Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, September 17, 2011

Berlari Marathon di Jalur Startup

Share this history on :

Memulai startup adalah merintis bisnis pada lazimnya. Setidaknya ada lima area yang mesti dikelola bila tak ingin layu di tengah jalan.


Seperti musim semi menanti datangnya musim gugur. Begitulah barangkali perumpamaan bagi startup lokal bidang TI yang kini bermekaran. Menakut-nakuti? Bukan. Sudah banyak cerita perusahaan startup di Tanah Air yang muncul untuk kemudian tak terdengar lagi ceritanya.

Tapi ini bukan khas cerita lokal. Di AS pun ini kisah bisnis biasa. Hanya segelintir startup yang melejit. Lebih sedikit lagi yang fenomenal seperti Facebook, Twitter, LinkedIn dan Groupon yang lulus mengikuti jejak Yahoo! serta Google. Bagaimana tidak mudahnya menangguk sukses, Mike Hudack, co-founder Blip TV mengungkapnya dalam satu kalimat: “Everyday at a startup is a roller coaster.” Bikin jantung dag-dig-dug!

Kendati penuh onak, bukan berarti jalan untuk 3S (survive, success, sustain) itu tak tertapaki. Secara ringkas, sekali lagi secara ringkas, setidaknya ada 5 area yang mesti bisa dikelola sebaik-baiknya (well managed) bila ingin memulai startup dan ingin hidup lebih dari semusim. Ke-5 sisi itu adalah: produk, bisnis, teknologi, organisasi dan diri sendiri.

Dari sisi produk, isu yang kritikal adalah bagaimana caranya menghasilkan produk bersifat customer driven. Bukan yang dikreasi untuk kesenangan sendiri. Caranya, “Buat produk yang berguna dan user friendly,” Batara Eto, pendiri East Venture memberi tips. Artinya, produk yang memenuhi kebutuhan serta selera pasar.

Ini bukan perkara main-main. Sebab, apa yang akan dijual ke pelanggan selain produk yang bermutu? Dan di AS, di mana tempat acuan startup di dunia, faktor kegagalan utama adalah produk. "Most startups fail not because they can't build the product they set out to build, but because they build the wrong product.” Begitu kata Guru Besar Entrepreneurial Management HBS, Thomas R. Eisenmann.

Supaya bisa menghasilkan produk yang benar (useful dan user friendly), kata Novistiar Rustandi, tidak mesti berangkat dari hal besar. Ide produk bisa dimulai dari hal-hal sederhana. "Kita lihat saja dari kebutuhan sehari-hari, bisa dibuat aplikasi dengan bantuan TI," ujar Novistiar yang bersama Andy Zain dan Sanny Gaddafi mendirikan Founder Institute Jakarta. Problem besar yang dialami para startup, dia menambahkan, biasanya terletak pada ketidakmatangan konsep.

Budiono Darsono setuju. Sekarang, kata founder Detik.com itu, beberapa masalah yang perlu dipecahkan pelaku bisnis startup adalah dalam hal gagasan yang belum matang dan orisinalitasnya. Banyak yang meniru startup yang diciptakan di luar negeri. Padahal seharusnya lebih membumi. “Lebih pada bagaimana menciptakan produk yang orisinal dan cocok untuk market Indonesia,” jelasnya.

Belajar dari kesuksesan startup yang kemudian menjadi perusahaan hebat, gagasan yang bersifat membumi memang penting. Apple muncul karena Steve Wozniak ingin sebuah komputer. Google menjelma sebab Larry dan Sergey tak bisa menemukan apa yang dicarinya di jagat maya. Hotmail lantaran Sabeer Bhatia serta Jack Smith tak bisa bertukaran email. Sementara Groupon dibesut karena Andrew Mason bingung mencari makan siang. Tampak sepele, tapi sebuah solusi jitu.

Memang tidak mudah menciptakan produk yang customer driven yang bersifat solusi. Di sini, insting bisa digunakan. Namun Novistiar menyarankan satu hal: riset! Pelajari apa yang kira-kira dibutuhkan konsumen sehingga tahu positioning dan segmentasi pasar yang ingin direngkuh. Dan bila ide yang muncul sudah ada di pasar, temukan apa yang bisa menjadi nilai tambah. “Hendaknya startup (memang) melalukan studi atau riset kecil-kecilan sehingga mereka tahu reality market-nya. Bisa riset mengenai potensi market, segmen dan masih banyak lagi,” timpal Andy Sjarif, CEO SITTI. Pokoknya, dia melanjutkan, kuncinya hanya satu: listening, listening, dan listening. Bahkan ketika produk sudah diluncurkan pun, mata dan telinga harus dibuka lebar-lebar untuk setiap input yang masuk untuk kemudian menjadi bahan pengembangan berikutnya.

Setelah produk, giliran sisi bisnis. Di sini, model bisnis menjadi isu penting. Model bisnis, kata Batara, tidak harus unik. Yang penting sang pengusaha mengetahui jawaban berikut: bagaimana pendapatan itu mengalir? Entah itu dari penjualan, sewa, atau model lainnya. Setelah model bisnis, perkara berikutnya adalah bagaimana memasarkannya. Di sinilah, Batara mewanti-wanti. Menurutnya, seringkali ide bukan perkara besar. Begitu juga dengan model bisnis. Itu bisa dirumuskan. “Idea is the cheapest part, execution is everything. Profitable atau tidaknya itu bergantung kepada eksekusi,” katanya. Dia menyarankan bila sudah punya ide, sudah menjadi produk, dan ada model bisnis yang solid, maka jangan kehilangan momentum. “Release your product fast,” ujarnya.

Dana juga menjadi isu krusial di sisi bisnis. Pertanyaan yang sering mengemuka adalah: haruskah menyambat utang untuk ekspansi? Kapan saatnya?

Dalam kacamata Budiono, ada 2 tipe pelaku bisnis startup. Pertama, yang memang menjalani dengan modal sendiri dan mencoba untuk bertahan dengan kemampuan, strategi dan ide-idenya sendiri. “Mereka cari uang dari revenue dan tidak berpikir untuk mencari investor,” katanya. Yang kedua, yang mengusung konsep yang memang ditujukan untuk dijual ke investor. Artinya, yang sedari awal memang sudah berpikir untuk mengambil pintu “exit”. “Biasanya yang seperti ini, baru jalan sebentar atau bahkan belum jalan pun sudah mencari investor,” katanya.

Bagi Budiono, tipe yang kedua cenderung tidak akan sesukses tipe pertama. Dia bahkan mengritik satu kecenderungan yang muncul belakangan ini: ketika bisnis baru berjalan dan dilirik investor, harga yang dipatok sudah cukup tinggi. “Padahal usia perusahaan masih baru, page view-nya baru 100-200 ribu per hari, pendapatan masih zero, tapi harga yang ditawarkan ke investor sudah sangat mahal,” ujarnya.

Yang terkait financing dari pihak ketiga yang terbilang kompleks. Yang pasti, pelaku startup mesti memahami secara umum, kalangan pemodal ventura membagi beberapa tahapan: seed stage, early, growth dan exit. Fase seed adalah kucuran modal untuk membentuk produk. Artinya sedari awal injeksi modal memang sudah masuk. Early ketika produk dipasarkan. Growth saat perusahaan berkembang dan ingin semakin dikembangkan. Sementara exit ketika fase balik modal tiba dan perusahaan diantar ke gerbang lebih terbuka, termasuk pasar modal.

Pelaku startup boleh memilih mana jalan yang akan ditempuh: apakah saat early, growth atau bahkan sejak awal. Tapi mengacu pada Budiono, bila Anda entrepreneur sejati, pilihlah tipe pertama. Jalani dulu dengan modal sendiri, bertahan dengan kemampuan, strategi dan ide-idenya sendiri. Tunjukkan dulu bahwa produk kita memang diserap pasar. Bila tiba saatnya, investor pun datang dengan valuasi yang pantas, tanpa Anda duga waktunya.

Bicara uang, ada ungkapan buat startup yang layak renung dari Tim O’Reilly, founder O’Reilly Media yang memopulerkan istilah Web 2.0. “Money is like gasoline during a road trip. You don’t want to run out of gas on your trip, but you’re not doing a tour of gas stations”. Uang memang seperti bensin dalam sebuah perjalanan. Tentu saja kita tak ingin kehabisan bensin. Tapi bukan berarti perjalanan kita adalah melakukan tur dari satu pompa bensin ke SPBU lainnya. Artinya, ini akan bergantung pada visi awal pelaku startup: menjadi entrepreneur sejati atau sekedar pencari uang dan menjual startup dengan harga setinggi-tingginya agar cepat kaya raya, meski perusahaannya masih seumur jagung. Dan kalau kita ingin dengar pendapat Tony Hsieh, co-founder Zappos, dia punya satu nasihat: “Chase the vision, not the money. The money will end up following you.” Dan dia benar! Zappos kini berpendapatan di atas US$ 1 billion.

Di luar dua aspek di atas, sisi teknologi tak bisa diabaikan. Isu penting di sini adalah bagaimana mendapatkan manusia serta teknologi yang tepat sesuai kebutuhan pasar, bukan semata mutakhir. Terlebih di era di mana teknologi tumbuh eksponensial dan mengejutkan. Era di mana Android tiba-tiba muncul membuat sistem operasi yang sebelumnya digdaya, seperti Simbian tampak kuno dan loyo. Paul Graham, lelaki yang di Negeri Abang Sam dijuluki startup guru karena menetaskan ratusan startup, ketika menuliskan manifestonya, 18 Mistakes that Kill Startup juga menyinggung hal ini. Secara spesifik, menurutnya, hindari hal berikut dari sisi teknologi: hiring bad programmers (bila perusahaan Anda bermain di peranti lunak) dan choosing the wrong platform. Kedua hal itu membuat produk yang sudah dirancang baik bisa berantakan.

Hal yang sama juga berlaku pada sisi organisasi. Jangan bangun organisasi yang salah pada awal mendirikan startup. Lebih spesifik: jangan membuat organisasi yang birokratis, gemuk dan tidak produktif. Organisasi yang besar di tahap awal akan membebani biaya. Lebih jauh, akan membuat valuasi perusahaan menurun di mata investor yang melirik. Lean and productive organization adalah isu kritikal pada area ini. Di sini, nasehat Jason Fried, pendiri 37Signal layak dikutip. “There’s nothing wrong with staying small. You can do big things with a small team.”

Kendati 4 hal di atas sangat penting, pada akhirnya, suka ataupun tidak, startup adalah tentang entrepreneurship – kecuali pelaku startup memang berniat menjual sejak seed stage. Isu penting di area ini adalah managing self, terutama managing passion, drive, ambition, imagination. Intinya: mengelola diri agar api kewirausahaan tetap menyala. Apa saja yang mesti diperhatikan?

Bagi Andy Sjarif, setidaknya ada 3 hal: visi, kerja keras dan ketekunan. Pendiri harus memiliki visi yang jelas dan terarah. Mesti bisa membuat masterplan perjalanan bisnis mereka, baik jangka pendek dan juga jangka panjang. Ini diimbangi kerja keras dan ketekunan untuk mencapai apa yang diinginkan.

Pandangan ini tak keliru. “Running a business is a marathon, not a sprint, and it can take a while before you see the financial fruits of your labor,” ujar Adelaide Lancaster, co-founder In Good Company. Menjalankan bisnis memang seperti berlari maraton. Tak terkecuali bagi startup. Dibutuhkan ketahanan dalam berinvestasi uang dan waktu, persistensi untuk mempertahankan gairah dan imajinasi. Persoalannya, bagaimana cara berlari maraton yang benar?

Dari sisi individual, sejak awal, sebaiknya pendiri tidak berjalan sendirian. Kalau bisa selalulah cari partner yang sama-sama passionate ketika merintis startup. Kebanyakan perusahaan besar berangkat dari minimal 2 orang. Steve Jobs dan Wozniak di Apple, Larry-Sergey di Google, Jerry Yang-David Filo di Yahoo!, dan masih banyak lagi. Keberadaan mitra dalam suatu bisnis akan seperti otak kanan-kiri bagi sebuah tubuh. Sinergi yang menyeimbangkan dan menguatkan!

Tapi mitra internal saja kadang tak memadai. Menjalankan bisnis adalah persoalan know how. Dan di sinilah pentingnya keberadaan mentor. Karena itu, carilah mentor yang baik. Mentor yang baik bukanlah yang sekedar mengetahui bagaimana menjalankan bisnis, membantu pendanaan, tapi juga terus memberi semangat, mengingatkan tentang arti disiplin menjadi entrepreneur.

"Makanya di Founder Institute, kami mengumpulkan para mentor yang sudah pengalaman puluhan tahun," ungkap Sanny Gaddafi. “Dulu saat saya memulai Fupei tahun 2004, saya harus memecahkan persoalan sendiri. Menemukan kisi-kisinya dan membuka jaringan sendiri,” jelas Sanny yang sebelumnya membesut Fupei. Tak heran, dia menyarankan pelaku startup terus meluaskan jaringan, bertanya pada yang berpengalaman – sekalipun ini juga tak mudah karena belum banyak startup guru yang reputasinya diakui di Indonesia, seperti halnya Paul Graham di AS.

Mengelola lima hal di atas adalah pegangan awal untuk mereka yang ingin, atau sedang, menjalankan sebuah startup. Tentu saja tidak ada jurus sukses yang berlaku tunggal. Tapi dengan berpegang pada hal-hal di atas, setidaknya sudah ada patokan untuk berlari meniti jalan penuh onak, melewati tantangan musim gugur. ***

(Special thanks to: Ario Fajar, Herning Banirestu, Kristiana Anissa dan Rias Andriati)

0 comments: