sensitif dibicarakan: Israel. Sebab, suka ataupun tidak, negeri ini adalah one of the best startup nation***

0 comments: