Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, September 29, 2011

Apple-nya Kafe Roti


Saat kompetitornya melemah dan tiarap, ekspansi dipilih di atas jalur healthy food. Hasil pun dipetik: tumbuh dan terus tumbuh.

Panera Bread. Inilah salah satu the hottest brand di negeri Abang Sam. Bahkan ada julukan bombastis: Panera Bread is the Apple of bakery cafe.

Tentu saja bukan tanpa alasan menyebut demikian. Karakter Apple adalah outperform the competition: mengalahkah pesaing, bahkan melewati laju pertumbuhan industrinya. Panera memiliki karakter ini. Panera adalah rantai kafe roti paling sukses di AS dengan 1421 gerai dan kapitalisasi pasar di NASDAQ mencapai US$ 3 miliar.

Kinerja yang paling tampak adalah pada masa krisis global 2008 yang sangat terasa di seantero AS. Manakala perusahaan lain mengalami kontraksi, Panera seperti kebal krisis. Sementara pelaku sejenis kembang kempis, kafe roti ini justru melaju cepat. Manajemen Panera Bread Company membenamkan investasi di lini produk dan penambahan gerai di kota-kota besar AS. “Ketika krisis mulai datang, kami memutuskan untuk meningkatkan investasi. Pada saat hampir semua restoran mengambil posisi tiarap, kami justru berinvestasi pada peningkatan kualitas produk dan menggenjot pemasaran,” kata Ronald M. Shaich, Executive Chairman Panera. Apa latar belakangnya? Mengapa bukan bersikap menunggu sampai badai reda?

“Saat yang paling baik untuk tumbuh adalah pada masa resesi. Masa yang buruk untuk tumbuh justru pada saat booming.” Itulah jawaban Shaich.

Shaich adalah orang penting di balik Panera. Kafe roti ini awalnya bernama St. Louis Bread Co., sebuah jaringan kafe roti dengan 19 gerai di Missouri. Tahun 1993 Shaich yang sebelumnya memiliki jaringan Au Bon Pain, membeli St. Louis Bread senilai US$ 23 juta. Dia menamakannya Panera. Ini bahasa Latin. Artinya: "waktunya makan roti". Tahun 1999, agar bisa berkonsentrasi untuk Panera, Shaich menjual Au Bon Pain. Dan setelah itu, Panera pun melaju seperti kereta Hogwart Express di dongeng Harry Potter: cepat plus fantastis. Termasuk di saat krisis 2008 ketika yang lain lesu darah.

Berekspansi menambah gerai sesungguhnya tak murah sama sekali. Selain biaya konstruksi setiap toko yang menguras kocek, tenaga kerja pun otomatis bertambah. Toh strategi Shaich berhasil. Pada tahun 2009, Panera meraup pendapatan US$ 1,4 miliar, naik dari US$ 640 juta di tahun 2005. Penambahan gerai membuat pengunjung semakin ramai datang, menambah pundi-pundi uang. Tak heran, sejak akhir 2007, pendapatan melonjak 24% sementara industri resto AS turun 2%.

Tak ayal, fenomena kafe roti yang satu ini mengundang kalangan akademisi serta analis untuk membedahnya. Mereka kagum dan bertanya: apa rahasianya?

Visi. Inilah kekuatan awal yang menjadi titik tolaknya. Menurut Shaich yang tahun lalu mundur sebagai CEO Panera namun tetap menjadi Chairman, dia membawa kafe rotinya dengan satu pandangan jernih: bahwa konsumen AS semakin menolak apa yang disebut komoditisasi. “Setelah Perang Dunia II, McDonald's dan Burger King sangat spesial. Namun tahun 1993-1994, mereka tak ubahnya menjadi stasiun pompa bensin untuk tubuh manusia,” katanya ketika diskusi di Wharton. “Ada reaksi di sini. Orang ingin kekhususan dan mengakhiri komoditisasi. Kita saksikan ini dalam kekhususan untuk minuman ringan, es krim, kopi. Ini juga terjadi di industri makanan. Dan visi saya untuk Panera adalah menyajikan roti tanpa bahan kimia,” kata Shaich.

Visi ini kemudian diturunkannya dengan ciamik. Shaich memilih jalur niche strategy: menempatkan diri sebagai kafe roti yang menyajikan makanan sehat dengan harga terjangkau. Menu di Panera Bread beragam, tapi terkesan healthy. Burger tidak disajikan burger. Begitu juga gorengan. Di sini lebih banyak roti panggang, salad, sup vegetarian dan sandwiches dengan bandrol US$ 7. Semua disajikan di piring beling ketimbang piring plastik.

Tak hanya memosisikan sebagai kafe sehat. Panera juga cozy. Masuk ke gerai kafe roti ini, entah itu di Oregon, Florida, atau tempat lain di AS, setting-nya sama: lebar, cahaya yang kaya, dinding berwarna merah di tengah aroma harum roti yang meruap ditingkahi keramahan pelayan.

Pilihan di healthy food ini sungguh langkah yang tepat. Masyarakat AS mengalami obesitas. Pemerintah negeri Abang Sam telah menghabiskan sedikitnya US$ 150 miliar untuk mengobati kegemukan. Roti dan makanan lain di Panera yang rendah lemak memenuhi gerakan antiobesitas. Majalah Health menyebut Panera sebagai “healthiest quick serve restaurants”. “Jika makan di tempat seperti Panera, pengunjung merasa menyantap makanan yang lebih sehat,” kata John Ballantine, dosen Brandeis University International Business School.

Faktanya memang demikian. “Waktu resesi lalu, ambil contoh, bisnis salad kami naik 30%,” aku Shaich. Ini menunjukkan kesadaran masyarakat AS atas makanan sehat terus meningkat.

Harga juga menjadi faktor sukses. Pada saat krisis, terutama, konsumen menjadi sangat sensitif terhadap harga. “Panera menang karena mampu memberikan harga yang terjangkau dengan kualitas terjaga,” kata Guru Pemasaran Wharton, Yoram Wind.

Begitu pula dengan lokasi yang nyaman. Manajemen kafe roti ini, lanjut Yoram, memahami perubahan psikografis konsumen untuk memberikan customer experience secara detail. “Starbucks menciptakan apa yang disebut ‘tempat ketiga’. Anda punya rumah, punya tempat kerja, dan Anda punya Starbucks. Coba kita lihat Starbucks. Di sana orang duduk sepanjang hari, minum kopi, ngobrol, baca surat kabar, di depan komputernya,” ungkap Yoram. Itu juga terjadi pada Panera. Di tempat-tempat kafe ini berada, ia telah menjadi community center. Pelanggan datang untuk bersosialisasi, bekerja dan meeting. Semua disajikan karena Panera adalah salah satu resto dengan jaringan wi-fi terkuat di AS.

“Kita tengah melihat evolusi the common space and the community space. Panera menjadi bagian itu," timpal Ballantine. “Sebelumnya, kafe roti yang enak adalah pada kualitas makanannya. Tapi sekarang kafe roti telah menjadi tempat di mana orang berkumpul,” dia menyambung. “Panera sukses menjadi simbol kehangatan,” kata Lawrence Hrebiniak, Guru Besar Manajemen Wharton menambahkan. “Dalam iklan-iklannya, Panera memosisikan diri sebagai tempat yang hangat, terbuka, tempat mengajak keluarga dan teman, termasuk teman-teman lama.” Di sini, pengunjung duduk di kursi kayu elegan ketimbang sofa mengkilat seperti di kebanyakan resto fast food.

Dalam urusan customer experience, Panera menggalakkan program loyalitas pelanggan dengan memberikan cemilan dan kopi gratis. Juga ada tawaran melihat demonstrasi masak. “Sebetulnya kami tak melakukan sesuatu yang baru dan berbeda. Kami hanya berupaya semakin dekat dengan pelanggan,” terang Shaich.

Bos kafe ini boleh jadi merendah. Realitasnya, Panera juga melakukan terobosan yang membuatnya makin terkenal dalam urusan customer experience. Apa itu?

Ketika efek krisis masih terasa, Shaich mendirikan Panera Bread Foundation yang menggelar konsep kafe komunitas, Panera Cares. Diluncurkan pada 16 Mei 2010, ada dua kafe yang telah dibuka dengan konsep ini, di Michigan dan Orlando. Kafe ini tergolong istimewa. Di gerai ini tidak ada harga makanan serta cash register. Pengunjung bisa mengambil apa makanan yang diinginkan. Cara bayarnya? Mereka tinggal melihat apa yang disebut “donation amount” dan “donation suggestion” pada produk yang diinginkan, lalu memasukkan uang ke dalam kotak donasi yang disediakan. Uang yang masuk akan diputar untuk produksi, selebihnya untuk disumbangkan.

Inilah kafe roti dengan model nonprofit. "We encourage those with the means to leave the requested amount or more if you're able”. Itu tulisan di kafe Panera Care. Artinya, Anda boleh membayar sesuai “amount” atau “suggestion”. Atau bahkan lebih. Terserah sesuai keikhlasan Anda.

Menurut Shaich, ini adalah bagian dari upaya Panera membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Dan dia punya kenangan untuk itu. “Ketika diluncurkan, kami tak yakin bagaimana orang akan merespons. Dalam banyak hal, kafe ini adalah tes kemanusiaan. Kami tak tahu apakah orang akan menolong satu sama lain, atau mengambil keuntungan,” katanya. Kenyataannya?

“Dua belas bulan kemudian, kami bangga orang menolong sesama dan memastikan kami bisa terus menyediakan makanan bagi pengunjung.”

Dalam catatan Shaich, sekitar 20% pengunjung kafe memberikan lebih dari “donation amount”, 20% di bawah donasi, dan 60% di atas “suggested donation”. Lalu, secara rata-rata, setiap minggu 3.500-4.000 orang datang ke tiap kafe berkonsep nonprofit ini. Karena sukses dengan model ini, majalah TIME menyebutnya “sandwich philantrophy”.

Tak ayal, kesuksesan Panera membetot pengunjung untuk singgah, pada ujungnya memberikan kegembiraan bagi investornya. Sebagai pelaku resto di bursa, kinerjanya memuaskan. Akhir Juni 2011, manajemen kafe roti ini melaporkan laba bersih mencapai US$ 68 juta atau US$ 2,27 per lembar saham. Sementara periode sebelumnya laba yang diraih di posisi US$ 53 juta atau US$ 1,67/saham.

Sekalipun memuaskan, Panera tetap diingatkan. Dari sisi konsep bisnis, misalnya. Ada pepatah mengatakan, “Success always breeds imitation”. Kesuksesan akan mengundang imitasi. Manajemen Panera dituntut inovatif, semakin dekat ke pasar, memahami perubahan yang terjadi pada selera konsumen, dan menyesuaikan produknya dengan tetap memunculkan persepsi di benak konsumen bahwa mereka mendapat good value bila datang ke kafe Panera.

Di luar tantangan itu, Ballantine menaruh perhatian terhadap gaya ekspansi Shaich. “Itulah yang terjadi pada Starbucks,” katanya. Selama 5 periode, 2002-2007, Starbucks menambah gerai hingga 3 kali lipat di seluruh dunia, dari 5.886 menjadi 15.011 gerai. Namun, dengan krisis ekonomi 2008, pendapatan Starbucks merosot. Arus pelanggan menurun. Perusahaan pun menutup 600 gerai yang underperform. “Saya khawatir adanya over-expanding,” kata Ballantine.

Kekhawatiran ini boleh jadi beralasan. Terlebih kini ekonomi AS kembali melesu, berdampingan dengan kelesuan di tanah Eropa. Ancaman penurunan pelanggan bukan sebuah hal yang mustahil di tengah situasi yang ditaksir lebih berat dibanding krisis 2008.

Membuat Panera tetap berjaya dalam kondisi seperti ini jelas tak mudah. “Ini adalah tugas yang menantang dan sulit,” ujar Hrebiniak. Tapi inilah tantangan. Bila bisa melewati, Panera semakin pantas disebut Apple-nya kafe roti. (*)

Wednesday, September 21, 2011

Stay Hungry, Stay Foolish


Saya sedang buka folder-folder lama terkait sebuah email tentang pidato Mandela tentang motivasi. Saya pun tiba-tiba ingat file "Stay Hungry, Stay Foolish" yang menurut saya, kontennya tak kalah hebatnya.

Steve Jobs sering disebut perpaduan Mozart, Alfa Edison dan Einstein. Buah pikirnya telah merevolusi kehidupan manusia lewat produk yang bukan cuma canggih, user friendly, tapi juga artistik. Bagaimana dia menjelma seperti itu, telah mendorong orang menuliskan banyak sekali risalah untuk mengupas apa yang menjadi pikirannya, juga latar belakangnya. Termasuk juga berjilid-jilid buku.

Jobs sendiri belum membuat otobiografi atau mengamini biografi yang ditulis orang lain. Baru beberapa waktu lalu dia mengaku memberikan otoritas untuk penulisan biografi dirinya. Berjudul “iSteve”, buku ini direncanakan terbit paling cepat Januari 2012. Dan sekarang, kabarnya yang memesan sudah sangat banyak. Saya sendiri sangat menunggu buku itu. Dan rasanya nanti akan jadi salah satu buku terlaris di dunia.

Sekalipun belum ada naskah yang otoritatif tentang Jobs, ada satu penggalan hidupnya yang menarik untuk diungkap di sini. Ini adalah pidato Steve Jobs di Acara Wisuda Stanford University, yang isinya adalah biografi Steve Jobs sendiri dan merupakan perjuangan hidupnya dalam mencapai keberhasilan sampai dengan saat ini.

Terjemahan pidato Steve Jobs ini layak renung, bukan cuma bagi individu, tapi juga perusahaan yang ingin berubah . Pidato ini mengingatkan untuk tak putus asa, tak pernah puas, tak disergap rasa nyaman, dan terus ingin belajar karena selalu merasa bodoh. Sebuah motivasi yang luar biasa.

Merasa pesan pidato itu sangat relevan -- apalagi Steve baru saja lengser dari Apple --, maka saya pun menukilkannya di sini. Oh ya, ini adalah terjemahan Dewi Sri Takarini, alumni sebuah perguruan tinggi di Australia. Thanks to her yang membantu pencerahan ini.

Bagi yang sudah baca, yah... anggap saja ini sebagai bahan untuk instrospeksi ulang.

Berikut nukilannya:

Stay Hungry, Stay Foolish

Pidato Steve Jobs di Acara Wisuda Stanford University
12 Juni, 2005

“Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu banyak.

Cukup tiga.

Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik

Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi.

Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran bayi perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab:
“Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai. Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga.

Saya beri Anda satu contoh:
Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang. Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz (Steve Wozniak) dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah, itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang.

Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan. Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya -saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley . Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali- saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal. Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa. Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya.

Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun asangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.

Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal.

Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya,
yang ada di sana , mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang. Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi.

Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna: Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama “The Whole Earth Catalog“, yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park , dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat. Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi “The Whole Earth Catalog”, dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” (Jangan Pernah Puas. Selalu Merasa Bodoh).

Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Terima kasih.”

Saturday, September 17, 2011

Berlari Marathon di Jalur Startup


Memulai startup adalah merintis bisnis pada lazimnya. Setidaknya ada lima area yang mesti dikelola bila tak ingin layu di tengah jalan.


Seperti musim semi menanti datangnya musim gugur. Begitulah barangkali perumpamaan bagi startup lokal bidang TI yang kini bermekaran. Menakut-nakuti? Bukan. Sudah banyak cerita perusahaan startup di Tanah Air yang muncul untuk kemudian tak terdengar lagi ceritanya.

Tapi ini bukan khas cerita lokal. Di AS pun ini kisah bisnis biasa. Hanya segelintir startup yang melejit. Lebih sedikit lagi yang fenomenal seperti Facebook, Twitter, LinkedIn dan Groupon yang lulus mengikuti jejak Yahoo! serta Google. Bagaimana tidak mudahnya menangguk sukses, Mike Hudack, co-founder Blip TV mengungkapnya dalam satu kalimat: “Everyday at a startup is a roller coaster.” Bikin jantung dag-dig-dug!

Kendati penuh onak, bukan berarti jalan untuk 3S (survive, success, sustain) itu tak tertapaki. Secara ringkas, sekali lagi secara ringkas, setidaknya ada 5 area yang mesti bisa dikelola sebaik-baiknya (well managed) bila ingin memulai startup dan ingin hidup lebih dari semusim. Ke-5 sisi itu adalah: produk, bisnis, teknologi, organisasi dan diri sendiri.

Dari sisi produk, isu yang kritikal adalah bagaimana caranya menghasilkan produk bersifat customer driven. Bukan yang dikreasi untuk kesenangan sendiri. Caranya, “Buat produk yang berguna dan user friendly,” Batara Eto, pendiri East Venture memberi tips. Artinya, produk yang memenuhi kebutuhan serta selera pasar.

Ini bukan perkara main-main. Sebab, apa yang akan dijual ke pelanggan selain produk yang bermutu? Dan di AS, di mana tempat acuan startup di dunia, faktor kegagalan utama adalah produk. "Most startups fail not because they can't build the product they set out to build, but because they build the wrong product.” Begitu kata Guru Besar Entrepreneurial Management HBS, Thomas R. Eisenmann.

Supaya bisa menghasilkan produk yang benar (useful dan user friendly), kata Novistiar Rustandi, tidak mesti berangkat dari hal besar. Ide produk bisa dimulai dari hal-hal sederhana. "Kita lihat saja dari kebutuhan sehari-hari, bisa dibuat aplikasi dengan bantuan TI," ujar Novistiar yang bersama Andy Zain dan Sanny Gaddafi mendirikan Founder Institute Jakarta. Problem besar yang dialami para startup, dia menambahkan, biasanya terletak pada ketidakmatangan konsep.

Budiono Darsono setuju. Sekarang, kata founder Detik.com itu, beberapa masalah yang perlu dipecahkan pelaku bisnis startup adalah dalam hal gagasan yang belum matang dan orisinalitasnya. Banyak yang meniru startup yang diciptakan di luar negeri. Padahal seharusnya lebih membumi. “Lebih pada bagaimana menciptakan produk yang orisinal dan cocok untuk market Indonesia,” jelasnya.

Belajar dari kesuksesan startup yang kemudian menjadi perusahaan hebat, gagasan yang bersifat membumi memang penting. Apple muncul karena Steve Wozniak ingin sebuah komputer. Google menjelma sebab Larry dan Sergey tak bisa menemukan apa yang dicarinya di jagat maya. Hotmail lantaran Sabeer Bhatia serta Jack Smith tak bisa bertukaran email. Sementara Groupon dibesut karena Andrew Mason bingung mencari makan siang. Tampak sepele, tapi sebuah solusi jitu.

Memang tidak mudah menciptakan produk yang customer driven yang bersifat solusi. Di sini, insting bisa digunakan. Namun Novistiar menyarankan satu hal: riset! Pelajari apa yang kira-kira dibutuhkan konsumen sehingga tahu positioning dan segmentasi pasar yang ingin direngkuh. Dan bila ide yang muncul sudah ada di pasar, temukan apa yang bisa menjadi nilai tambah. “Hendaknya startup (memang) melalukan studi atau riset kecil-kecilan sehingga mereka tahu reality market-nya. Bisa riset mengenai potensi market, segmen dan masih banyak lagi,” timpal Andy Sjarif, CEO SITTI. Pokoknya, dia melanjutkan, kuncinya hanya satu: listening, listening, dan listening. Bahkan ketika produk sudah diluncurkan pun, mata dan telinga harus dibuka lebar-lebar untuk setiap input yang masuk untuk kemudian menjadi bahan pengembangan berikutnya.

Setelah produk, giliran sisi bisnis. Di sini, model bisnis menjadi isu penting. Model bisnis, kata Batara, tidak harus unik. Yang penting sang pengusaha mengetahui jawaban berikut: bagaimana pendapatan itu mengalir? Entah itu dari penjualan, sewa, atau model lainnya. Setelah model bisnis, perkara berikutnya adalah bagaimana memasarkannya. Di sinilah, Batara mewanti-wanti. Menurutnya, seringkali ide bukan perkara besar. Begitu juga dengan model bisnis. Itu bisa dirumuskan. “Idea is the cheapest part, execution is everything. Profitable atau tidaknya itu bergantung kepada eksekusi,” katanya. Dia menyarankan bila sudah punya ide, sudah menjadi produk, dan ada model bisnis yang solid, maka jangan kehilangan momentum. “Release your product fast,” ujarnya.

Dana juga menjadi isu krusial di sisi bisnis. Pertanyaan yang sering mengemuka adalah: haruskah menyambat utang untuk ekspansi? Kapan saatnya?

Dalam kacamata Budiono, ada 2 tipe pelaku bisnis startup. Pertama, yang memang menjalani dengan modal sendiri dan mencoba untuk bertahan dengan kemampuan, strategi dan ide-idenya sendiri. “Mereka cari uang dari revenue dan tidak berpikir untuk mencari investor,” katanya. Yang kedua, yang mengusung konsep yang memang ditujukan untuk dijual ke investor. Artinya, yang sedari awal memang sudah berpikir untuk mengambil pintu “exit”. “Biasanya yang seperti ini, baru jalan sebentar atau bahkan belum jalan pun sudah mencari investor,” katanya.

Bagi Budiono, tipe yang kedua cenderung tidak akan sesukses tipe pertama. Dia bahkan mengritik satu kecenderungan yang muncul belakangan ini: ketika bisnis baru berjalan dan dilirik investor, harga yang dipatok sudah cukup tinggi. “Padahal usia perusahaan masih baru, page view-nya baru 100-200 ribu per hari, pendapatan masih zero, tapi harga yang ditawarkan ke investor sudah sangat mahal,” ujarnya.

Yang terkait financing dari pihak ketiga yang terbilang kompleks. Yang pasti, pelaku startup mesti memahami secara umum, kalangan pemodal ventura membagi beberapa tahapan: seed stage, early, growth dan exit. Fase seed adalah kucuran modal untuk membentuk produk. Artinya sedari awal injeksi modal memang sudah masuk. Early ketika produk dipasarkan. Growth saat perusahaan berkembang dan ingin semakin dikembangkan. Sementara exit ketika fase balik modal tiba dan perusahaan diantar ke gerbang lebih terbuka, termasuk pasar modal.

Pelaku startup boleh memilih mana jalan yang akan ditempuh: apakah saat early, growth atau bahkan sejak awal. Tapi mengacu pada Budiono, bila Anda entrepreneur sejati, pilihlah tipe pertama. Jalani dulu dengan modal sendiri, bertahan dengan kemampuan, strategi dan ide-idenya sendiri. Tunjukkan dulu bahwa produk kita memang diserap pasar. Bila tiba saatnya, investor pun datang dengan valuasi yang pantas, tanpa Anda duga waktunya.

Bicara uang, ada ungkapan buat startup yang layak renung dari Tim O’Reilly, founder O’Reilly Media yang memopulerkan istilah Web 2.0. “Money is like gasoline during a road trip. You don’t want to run out of gas on your trip, but you’re not doing a tour of gas stations”. Uang memang seperti bensin dalam sebuah perjalanan. Tentu saja kita tak ingin kehabisan bensin. Tapi bukan berarti perjalanan kita adalah melakukan tur dari satu pompa bensin ke SPBU lainnya. Artinya, ini akan bergantung pada visi awal pelaku startup: menjadi entrepreneur sejati atau sekedar pencari uang dan menjual startup dengan harga setinggi-tingginya agar cepat kaya raya, meski perusahaannya masih seumur jagung. Dan kalau kita ingin dengar pendapat Tony Hsieh, co-founder Zappos, dia punya satu nasihat: “Chase the vision, not the money. The money will end up following you.” Dan dia benar! Zappos kini berpendapatan di atas US$ 1 billion.

Di luar dua aspek di atas, sisi teknologi tak bisa diabaikan. Isu penting di sini adalah bagaimana mendapatkan manusia serta teknologi yang tepat sesuai kebutuhan pasar, bukan semata mutakhir. Terlebih di era di mana teknologi tumbuh eksponensial dan mengejutkan. Era di mana Android tiba-tiba muncul membuat sistem operasi yang sebelumnya digdaya, seperti Simbian tampak kuno dan loyo. Paul Graham, lelaki yang di Negeri Abang Sam dijuluki startup guru karena menetaskan ratusan startup, ketika menuliskan manifestonya, 18 Mistakes that Kill Startup juga menyinggung hal ini. Secara spesifik, menurutnya, hindari hal berikut dari sisi teknologi: hiring bad programmers (bila perusahaan Anda bermain di peranti lunak) dan choosing the wrong platform. Kedua hal itu membuat produk yang sudah dirancang baik bisa berantakan.

Hal yang sama juga berlaku pada sisi organisasi. Jangan bangun organisasi yang salah pada awal mendirikan startup. Lebih spesifik: jangan membuat organisasi yang birokratis, gemuk dan tidak produktif. Organisasi yang besar di tahap awal akan membebani biaya. Lebih jauh, akan membuat valuasi perusahaan menurun di mata investor yang melirik. Lean and productive organization adalah isu kritikal pada area ini. Di sini, nasehat Jason Fried, pendiri 37Signal layak dikutip. “There’s nothing wrong with staying small. You can do big things with a small team.”

Kendati 4 hal di atas sangat penting, pada akhirnya, suka ataupun tidak, startup adalah tentang entrepreneurship – kecuali pelaku startup memang berniat menjual sejak seed stage. Isu penting di area ini adalah managing self, terutama managing passion, drive, ambition, imagination. Intinya: mengelola diri agar api kewirausahaan tetap menyala. Apa saja yang mesti diperhatikan?

Bagi Andy Sjarif, setidaknya ada 3 hal: visi, kerja keras dan ketekunan. Pendiri harus memiliki visi yang jelas dan terarah. Mesti bisa membuat masterplan perjalanan bisnis mereka, baik jangka pendek dan juga jangka panjang. Ini diimbangi kerja keras dan ketekunan untuk mencapai apa yang diinginkan.

Pandangan ini tak keliru. “Running a business is a marathon, not a sprint, and it can take a while before you see the financial fruits of your labor,” ujar Adelaide Lancaster, co-founder In Good Company. Menjalankan bisnis memang seperti berlari maraton. Tak terkecuali bagi startup. Dibutuhkan ketahanan dalam berinvestasi uang dan waktu, persistensi untuk mempertahankan gairah dan imajinasi. Persoalannya, bagaimana cara berlari maraton yang benar?

Dari sisi individual, sejak awal, sebaiknya pendiri tidak berjalan sendirian. Kalau bisa selalulah cari partner yang sama-sama passionate ketika merintis startup. Kebanyakan perusahaan besar berangkat dari minimal 2 orang. Steve Jobs dan Wozniak di Apple, Larry-Sergey di Google, Jerry Yang-David Filo di Yahoo!, dan masih banyak lagi. Keberadaan mitra dalam suatu bisnis akan seperti otak kanan-kiri bagi sebuah tubuh. Sinergi yang menyeimbangkan dan menguatkan!

Tapi mitra internal saja kadang tak memadai. Menjalankan bisnis adalah persoalan know how. Dan di sinilah pentingnya keberadaan mentor. Karena itu, carilah mentor yang baik. Mentor yang baik bukanlah yang sekedar mengetahui bagaimana menjalankan bisnis, membantu pendanaan, tapi juga terus memberi semangat, mengingatkan tentang arti disiplin menjadi entrepreneur.

"Makanya di Founder Institute, kami mengumpulkan para mentor yang sudah pengalaman puluhan tahun," ungkap Sanny Gaddafi. “Dulu saat saya memulai Fupei tahun 2004, saya harus memecahkan persoalan sendiri. Menemukan kisi-kisinya dan membuka jaringan sendiri,” jelas Sanny yang sebelumnya membesut Fupei. Tak heran, dia menyarankan pelaku startup terus meluaskan jaringan, bertanya pada yang berpengalaman – sekalipun ini juga tak mudah karena belum banyak startup guru yang reputasinya diakui di Indonesia, seperti halnya Paul Graham di AS.

Mengelola lima hal di atas adalah pegangan awal untuk mereka yang ingin, atau sedang, menjalankan sebuah startup. Tentu saja tidak ada jurus sukses yang berlaku tunggal. Tapi dengan berpegang pada hal-hal di atas, setidaknya sudah ada patokan untuk berlari meniti jalan penuh onak, melewati tantangan musim gugur. ***

(Special thanks to: Ario Fajar, Herning Banirestu, Kristiana Anissa dan Rias Andriati)