Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, July 1, 2011

Belajar dari Seorang Mama Monster


Cukup tiga tahun untuk menjadikan dirinya merek dan ikon yang luar biasa. Apa yang menjadi rahasia suksesnya?


Stefani Joanne Angelina Germanotta. Begitulah nama yang diberikan orang tuanya. Kenal? Anda mungkin tak familiar dengan nama ini. Okelah, bagaimana bila disodori yang satu ini: Lady Gaga?

Aha, rasanya sulit untuk mengatakan tidak tahu. Mungkin Anda pun menyenangi lagunya, dan langsung teringat pada sosok penyanyi yang luar biasa nyentrik. Seorang artis yang kehadirannya selalu ditunggu dengan satu pertanyaan: apa lagi kejutan yang akan dimunculkannya?

Ya, pertanyaan yang lahir karena wanita kelahiran New York, 28 Maret 1986 itu memang selalu menyedot perhatian publik lewat aksinya yang nyleneh. Masih ingat bagaimana dia mengenakan daging mentah saat acara MTV Awards, September 2010? Bahkan dalam mimpi liar orang yang paling ekstrim sekalipun, rasanya itu tak terbayang.

Tapi itulah Lady Gaga. Kiprahnya sangat fenomenal. Saking hebatnya efek yang ditimbulkan dari tingkah lakunya, sampai-sampai ada yang menyebut bahwa “It's the Lady Gaga' World and we just live in it”. Berlebihankah?

Rasanya tidak. Putri sulung Joseph (Joe) Germanotta dan Cynthia ini memang sangat populer. Google bahkan sempat mengundangnya ke Google Campus untuk berbincang dengan Marissa Ann Meyer, salah satu petinggi Google dalam acara Google Goes Gaga itu. Sang artis sendiri diundang karena kehebatannya: salah seorang yang paling dicari di mesin Google sepanjang 2009-2010. Videonya, “Bad Romance” sedikitnya dilihat lebih dari 360 juta views. Saking populernya, saat wawancara ekslusif berlangsung, banyak karyawan Google hadir mengenakan kostum yang pernah dipakai Gaga, mulai dari kostum kelinci, spons mandi sampai... ya.. kostum daging nan heboh itu.

Kehebatan efek Gaga pun tak berhenti di situ. Bukti teranyar adalah Forbes baru saja menobatkannya sebagai selebritis paling berpengaruh di dunia. Dalam daftar yang diumumkan Kamis 18 Mei 2011, Gaga menggusur sang ratu talkshow sejagat, Oprah Winfrey. Padahal, Oprah tidak pernah digusur dari tahta tersebut selama 4 tahun berturut-turut. Oprah bahkan nyaris seperti sulit ditandingi. Maklum, wanita ini telah menjadi sebuah merek yang luar biasa kuat, yang disebut-sebut tak kalah dari Coca-Cola atau Marlboro, yang telah mengispirasi orang dengan motonya yang terkenal, “live your best life”. Lantas, apa yang membuat Gaga demikian istimewa?

"Lady Gaga mengalahkan Oprah tahun ini karena memiliki kekuatan media sosial. Gaga memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk membawa 'little monsters' pada kegilaan yang berujung rekor penjualan dan perhatian media. Gaga adalah contoh terbaik bagaimana selebritis mengelola karier mereka," begitu ujar Dorothy Pomerantz, Editor Forbes.

“Little monster” adalah panggilan Gaga untuk para penggemarnya. Dia sendiri menyebut dirinya, “Mama Monster”. Kata “Monster” diambil dari salah satu judul lagunya. Dan sapaan ini menunjukkan bahwa penilaian Forbes adalah benar adanya. Gaga dengan cerdik menjadi dinamo musik yang luar biasa di era digital dengan memanfaatkan sifat khas media sosial: orang menjadi figur yang mandiri, senang disapa secara personal, penuh keintiman, dan suka dengan conversation (berbincang). Tak heran bila Gaga menjadi Sang Ratu Media Sosial dengan jumlah “umat” yang luar biasa: 10 juta follower Twitter berdampingan dengan 32 juga fans Facebook. Jumlah yang bila dihimpun bisa menopang sebuah partai politik untuk menduduki kursi mayoritas parlemen negara manapun. Kekuatan ini juga yang turut menopang pendapatannya yang mencapai US$ 90 juta pada tahun lalu.

Sebenarnya, dalam urusan pendapatan, Gaga masih di bawah Oprah yang tahun lalu meraup US$ 290 juta. Tapi sementara Oprah kian menua, Gaga diprediksi justru masih akan terus berkembang di era media digital seperti saat ini. Menyusul mereka berdua adalah si Wonder Kid, Justin Bieber yang tahun lalu mengantongi US$ 53 juta, yang sebagian besar berasal dari hasil konser, penjualan album serta film dokumentasinya yang mewabah bak virus, “Justin Bieber: Never Say Never”.

Mari kembali ke Gaga. Jadi, apa yang membuatnya menjadi demikian hebat sampai dijuluki pemasar paling cerdas – bukan sekedar artis top – di jaman mutakhir ini?

"Lady Gaga memahami arti viral marketing lebih baik dari siapapun artis jaman sekarang,” cetus komentator industri hiburan, Simon Dumenco untuk menyebut kunci sukses sosok yang satu ini.

Dumenco benar. Jauh sebelum para pengikutnya sebanyak hari ini, Gaga memang tahu bagaimana mengarahkan publik lewat Twitter, Facebook dan YouTube. Ditambah dengan penampilannya yang nyentrik abis, tak heran jika selalu muncul berita seputar dirinya sehabis event yang dihadirinya, entah itu pagelaran musik atau perhelatan sebuah award. Berita yang hebatnya bisa bergaung selama lebih dari satu pekan.

Yang menarik, merunut ke belakang, Stefani Germanotta tidak asal-asalan dalam mendongkrak karirnya sehingga Lady Gaga pun muncul menjadi sebuah merek dan ikon yang dashyat. Sejak di hulu, sisi produk, hal itu dipikirkannya sungguh-sungguh. Nama panggung “Lady Gaga”, misalnya, tidak dipilih Germanotta secara sembarangan. Dalam beberapa wawancara, dia mengungkapkan bahwa nama itu terinspirasi dari judul tembang Freddie Mercury cs. dari kelompok Queen, “Radio Gaga”. “Gaga” dalam bahasa Inggris bermakna terpesona pada sesuatu hingga tergila-gila. Itulah sebabnya Germanotta selalu berusaha membuat orang tergagap plus terpesona pada dirinya. Dan dia berhasil.

Tapi untuk mencapai itu diperlukan kecermatan dan kecerdikan. Agar produk bernama Lady Gaga benar-benar membuat orang terpesona, Germanotta sangat serius memikirkan konsep apa yang akan ditampilkannya. Wanita ini terbilang super detail dan mau turun ke bawah mengatur apa yang akan dihadirkannya untuk “monster-monster kecilnya”. Saat desain album, dia menyingsingkan lengan baju buat memoles pencitraan yang akan hadir di sampul. Terlebih bila tiba saat manggung. Dia akan detail mengurus semuanya mulai dari kostum sampai aksi heboh yang akan ditampilkan.

Kemampuan ini tak bisa dilepaskan dari masa lalu seorang Germanotta. Dalam perbincangan dengan Forbes, 25 November 2009, Germanotta mengingat bagaimana dia mulai meniti karir sebagai penyanyi. Satu ketika dia menembang lagu di sebuah bar yang diisi sejumlah mahasiswa yang tengah mabuk. Tak ada yang memberinya perhatian sampai dia memutuskan bernyanyi dan bermain piano sambil menampilkan lingerie-nya. Seketika orang pun teriak, “Whoa.” Germanotta pun bergumam, “Nah, sekarang kalian baru lihat aku, kan?”

Dari sana Germanotta sadar betapa pentingnya penampilan yang kontroversial. Dia sendiri mulai berkecimpung di dunia musik di tahun 2003 dan sekolah di New York University's Tisch School of the Arts. Sebagai mahasiswa sekolah seni, Germanotta menyadari sepenuhnya arti penting pencitraan. Dan itu benar-benar kian diwujudkannya sehingga album pertamanya, The Fame yang dirilis Agustus 2008 lewat Kon Live meledak di pasar.

Namun creating the conversation lewat media sosial adalah satu kunci penting yang membuat orang menanti seperti apa Lady Gaga akan muncul kembali di hadapan publik. Contoh mutakhir adalah sebelum merilis album terbarunya, Born This Way, Germanotta menyiapkan dengan sungguh-sungguh conversation (perbincangan) dan keriuhan di kerumunan massa (crowd). Bila sempat melihat acara Grammy 2011 Februari lalu, tentu masih ingat bagaimana seorang Lady Gaga muncul digotong 4 pria kekar dalam sebuah cangkang telur raksasa. Orang pun terpana begitu melihat Lady Gaga menyeruak seperti ayam keluar dari cangkangnya.

Yang menarik, dalam menciptakan keriuhan dan perbincangan ini, Lady Gaga pandai mengintegrasikan seluruh kanal dalam media sosial. Sebelum tampil dalam acara Grammy yang kemudian bisa diakses via YouTube, Gaga terus bercuit-cuit di Twitternya, ngobrol dengan para follower-nya. Untuk aksinya itu, dia bahkan telah mengumumkannya di Twitter lewat pengarah gayanya, Nicola. “Gaga sedang diinkubasi. Malam ini ia akan tampil berkolaborasi dengan Hussein Chalayan dan House of Mugler," katanya dalam Twitter.

Dengan cara integrasi seperti itu, para fansnya pun menjadi akrab dan dekat. Terlebih, Lady Gaga menampilkan diri sebagai sosok yang autentik, sosok yang apa adanya, tidak jaim (jaga image). Dan Gaga tahu bahwa apa yang ditampilkannya sebagai kenyentrikkan, sesungguhnya ada pada diri tiap manusia. Artinya, naluri untuk nyentrik dimiliki semua manusia. Bedanya, banyak yang tidak ingin menampilkannya. Di sini Gaga menonjolkan bahwa menjadi nyentrik, nyeleneh bukanlah tabu. Salah satu yang diutarakannya adalah wig-nya yang bagi banyak orang tampak selalu aneh. Dia mendorong orang untuk menganggap itu sebagai hal yang lumrah. “Bahkan aku tak tahu apa yang salah kalau kita tidur mengenakan wig. Aku sih suka aja,” katanya. Gaga ingin setiap orang menerima bahwa pada diri manusia ada sisi-sisi yang nyentrik.

Dari aspek-aspek di atas (mengemas produk, menguasai konsep provokatif secara detail, dan menciptakan keriuhan yang akrab dengan publik), hal lain yang membuat Gaga ditunggu adalah konsistensinya dalam tampilan yang selalu segar. Kapan Gaga tampil biasa? Tidak pernah. Justru bukan Lady Gaga jika dia tampil standar dan tak membuat takjub. Bahkan topi yang dikenakan pun selalu membuat pengamat mode kagum. Ini menunjukkan satu hal: peluklah perubahan, jangan takut berbeda. Germanotta tidak pernah takut untuk menghadirkan seorang Lady Gaga yang selalu tampil dengan hal-hal baru. Perubahan adalah satu-satunya kepastian dari seorang Gaga.

Guna menopang kegilaan semacam ini, Germanotta mesti layak dipuji. Dia sadar pentingnya manajemen kreatif. Baginya, nyentrik bukan berarti asal-asalan. Terinspirasi kreativitas Andy Warhol yang membuat tim kreatif bernama The Factory, Germanotta mendirikan Haus of Gaga. Nama ini diambil dari “Bauhaus”, sebuah sekolah seni dan desain di Jerman yang pada masaya (sebelum Perang Dunia II) sangat berpengaruh. Sekolah ini terkenal dengan keunikannya dalam menggabungkan antara seni dan teknik.

Dibantu oleh tim kreatifnya, maka Germanotta pun menjelma menjadi Lady Gaga yang dahsyat sebagai merek dan ikon. Dalam ulasannya yang menarik, The Economist (pada kolom Schumpeter, 2 Juni 2011) menulis bahwa Gaga hebat karena dia melakukan 3 hal. Apa saja?

Pertama, membangun apa yang disebut “a personal story”. Dia menekankan seorang aneh yang kreatif. Kedua, membangun apa yang tergolong sebagai “a group narrative”. Gaga menyebut fansnya sebagai “little monster” sementara dirinya sebagai “Mama Monster”, dan dia aktif berkomunikasi dengan mereka. Dan yang ketiga, yang juga sangat menarik, menciptakan misi kolektif. Sebuah tujuan bersama di mana dia berdiri sebagai bagian dari fansnya. Contohnya, mempromosikan kebebasan diri dan bersama-sama bisa mengubah dunia. Alhasil, tak mengherankan jika “ummatnya” di tanah Twitter atau Facebook pun terus membesar, melewati artis-artis lain yang lebih dulu top seperti Kim Kardashian.

Lady Gaga has ability to build emotional commitment,” komentar Jörg Reckhenrich. Bersama rekannya, Jamie Anderson, dia Reckhenrich melakukan studi khusus tentang Lady Gaga bertajuk “Lady Gaga: Born This Way?”. Dan kedua pengajar dari Antwerp Management School and Martin Kupp of the European School of Management and Technology ini sepakat bahwa kemampuan ini adalah kapabilitas yang semakin dibutuhkan di bisnis modern.

Ketertarikan para dosen untuk membedah seorang Lady Gaga sungguh sangat menarik. Lady Gaga mampu membuat bukan hanya pengamat mode dan kritikus musik yang saling melempar pendapat, tapi akademisi pun seperti ilmuwan yang menyoroti objek penelitian lewat mikroskopnya. Tapi tidak serta merta asumsi Anderson-Reckhenrich bisa diterima begitu saja. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah: apakah cara Lady Gaga bisa diterapkan dalam kehidupan bisnis?

Dalam menghadapi pertanyaan ini, kebanyakan orang yang skeptis cara Gaga bisa diterapkan dalam kehidupan bisnis dan perusahaan. Mereka ragu apakah bisa seorang manager memanggil para pengikutnya dengan “monster kecil” untuk mengambil hati. Alih-alih dapat simpati, sang manajer mungkin akan ditendang.

Lady Gaga sendiri tentu saja tak mau pusing dengan analisis itu. Termasuk analisis yang menyatakan bahwa satu kunci lainnya yang membuat dirinya begitu menjulang melebihi para artis lainnya, termasuk Madonna yang sering disebut-sebut sebagai ikon musik legendaris, adalah kharisma. Di balik gemerlap polesan wajahnya, Lady Gaga hanya konsisten menyebut dirinya sebagai yang satu ini: a freak, a maverick, a lost soul looking for peers.

Dan apapun analisis atau kritik yang berkemabang, Germanotta kini telah melangkah jauh. Dia seperti meniru Oprah. Kalau lewat grup bisnisnya, Harpo, Oprah membangun kerajaan bisnis yang luar biasa, lewat Haus of Gaga-nya, Germanotta sekarang tengah meniti kerajaannya sendiri. Salah satunya adalah House of Gaga Publishing, perusahaan yang menerbitkan musik-musiknya yang dikelola Joe Germanotta. Di luar itu, perusahaan-perusahaan besar bergerak bak semut menemukan gula. Mereka ingin menjalin kemitraan dengan seorang Lady Gaya.

Melihat kehebatannya kini, tak ayal banyak orang bertanya: akankah Gaga pada akhirnya sehebat Oprah?

Tentu saja jawaban ini masih ditunggu. Oprah bersama telah membuktikan selama 25 tahun menjadi mesin uang yang dahsyat. Sebuah karir yang tak mudah ditiru oleh siapapun. Yang pasti, para kritisi musik menyebut bahwa baik Oprah maupun Gaga telah menunjukkan bahwa kendati keduanya tidak cantik secara fisik, tapi mereka dikaruniai kecerdasan yang luar biasa sehingga bisa memukau publik dan membuat mereka selalu menanti. Setuju, kan?