Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, August 26, 2011

Para Maestro Kuliner Dunia


Mereka tak lagi berkutat di dapur. Mereka kaya dan terkenal. Mereka adalah celebrity chef yang wajah dan masakannya dinikmati publik.

Rachael Ray, Jamie Oliver, Aaron Sanchez, Mario Batali, Bobby Flay dan Emeril Lagasse adalah nama-nama besar di dunia kuliner internasional. Mereka kerap disebut “elite chef”, dan sering juga disematkan sebagai “celebrity chef”. Laiknya selebriti, wajah mereka dinikmati di beragam medium, terutama televisi dan media cetak. Mereka tidak lagi seperti chef masa-masa sebelumnya yang berkutat di dapur, fokus pada makanan dan masakan yang diraciknya. Maklum, dulu orang pun cenderung hanya menikmati produk yang disajikan tanpa merasa perlu untuk mengetahui siapa kokinya.

Dunia memang berputar cepat. Termasuk di dunia kuliner global. Kini, dari London, Paris dan Roma di Eropa, hingga New York dan Los Angeles di Amerika, berjejer elite chef di sejumlah restoran serta hotel papan atas. Yang menarik adalah bagaimana proses popularitas itu terjadi. Sebelum era 1990-an, para maestro kuliner papan atas mendapat pengakuan dari mulut ke mulut. Bila makanan mereka lezat, nama mereka pun beredar sehingga berduyun-duyun orang-orang berkantung tebal ingin mencicipinya dan menceritakannya saat ngrumpi.

Panggung dunia chef mulai berubah drastis di era 1990-an. Di sinilah mulai muncul julukan celebrity chef. Istilah ini merujuk pada seseorang yang terkenal karena masakannya, yang biasanya dia kemudian justru menjadi lebih terkenal dari sisi pribadinya ketimbang sisi kulinernya. Era 1990-an menjadi transisi bagi chef semacam ini. Penyebabnya tiada lain adalah perhatian media yang begitu besar kepada para orang-orang elit ini.

Adalah Food Network yang membuat letupan dunia kuliner meledak dan membetot perhatian publik sekaligus membuat para maestro masakan itu makin menemukan momentumnya. Mengudara pada November 1993, Food Network yang didesain Reese Schonfeld (salah seorang pendiri CNN) adalah kanal khusus yang menayangkan program tentang makanan dan masakan. Kanal ini dimiliki Scripps Networks Interactive dan Tribune Company.

Segera acara-acara yang disajikan di saluran TV kabel ini memancing minat publik atas dunia kuliner dan pertunjukkan masak-memasak. Minat ini pun diterjemahkan menjadi sejumlah cerita di media cetak ternama seputar sosok-sosok maestro kuliner yang bukan hanya menarik, kreatif, tapi juga berkharisma. Food Network sendiri menyeleksi orang-orang elit ini. Akhirnya, seiring kemunculannya di televisi, sejumlah chef pun menerima undangan menghadiri aneka talk show dan pertunjukkan memasak di hadapan masyarakat luas. Tak ayal jalan untuk ketenaran pun terbuka lebar. Banyak yang awalnya hanya bekerja di restoran atau hotel kian ngetop. Mereka pun menjadi selebriti.

Setelah itu, dunia kuliner pun bergerak menanjak. Aneka lomba masak di televisi kian menjamur membetot orang-orang berbakat keluar dari ruangannya. Chef-chef baru pun menyeruak dari dapur-dapur yang sama sekali tak dilirik, menjadi orang terkenal. Restoran yang mereka miliki diserbu. Buku yang mereka tulis diburu. Acara televisinya pun laris. Dari sekedar tukang racik kuliner, mereka jadi selebriti kaya raya. Otomatis status sosial mereka pun meningkat.

Lihat saja Rachael Ray. Wanita murah senyum kelahiran 25 Agustus 1968 di Glens Falls, New York ini ditaksir memiliki kekayaan personal hingga US$ 60 juta. Uang tersebut diraihnya selain lewat acara 30 Minute Meals di Food Channel, juga kanal rejeki lain termasuk buku, majalah, talkshow. Ray bahkan menjadi ikon budaya pop Amerika.

Televisi tak ayal menjadi titik tumpu para chef elit kelas dunia untuk membangun reputasi. Ini memang satu hal yang menjadi kekuatan para maestro kuliner top kelas dunia. Namun, pada sisi yang mendasar, yakni produknya, para chef ini sangat menyadari pentingnya mengambil positioning. Maklum, di dunia kuliner yang kian semarak ini, diferensiasi menjadi faktor penting.

Mari alihkan pandangan ke London. James “Jamie” Trevor Oliver sering disebut chef nomor wahid dari Inggris. Untuk mendongkrak namanya sebagai maestro kuliner, lelaki 36 tahun yang terkenal dengan julukan The Naked Chef ini mengambil spesialisasi masakan Italia sekalipun kelahiran Essex, Inggris ini menguasai beberapa makanan internasional.

Celebrity chef yang juga mengambil makanan Italia sebagai sisi keunggulan kompetitifnya adalah Mario Batali. Kelahiran Seatle ini terkenal setidaknya di 3 kota, yakni New York, Las Vegas dan Los Angeles. Di keempat kota itu dia memiliki jaringan restoran di bawah merek Batali. Sementara itu, Aarón Sanchez mengambil jalur masakan Latin. Lelaki perlente ini sering tampil dalam acara memasak di televisi dan menjadi juri di acara Chopped di Food Network. Cita rasa masakan Latin menjadi titik kekuatannya.

Bila ditelaah, banyak chef kelas dunia yang mengambil jalur kuliner karena sentuhan yang didapatnya sejak kecil memang tak jauh dari dunia masak dan makanan. Sanchez adalah generasi kedua chef Latino yang malang melintang di New York. Jamie Oliver dibesarkan orang tuanya yang menjalankan sebuah pub, The Cricketers, tempat dia bereksperimen sejak belia. Hal yang sama juga berlaku pada Ray. Dia dibesarkan di Massachusetts di mana orang tuanya, James Ray dan Elsa Scuderi mengelola 4 restoran keluarga. Sejak usia 8 tahun, Ray akrab dengan dunia kuliner.

Namun, jalan buat mereka untuk ke posisi puncak, kebanyakan dirintis dari awal dan kadang penuh liku. Jamie Oliver berangkat dari seorang pastry chef di restoran Neal’s Yard di mana dia pertama kali bersentuhan dengan masakan Italia. Dia kemudian pindah ke River Cafe di Fulham sebagai sous chef. Namanya melonjak di tahun 1997 ketika tampil di acara dokumenter BBC tentang restoran, “Christmas at the River Cafe”. Di tahun itu juga dia memulai debut acara memasaknya yang kelak melambungkan namanya, The Naked Chef.

Batali bahkan awalnya seorang tukang cuci piring di resto Stuff Yer Face di New Brunswick, New Jersey. Dia lalu belajar menjadi pembuat pizza dan stromboli. Di kemudian berpindah-pindah restoran, termasuk melanglang ke resto Waterside Inn di London. Tahun 1985 Batali menjadi sous chef di Four Seasons Clift di San Fransisco sebelum mengelola restoran La Marina di Santa Barbara. Karirnya kian melonjak setelah tahun 1989 merintis restorannya sendiri.

Terlepas dari jalannya masing-masing, satu hal yang terasa menonjol kuat pada para maestro kuliner ini adalah kemampuan mereka untuk melakukan personal branding dengan menunggangi perkembangan teknologi. Mayoritas para chef elite ini punya website yang dikelola profesional, yang menjadi “rumah” mereka untuk dikunjungi para penggemarnya. Biasanya, di website ini disajikan resep-resep pilihan yang lezat. Tak lupa, agenda sang maestro pun dicantumkan. Cobalah kunjungi rachaelray.com, mariobatali.com, jamieoliver.com atau chefaaronsanchez.com. Di samping itu, kebanyakan dari mereka pun aktif melakukan perbincangan dengan khalayak via Twitter.

Serbuan celebrity chef tak hanya di Eropa dan Amerika. Tanah Asia pun dirambah para chef elite. Joel Robuchon dari Prancis, Wolfgang Puck (AS) dan Tetsuya Wakuda yang besar di Australia adalah beberapa chef yang meminjamkan nama besar mereka untuk sejumlah restoran di Asia.

Fenomena ini terjadi seiring dengan kian meningkatnya tingkat kehidupan ekonomi. Singapura, terutama. Negeri ini tergolong agresif dalam mendorong kehadiran celebrity chef kelas dunia untuk membuka jaringan restorannya. Dan kehadiran para jago kuliner itu semakin menjadi-jadi setelah Singapura membangun dua kompleks kasino megah, Marina Bay Sands dan Resort World Sentosa. Nama-nama maestro tenar lainnya seperti Kunio Tokuoka, Susur Lee dan Scot Webster juga meramaikan Singapura lewat restoran-restorannya.

Sebelum Singapura, para maestro kuliner papan atas lebih banyak beredar di Tokyo, Hong Kong dan Makau. Chef Pierre Gagnaire, umpamanya, punya restoran top di Mandarin Oriental Hotel, Hong Kong. Robuchon mengoperasikan resto Michelin di Hong Kong dan Makau. “Citra Singapura sebagai food city makin nyaring terdengar. Saya juga punya banyak teman yang bilang makin tertarik datang ke Singapura,” ujar Wakuda yang terkenal dengan jaringan restonya, Tetsuya. “Turisme di Singapura tengah booming, orang-orang kian mencari gaya hidup dan konsep dining yang baru serta canggih,” ujar Robuchon, legenda kuliner dunia saat membuka restorannya, L'Atelier di Singapura.

Singapura memang memacu industri kulinernya. Negeri ini ditaksir meraup US$ 1,47 miliar dari sektor kuliner (makanan dan minuman). Setiap wisatawan yang datang ke sana, dari total uang belanjanya, sedikitnya 10% disisihkan untuk kuliner.

Yang menarik, tekanan dari maestro global telah membuat para chef lokal juga kian tertantang. Dan generasi para chef Asia yang mempelajari metode masakan Barat itu terbilang cerdik karena memadukannya dengan cita rasa serta racikan bumbu dari warisan budaya setempat. Kini sejumlah nama chef Asia sudah kian diperhitungkan. Dari Singapura muncul nama Andre Chiang, Justin Quek dan Ronnie Chia. Dari Malaysia, Takashi Kimura dan Cheong Liew diakui luas, termasuk di Australia. Di Filipina, Astonio Escalante adalah jaminan masakan bermutu. Sementara di Pattaya, cobalah cicipi racikan Av Khanijou yang memadukan cita rasa India-Thailand.

Dengan kian makmurnya beberapa negara Asia, seperti China dan India, diprediksi akan makin banyak lahir celebrity chef lokal di negara-negara itu. Kekayaan budaya setempat, yang dipadukan dengan teknik memasak Barat, akan menarik para wisatawan yang ingin berlibur maupun singgah di tengah perjalanan bisnis.

Akhirnya, menyimak perkembangan di atas dan menimbang kekayaan kuliner Indonesia, mestinya kita patut berharap muncul nama-nama besar maestro kuliner dari Tanah Air yang turut diperhitungkan di kancah global.

Thursday, August 18, 2011

Pergolakan di Sumbu-sumbu Mode


Di era fast fashion, kota-kota besar di banyak negara berlomba menjadi pusat mode ternama. Bahkan hampir setiap negara punya pekan mode. Tak seperti dulu, kini pekan mode bukan lagi acara elit di kota tertentu.



Hongkong melesat! Itulah yang muncul dalam laporan Global Language Monitor (GLM) yang dirilis Februari 2011. GLM adalah lembaga survei independen yang meriset seputar kota-kota mode dunia. Posisi pertama diraih New York.

Melejitnya Hongkong adalah sinyal tentang dinamika besar dunia fashion internasional yang berlangsung dalam 5 tahun terakhir, dan diprediksi akan kian bergejolak pada satu dekade ke depan. Hongkong adalah fakta sahih betapa dunia mode kini bukan lagi milik Eropa dan Amerika, tapi menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Di Eropa, pusat-pusat mode bukan lagi didominasi Paris, Milan atau London. Roma, Madrid, Berlin dan Stockholm menyeruak jadi kekuatan yang pantas diperhitungkan. Di Amerika, Los Angeles, San Francisco serta Miami kian menarik perhatian di luar Big Apple, New York. Di Asia, Hongkong hanyalah sebuah riak dari gelombang pasang kota-kota mode Asia ke pentas tertinggi dunia mode internasional. Di luar Hongkong, kota-kota mode terbaik di Asia versi GLM adalah Shanghai, Tokyo, Singapura, Bangkok dan Seoul. Mereka mendapat predikat terhormat: the fashion capital. Selain kota-kota di atas, New Delhi dan Dubai pun ikut bicara. Begitu juga Sydney di Australia. Sementara di Afrika Selatan, Cape Town serta Johannesburg menjadi kiblatnya.

Kencangnya persaingan antarkota besar untuk menjadi sumbu utama mode dunia bisa dilihat dari pagelaran pekan mode (fashion week) di masing-masing kota. Tak seperti dulu, kini pekan mode bukan lagi acara elit yang seolah-olah hanya bisa disaksikan di kiblat-kiblat mode seperti 4 kota besar mode ternama (Paris, Milan, London maupun New York). Pekan mode telah menjadi agenda rutin yang harus dimiliki setiap kota yang ingin menjadi the fashion capital.

Hebatnya, pergeseran pekan mode ini bukan cuma pada sumbu-sumbu mode yang kian melebar ke seluruh penjuru dunia, frekuensinya pun kian menggila. Tak seperti dekade-dekade sebelumnya, kini pekan mode tidak lagi berusia enam bulan. Jadwal pekan mode di berbagai belahan dunia semakin padat. Tak ada lagi cerita pekan mode berkisar pada koleksi spring/summer atau fall/winter. Tak berlaku lagi agenda musiman per enam bulan bagi lini busana pria dan wanita. Tak jaman lagi pertunjukan khusus haute couture yang diiringi pameran koleksi resor serta cruise collection yang dirilis menyambut musim panas. Kendati hal-hal tersebut masih berlaku, tapi jaman kian berubah. Langgam semacam itu kian digerus koleksi-koleksi baru yang muncul hanya dalam hitungan minggu.

Inilah era yang disebut fast fashion. Era ketika pekan mode bergerak begitu cepat. Masa ketika desain yang baru diperagakan di catwalk segera berpindah ke toko untuk menciptakan tren di pasar. Begitu terus: desain, catwalk, toko. Berlaku dan berlalu cepat. Seperti diakui Simon Lock, penggagas Australian Fashion Week yang digelar di Sydney, saat ini terdapat sedikitnya 50 pekan mode papan atas yang dilaksanakan di seluruh dunia dalam rentang waktu satu tahun. Hampir setiap negara punya pekan mode masing-masing. Bahkan negara-negara kecil seperti Islandia, Cyprus dan Kroasia pun memilikinya.

Alhasil, fashion kini benar-benar menjadi industri yang nyaris tiada matinya. Seperti guliran kompetisi sepak bola yang tak mengenal jeda, dari persaingan antarklub diseling perlombaan antarnegara, dunia mode pun seakan memiliki liga tersendiri. Tiap kota menggelar pekan mode. Dari New York, Los Angeles, San Francisco dan Miami di belahan Amerika, lalu Paris, Milan, Roma, Madrid dan Berlin di Eropa, Hong Kong dan Tokyo di Asia, hingga Cape Town dan Johannesburg di Afrika Selatan. Mereka semua berlomba menyajikan pergelaran mode terbaik. Berlomba menjadi kiblat tren bagi kota-kota mode lain, sekaligus membetot perhatian pelaku mode internasional untuk mampir. Seperti halnya sebuah liga, mereka ingin menjadi jawara.

Khusus di Asia, kemunculan Hongkong dan Shanghai menjadi penanda betapa dunia mode China tengah menggeliat hebat. Para pelaku dunia mode Italia bahkan telah mengakui betapa ciamiknya para desainer Negeri Panda itu. Mereka bahkan mengatakan China punya peluang yang sangat besar untuk menjadi kekuatan mode dunia, menandingi pusat-pusat mode yang selama ini bercokol di Eropa dan Amerika. "Isu terbesar di dunia fesyen bukan lagi seputar dahsyatnya ekonomi China, tetapi kreativitasnya," ujar Elio Fiorucci, trendsetter Italia. Dan para desainer mode China, Elio menambahkan, mempunyai bakat luar biasa yang akan menggebrak dunia mode. “Mereka akan mengejutkan dunia fashion," dia menandaskan penuh keyakinan. Beberapa nama dari China yang mulai menggebrak adalah Mark Cheung, Donoratico, Lea Seong, Cabbeen, Gioia Pan, Qi Gang, TSE dan Joooys. Mereka menghentak dunia lewat China International Fashion Week yang sudah rutin digelar tiap Maret.

Melajunya Hongkong dan Shanghai tak ayal mengingatkan pada Tokyo yang sebelumnya telah telah menjelma jadi pusat mode bagi banyak fashionista dunia. Gaya yang dikembangkan di kota ini seperti gothic lolita serta harajuku yang tercipta dari jalanan di Jepang, telah lama menjadi panutan gaya berbusana remaja. Sementara nama-nama Kenzo Takada, Yohji Yamamoto, Rei Kawakubo, juga Issey Miyake yang lahir dari catwalk Tokyo mengangkat kota ini menjadi kota mode penting dari Asia.

Kembali ke kota-kota di China. Elio menyoroti kreativitas para desainer setempat yang akan menghentak seperti halnya Kenzo Takada, Yohji Yamamoto, Rei Kawakubo serta Issey Miyake di Jepang. Tapi sesungguhnya kekuatan ekonomi China tak bisa dipandang remeh sebagai variabel yang akan mempercepat kota-kota di negeri itu menjadi pusat mode dunia. Tilik saja fakta yang disodorkan The World Luxury Association. Lembaga ini memperkirakan China menjadi pasar barang mewah terbesar di dunia dengan penjualan mencapai US$ 14,6 miliar dalam 5 tahun ke depan. Sebuah prediksi yang dianggap masuk di akal karena kekuatan ekonomi warga China memang tengah di atas. Buktinya, belum lama ini China memicu rekor penjualan barang-barang mewah seperti LVMH, Ralph Lauren, Ermenegildo Zegna dan Prada. Dengan nafsu belanja yang besar, bukan mustahil desain yang baru ditampilkan di catwalk akan ludes di toko.

Tensi yang tinggi diantara kota-kota besar di atas untuk menjadi pusat kekuatan mode sangat bisa dipahami dengan mengingat pusaran uang yang bisa dihasilkan seperti disinggung The World Luxury Association. Menjadi pusat mode berarti menjadi pusat belanja. Itu sebuah keniscayaan yang ingin dikejar. Lantas, siapa yang akan menjadi pemenangnya?

Pertanyaan ini jelas tak mudah dijawab. Kota mode adalah ekosistem tersendiri. Setidaknya, fashion capital adalah sebuah kawasan di mana tinggal para desainer, agensi modeling serta para pengusaha rumah mode. Dan lazimnya, untuk menjadi kota mode yang hebat, perlu waktu yang tidak sebentar. Ada gabungan tradisi dan kultur yang mengakar.

Ambil contoh Milan. Kota ini mulai menjadi pusat mode pada abad ke-16. Ketika itu, industri barang mewah seperti perhiasan, pakaian serta topi mulai berkembang dan menjadi salah satu industri yang sangat penting. Dari sinilah lahir nama Milan yang berasal dari kata “milaner” atau “millaner” yang berarti barang-barang mewah.

Perjalanan Milan menjadi kota mode makin melaju ketika di awal abad ke-20 bertumbuh pusat-pusat produksi tekstil dan kain sutra. Namun citra kota mode makin melejit pada tahun 1970-an. Sejumlah rumah mode papan atas dunia memilih kota ini sebagai pusat bisnisnya. Channel, Gucci, Dolce & Gabbana, Versace, Louis Vuitton, Yves Saint Laurent, Alberta Ferretti dan Miu Miu adalah beberapa nama besar yang berkibar di sini. Mereka terlibat aktif membuat Milan Fashion Week yang prestisius, yang membuat Milan menjadi salah satu pusat mode yang sangat diperhitungkan.

Namun untuk membuat sebuah kota menjadi pusat mode yang kian diperhitungkan, industri lain di sekitar kota tersebut juga mesti hidup. Salah satunya yang terkait erat adalah pariwisata. Itulah yang selama ini tampak kuat mendukung 4 kota besar mode ternama (Milan, Paris, London dan New York). Pusat-pusat budaya dan hiburan tumbuh pesat di kota-kota itu, menjadi inspirasi untuk mode sekaligus tempat pelesir orang-orang yang singgah saat fashion week berlangsung.

Menimbang kekuatan financial capital orang-orang China serta kekayaan tradisi, sejarah dan budaya di sisi pariwisata, bukan mustahil prediksi Elio Fiorucci akan benar-benar terbukti. Hanya saja, seperti ditegaskan CEO Roberto Cavalli, Gianluca Brozzetti, untuk dapat bersaing dengan 4 kota besar dan merek-merek ternama dunia yang sudah eksis, China benar-benar membutuhkan waktu, kreativitas dan konsistensi berkarya.

Lalu, bagaimana dengan negara Asia lain seperti Indonesia dan mereka di Timur-Tengah?

Wacana yang sejauh ini muncul adalah negara-negara itu mencari positioning tersendiri di tengah red ocean dunia mode yang kini tengah berlangsung. Persisnya: menjadi pusat mode muslim dunia. Jurus ini diambil terkait dengan populasi kaum muslim yang dominan di wilayah tersebut.

Para desainer Indonesia sendiri telah berupaya aktif mewujudkan negeri ini menjadi pusat mode muslim. Juni lalu digelar Indonesia Islamic Fashion Festival (IIFF) ke-5 yang salah satu tujuannya adalah mewujudkan rencana Indonesia sebagai kiblat fesyen muslim dunia pada tahun 2020. Di luar keinginan menjadi pusat mode muslim, beberapa kota di Indonesia juga ingin menjadi sumbu-sumbu mode kontemporer, khususnya buat wilayah Asia. Di Jakarta, misalnya, mulai rutin digelar pekan mode seperti Jakarta Fashion Week, Festival Mode Indonesia, ITAF Indonesian Fashion Week, serta Jakarta Fashion and Food Festival di Kelapa Gading. Di luar Jakarta, kota Jember juga sudah berhasil membetot perhatian dengan Jember Festival-nya.

Perihal positioning merupakan hal yang penting. Ambil contoh 4 kota besar mode ternama. "Secara umum, Milan selalu diidentikkan dengan karakter tailoring, London gaya eklektik dan avant garde, New York minimalis dan simpel, sementara Paris pusat adibusana," ujar Simon Lock.

Lock benar. Keempat kota itu memang punya karakter dan kekuatan tersendiri yang memberi dinamika pada industri fashion. Paris, misalnya, memang markas haute couture. Milan berkarakter tailoring. London adalah rumah buat perancang muda energik dengan semangat tanpa batas seperti Gareth Pugh, Matthew Williamson, Christopher Kane dan Phillip Lim. Mereka ekletik. Sementara New York justru kebalikannya: garis desain yang kontradiktif, mendobrak citra avant garde dan memutarnya menjadi dinamis, simpel serta minimalis. Vera Wang, Diane von Furstenberg, Oscar de la Renta, Tom Ford serta Caroline Herrera adalah wajah New York.

Indonesia tentu saja punya peluang dengan positioning yang diambilnya sebagai pusat mode muslim. Dan rasanya ini harus diseriusi karena Malaysia pun berniat mengambil jalur yang sama. Sementara untuk berada di jalur kontemporer, Indonesia juga tak boleh lengah karena Negara-negara lain juga bergerak. Jiran kita, Singapura salah satunya. Negeri Singa ini baru memulai debut lewat Audi Singapore Fashion Festival.

Akankah Indonesia menjadi pelaku utama atau sekedar penonton, akan bisa kita saksikan dalam beberapa tahun mendatang. Tapi semestinya Indonesia yang kaya budaya dan potensi kreativitas punya peluang besar. Terbukti, Bali sudah masuk laporan kota mode versi GLM di peringkat ke-32. Sebuah potensi, bukan?

Tuesday, August 9, 2011

Sal Si Pemberdaya


Bermula dari niat membantu, dia membangun sekolah virtual kelas dunia. Dari kloset, dia memberdayakan banyak orang.

Bill Gates punya guru favorit baru?

Ya, begitulah pengakuan pemilik Microsoft. Namanya, Salman Khan. Bersama anaknya, Rory John Gates (12), Bill sangat menikmati tutorial online yang disajikan Salman lewat websites-nya, khanacademy.org. Di situs ini, seperti para pengunjung lainnya, mereka sangat terbantu dengan tutorial pelajaran yang ada. "I've been using with my kids," katanya penuh kekaguman. Bill mengetahui situs ini lewat email yang dikirim tim think-tank-nya, bgC3, di tahun 2009. Pesan suratnya: ada situs pembelajaran yang menarik.

Khanacademy.org memang situs istimewa. Di sini, orang bisa mendapakan koleksi pembelajaran online dengan beragam cakupan ilmu, mulai dari matematika, sejarah, keuangan, fisika, kimia, biologi, astronomi, ekonomi, komputer, bahkan SAT. Ilmu-ilmu itu diantarkan lewat video tutorial yang disimpan di YouTube. Kini, lebih dari 2400 video kajian yang tersedia.

Salman adalah orang yang berada di balik situs ini. Dan melihat kiprahnya, bisa dikatakan dia adalah social entrepreneur jempolan di era digital seperti saat ini. The Khan Academy yang didirikannya pada tahun 2006 adalah oganisasi nirlaba yang bergerak di sektor pendidikan. Salman menggarisbawahi misi organisasinya: "providing a high quality education to anyone, anywhere". Dan semua bisa diakses gratis!

Siapa sebenarnya Salman?

Sal, begitu dia akrab disapa, adalah keturunan Bangladesh yang lahir di New Orleans, Louisiana, 34 tahun lalu. Berotak encer, selepas dari Massachusetts Institute of Technology jurusan matematika dan komputer, Sal mengambil MBA dari Harvard Business School. Menggondol gelar dari perguruan top dunia, membuatnya tak sulit mencari pekerjaan di sektor keuangan.

Tahun 2004, jalan hidupnya mulai berubah. Dalam satu kesempatan, Sal dihubungi Nadia. Sepupunya itu merasa kesulitan mengerjakan soal-soal matematika. Sal membantunya menggunakan Doodle Notepad dari Yahoo! Merasa apa yang dikerjakannya sangat membantu orang dalam memahami pelajaran, dan ketika anggota keluarga lainnya menyambat hal yang sama, Sal memutuskan untuk membuat tutorial dengan cara merekam dan meng-upload-nya ke YouTube. Khan Academy pun meluncur 16 November 2006.

Tiada disangka, situs yang diluncurkan anak imigran Muslim ini mendapat sambutan luas. Akhirnya, 5 tahun menyambi, Sal memutuskan untuk sepenuhnya mengurus situs belajar online-nya. Dia ingin fokus mengajar, menjadi dosen di “sekolahnya”. Pada akhir Desember 2009, tahun ketika dia memutuskan fokus “mengajar”, video-video kuliah Sal sudah diakses sedikitnya 35.000 view setiap harinya. Dibuat di Camtasia Studio, setiap video itu sedikitnya berdurasi 10 menit menggambarkan Sal yang tengah mengajar.

Sejatinya, sudah banyak orang yang coba membuat situs untuk belajar secara online. Lantas, mengapa situsnya sukses?

Para pengamat menyebut ada tiga kekuatan Khan Academy: quick, free and easy to understand. Pelajaran dan kursus jarak jauh sejatinya telah dijalankan sejak penemuan surat elektronik. Sejumlah lembaga pun telah masuk ke sektor ini dengan tujuan profit. Salah satunya adalah University of Phoenix. Universitas ini punya setengah juta siswa yang kuliah secara online. Lembaga lainnya, seperti Teaching Co., mengumpulkan dosen-dosen dari Ivy League, Stanford, Georgetown dan sekolah top lain membuat audio video tutorial mulai dari US$ 175-775 per keeping DVD. Masuk ke thegreatcourses.com, kita bisa membeli aneka pelajaran dalam keping DVD yang dikemas menarik.

Sal menyajikan dalam kemasan berbeda. Selain gratis, dia pun biasanya menyajikan satu topik dalam waktu yang singkat. Dalam 10-15 menit dia menjelaskan satu pelajaran, biasanya dengan menggambarkan atau menggoreskan di tablet Wacom dengan pena elektronik seharga US$ 80. Sambil menggores, Sal mengisi video dengan suaranya. Cara ini membuat orang bisa melihat tahap demi tahap sebuah pemecahan masalah.

Bukan hanya murid-murid yang tertarik. Para guru pun, terutama di negeri Abang Sam, banyak yang kepincut. Mereka mengaku kadang frustrasi mengajarkan sebuah topik di tengah-tengah kelas. Berdiri di depan papan tulis, mereka berupaya menarik perhatian semua murid untuk memahami sebuah topik. Bagi anak-anak yang sudah memahami, kadang itu membosankan sehingga mereka tak memperhatikan sang guru. Dengan bantuan Sal, guru bisa mengajak murid untuk sama-sama mengakses untuk mengupas satu topik.

Banyak orang bertanya: bagaimana Sal merekam kuliahnya?

Sebelum di studio, pada awalnya Sal banyak merekam di kloset di rumahnya, di Palo Alto, Kalifornia. Suaranya kadang tak terdengar jernih. Maklum, dia menggunakan headset Logitech senilai US$ 25. Toh karena dia menjelaskan dengan jernih, dan terutama juga karena gratis, orang pun ramai mengaksesnya.

Tapi Sal mengaku bahwa kesederhanaan membuat produknya jadi bernilai. Tak menampilkan wajah, menggoreskan pelajaran di tablet Wacom, membuat orang fokus mendengarkan suaranya dan memperhatikan apa yang dituliskan. Menurutnya ternyata ini membuat sesuatu yang berbeda dibanding kelas biasa di ruangan. “Banyak orang bilang, ‘Hei Sal, kamu mengajar seperti seorang teman, bukan seorang guru’,” katanya bangga. Sal pun dianggap membebaskan dan memberdayakan orang-orang kelas menengah yang tidak bisa masuk kuliah, atau membeli DVD yang lumayan seperti yang dijual Teaching Co.

Kepopuleran situs Sal, tak ayal menimbulkan efek ganda. Di satu sisi, situsnya telah mengancam keberadaan situs pengajaran online yang menjual audio video lewat DVD. Namun di sisi lain, upayanya menarik para filantropis untuk membantunya. Salah satunya adalah Bill Gates yang sangat mengaguminya. Gates mengucurkan US$ 1,5 juta untuk Khan Academy agar websites-nya semakin menarik dan mudah diakses. “Saya mencari sesuatu yang seperti ini. Kerjaan Sal sangat penting,” katanya. Bos Microsoft itu kemudian menyatakan bahwa pendekatan yang dikembangkan Sal menunjukkan hal yang sangat krusial dewasa ini: pendidikan bisa dikustomisasi, dan setiap murid dapat dibantu secara massal, tapi tetap personal disesuaikan kebutuhannya. Inilah keunikan pendekatan Sal. Begitu kata Gates yang sudah satu dasawarsa terakhir ini memang aktif membantu pendidikan di seantero dunia.

Tak cuma Gates yang membantu proyek kemanusiaan ini. Nama-nama top juga telah menyalurkan donasi. John Doerr, misalnya. Venture capitalist papan atas ini memberi bantuan US$ 100 ribu. Google bahkan mengucurkan US$ 2 juta agar Khan Academy bisa membuat lebih banyak lagi tutorial dan menerjemahkan ke sejumlah bahasa utama di dunia. Di luar itu, banyak orang biasa turut memberi donasi.

Sal sendiri mengaku dirinya memang tidak berpikir untuk mencari laba. Padahal, seperti kata Gates, Sal bisa sangat kaya bila dia mau. Itulah sebabnya Khan Academy tetap berjalan nirlaba. Sal tak mau mengkhianati misinya membantu pendidikan seluas-luasnya agar orang bisa lebih berdaya.

Namun dengan keteguhan hati seperti itu, banyak yang berjiwa social entrepreneur berupaya membantunya. Selain dengan dana, kini makin banyak orang yang menyumbangkan waktu dan tenaga buat Khan Academy. Terutama para sukarelawan yang memang ingin mengabdikan sesuatu tanpa dibayar. “Aku dapat talenta-talenta hebat yang tak bisa dibeli dengan uang,” kata Sal.

Beberapa nama top kini bergabung di Khan Academy, seperti John Resig, Dekan Open Source yang juga pakar dalam pemrograman bahasa Java. Nama besar lainnya adalah Shantanu Sinha, yang relah meninggalkan McKinsey untuk membantu Sal. Kini dia menjadi COO Khan Academy.

Sal sendiri kini terus mengembangkan Khan Academy menjadi universitas virtual. Dia tengah membangun kantor di Mountain View. Berangkat dari nol, Khan Academy sekarang punya 8 karyawan. Di kantor ini, Sal sekarang seperti selebritis. Di sela-sela waktunya merekam suara sambil menggores di atas tablet Wacom-nya, tamu-tamu top berdatangan. Wael Ghonim, tokoh muda yang menggelorakan revolusi Mesir yang menumbangkan Hosni Mubarak, misalnya, belum lama ini menjadi tamunya.

Meski makin top, Sal toh tetap rendah hati. Dia mengaku hanya punya satu keinginan. “Aku hanya ingin membuat ratusan ribu video untuk beragam subjek pelajaran. Dan aku ingin menciptakan sekolah virtual kelas dunia yang gratis, di mana orang bisa belajar apa saja.”

Pantaslah kalau Bill Gates pun kesengsem dengannya.