Kota-kota
besar di dunia kini terus menarik, mempertahankan dan mendorong arus ide, modal
serta manusia. Tak heran, studi atas posisi mereka juga kian masif digelar. Lalu
di mana posisi Jakarta?
Tak salah bila McKinsey Global Institute
(MGI) menyebut abad 21 sebagai “the
century of the cities”. Alasannya: kota-kota di seluruh dunia kian tumbuh
sebagai pusat putaran ekonomi. Untuk pertama kali dalam sejarah, lebih dari
setengah populasi dunia menetap di perkotaan, mencetak lebih dari 80% global
GDP. Dan itu tak hanya terjadi di belahan negara maju, tapi juga kawasan yang
sebelumnya disebut negara berkembang.
Menguatnya posisi kota di tengah
pergerakan sumbu-sumbu ekonomi dunia dari Utara ke wilayah Selatan, telah
memancing sejumlah penelitian yang digelar beberapa lembaga bergengsi. MGI,
contohnya, baru saja merilis laporan bertitel “Urban world: Mapping the economic power of cities.” Dalam studi itu
disebutkan kini 600 kota didiami 22% populasi dunia dan menyumbang 54% GDP
global. Tahun 2025, jumlah itu berubah: 25% populasi dunia dan 58% GDP global.
Hanya saja, komposisi dari 600 kota tersebut akan berubah. Kota-kota di Cina
dan India akan menjadi bagian dari 600 kota yang memainkan peran besar ini.
Sebelumnya, November 2011, majalah Euromoney menurunkan liputan tentang “Global Cities Survey”. Laporan ini
dibuat berdasarkan studi yang digelar Citigroup Inc. Sementara di tempat lain, Economist Intelligence Unit (EIU)
merilis “Hot Spots - Benchmarking Global
City Competitiveness”. Bahkan tak lama berselang, EIU, kali ini bersama
Buzzdata juga merilis studi “Best Cities
Ranking and Report 2012”. Semua bicara tentang posisi satu kota dengan kota
lainnya.
Di luar studi tersebut, laporan yang
menarik dan dipandang komprehensif adalah Global
Cities Index (GCI). Ini adalah kajian yang dikembangkan konsultan manajemen
dari Chicago, A. T. Kearney beserta Chicago Council on Global Affairs. Studi
ini telah dipublikasikan selama 2 tahun sekali, sejak tahun 2008.
Apa yang dimaksud global city?
Menurut studi A. T. Kearney, kota global
adalah kota-kota yang saling terhubung dengan kota-kota internasional,
berpengaruh dalam multidimensi mulai dari aspek budaya, keuangan, hingga
pembuatan keputusan. Untuk edisi GCI 2012, pengukuran dilakukan pada 66 kota di
seluruh dunia dengan menilai 25 metrik dari 5 dimensi: (1) business activity; (2) human
capital; (3) information exchange;
(4) cultural experience; dan (5) political engagement.
Business
activity
diantaranya diukur dari keberadaan kantor pusat perusahaan global, pasar modal,
konferensi internasional, aliran barang lewat pelabuhan serta bandar udara. Sisi
human capital dilihat dari aspek
kemampuan menarik talenta terbaik, yang diantaranya mengukur kualitas universitas,
jumlah sekolah internasional, serta populasi siswa internasional. Adapun information echange menakar sejauh mana
alur informasi tersirkulasi di dalam dan di luar kota. Aksesibilitas terhadap
saluran TV internasional serta internet, juga jumlah biro berita internasional
yang ada menjadi mentrik pengukuran.
Sementara cultural experience, mengukur dari sisi budaya, mulai dari jumlah
museum, tempat pertunjukan kesenian, pusat-pusat kuliner, kegiatan olahraga
internasional, jumlah pelancong internasional dan hubungan sister-city yang ada. Terakhir, political
engagement menyoroti bagaimana kota tersebut mempengaruhi dialog serta
kebijakan global, biasanya diukur dari jumlah kedutaan dan konsulat, kantor
tanki pemikir dan organisasi internasional, termasuk juga jumlah konferensi
politik yang digelar.
Penyeleksian yang dilakukan A. T.
Kearney terbilang ketat, dengan menyaring data yang disajikan Buzzdata.
Hasilnya, muncullah peringkat 10 besar global
cities yakni New York, London, Paris, Tokyo, Hong Kong, Los Angeles,
Chicago, Seoul, Brussels dan Washington, D.C. Adapun Jakarta berada di posisi
54, merosot dibanding tahun 2008 (posisi 48) dan 2010 (53). Dari negara-negara
Asia Tenggara, Jakarta di bawah Singapura (11), Bangkok (43), Kuala Lumpur (49)
dan Manila (51). Jakarta hanya di atas Ho Chi Minh (61).
Bagaimana kota-kota besar itu menjadi
sangat istimewa?
New York,
contohnya, Berada di peringkat wahid GCI 2012 dengan skor 6,35, kota yang
memang didesain oleh pemerintahannya (dipimpin seorang walikota) untuk menjadi
kota tempat aktivitas bisnis, budaya dan politik yang canggih. Untuk
melancarkan aktivitas bisnis, umpamanya, New York telah menyediakan sistem
transportasi yang canggih. Subway di
sini disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia sehingga mereka yang datang ke
kota ini tak mesti dipusingkan dengan kemacetan atau parkir yang umumnya
melanda kota besar.
Fasilitas air di
kota ini juga istimewa. Pasokan air ke New York bisa dikatakan superior. Mereka
menyediakan air bagi warga kota, yang diambil dari 19 reservoir air dan 3 danau di sekitar kota. Sumber-sumber air itu
menyediakan lebih dari 1 miliar gallon air bersih. Jangan bandingkan dengan
Jakarta atau kota-kota di Indonesia yang reservoir
air-nya kebanyakan sudah dibeton menjadi mal.
Untuk urusan
penataan tata ruang, New York memang terbilang yahud. Bahkan sangat
memperhatikan aspek hijau. Pohon di pinggir jalan. Central Park yang hijau.
Bahkan rumah-rumah diupayakan memiliki taman sendiri. Pemerintahan kota ini
memang ingin New York kota yang hijau. Dan buat aktivitas budaya atau kuliner,
jangan dikata lagi. New York adalah kota dengan tempat ngopi di mana-mana. Sedikitnya ada 200 gerai Starbucks di kota yang
hidup selama 24 jam. Di kota ini, “closing
time” bersifat relatif. Jam berapapun Anda butuh burger atau kertas toilet,
Anda bisa mendapatkannya, bahkan pada jam 3 dini hari sekalipun (hmm… Jakarta
juga sudah mulai seperti ini). Sementara bagi yang menyenangi aktivitas budaya,
olahraga maupun kuliner, New York adalah surganya. Fasilitas aktivitas untuk
hal tersebut sangat diperhatikan.
Dari Asia, selain
Tokyo, Hong Kong menempati peringkat 5 besar GCI 2012 (skor 4,56). Tapi dari
studi “Best Cities Ranking and Report
2012” yang dikeluarkan EIU bersama Buzzdata, Hong Kong berada di peringkat
pertama, disusul Amsterdam, Osaka dan Paris. Tokyo berada di posisi ke-10.
EIU mengeluarkan “Spatially Adjusted Liveability Index”
(SALI). Ada beberapa indikator yang digunakan. Diantaranya adalah: ruang hijau,
pemekaran kota, aset alam, aset budaya, konektivitas, hingga tingkat polusi.
Masing-masing indikator diberi skor 1-5. Hong Kong di nomor pertama dengan skor
SALI 87,8. Lalu, apa
istimewanya Hong Kong?
Meski terbilang
kecil, Hong Kong sangat hidup, terutama untuk bisnis. Pemerintahannya sangat
terbuka untuk mendukung aktivitas bisnis global. Tak heran, di sini 115 negara
mempunyai konsulat asing-masing (terbanyak dibanding kota manapun di dunia).
Seperti halnya New York, Hong Kong juga memperhatikan sistem transportasi agar
aktivitas bisnis dan kegiatan lain berjalan lancar. Hong Kong bukanlah kota
buat para premotor. Bis, feri, kereta, trem, semuanya saling terhubung di kota
yang ditempati 7 juta jiwa lebih ini. Konektivitas sistem transportasinya
adalah yang tercanggih di dunia.
Tata ruang di Hong
Kong juga hebat. Area bisnis dan hiburan tertata. Disney Land, Ocean Park
tersedia di sini. Sekalipun menjadi megacity
dan kota kosmopolitan, 40% teritori Hong Kong dilindungi oleh taman-taman kota.
Di luar itu semua, Hong Kong juga tempat buat mereka yang menyenangi budaya
serta kuliner. Aset-aset bersejarah dipelihara di tengah sibuknya kota.
Kebanyakan kota
yang masuk dalam peringkat best cities
oleh beragam studi menunjukkan pemerintahannya mencoba menyeimbangkan antara
aktivitas bisnis, politik dan lingkungan, juga memperhatikan kenyamanan
penduduknya. Inilah poin yang menjadi benang merah bila kota-kota di Indonesia
ingin belajar dari mereka.
Yang menarik, berbarengan
dengan GCI 2012, A. T. Kearney juga merilis Emerging
Cities Outlook (ECO) 2012 untuk yang pertama kali. ECO adalah upaya untuk
menaksir potensi kota-kota di kekuatan ekonomi yang tengah berkembang pesat
untuk menjadi kekuatan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat global. Peringkat
10 besarnya adalah Beijing, Shanghai, Taipei, Chongqing, Shenzhen, Guangzhou,
Bogota, Dhaka, Ho Chi Minh City and Bangalore. Beijing, kota yang
pertumbuhannya paling pesat di dunia, begitu juga Shanghai sebagai pusat
keuangan dunia yang paling melesat, diharapkan dalam 2 dekade mendatang akan
menjadi top global cities, menggusur
posisi New York dan London. Beijing dan Shanghai ditaksir malah akan membentuk triad strategis bersama Hong Kong
menjadi pusat kota dunia yang dahsyat seiring pertumbuhan ekonomi serta kelas
menengah. Triad strategis ini
menyaingi hubungan tradisional kota-kota besar yang sudah berlangsung seperti
NYLON (New York-London), PARFRANK (Paris-Frankfurt), LATOK (Los Angeles-Tokyo)
serta HONGSING (Hong Kong-Singapura).
10 kota yang
termasuk ECO (Beijing dst), dalam analisis A. T. Kearney tergolong mereka yang
berada di kuadran high potential
untuk menjadi kota-kota dunia yang berpengaruh. Lantas, bagaimana dengan
Jakarta?
A. T. Kearney
membuat 4 kuadran dengan 2 sumbu: strength
dan vulnerabilities. Yang dimaksud strength adalah GDP, pertumbuhan kelas
menengah, pengembangan infrastruktur dan kemudahan menjalankan bisnis. Adapun vulnerabilities termasuk tingginya
tingkat polusi, ketidakstabilan dan ketidakamanan, korupsi serta sistem
kesehatan yang buruk. Dari kuadran tersebut, Jakarta berada dalam posisi status quo bersama sejumlah kota seperti
Kuala Lumur, Manila, Bangkok, Sao Paulo, Rio de Janeiro dan Karachi. Strength Jakarta di indeks 6.0,
sementara vulnerabilities-nya 4,9. Posisi
Jakarta sedikit lebih baik dibanding kuandran vulnerable, kota-kota negara
berkembang yang dipandang pengaruhnya akan kian memudar seperti Caracas,
Nairobi, Kairo, dan Lagos.
Bila diperhatikan,
setiap survei yang digelar lembaga-lembaga bergengsi di atas memiliki
keunggulan serta kelemahannya tersendiri. Tapi terlepas dari hal tersebut, riset-riset
itu segaris dalam satu kesimpulan: kota-kota di dunia kini terus menarik,
mempertahankan dan mendorong arus ide, modal serta manusia. Urbanisasi menjadi
fenomena biasa. Dunia masa kini adalah dunia kota, bukan lagi negara. Suka
ataupun tidak, inilah abad kota. ***
0 comments:
Post a Comment