Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, October 12, 2017

KITA, DWI HARTANTO, dan KEBOHONGAN

Setelah dihebohkan soal skripsi, tesis dan disertasi yang super singkat sehingga terindikasi joki, bahkan plagiat, kita dihebohkan seorang Dwi Hartanto yang sempat dijuluki the Next Habibie. Di balik rasa kasihan terhadap orang ini, ada keheranan (juga terbersit kekaguman) bagaimana dia bisa mengelabui begitu banyak orang top. Aje gile, kata orang Betawi.

Membaca berita-berita itu, dan khusus tentang DH, kontan saya teringat liputan National Geographic, Juni lalu dengan judul keren: Ada Dusta di Antara Kita. Biar lebih singkat, berikut saya kutip isinya secara bebas:

Begini...
Tahun 1989, Princeton University menyambut angkatan baru, termasuk seorang pemuda bernama Alexi Indris-Santana. Kisah hidupnya dinilai sangat memikat oleh komite penerimaan mahasiswa baru sehingga dia diterima setelah melamar ke kampus sebagai self-taught orphan. Bayangkan, dia hampir tak pernah mengenyam sekolah formal. Hampir seluruh masa remajanya dilewati dalam kesendirian. Hidup di alam bebas di Utah, menggembala ternak, pelihara kambing, dan membaca filsafat. Berlari di Gurun Mojave, dia berlatih jadi pelari jarak jauh. Pokoknya keren deh...

Di kampus, Alexi segera jadi bintang. Atlet pelari yang secara akademis juga berprestasi. Nilai A diraihnya, di hampir setiap mata kuliah. Sikap pendiamnya serta latar belakangnya yang tak lazim memberi nilai tambah: jadi kian misterius. Waktu teman sekamarnya bertanya tentang tempat tidurnya yang rapi jali, dia menjawab tidur di lantai. Hmm... jawaban itu ditelan sang kawan karena sepanjang hidupnya Alexi mengaku hidup di alam sehingga tidak suka tempat tidur.

Waktu berlalu. Tapi sepandai-pandainya tupai meloncat, dia jatuh juga. Kisah Alexi adalah isapan jempol belaka. 18 bulan setelah masuk kuliah, seorang perempuan (Reene Pacheco) mengenalinya sebagai Jay Mitchell Huntsman, kawannya di SMA Palo Alto, California, enam tahun sebelumnya. Tapi itu juga bukan nama aslinya. Lho?

Ya, dia sebenarnya adalah James Hogue, lelaki kelahiran 22 Oktober 1959 yang pernah dipenjara di Utah karena memiliki peralatan serta onderdil sepeda curian.

Amerika gempar. Bagaimana bisa seorang berusia 29 tahun, eks napi, bisa menjadi pemuda 19 tahun dan masuk Princeton, kampus yang identik dengan Einstein???

Alexi pun dicyduk (hehehe...istilah kekiniannya) dari Princeton.

Foto-foto James Hogue, aka Alexi Santana 

Tahun-tahun setelah itu, Alexi.. eh Hogue ditangkap beberapa kali dengan dakwaan pencurian serta gonta-ganti identitas. Dia keluar masuk penjara. Terakhir, Maret 2017, dia kembali didakwa karena pencurian.

Kisah hidupnya pernah ditulis dengan ciamik oleh New Yorker dengan judul The Runner (tahun 2001) --- bisa akses di sini tautannya: https://www.newyorker.com/magazine/2001/09/03/the-runner. Juga pernah didokumentasikan dalam film Con Man oleh Jesse Moss (tahun 2003) dengan sebutan penuh kekaguman: brilliant impostor. Impostor adalah istilah tentang orang yang berpura-pura menjadi orang lain.

Film Con Man, dokumentasi James Hogue

Plagiat, joki, atau apapun bentuk kebohongan di kampus, selalu menjadi sorotan besar di manapun. Mengapa? Karena dunia kampus adalah dunia keilmuan yang dianggap, atau seharusnya, jauh dari penipuan. Dunia orang-orang jujur. Itulah alam bawah sadar kita. Berbeda dengan wilayah, maaf politik dan bisnis.

Orang-orang yang berkecimpung di dunia politik atau bisnis, suka ataupun tidak, dianggap dekat dengan hal itu. Di politik bahkan ada anekdot yang terkenal tentang seorang politisi yang menjanjikan sungai bersih di sebuah desa, tapi begitu diberi tahu bahwa tak ada sungai di desa itu, dia bilang, “saya buatkan sungainya”. Atau adagium: politik itu “pagi tempe, sore tahu”. Sementara di bisnis, saking jengkelnya, seorang menteri ekonomi Orde Baru pernah bilang, “Semua pedagang itu tukang bohong.” Pokoknya, tak ada nilai-nilai spiritualisme di politik dan bisnis sehingga kita menganggap wajar bila mereka berbohong.

Bicara soal kebohongan, National Geographic menulis alasan orang melakukan itu: menutupi kesalahan atau kelakuan buruk adalah alasan terbesar. Lalu, diikuti “demi keuntungan ekonomi”, “manfaat selain uang”, “menghindari orang lain”, dan “pencitraan”. Ada alasan-alasan lain, tapi itulah lima peringkat teratas alasan manusia berbohong.

Sadisnya, karena kebohongan ada di mana-mana, maka ditulis begini: “Ketidakjujuran adalah bagian dari diri kita. Jadi tidak keliru jika dikatakan berbohong itu manusiawi.” Lalu, “Manusia, secara umum memiliki bakat untuk saling menipu. Ini diduga muncul setelah adanya bahasa.” Karena dengan bahasa, manusia bisa memanipulasi orang lain tanpa menggunakan fisik untuk berebut sumber daya.

Hehehehe... Awalnya baca ini agak bikin mengernyit. Tapi sepertinya memang begitu. Tak heran, kita selalu senang kalau ada film, tulisan, novel, atau buku berjudul “Pengakuan”... Karena alam bawah sadar kita, juga relung hati memang mengakui, bahwa kita pun sering berdusta atas alasan apapun. Iya, khan? Dan Juli lalu muncul buku Everybody Lies tulisan Seth Stephens-Davidowitz yang mengukuhkan itu. Dia menunjukkan bagaimana kebohongan menjadi bagian kehidupan, dan makin menjadi-jadi di era internet.



Kembali ke awal tulisan. Membaca berita tentang Bung DH, sedih juga melihatnya. Tapi saya angkat topi padanya karena dia berani mengakui semua kebohongannya dan meminta maaf. Berbeda dengan para politisi korup yang pandai berkelit, yang ... ah... sudahlah, kita tahu semua, yang ujungnya selalu bilang begini setelah vonis hakim jatuh: “Saya khilaf”. Jarang sekali ada yang meminta maaf. ***

Friday, August 25, 2017

MEDIA dan GLORIFIKASI

Januari 1939, majalah TIME menobatkan Hitler sebagai Man of The Year. Ini dikarenakan Hitler pada September 1938 mampu mengajak para pemimpin Eropa berkumpul untuk membicarakan Eropa baru. Hitler yang pernah dipenjara dianggap hebat.

Tak berapa lama setelah edisi itu terbit, PD II meletus. Hitler menjadi biang keroknya. Majalah The Economist pun mengolok-olok TIME.

Hitler menjadi Man of The Year versi TIME, 1939

April 2017, FORBES mencantumkan sejumlah sosok sebagai Wanita Inspiratif. Salah satunya adalah .... ehm... Aniesa Hasibuan.

Agustus 2017, kasus First Travel meledak. Kini, FORBES pun mencopot Aniesa Hasibuan sebagai wanita inspiratif.

Mencantumkan ketokohan seseorang memang sesuatu yang tak mudah. Begitu pun menobatkan sebuah korporasi. Ini pekerjaan yang kalau salah bisa mengglorifikasi sesuatu yang keliru. Dan media memang sangat potensial untuk berbuat salah. Karena itu rating atau survei bisa menjadi sarana untuk meminimalisasi tindakan glorifikasi.

Namun hal itu pun tak menjamin luput dari kesalahan. Sebab, sangat sulit untuk menjangkau hingga ke balik kulit atau permukaan yang tampak. Buktinya adalah Enron. Masih ingat? Penuh puja-puji, ternyata perusahaan ini dihuni para penjahat bermuka malaikat.


Tindakan FORBES mencopot Aniesa sangatlah tepat. Karena baru sekarang semua terungkap. Dulu pun majalah Fortune meminta maaf dan mengakui salah ketika memuja-muji Enron sebagai perusahaan hebat yang inovatif.

Media dan glorifikasi memang bisa identik. Tapi siapa yang tak pernah salah? Ini adalah pelajaran kesekian untuk berpikir saat akan menokohkan seseorang atau perusahaan: benarkah dia layak?

Tuesday, July 25, 2017

Rwanda, Bangkit di Tangan Diasporanya

Setelah hancur karena genosida, negeri ini bangkit, bahkan menjadi salah satu keajaiban ekonomi Afrika. Salah satu kuncinya adalah mobilisasi potensi diaspora yang masif.


GENOSIDA 
April hingga Juli 1994. Persisnya, hanya 100 hari di kurun tersebut. Itulah masa terkelam dalam kehidupan sebuah bangsa bernama Rwanda. Konflik dua suku besar, Tutsi dan Hutu membuat negeri itu menjadi ladang pembataian. Antara 800 ribu-1 juta jiwa melayang, yang mayoritas adalah orang Tutsi.

Genosida itu begitu mengerikan. 100 hari jahannam yang membuat bulu kuduk berdiri. Di jalan, rumah, rawa-rawa, mayat bergelimpangan, bertumpuk, membusuk dirubungi lalat yang pesta pora. Film Hotel Rwanda (2004) dengan sangat apik melukiskan kebiadaban itu.

Saat itu, efek keganasan yang timbul membuat orang berpikir bahwa negeri yang hancur ini, mungkin akan lama bangkit. Atau mungkin tak akan pernah bisa bangkit, terkubur akibat nafsu kejam anak-anak bangsanya sendiri. Betapa tidak, setelah genosida, Rwanda berada di ujung kemusnahan sebuah negara bangsa. 70% yang selamat dari populasi adalah perempuan. Desa-desa hancur lebur. Kohesi sosial retak. Banyak yang kemudian melarikan diri dari Tanah Air, menyebar menjadi diaspora, menyusul mereka yang sebelumnya telah pindah untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Tapi apa yang tak mungkin itu justru benar-benar terjadi. Rwanda kini sudah sangat jauh berubah. Selama lebih satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi bergerak di kisaran lebih dari 8% pertahun. Investasi terus mengalir. Sekalipun tanpa sumber daya alam, ekonomi menggeliat. Jalan-jalan bersih. Transportasi lancar. Bahkan di bis-bis yang ada di ibu kota, Kigali, dilengkapi wifi gratis. Rwanda adalah keajaiban ekonomi di Afrika abad 21!

Kota Kigali kini. Bersih dan modern.
Jauh dari kesan bekas ladang pembantaian

Tak berlebihan bila anggapan seperti itu muncul. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 1 juta rakyat Rwanda berhasil mengangkat dirinya dari garis kemiskinan. Angka kematian bayi juga menurun. Anak-anak yang berusia 7 tahun pergi ke sekolah. Mayoritas penduduk yang berjumlah 11,2 juta jiwa mendapat asuransi kesehatan. Tingkat kejahatan rendah. Perempuan aman berjalan di malam hari.

Negeri seluas 26.338 km2 ini bahkan telah melangkah jauh. Dia memimpin wilayah East African Community (EAC) dalam upaya integrasi kawasan di mana di dalamnya ada Tanzania dan Kenya. Dalam konteks ini, Rwanda belajar untuk menjadi negara kecil yang service-delivery oriented seperti Singapura, Hong Kong, dan Mauritius di tengah pergaulan kawasan.

Sebetulnya, luka ekibat genosida itu belum sepenuhnya sembuh. Potensi terkuaknya luka baru juga bisa terjadi kapanpun. Maklum, suku Tutsi, kendati hanya 15% dari populasi, namun menjadi mayoritas di kursi-kursi pemerintahan dan bisnis. Perasaan iri bisa menjadi bensin untuk memicu kekacauan berikutnya.

Karena potensi luka terkuak bisa kapan saja, sejumlah komunitas berupaya keras untuk membangun serta melestarikan perdamaian dalam sebuah lingkungan yang disebut “tak bisa dibayangkan”. Mengapa? Karena antara korban dan pembunuh hidup berdampingan, bertetangga!

Intinya, trust (kepercayaan) adalah sesuatu yang rapuh, sebenarnya. Membangun kepercayaan merupakan bagian paling sulit. Begitu juga keadilan. Namun ini terus berusaha ditegakkan oleh Pemerintah Rwanda. Penjahat perang diadili, termasuk lewat pengadilan di Prancis.

Lantas, bagaimana Rwanda bisa melaju di tengah kondisi seperti itu?

PROVINSI KEENAM

Sosok Presiden Paul Kagame menjadi sentral perubahan itu. Dia membuat stabilitas politik serta keamanan domestik berjalan baik sehingga proses rekonsiliasi pun bisa berlangsung. Dan dalam konteks ekonomi, apa yang membuat Kagame dipuji adalah bagaimana dia menggunakan potensi diaspora Rwanda untuk turut membangun negeri yang hancur lebur ini.

Ketika genosida berakhir, fokus Rwanda adalah membangun ekonomi. Akan tetapi keterlibatan diaspora belum dipikirkan. Baru setelah Kagame menjadi presiden di tahun 2000, hal itu menjadi pertimbangan penting. Dengan menetapkan Vision 2020 yang menyatakan Rwanda yang merupakan penghasil teh dan kopi itu ingin menjadi negara middle-income dan service-based economy, Kagame memulai keterlibatan diaspora untuk mewujudkannya. Dia realistis bahwa orang-orang yang pergi karena kerusuhan, berpotensi membangun negara yang ditinggalkannya.

Untuk merangkul kalangan diasporanya, Kagame punya sebutan menarik. Diaspora, katanya, adalah provinsi keenam di Rwanda (negeri ini terdiri dari 5 provinsi). Lalu dia pun meluncurkan Rwanda Global Diaspora Network (RGDN). Beriringan dengan itu, dia membuat langkah struktural: urusan diaspora ditangani langsung oleh Ministry of External Relations and Internal Cooperation.

Dengan payung seperti itu, perlahan-lahan diaspora terkoneksi, bahkan termobilisasi. Dana remitansi mulai mengucur masuk dari diaspora yang ingin tanah airnya dibangun kembali. Uang itulah yang menjadi amunisi tambahan bagi Pemerintah Rwanda untuk membangun negerinya di samping dana dari investor yang diundang masuk.

Presiden Kagame saat acara Rwanda Day, 10 Juni 2017

Bila diperhatikan, sejak awal, Pemerintah Rwanda-lah yang aktif menggalang diaspora. Buktinya, belakangan, di tahun 2008, merasa peran diaspora makin dibutuhkan, Pemerintah Rwanda mendirikan Direktorat Jenderal Diaspora (http://www.rwandandiaspora.gov.rw/). Tugasnya adalah memobilisasi diaspora untuk pembangunan Tanah Air. Misalnya, memberikan informasi tentang lowongan kerja di Rwanda, terutama di lembaga publik.

Saking pentingnya diaspora, tahun 2009, Ministry of External Relations and Internal Cooperation (MERIC) menerbitkan Rwanda Diaspora Policy. Dalam kebijakan ini, diaspora dikukuhkan sebagai komponen inti Vision 2020. Pemerintah Rwanda juga bekerja erat dengan sejumlah lembaga internasional seperti International Organization for Migration, Voluntary Service Overseas, United Nations Development Program (UNDP), dan sejumlah LSM internasional untuk mengutilisasi jaringan diasporanya.

Menariknya, ungkapan pentingnya diaspora untuk membangun Tanah Airnya ini bukan hanya seremoni atau omong kosong belaka. Tahun 2010, merasa tak cukup untuk memanggil pulang, Pemerintah Rwanda memutuskan keluar pagar untuk memobilisasi diasporanya untuk berkontribusi membangun negara. Muncullah program Rwanda Day, hari ketika para diaspora dikumpulkan dan dilibatkan dalam sejumlah kegiatan.

Rwanda Day pertama digelar tahun 2010 di Brussels, Belgia. Ada 40 ribu diaspora yang hadir. Setelah itu, digelar di kota-kota lain, yakni Chicago, Paris, London, Boston, Toronto, Atlanta, Amsterdam, dan di Dallas

Lewat acara ini, Pemerintah Rwanda membolisasi diasporanya. Presiden Kagame bahkan selalu hadir dalam acara tersebut untuk menunjukkan betapa pentingnya diaspora di mata pemerintahan Rwanda. Dalam setiap pertemuan itu, dengan orasinya yang apik, Kagame membakar para diaspora. Salah satunya adalah pernyataan berikut di Amsterdam: Tak ada satu pun yang mestinya membuat Anda berpikir bahwa identitas dan latar belakangan kalian adalah sesuatu yang inferior. Anda adalah orang penting seperti orang-orang lainnya, katanya.

Pertemuan semacam ini adalah saatnya kami melakukan koneksi ulang dengan sejarah Rwanda, baik hari lampau, hari ini, dan bagian penting untuk menentukan Rwanda masa depan,” timpal Dubes Rwanda di Belanda, Jean Pierre Karabaranga saat Rwanda Day digelar di Amsterdam, Oktober 2015.

Selain mobilisasi di luar, pemerintah juga berupaya memobilisasi dengan membuat kegiatan di Kigali. Desember 2011, misalnya, MERIC, bekerjasama dengan Job in Rwanda Ltd. dan WAF (Wakening Abilities for the Future), mengorganisasi Career Day yang pertama untuk jaringan diaspora Rwanda. Ide untuk memunculkan kegiatan ini adalah mempertemukan sekaligus mendiskusikan kemungkinan kolaborasi antardiaspora.

Acara-acara semacam ini disambut antusias kalangan diaspora. Efek yang paling terasa adalah jumlah remitansi yang terus melonjak. Sejak Rwanda Day meluncur, Bank Sentral Rwanda mencatat remitansi melonjak dari US$ 98,2 juta di tahun 2010 menjadi US$ 167,3 (2016).


Remitansi Diaspora Rwanda
Tahun
Remitansi (US$ juta)
2010
98,2
2011
166,2
2012
175,3
2013
161,8
2014
174,9
2015
155,4
2016
167,3
Sumber: Bank Sentral Rwanda


Jumlah remitansi Rwanda ini memang bukanlah yang terbesar, namun sangat signifikan untuk membangun negara yang pernah dilanda genosida. Mengacu pada World Bank Migration and Remittance Factbook 2015, Rwanda masuk 10 besar remitansi di Sub-Sahara Afrika. Adapun lainnya adalah Angola (US$ 1,3 miliar), Afrika Selatan (US$ 1,1 miliar), Liberia (US$ 0,4 miliar), Uganda (US$ 0,3 miliar), Mozambique (US$ 0,2 miliar), Mauritania (US$ 0,2 miliar), Kenya (US$ 0,2 miliar), Tanzania (US$ 0,1 miliar), dan Zambia (US$ 0,1 miliar) seperti dikutip dari newtimes.co , 24 Maret 2017, Diaspora in Perspective: the Rwandan Context.

Perihal angka remitansi ini, Marie Chantal Uwitonze, Presiden African Diaspora Network in Europe (ADNE) menyatakan bahwa itu merupakan hal yang sangat signifikan. “Jumlahnya bisa tiga kali lipat dari bantuan resmi luar negeri ke pemerintah,” ungkapnya. Uwitonze adalah diaspora Rwanda yang tinggal di Belgia.

BRAIN GAIN

Kemudian, selain menarik dana, keberhasilan Rwanda yang sering diacungi jempol dalam koteks diaspora adalah kemampuan menahan laju brain drain, serta mengubahnya menjadi brain gain. Laporan PBB tahun 2013 menyatakan bahwa 1 dari 9 orang Afrika dengan pendidikan tinggi, hidup di Asia, Eropa serta Amerika Utara. Rasio brain drain ini yang paling buruk karena Amerika Latin dan Karibia rasionya 1 dari 13, Eropa (1 dari 20), sementara Asia (1 dari 30).

PBB juga menemukan bahwa negara yang kecil dan negara kepulauan, ternyata paling menderita akibat brain drain. Burundi adalah korban terbesar brain drain di Afrika. Bukan hanya dalam konteks kemampuan menahan talenta pergi, tapi juga kemampuan menarik diaspora ke dalam negeri. Menariknya, Rwanda yang notabene tetangga Burundi, menghancurkan teori tersebut. Sekalipun ukuran negara dan jumlah populasinya sama, Rwanda menjadi negara Afrika paling sukses dalam menahan talenta dan menarik mereka untuk berkotribusi.


Para diaspora Rwanda dalam sebuah acara

Ya, diaspora Rwanda bukan hanya mengirim uang. Banyak dari mereka pulang untuk membangun negaranya. Perihal bagaimana para diaspora yang pulang kampung, kita bisa melihat The Return of the Diaspora - Rwanda (http://www.julieddl.be/index.php?/project/the-return-of-the-diaspora---rwanda/). Di sini telah didokumentasikan sejumlah diaspora yang kembali ke Rwanda setelah lama di luar negeri dengan beragam profesi. Mereka pulang untuk berkontribusi bagi tanah airnya.

Apa yang menarik dari Rwanda adalah keaktifan pemerintahnya ini direspons kalangan diasporanya dengan semangat. Mereka bukan hanya aktif melalui remitansi, tapi juga berupaya menjadi mitra pembangunan yang terlibat dalam proses pembangunan dengan cara kolaborasi pengetahuan dan ketrampilan. Sejumlah inisiatif digelar oleh diaspora Rwanda. Salah satunya adalah mendirikan Diaspora Business Incubator (DBI), sebuah platform yang akan melayani untuk diaspora yang ingin berbisnis atau berinvestasi di Rwanda. Di sini bukan hanya bicara sisi finansial atau uang, tapi juga manajemen aset,” ujar Jabo Butera, Co-founder dan CEO DBI.

Bahu-membahu semacam inilah yang sangat penting bagi negara yang ingin melibatkan diasporanya bagi pembangunan. Tak heran, mengingat begitu pentingnya peran diaspora, Pemerintah Rwanda mengijinkan dual citizenship, yang belakangan diikuti Zambia. Kebijakan ini merupakan langkah terobosan besar di Afrika. Sebuah langkah yang bagi negara lain, termasuk Indonesia masih hanya jadi wacana tanpa kejelasan. Kalau Rwanda bisa memaksimalkan potensi diasporanya, sudah semestinya Indonesia pun mampu melakukannya. Bukan begitu? ***