Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, August 18, 2011

Pergolakan di Sumbu-sumbu Mode

Share this history on :

Di era fast fashion, kota-kota besar di banyak negara berlomba menjadi pusat mode ternama. Bahkan hampir setiap negara punya pekan mode. Tak seperti dulu, kini pekan mode bukan lagi acara elit di kota tertentu.



Hongkong melesat! Itulah yang muncul dalam laporan Global Language Monitor (GLM) yang dirilis Februari 2011. GLM adalah lembaga survei independen yang meriset seputar kota-kota mode dunia. Posisi pertama diraih New York.

Melejitnya Hongkong adalah sinyal tentang dinamika besar dunia fashion internasional yang berlangsung dalam 5 tahun terakhir, dan diprediksi akan kian bergejolak pada satu dekade ke depan. Hongkong adalah fakta sahih betapa dunia mode kini bukan lagi milik Eropa dan Amerika, tapi menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Di Eropa, pusat-pusat mode bukan lagi didominasi Paris, Milan atau London. Roma, Madrid, Berlin dan Stockholm menyeruak jadi kekuatan yang pantas diperhitungkan. Di Amerika, Los Angeles, San Francisco serta Miami kian menarik perhatian di luar Big Apple, New York. Di Asia, Hongkong hanyalah sebuah riak dari gelombang pasang kota-kota mode Asia ke pentas tertinggi dunia mode internasional. Di luar Hongkong, kota-kota mode terbaik di Asia versi GLM adalah Shanghai, Tokyo, Singapura, Bangkok dan Seoul. Mereka mendapat predikat terhormat: the fashion capital. Selain kota-kota di atas, New Delhi dan Dubai pun ikut bicara. Begitu juga Sydney di Australia. Sementara di Afrika Selatan, Cape Town serta Johannesburg menjadi kiblatnya.

Kencangnya persaingan antarkota besar untuk menjadi sumbu utama mode dunia bisa dilihat dari pagelaran pekan mode (fashion week) di masing-masing kota. Tak seperti dulu, kini pekan mode bukan lagi acara elit yang seolah-olah hanya bisa disaksikan di kiblat-kiblat mode seperti 4 kota besar mode ternama (Paris, Milan, London maupun New York). Pekan mode telah menjadi agenda rutin yang harus dimiliki setiap kota yang ingin menjadi the fashion capital.

Hebatnya, pergeseran pekan mode ini bukan cuma pada sumbu-sumbu mode yang kian melebar ke seluruh penjuru dunia, frekuensinya pun kian menggila. Tak seperti dekade-dekade sebelumnya, kini pekan mode tidak lagi berusia enam bulan. Jadwal pekan mode di berbagai belahan dunia semakin padat. Tak ada lagi cerita pekan mode berkisar pada koleksi spring/summer atau fall/winter. Tak berlaku lagi agenda musiman per enam bulan bagi lini busana pria dan wanita. Tak jaman lagi pertunjukan khusus haute couture yang diiringi pameran koleksi resor serta cruise collection yang dirilis menyambut musim panas. Kendati hal-hal tersebut masih berlaku, tapi jaman kian berubah. Langgam semacam itu kian digerus koleksi-koleksi baru yang muncul hanya dalam hitungan minggu.

Inilah era yang disebut fast fashion. Era ketika pekan mode bergerak begitu cepat. Masa ketika desain yang baru diperagakan di catwalk segera berpindah ke toko untuk menciptakan tren di pasar. Begitu terus: desain, catwalk, toko. Berlaku dan berlalu cepat. Seperti diakui Simon Lock, penggagas Australian Fashion Week yang digelar di Sydney, saat ini terdapat sedikitnya 50 pekan mode papan atas yang dilaksanakan di seluruh dunia dalam rentang waktu satu tahun. Hampir setiap negara punya pekan mode masing-masing. Bahkan negara-negara kecil seperti Islandia, Cyprus dan Kroasia pun memilikinya.

Alhasil, fashion kini benar-benar menjadi industri yang nyaris tiada matinya. Seperti guliran kompetisi sepak bola yang tak mengenal jeda, dari persaingan antarklub diseling perlombaan antarnegara, dunia mode pun seakan memiliki liga tersendiri. Tiap kota menggelar pekan mode. Dari New York, Los Angeles, San Francisco dan Miami di belahan Amerika, lalu Paris, Milan, Roma, Madrid dan Berlin di Eropa, Hong Kong dan Tokyo di Asia, hingga Cape Town dan Johannesburg di Afrika Selatan. Mereka semua berlomba menyajikan pergelaran mode terbaik. Berlomba menjadi kiblat tren bagi kota-kota mode lain, sekaligus membetot perhatian pelaku mode internasional untuk mampir. Seperti halnya sebuah liga, mereka ingin menjadi jawara.

Khusus di Asia, kemunculan Hongkong dan Shanghai menjadi penanda betapa dunia mode China tengah menggeliat hebat. Para pelaku dunia mode Italia bahkan telah mengakui betapa ciamiknya para desainer Negeri Panda itu. Mereka bahkan mengatakan China punya peluang yang sangat besar untuk menjadi kekuatan mode dunia, menandingi pusat-pusat mode yang selama ini bercokol di Eropa dan Amerika. "Isu terbesar di dunia fesyen bukan lagi seputar dahsyatnya ekonomi China, tetapi kreativitasnya," ujar Elio Fiorucci, trendsetter Italia. Dan para desainer mode China, Elio menambahkan, mempunyai bakat luar biasa yang akan menggebrak dunia mode. “Mereka akan mengejutkan dunia fashion," dia menandaskan penuh keyakinan. Beberapa nama dari China yang mulai menggebrak adalah Mark Cheung, Donoratico, Lea Seong, Cabbeen, Gioia Pan, Qi Gang, TSE dan Joooys. Mereka menghentak dunia lewat China International Fashion Week yang sudah rutin digelar tiap Maret.

Melajunya Hongkong dan Shanghai tak ayal mengingatkan pada Tokyo yang sebelumnya telah telah menjelma jadi pusat mode bagi banyak fashionista dunia. Gaya yang dikembangkan di kota ini seperti gothic lolita serta harajuku yang tercipta dari jalanan di Jepang, telah lama menjadi panutan gaya berbusana remaja. Sementara nama-nama Kenzo Takada, Yohji Yamamoto, Rei Kawakubo, juga Issey Miyake yang lahir dari catwalk Tokyo mengangkat kota ini menjadi kota mode penting dari Asia.

Kembali ke kota-kota di China. Elio menyoroti kreativitas para desainer setempat yang akan menghentak seperti halnya Kenzo Takada, Yohji Yamamoto, Rei Kawakubo serta Issey Miyake di Jepang. Tapi sesungguhnya kekuatan ekonomi China tak bisa dipandang remeh sebagai variabel yang akan mempercepat kota-kota di negeri itu menjadi pusat mode dunia. Tilik saja fakta yang disodorkan The World Luxury Association. Lembaga ini memperkirakan China menjadi pasar barang mewah terbesar di dunia dengan penjualan mencapai US$ 14,6 miliar dalam 5 tahun ke depan. Sebuah prediksi yang dianggap masuk di akal karena kekuatan ekonomi warga China memang tengah di atas. Buktinya, belum lama ini China memicu rekor penjualan barang-barang mewah seperti LVMH, Ralph Lauren, Ermenegildo Zegna dan Prada. Dengan nafsu belanja yang besar, bukan mustahil desain yang baru ditampilkan di catwalk akan ludes di toko.

Tensi yang tinggi diantara kota-kota besar di atas untuk menjadi pusat kekuatan mode sangat bisa dipahami dengan mengingat pusaran uang yang bisa dihasilkan seperti disinggung The World Luxury Association. Menjadi pusat mode berarti menjadi pusat belanja. Itu sebuah keniscayaan yang ingin dikejar. Lantas, siapa yang akan menjadi pemenangnya?

Pertanyaan ini jelas tak mudah dijawab. Kota mode adalah ekosistem tersendiri. Setidaknya, fashion capital adalah sebuah kawasan di mana tinggal para desainer, agensi modeling serta para pengusaha rumah mode. Dan lazimnya, untuk menjadi kota mode yang hebat, perlu waktu yang tidak sebentar. Ada gabungan tradisi dan kultur yang mengakar.

Ambil contoh Milan. Kota ini mulai menjadi pusat mode pada abad ke-16. Ketika itu, industri barang mewah seperti perhiasan, pakaian serta topi mulai berkembang dan menjadi salah satu industri yang sangat penting. Dari sinilah lahir nama Milan yang berasal dari kata “milaner” atau “millaner” yang berarti barang-barang mewah.

Perjalanan Milan menjadi kota mode makin melaju ketika di awal abad ke-20 bertumbuh pusat-pusat produksi tekstil dan kain sutra. Namun citra kota mode makin melejit pada tahun 1970-an. Sejumlah rumah mode papan atas dunia memilih kota ini sebagai pusat bisnisnya. Channel, Gucci, Dolce & Gabbana, Versace, Louis Vuitton, Yves Saint Laurent, Alberta Ferretti dan Miu Miu adalah beberapa nama besar yang berkibar di sini. Mereka terlibat aktif membuat Milan Fashion Week yang prestisius, yang membuat Milan menjadi salah satu pusat mode yang sangat diperhitungkan.

Namun untuk membuat sebuah kota menjadi pusat mode yang kian diperhitungkan, industri lain di sekitar kota tersebut juga mesti hidup. Salah satunya yang terkait erat adalah pariwisata. Itulah yang selama ini tampak kuat mendukung 4 kota besar mode ternama (Milan, Paris, London dan New York). Pusat-pusat budaya dan hiburan tumbuh pesat di kota-kota itu, menjadi inspirasi untuk mode sekaligus tempat pelesir orang-orang yang singgah saat fashion week berlangsung.

Menimbang kekuatan financial capital orang-orang China serta kekayaan tradisi, sejarah dan budaya di sisi pariwisata, bukan mustahil prediksi Elio Fiorucci akan benar-benar terbukti. Hanya saja, seperti ditegaskan CEO Roberto Cavalli, Gianluca Brozzetti, untuk dapat bersaing dengan 4 kota besar dan merek-merek ternama dunia yang sudah eksis, China benar-benar membutuhkan waktu, kreativitas dan konsistensi berkarya.

Lalu, bagaimana dengan negara Asia lain seperti Indonesia dan mereka di Timur-Tengah?

Wacana yang sejauh ini muncul adalah negara-negara itu mencari positioning tersendiri di tengah red ocean dunia mode yang kini tengah berlangsung. Persisnya: menjadi pusat mode muslim dunia. Jurus ini diambil terkait dengan populasi kaum muslim yang dominan di wilayah tersebut.

Para desainer Indonesia sendiri telah berupaya aktif mewujudkan negeri ini menjadi pusat mode muslim. Juni lalu digelar Indonesia Islamic Fashion Festival (IIFF) ke-5 yang salah satu tujuannya adalah mewujudkan rencana Indonesia sebagai kiblat fesyen muslim dunia pada tahun 2020. Di luar keinginan menjadi pusat mode muslim, beberapa kota di Indonesia juga ingin menjadi sumbu-sumbu mode kontemporer, khususnya buat wilayah Asia. Di Jakarta, misalnya, mulai rutin digelar pekan mode seperti Jakarta Fashion Week, Festival Mode Indonesia, ITAF Indonesian Fashion Week, serta Jakarta Fashion and Food Festival di Kelapa Gading. Di luar Jakarta, kota Jember juga sudah berhasil membetot perhatian dengan Jember Festival-nya.

Perihal positioning merupakan hal yang penting. Ambil contoh 4 kota besar mode ternama. "Secara umum, Milan selalu diidentikkan dengan karakter tailoring, London gaya eklektik dan avant garde, New York minimalis dan simpel, sementara Paris pusat adibusana," ujar Simon Lock.

Lock benar. Keempat kota itu memang punya karakter dan kekuatan tersendiri yang memberi dinamika pada industri fashion. Paris, misalnya, memang markas haute couture. Milan berkarakter tailoring. London adalah rumah buat perancang muda energik dengan semangat tanpa batas seperti Gareth Pugh, Matthew Williamson, Christopher Kane dan Phillip Lim. Mereka ekletik. Sementara New York justru kebalikannya: garis desain yang kontradiktif, mendobrak citra avant garde dan memutarnya menjadi dinamis, simpel serta minimalis. Vera Wang, Diane von Furstenberg, Oscar de la Renta, Tom Ford serta Caroline Herrera adalah wajah New York.

Indonesia tentu saja punya peluang dengan positioning yang diambilnya sebagai pusat mode muslim. Dan rasanya ini harus diseriusi karena Malaysia pun berniat mengambil jalur yang sama. Sementara untuk berada di jalur kontemporer, Indonesia juga tak boleh lengah karena Negara-negara lain juga bergerak. Jiran kita, Singapura salah satunya. Negeri Singa ini baru memulai debut lewat Audi Singapore Fashion Festival.

Akankah Indonesia menjadi pelaku utama atau sekedar penonton, akan bisa kita saksikan dalam beberapa tahun mendatang. Tapi semestinya Indonesia yang kaya budaya dan potensi kreativitas punya peluang besar. Terbukti, Bali sudah masuk laporan kota mode versi GLM di peringkat ke-32. Sebuah potensi, bukan?

0 comments: